Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 6 | Scandal

Senin pagi. Mereka bilang, Senin itu petaka. Katanya, sih. Memangnya ada apa dengan Senin? Ada yang salah, gitu? Untukku, ini awal yang sempurna untuk mengawali hari pertamaku libur kuliah.

Dua bulan, vroh.

Kurenggangkan tubuhku agak lama. Hm, dalam posisi merenggang begini, tubuhku jadi meliuk ke depan. Buah dadaku jadi membusung, tegak menantang. Ah, tak usah dibusung-busungkan. Sepasang daging kenyal nan besar ini sudah cukup menggoda siapapun yang melihatnya, hanya dalam kondisi normal.

Masih dalam kondisi acak-acakan, aku turun dari ranjang. Kutatap cermin, lalu kugenggam sejumput rambutku. Terlihat membosankan. Hitam berkilau. Tapi, ya cuma berkilau. Hitam. Tak ada istimewanya sama sekali. Ya memang sih, gadis-gadis keturunan itu terkenal dengan rambut lurus dan indahnya. Tapi, astaga, aku perlu suasana baru.

"Nyalon enak nih."

Maka, segera kususun jadwal di hari pertama libur ini. Tak ada kuliah, tugas, dosen yang menagih lembaran kertas, gelas-gelas kopi yang menemani jemari-jemariku menari di atas tuts keyboard. Semua musnah, hilang sementara. Nyahahaha, aku bebas. B-E-B-A-S!

"Jadi... hari ini pertama kesini, terus ke... nah, nah, abis itu ke...."

Apasih, bicara sendiri terus. Daripada begitu, lebih baik aku sarapan saja. Tapi kakiku malah melangkah menghampiri ranjang lagi. Berdiri di tepi ranjang, lalu kuhempaskan diri di atasnya.

"Ngapain sarapan, biar kurus! Senin pagi tuh emang enaknya buat tidur!"

Hehe, maaf ya. Dimaklumi saja. Olin memang pemalas. Tapi tak selalu kok. Hanya musiman. Lagipula, ini masih jam lima pagi. Salahkan kebiasaanku yang suka bangun sepagi ini, tapi hellooooow... ini hari libur. Seharusnya aku bisa lebih bersantai.

Kupeluk guling erat-erat. Mmpphh, enaknya bisa santai begini. Duh, aku menyedihkan sekali. Terlalu rajin jadi mahasiswi, sampai lupa rasanya memanjakan diri.

Ingat kejadian aku dikerjai habis-habisan di ranjang ini tempo hari? Nah, imbasnya, tiap kali aku merebahkan diri di ranjangku, aku langsung otomatis teringat kejadian waktu itu. Itu-benar-benar-gila. Maksudku, aku sulit mengekspresikan lagi dengan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa yang kuterima saat itu. Parahnya, aku tak bisa melawan ketika dibuat gagal orgasme berkali-kali. Lebih parahnya lagi, aku menikmati semuanya.

"Ancur deh harga diri gue jadi cewek. Gara-gara tinggal disini nih, jadi dipake sana-sini. Emangnya gue apaan coba, asal pake aja. Ya suka sih, ga muna yakan. Enak, hihi. Tapi, tetep aja...."

Ayo, mari kita hitung siapa saja yang sudah mencicipi tubuhku. Mantanku, satu. Om Bondan, dua. Tante Indy masuk hitungan? Masukkan sajalah, tiga. Dinda juga dong kalau gitu, empat. Terus, temannya Tante Indy. Lima. Ups, pacarnya juga, enam. Lalu si orang terakhir yang tempo hari itu, tujuh. Loh, banyak? Astaga, aku ini cewek macam apa? Dibilang pelacur bukan, tapi disebut bispak -bisa dipake- juga tak terima.

"Tapi gue yakin banget, ini yakin seyakin-yakinnya, kalo yang garap gue waktu itu si Asep. Pasti inimah, udah curiga lama lagian gue sama dia. Tapi... 'barang'nya gede. Aduh, jadi kebayang-bayang lagi kan!"

Karena terus terbayang kejadian dengan orang yang diduga Asep itu, birahiku jadi memuncak lagi. Dan karena yang terdekat yang bisa kuraih saat ini hanya guling, maka mau tak mau kujadikan saja pelampiasanku. Aku merapatkan diri, kujepit guling diantara kedua pahaku. Menjepitnya kuat-kuat.

