Cerita Eksibisionis Istriku Rina : Di Balik Sebuah Cerita 2

Rina Devi Wulan Sari

Aku sangat senang ketika suamiku mengajak untuk berlibur tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya kami sekeluarga selalu berliburan karena dengan cara itu suami ku bisa membalas atau membayar akan waktunya yang tersita untuk bekerja. Liburan kali ini terasa berbeda karena suami ku menawarkan sebuah desa yang memang jauh dari perkotaan, selama ini kami sering menghabiskan liburan di tempat wisata kebanyakan orang.

Sejak awal memasuki desa hingga kami menginap di rumah pak giran ini, aku merasakan hal berbeda dari biasanya karena desa ini memberikan pemandangan yang indah dan penduduk yang sangat ramah. Ketika kami memasuki desa ini begitu pula kala menginjakkan kaki dan bertemu dengan pak giman berserta ibu. Pak giran dan ibu menyambut kami dengan penuh rasa kekeluargaan dan kehangatan seperti menyambut anaknya yang baru pulang ke rumah tersebut.

Dari awal berjumpa dengan beliau aku merasakan kenyamanan yang di hadirkan oleh sosok suami istri ini. Bila aku mendeskripsikan sosok pak giran ini adalah seorang pria paruh baya yang baik, sederhana dan berwibawa sedang ibu adalah sosok wanita yang sangat penyayang, pengertian. Beruntung sekali ibu menikah dengan bapak dan sebaliknya bapak juga beruntung mendapatkan istri seperti beliau. Dimataku keduanya adalah pasangan yang serasi dan saling melengkapi satu sama lain.

Bila mengingat kejadian semalam, aku merasa tak enak dengan ibu dimana aku bermanjaan dengan pak giran di depan ibu tetapi ibu tak cemburu maupun marah sedikit pun. Masih teringat jelas bagaimana semalam aku diperlakukan dengan manjanya oleh pak giran, mungkin kalau aku di posisi ibu bakal cemburu dan marah sejadinya.

Bila saja suami ku melihat kejadian semalam mungkin dia akan marah dan menganggapku wanita murahan dan tak setia karena aku tak menolak sedikit pun saat pak giran merangkul dalam pelukannya dan aku menyadarkan kepala di pundak tuanya.

Mungkin karena aku yang belum mampu beradaptasi dengan cuaca di desa ini yang memang sangat dingin dan menjadi faktor pendukung terjadinya situasi semalam. Melihat gelegat badan yang agak kedinginan dan mulai merapatkan posisiku kepada pak giran, pak giran pun berinisiatif untuk merangkulkan tangan kirinya ke pundakku.

"kamu kedinginan ya nak rina ?" bisik si bapak sembari merangkul dengan tangan kirinya.

"iya pak, jangan pak, tapi aku enggak enak ada ibu ". balas ku menolak dengan lembut sambil melirik ke arah ibu.

"udah nduk, gak papa kok. Toh kamunya kan belum terbiasa dengan keadaan disini". timpal si ibu, yang menyetujui rangkulan bapak kepadaku sembari tersenyum.

Rangkulan si bapak disambut tawa dan godaan dari ibu yang membuat wajahku bersemu memerah karena aku malu menerima rangkulan si bapak. Karena bapak mendapat persetujuan dari si ibu membuat aku kini tak kuasa untuk menolaknya lagi.

"kamu manis nduk, mirip ibu waktu muda" bisik pak giran di sela-sela percakapan kami.

"bapak bisa aja, cantikan ibulah pak". sahut ku.

Ibu menangkap perubahan di wajah ku yang kembali bersemu merah karena di goda oleh pak giran, ibu tertawa kecil sembari mencolek paha suaminya yang saat itu ibu duduk berhadap dengan kami.

"nak rina memang cantik pak, beruntung sangat mas andi mempersuntingnya". ibu menimpali.

"hati-hati loh nak rina, bapak itu masih doyan "begituan" ". tambah si ibu sembari tertawa dan berkedip kepada ku.

Aku hanya bisa tersenyum dan ikut tertawa dengan ibu dan tanpa sengaja mata ku menangkap sebuah pemandangan yang agak ganjil, yaitu ada perubahan bentuk yang terjadi di balik sarung si bapak pantesan aja ibu barusan mengedipkan matanya. Aku hanya bisa tertawa dalam hati sembari diikuti wajah yang bersemu merah karena tak sengaja menangkap pemandangan itu.

Tak terasa waktu kian menanjak hampir menjelang tengah malam ini sembari diikuti udara malam kian dingin. Disela-sela perbincangan kami, bisa ku rasakan aktivitas tangan tua bapak yang tadi hanya merangkul pundak kini mulai dengan lembut memijit hingga sesekali menggosok-gosok punggungnya dengan lembut dari atas turun ke bawah hingga batas pinggang dan kembali ke atas, bapak juga sesekali mengelus rambut panjangku.