"Eh, eh, ga boleh! Engga boleh!" Buru-buru aku tersadar dari hasutan nafsu. "Kan udah janji, kalo liburan ini ga ada acara masturbasi-masturbasian! Pokoknya gue mau hidup sehat! Pikiran jernih ga ngeres lagi! Pokoknya--"

Niatanku hancur seketika saat bayangan itu muncul lagi di kepalaku. Sensasi ketika penis besar itu mengaduk-aduk dinding kemaluanku... ketika badai orgasme yang membludak keluar setelah beberapa kali sengaja dia hentikan... ketika... ketika...

"Ha-habis ini," aku kembali merapatkan pahaku, "Janji deh ga akan begini lagi. Tapi sekarang... auuhh," lalu kugoyang pelan pantatku, "Kan... kan... enak..."

Jangan percaya Olin. Bahkan diriku sendiri tak mempercayaiku. Bukannya berhenti karena sudah komitmen, aku malah meneruskan menggesek kemaluanku pada guling. Ehehehe, enak sih. Geli-geli nikmat gitu.

"Hauu... aahhh... hhmmpp... geli ih... haaa... emmm...."

Merasa kurang nyaman, kulepas celana pendek yang kupakai. Celana dalamnya lepas juga, atau tak usah? Kalau dilepas, nanti gulingku basah. Ah, nanti kalau squirt basah-basah juga. Lepas sajalah, ribet.

Tuing. Kulempar celana pendek beserta celana dalamku ke lantai. Biar terkesan seksi, gitu. Tapi siapa juga yang lihat, sepagi ini. Aku lalu duduk mengangkang. Kutindih gulingnya, sambil kedua kakiku melipat ke belakang. Awh, kena! Klitorisku bersentuhan langsung dengan sarung guling yang lembut--menimbulkan sensasi geli nikmat yang menjalar ke seluruh tubuh.

"Mulai ya... satu, dua, ti... aaauuhhngghh~~~❤"

Kugoyangkan pinggulku maju-mundur dengan irama pelan, menimbulkan klitorisku ikut tergesek ke depan dan belakang. Tanganku malah mencengkeram ujung guling, sebagai respon atas rangsangan yang kuterima.

"Ahh aahh... haahh... haaahhh... kontol... gue... gue... butuh... aahhh..."

Aku makin mempercepat goyangan maju-mundurku. Ranjang berdecit, tanda tak lagi bisa kukendalikan tubuhku. Aku hanya tahu enak dan ingin terus merasa enak. Serius, main sama bantal begini lumayan juga, hihi.

Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi. Ayo dong, pipis. Sudah diujung, hanya tinggal sedikit lagi. Hanya...

"Ahhh... aaauuhh... haahh... haahh... iyahh... aahh... aahh... eehh... ehh, hoohh... ngghh... haahh... hyaahh, hyaahh... hhyaaa--"

"Teh Olin! Dinda pinjem sisirnya do...."

Suara itu datang bersamaan dengan pintu yang membuka. OH SHIT, AKU LUPA KUNCI PINTU KAMAR! Aku pun refleks menengok ke belakang. Di ambang pintu, menyembul kepala Dinda dengan wajah imutnya. Ini agak konyol, aku terpaku melihat Dinda; sementara dia sendiri kaget saat melihatku dalam kondisi begini. Ya begini, duduk diatas guling, setengah telanjang, pantat terekspos bebas dilahap kedua mata Dinda.

Hanya butuh beberapa detik bagi Dinda untuk menguasai diri, karena selanjutnya yang kutangkap darinya hanya tatapan nakal yang meledek.

"Teh, Dinda masuk ya?"

"Eh-eh, Din... anu... duh, Teteh--"

Tapi Dinda bahkan sudah masuk ke kamarku. Dia tak lupa menutup pintu, lalu menghampiriku. Panik, aku bahkan terpaku bagai patung di posisiku sekarang.

"Teh, Dinda pinjem sisir ya?" tanyanya, lalu duduk di tepi ranjang. Sekarang, Dinda sudah berseragam sekolah, lengkap dengan rok selutut dan dasi abu-abu melingkar di kerah kemeja. "Sisir Dinda gatau kemana. Boleh kan?"

"Bo-boleh... hehe."

"Oh iya, Teteh lagi ngapain?"

Aduh, mampus. Straight to the point. Harus kujawab apa? Tapi padahal sudah jelas-jelas tertangkap basah begini. Lagipula, aku hampir klimaks tadi! Hampir!

"Teteh lagi... ngg... main, Din!"

"Main apa?"

Astaga, mesti jawab apa lagi? "Main... hmm... main... kuda-kudaan, hehe." Main kuda-kudaan? Jawaban bodoh macam apa itu?! Sebelum Dinda menertawakanku, lebih baik kucari topik pengalihan. "Di-Dinda sendiri... ma-mau... berangkat... se-sekolah, ya?"

Tapi pandangan mata Dinda malah tertuju pada bagian selangkanganku yang menghimpit guling. Kemudian pandangannya beralih padaku. Dia menggigit bibirnya, menatap manja.

"Iya dong. Kan Dinda mau pinter kayak Teteh. Jadi harus rajin sekolahnya."

GAK NANYA. Tapi serius, ini anak sepertinya memang sengaja berlama-lama di kamarku.

"Teh, sisirnya dimana?" tanya Dinda, memecah pikiranku. Segera saja kutunjuk meja rias, tempat dimana segala macam alat-alat riasku berjejer rapi. "Dinda ga tau nih, sisirnya yang mana aja. Ambilin dong."

INI ANAK APA-APAAN SIH, SEGALA SISIR AJA PAKE DIAMBILIN?! Ya kalau aku bangun, jelas kelihatan dong selangkangan berikut kemaluanku? Oh, aku paham. Positif. Dia sengaja menggoda kamu, Lin. Bagaimana, totalitas saja, baiknya?

Aku mendesah berat lebih dulu, sebelum berkata pada Dinda. "Ngg... Din, Teteh minta tolong kunci pintunya dong," kataku, memelas.

Ada senyum nakal langsung terkembang di wajah manisnya. Dinda pun beranjak dari ranjangku, kemudian menuju pintu. TAI KAN INI CEWEK EMANG?

Ah, sebodo amat lah. Sementara Dinda mengunci pintu, aku melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti tadi. Kugoyangkan lagi pinggulku maju-mundur dengan cepat. Lebih cepat. Tak bisa ditahan lagi, desahan-desahan binal keluar susul menyusul dari bibir ini. Enak, enaaaaak. Sensasi ketika klitorisnya menggesek guling ini... rasanya... uuuhh...

"Enak Teh?" Dinda kembali duduk di tepi ranjang, mengamatiku bermasturbasi, "Maksudnya, enak ga digangguin? Pfft."

"Booodddooo.... aaammm...aaaaatthhh...!"

Ada tawa kecil keluar dari bibirnya ketika mendengarku. "Lagian, masih kaku aja sama Dinda. Teh, Dinda kangen," balasnya.

"Sshhh... uuhh, yeesss... ke... aahh... kegesek Din. Hah? Ka... kangennhh? Yaaa... terrruuuuss...???"

Tak menjawab, Dinda malah naik ke ranjang. Dia lalu merangkak, beralih ke belakangku. Aku tak sempat memikirkan apa yang akan dilakukannya, jujur saja... gesekan-gesekan ini... mencuri... seluruh... hhmmpphh... perhatianku.

Makanya, goyanganku kini lebih cepat lagi. Maju, mundur, maju, mundur. Aku menggoyang guling ini tanpa henti. Rangsangan yang kuterima semakin menjadi-jadi ketika dari belakang, tangan-tangan Dinda bergerilya menyusup dibalik kausku. Bagai terlatih, tangan-tangan nakal itu pun langsung mendarat di kedua buah dadaku yang besar dan kenyal ini. Hyaaaa... kebiasaanku yang melepas bra ketika mau tidur ternyata memudahkan Dinda bermain dengan payudaraku.

"Teh, makin gede aja ini ya?" tanyanya, sambil meremas buah dadaku, pelan. Kadang, Dinda iseng memainkan putingku. Dibuat seolah-olah sedang memerah susu. Hal ini memperparah sensasi yang kuterima, membuatku menggelinjang tak karuan. "Hhmmpphh... Teteh... masih ngangenin, kayak biasanya. Dinda mau dong, Teh..."

Mengerti maksudnya, aku bergeser maju. Kini, aku menduduki ujung depan gulingnya, sementara Dinda duduk di ujung belakang. Lalu kurasakan Dinda juga mulai menggoyang pinggulnya, sembari kedua tangannya tetap meremasi buah dadaku. Aku sekilas menengok ke cermin meja rias. Disana, terpantul refleksi kami berdua sedang menduduki guling yang sama. Bergerak maju-mundur, sambil mendesah-desah dan memperlihatkan wajah terangsang kami. Kegiatan nakal tangan Dinda dibalik kausku juga terlihat jelas, terlihat cetakan-cetakan jari-jarinya pada kaus ini. Hanya satu hal yang membedakan kami; aku setengah telanjang sementara Dinda masih lengkap berseragam.