Aku yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya bisa menerima dan membalas dengan semakin merapatkan tubuhku kepada bapak yang mana tubuhku mendapatkan kenyamanan dan kehangat dari perlakuan bapak.

Logika dan hatiku bisa merasakan apa yang dilakukan oleh bapak benar-benar memberikan rasa nyaman pada tubuhku, aku bahkan tidak merasakan tubuhku di cabuli atau diisengi olehnya. Rasa nyaman ini aku dapat dari seorang lelaki paruh baya yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu, di mataku makin bertambah penilaian dan kekaguman pada lelaki ini.

Aku bisa merasakan bapak adalah sosok yang mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita. Bahkan kalau bapak memang berniat untuk mencabuli atau berbuat lebih pasti akan dengan mudah dia melakukannya, toh dari tadi aku tak beranjak dalam dekapannya.

Pak giran dan ibu segera menuju ke kamar, terlihat lampu kamar yang di matikan dan aku menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka seperti biasa saat aku mau tidur. Ketika aku berjalan ke kamar, tanpa ku sadari terdengar suara percapakan bapak dan ibu.

"ayo buk.. kemari.." suara si bapak.

"kenapa pak, udah gak sabar aja?" ujar si ibu.

"hayoo.. karena si rina ini pasti ya pak ?" kejar si ibu sembari tertawa kecil.

" hehehe... tau aja ibu ini. " balas si bapak.

Aku hanya bisa terdiam dan tiba-tiba wajah ku kembali bersemu merah karena malu mendengar percakapan pak giran dengan ibu. Ternyata benar bahwa si bapak masih doyan begituan walau usianya sudah tua namun yang membuat ku malu adalah aku menjadi alasan bapak untuk bercinta malam ini.

Aku menjadi imajinasi si bapak sedang ibu tak marah maupun cemburu malahan ibu makin bersemangat dan di sambut tawa, aku tak mampu membayangkan bagaimana jadinya nanti dan apa yang akan terjadi dalam liburan ini. Aku pun beranjak ke kamar dengan rasa penasaran dan ketidakpercayaan ku.

Saat memasuki kamar aku sejenak memandang wajah mas andi yang sedang terlelap tidur sambil memeluk kedua malaikat kecil kami. Senyum manis menghiasi bibir ku dan mata yang sedikit berkaca-kaca mengingat mas andi adalah sosok suami sempurna sebagai kepala rumah tangga bagi ku dan ayah yang sempurna juga bagi kedua malaikat kecilku.

Aku melangkah mendekat ke arah ranjang sembari mencium kening mas andi dan kedua malaikat kecil kami. Aku mengambil posisi di samping anak-anak dimana menempatkan mereka di antara aku dan mas andi, dengan suasana hati yang bahagia di hari ini tak butuh lama bagiku untuk mulai beranjak merangkai mimpi malam ini.
oOo


[​IMG]
Ilustrasi Kebaya yang digunakan rina

Pagi ini aku mendapatkan kejutan dari ibu, dimana ibu memberikan baju kebaya milik anak gadisnya yang telah pindah ke desa seberang untuk ikut dengan suaminya.

"nak rina .. bisa kemari sebentar". panggil ibu dengan suara lembutnya, saat aku akan melangkah ke kamar mandi.

"iya bu, ada apa ?" sahut ku yang berjalan ke arah kamar ibu.

"ini rin.. " ibu menyerakan baju kebaya kepada ku.

"punya siapa kebaya ini buk ? cantik dan anggun yang memakainya pasti" sahut ku saat menerima dan memandang sejenak kebaya itu.

"ini punya anak ibu yang udah tinggal di kampung sebelah daripada di biarin di lemari mending kamu yang pakai. Nah, sekarang coba kamu pakai baju kebaya ini nak " jelas ibu.

"ibu rasa cocok sama kamu sepertinya". tambah ibu yang di barengi senyum manisnya.

"terima kasih bu, ibu sangat baik padaku. Rina akan pakai kebaya ini, setelah selesai mandi bu." jawab ku dengan penuh semangat dan ku balas senyumnya sembari aku beranjak untuk ke kamar mandi.

Kebaya itu cukup sederhana namun masih terlihat bagus dan terjaga oleh pemiliknya. Kebaya ini biasanya dipakai oleh penduduk wanita desa ini. Aku pun mulai mencoba memakai kebaya yang ibu berikan. Aku mulai berdiri di depan cermin, memandang sejenak ke arah cermin dimana kebaya ini terlihat pas walau terasa ketat di bagian dada dan pinggulku.