"Hhh... hhmmpp... enak Teh...? Enak toketnya... digrepe sama Dinda?"

Wuih. Sudah mulai lancar berbahasa mesum dia. Tak ada salahnya kurespon, hihi. "Enak Din... iyahh... remes terus... Dinda suka toket Teteh...? Gede yahhh... aauuhhh... hahh... haaahh... nngghhh... Teteh... pasrah diapain aja... sama... Dinda... hhh... aahhh... haahhh..."

Mendengarku berkata begitu, Dinda makin menjadi-jadi. Dia mendengus di tengkuk--di salah satu titik sensitifku! Tak cukup, Dinda malah menciumi tengkukku, lalu menjalar ke belakang telinga, bahkan menjilati lubang telingaku! Aaaaaastagaaaa, aku terangsang hebat!

"Din... nyahhh... ja," aku reflek menoleh padanya, berusaha menghindar dari serangannya di telingaku, "Jangan... disitu... gel--"

Tak kuduga, Dinda menciumku. Satu ciuman panas dan menggelora, yang langsung kubalas tanpa ragu lagi. Kami bahkan saling bertautan lidah, disertai saling mengulum bibir satu sama lain. Sesekali diantara lidah yang menari, kami juga bertukar air liur. Untungnya, karena berciuman, desahan-desahan kami jadi tertahan. Fyuh!

Ah, klimaks... aku rindu kamu. Rasa menggelitik di klitoris dan bibir kemaluanku semakin menjadi-jadi; membuatku mempercepat goyanganku. Begitupun dengan Dinda, bermasturbasi sambil merangsangku sepertinya memberi sensasi tersendiri untuknya. Dia juga mempercepat goyangannya, membuat suara berdecit di ranjang ini semakin heboh terdengar.

"Teehh... Teeehh... Dinda... mmm... sluurrpp... aahhh... ahhh... Tehh... hhhmmfff... mau... aahhh... aahhh...."

"Iyahh... bareng... Teteh juga... Teteh... mau... mmmm... hhhmmmpp... ppfffhh... haeemmm... mmm... nngghh... ngghhh... HHNNGGG....!"

Yes... yes... yes... yes... yesss...! Klimaksku datang! Menjelma jadi rasa nikmat yang susul menyusul menggelitik klitorisku. Membuatku bergetar-getar sambil menjepit erat guling ini, mengiringi sensasi 'pipis nikmat' yang mengucur deras basahi guling dan sprei ranjangku. Disusul Dinda, yang juga mengalami orgasme dahsyatnya; mencengkeram payudaraku kuat-kuat, sambil tubuhnya bergetar-getar hebat. Teriakan puncak kenikmatan kami tertahan akibat bibir yang saling berpagutan kuat. Memberi efek kejang beberapa saat, sampai akhirnya mereda...

Tubuh kami pun ambruk menyamping ke ranjang. Nafas tersengal. Bermandikan peluh, puas dan bahagia. Aku langsung membalikkan badan, dan langsung disambut pelukan erat dari Dinda. Bibirku dikecupnya lagi, mesra.

"Din... haahh... enaaaak, hihi."

"Ah, Teteh... tadi aja malu-malu," balasnya. Lalu kulihat Dinda menatap jam dinding. "Teh, Dinda telat!" serunya, berbarengan dengan gerakannya melompat dari ranjang. Turun, Dinda langsung mengambil sisir sambil bercermin sekilas.

"Udah rapih belum, Teh?"

Aku mengangguk. Hihi, mau kamu usahakan bagaimana pun juga, seragam kusut itu tak akan bisa benar-benar rapi. Dinda lalu menghampiriku lagi, mengecup keningku lembut, sebelum akhirnya pergi keluar kamar.

Kini, aku sendiri lagi. Di kamar ini, maksudnya.

"Haaah... masih pagi udah dibikin lemes aja! Pokoknya, entar siang gue mesti nyalon, terus refreshing. Biar otak ga mesum mulu. Harus Lin, biar kayak cewek-cewek normal."

Tapi siang masih lama. Yasudah, tidur saja dulu.


========

Ngghh... aku tidur lumayan lama sepertinya. Kulihat jam, aw... sudah siang. Makanya, sekarang saatnya mandi, deh. Kan mau pergi.

Selesai mandi, kuhadapkan diri ke cermin meja rias. Duduk manis, memulai ritual wajib sebelum pergi; dandan. Ini kulakukan hampir tiap hari. Kenapa? Faktanya, wanita akan merasa jauh lebih percaya diri dengan riasan make-up di wajahnya. Dengan dandan, setidaknya aku tidak merasa minder di segala situasi dan kondisi.

Haruskah kuceritakan proses dandannya? Ah, kalian pasti akan bosan. Ini hanya proses sederhana, tapi memakan waktu lama. Pertama, cuci muka. Lalu muka yang dalam kondisi lembab dipoles foundation sebagai dasar agar riasan tak mudah terhapus. Terus, sedikit bedak, beralih ke mata. Naaaah, ini bagian paling pentingnya. Pensil alis! Serius ya, aku tak akan mau pergi tanpa alis yang tajam dan rapi. Oke, lalu beri eye liner di sekitar garis mata. Dipulas sedikit eye shadow. Next! Add some blush-on, biar pipi merona. Jangan tebal-tebal tapi, aku bukan cabe loh. Untuk bagian terakhir, add not-so-dense pink color to your lips. Yep, selesai.

"Menor ga sih? Ga lah ya, natural gini kok."

Selanjutnya adalah memilih baju. Oke, mari acak-acak lemari. Salah satu kebiasaan wanita yang menimbulkan ironi adalah: "Duh, gue ga punya baju nih." Well, kami tak benar-benar begitu. Lemariku ini penuh dengan baju-baju yang digantung, menunggu untuk dipakai. Tapi masa iya pakai itu lagi itu lagi? Boys, let me tell you this: if a girl tell you that no clothes to wear on; that means you need to buy her a new one. Memakai pakaian yang sama berulang-ulang dan dalam jangka waktu berdekatan adalah kesalahan besar bagi kami. Jadi, mengertilah.

"Yaudahlah, nanti beli aja di Metro. Saldo masih banyak ini, tinggal gesek."

Kupilih sehelai crop tee motif warna hitam yang dipadu dengan ripped boyfriend jeans. Tapi kok agak gimana gitu. Oke, ganti. Eh, perasaan masih ada baju-baju yang belum kupakai, deh. Langsung saja kucari-cari di seluruh bagian lemari. Acak sini, acak sana. Ihh, mana sih?

"Nah ini dia, ketemu!" Kulempar satu helai pakaian ke atas kasur. "Dari pertama beli belom pernah dipake kan."

Sehelai dress, eh? Ini dress bukan sih? Ahahaha, ini tanktop motif mozaik warna-warni, dengan belahan dada yang rendah. Kucoba memakainya, dan ternyata belahan dadaku terekspos dengan jelas. Biar deh, hitung-hitung amal.

Nah, untuk bawahnya... oke, ini saja. Aku punya banyak ripped jeans, sejujurnya. Tapi ripped jogger biru muda ini belum pernah kupakai. Sip, sekarang tinggal aksesoris. Sedikit gelang dan happy puppies limited edition watch di tangan kiri terasa pas. Juga kalung yang kulingkarkan di leher. Lalu aku beranjak ke rak sepatu. Bosan dengan nike air max, pilihanku jatuh ke adidas edisi superstar x pharrel william. Sip, Olin hari ini sudah all out!

"Agak mirip cabe sih dikit, warna-warni gini," kataku ketika melihat ke cermin. "Ah, tapi sekalipun cabe, gue cabe mahal. Then, i would like to be introduced as... paprica, pffft."

Berangkats!

========

Sengaja kupakai range rover klasik milik Om Bondan. Apa ya, sejak pertama lihat mobil taft ini, aku sudah jatuh hati. Kuakui, body yang kekar dan tangguhnya memang menarik perhatianku. Lagipula, ini sudah power steering, jadi mudah dikendarai. Plus, jauh lebih baik dari sekedar city car. Hemeh.

Tujuan pertama: salon. Kuarahkan mobil ini menuju salon langganan yang tak jauh dari rumah Om Bondan. Aku mau ganti warna rambut. Yah, warna pirang lucu mungkin ya. Jadi semacam amoy blonde begitu, ahahaha.