Tiba-tiba rona merah terrcetak di wajahku, dimana aku merasakan masih kelihatan seksi dan menarik walau sudah melahirkan dua orang malaikat kecil. Aku memang jarang memperhatikan bentuk tubuh, karena memang aku hanya fokus merawat kedua buah hatiku, mengurus rumah dan mengurus suami tercinta jadi aku tidak ada waktu seperti wanita lainnya.

"cocok dan pas sama kamu rin.." celutuk bapak yang entah sejak kapan berada di depan pintu.

" eh .. bapak.." ujar ku terkejut sembari menoleh ke arah suara bapak.

"udah lama pak ?" tanya ku pada beliau.

" hehe.. yuk, ibu dan anak-anak udah nunggu tuh" balas bapak.

" iya pak" jawab ku.

Aku memperhatikan mas andi yang masih tertidur dengan pulas, mencium keningnya sejenak dan beranjak keluar untuk bergabung dengan ibu dan anak-anak ku. Aku berjalan beriringan dengan bapak, kami seperti sepasang kekasih yang sedang menuju ke taman untuk nge-date.

"kamu cantik sekali pagi ini memakai kebaya itu" bisik bapak sembari berjalan.

" bapak bisa aja.. deh" ujar ku sambil menahan tawa dan wajah yang bersemu merah yang di sambut senyum pak giran.

Anak-anak yang menyadari akan kehadiran kami, berlari berhamburan menuju ke arah pelukan ku. Kedatangan kami disambut pelukan anak-anakku, bapak mengendong adit dan aku mengendong nisa. Sedangkan ibu hanya tersenyum sembari memandang sejenak dengan penuh makna dan di ikuti oleh sebuah kedipan mata yang penuh makna ke arah ku.

Di pojok kebun terlihat ada sebuah balai yang berukuran kecil yang berfungsi untuk beristirahat atau bisa juga digunakan untuk sekedar duduk menikmati pemandangan di pagi atau sore hari. Bapak mengajakku duduk di sana untuk menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh desa ini.

Ibu terlihat sedang mengajari adit dan nisa belajar menanam beberapa jenis tumbuhan di lahan yang masih kosong yang berhadapan dengan balai.

"coba lihat kesana rin " ? ujar bapak ketika kami sampai di balai sembari menunjuk ke arah matahari yang sedang terbit.

Aku mengikuti arah yang di tunjuk oleh bapak, sejenak aku terpana dengan apa yang sedang berlangsung, tanpa membuang kesempatan ku gunakan ponsel pintarku untuk mengabadikan keindahan alam yang di ciptakan oleh Sang Pencipta Alam.

Aku melirik ke arah bapak yang duduk di samping, bapak membalas melirik dan tersenyum sembari sebuah anggukan kepalanya terhadap pemandangan yang baru aku saksikan ini.

"indah banget ya pak" ujarku yang kembali fokus memandang ke arah terbit matahari.

"iya rina, sama indahnya dengan kamu" balas pak giran spontan yang juga sedang menikmati pemandangan wanita manis disampingnya.

"... maksudnya pak?" ujar rina yang terkaget mendengar jawaban bapak sembari kembali melirik kearah pemilik suara itu.

Tak ada jawaban yang terdengar dari bapak namun bapak malah memilih menatap mata rina dan tangan kirinya dengan pelan mengelus rambut panjang yang tergerai.

"iya rin.. kamu memang indah" tegas bapak.

"aura keindahan yang terpancar dari kesederhanaan dan kepribadian mu yang menarik bagi bapak". tambahnya.

"... masak iya, pak ?" aku merasakan kikuk sejenak.

Bapak kembali tak menjawab namun mata kami yang saling berpandangan, bapak mencoba menyakinkanku lewat tatapan matanya. Tersirat jelas keseriusan di bola mata bapak terhadap omongannya barusan. Hatiku yang memang sudah terlebih dahulu kagum terhadap sosok bapak, hanya bisa terdiam dan tak menolak ketika bapak dengan lembut mencium keningnya.

Tangan tuanya kembali merangkulku dengan posisi duduk kami yang memang saling berdampingan, dengan pelan mengelus rambut panjangku yang tergerai sembari tangan itu kembali menggoso-gosok punggungku dengan lembut dan tangan itu terhenti di pinggang. Aku yang terbawa oleh suasana dengan sendirinya mulai menyandarkan kepala di pundak bapak, sembari menikmati pemandangan indah yang tersaji.

"terima kasih, pak" bisikku tetapi lebih terdengar seperti desahan.

"terima kasih untuk apa, rin?" bapak balik bertanya.

"terima kasih untuk semuanya pak, kenyamanan dan semua hal ini pak" ujarku.

"kamulah yang menjadikannya kehidupan bapak beberapa hari ini lebih indah, pemandangan indah ini dan termasuk kamu juga di ciptakan dengan keindahan yang mampu membuat bapak tertarik dan berpaling dari ibu." jelasnya panjang lebar.