"Hai cynn," begitu sapa salah seorang stylist begitu aku masuk ke dalamnya. Cowok kurus yang kemayu. "Gila, makin gedong aja nenongnya, cynnn!" katanya mengomentari, haaahh... buah dadaku.

"Iyalah, dirawat. Emang elo, ga numbuh-numbuh itu tetek," balasku.

"Ah, sering digrepe keles cynn. Makanya gedong. Duduk, duduk," lalu aku diarahkan menuju salah satu kursi, "Mau diapain rambutmu?"

"Highlight. Blonde. Creambath. Ngg... do whatever it takes lah."

Yuhuuu, gadis cantik mau nyalon dulu ya. Eh, yakin masih gadis? Ahahaha, bodohnya aku.

Butuh sekitar dua jam untuk menyelesaikan permintaanku. Haaaah, ribet kalau diceritakan. Pasti akan lama, serius deh. Yang jelas, aku mesti make-up ulang, lagipula aku sengaja tak dandan penuh tadi. Makanya, kupoles ulang riasanku, sekaligus mempertegas riasannya.

Kutinggalkan salon, lalu masuk ke mobil. Sedikit bercermin lewat kamera depan. Hihi, rambut baru. Cantique!

Selfie sesekali tak ada salahnya mungkin, ya~❤


"Nah, abis ini ke--"

Uh-oh, ponselku berdering. Siapa nih? Kulihat layar, Tante Indy?

"Yap, halo? Kenapa Tan?"

"Olin! Kamu dimana?" tanya Tante Indy di seberang sana.

Ini tante-tante binal kenapa ngegas? "Di salon, Tan. Emang ada apa? Kok kayak orang kesel gitu?"

"Tante minta tolong dong, kamu--"

Nah loh, nah loh. Duh, aku sedang tak siap untuk nakal-nakalan, Tante! Makanya, aku buru-buru memotong pembicaraan. "Tapi Tan, Olin lagi--"

"Dengerin dulu!" Aku dibentak, huhu. "Kamu ke Pronto, Om kamu lagi disitu sama abege, katanya. Kamu tolong kroscek ya."

Oh, bukan yang 'itu' ya? Ahahaha. "Ah serius Om Bondan lagi sama cewek? Pronto yang dimana, Tan? Terus, Tante tau dari mana?"

"Pronto yang di Jaksel cuma ada dimana sih?! Ehem, maaf ya Tante agak emosi. Ada tadi temen liat sekilas, tapi ga sempet fotoin soalnya buru-buru. Makanya coba kamu kroscek kesana, Tante minta tolong banget, Lin."

Yah, aku maklum kalau Tante Indy sedang emosi. Bagaimana pun juga, Om Bondan masih suaminya. Diberitahu jika suaminya sedang jalan dengan cewek lain saja sudah cukup menyakitkan; apalagi kalau tahu bahwa suaminya sering... yah... main belakang denganku, keponakannya sendiri.

Lagipula, ada rasa panas di dada ini. Aneh, seakan aku tak terima kalau Om Bondan main dengan gadis lain selain aku. Kurang puas apa dia denganku, hah? Apa aku kurang semok? Kurang enak? Hih, dasar tua bangka.

Eh, loh? Apa aku... cemburu? Tapi jusru kupikir, posisiku yang paling menyedihkan. Disatu sisi, aku tahu rasanya jadi Tante Indy; dan di sisi lain aku juga merasa bersalah terhadapnya. Ah, menyedihkan.

"Oke, Tan. Oh, disitu ya, ehehe. Yaudah aku jalan dulu kalau begitu."

========

Aku menetapkan tujuan ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta Selatan. Hayooo dimana? Nih clue-nya: Mall ini disebut sebagai mall terbesar di Jaksel, punya dua gedung utama yang dihubungkan dengan sky tunnel yang menyeberangi jalan besar, dan satu gedung extension yang baru selesai dibangun. Kurang jelas? Di belakang mallnya, ada wahana dan taman air juga kolam renang. Berdiri di pinggir komplek elit. Nah, tebak sendiri ya.

Setelah parkir mobil di lahan gedung pertama, aku segera masuk ke lantai dasar. Agak panik, kunaiki eskalator menuju lantai dua. Berjalan cepat-cepat, tak kupedulikan beberapa pasang mata yang menatap liar ke seluruh tubuhku. Menuju pronto, restoran western cuisine dengan konsep all you can eat; terletak di dekat sinema XXI.

Dan... ups, disanalah dia. Pria gendut bertampang