" hehee .. bapak bisa aja gombalnya " jawabku sembari mencubit pinggang bapak dan di sambut tawa oleh ibu yang membuatku kaget.

"eheeeem.. eheeeem", ibu berdehem.

"sudah seperti sepasang kekasih aja, tapi cocok sih" tambah ibu sembari tertawa.

"ah ibu bisa aja ." ujar ku tertawa tertahan sembari memperbaiki posisi duduk karena merasa malu pada ibu.

"adit dan nisa dimana, bu?" ujar ku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"ada di dalam tuh sama andi di meja makan, hehe" ujar ibu yang masih tertawa dan tersenyum melihat kami berdua.

"ibu ganggu aja nih, orang bapak lagi asyik-asyik juga, heheh" timpal bapak sembari tertawa.

Kami pun larut dalam kebersamaan ini karena kejadian ini maupun hingga kejadian semalam hanya kami bertiga yang mengetahuinya, karena aku tak ingin membuat suami ku kecewaan. Sejauh ini suami ku tak pernah curiga maupun bertanya aneh-aneh yang menandakan dia tak tahu apa-apa.

Tiba-tiba aku merasakan tangan bapak mengelus dengan lembut punggung yang kini mulai menyerempet ke pinggul dan bongkahan pantat montok ku. Aku tertekun sejenak karena perlakuan bapak tersebut namun tak ada penolakan maupun menepis tangannya malahan aku mengikuti ketika pak giran menarikku lebih dekat dengannya seakan kami lupa bahwa ibu masih berada di hadapan kami.

"rin...." bisik bapak di telinga ku

" iya pak.. " desah ku pelan.

Tanpa kami sadari ibu mengambil posisi tepat di samping ku, hingga tangan bapak yang sedang berada di pinggul dan sesekali meremas lembut bongkahan pantatku ini tak terlihat bila ada yang datang. Aku masih tak habis pikir kenapa ibu membiarkan bapak melakukan hal ini dan juga ikut menggoda saat tangan jahil bapak bergerilya di tubuhku.

"biar aman kalo ada yang lewat " ujar ibu sekena saja.

Aku terkejut ketika bapak mulai membaui telinga sebelah kanan dan ku rasakan tangannya mulai bergerak ke arah depan untuk merabai perutku dan sesekali tangan itu naik lebih ke atas menyerempet pinggiran bawah dada ku. Aku kembali di buat tak berdaya dengan segala perlakuan pak giran yang memang telah menanamkan rasa kenyamanan terlebih dahulu sejak kemarin.

"pak.. " desah ku pelan

" iya rin.. kenapa?" jawab bapak pelan

"ada ibu pak, aku malu.. gak enak pak" bisik ku di telinga bapak.

Bapak dengan spontan mencium keningku dan menghentikan perbuatanya namun tangannya mengelus rambut ku dengan lembut, matanya memandang dalam ke arah mata ku yang ingin menunjukkan bahwa beliau melakukakn semua itu bukan atas dasar nafsu semata namun ada rasa lain yang belum bisa ku pahami saat ini.

" yuk makan.. ntar keburu dingin masakannya" ujar ibu memecah kebisuan.

Kami pun bertiga turun dari balai dan menuju ke rumah, di ruang makan memang telah ada adit, nisa dan mas andi yang menyambut kami dengan tawa dan senyum. Adit dan nisa berhamburan ke arah ku sembari mencium pipi mereka berdua dan kemudian menuju ke arah mas andi untuk mencium kening suami ku tercinta, aku hanya berharap suami ku tak pernah tahu apa yang terjadi di antara istrinya dan bapak.

" cantik sekali kamu hari ini, sayang?" ujar suami ku yang sedang makan.

" heheh.. terima kasih sayang", jawab ku sekenanya sembari tersenyum.

" Ini baju anaknya pak giran mas, bagus gak ?" tambah ku sembari bergaya di depan mas andi.

" bagus kok sayang, cocok dan pas di badan kamu kok" jawab suami ku sembari merangkul ku dan kembali ku cium keningnya.

Bapak dan ibu yang berada di seberang hanya melihat dan memandang ke arah kami dengan pandangan penuh makna. Mata ku dan mata bapak saling beradu pandang, tatapan mata bapak adalah tatapan dari seseorang yang sedang menyelami sebuah hati padahal hati berpenghuni namun ada celah kecil yang telah di temukan, beliau telah berhasil menemukan celah kecil menuju pintu hati ini.

Aku harus jujur bahwa bapak telah berhasil membuat ku tak berdaya, semua itu berawal dari rasa kagum terhadap sikap dan kepribadiannya hingga rasa kenyamanan yang telah disematkan pada balik celah kecil pintu hati yang kapan saja bisa menjadi celah besar bila bapak tepat mengenai dan mengeksekusinya.

oOo​
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar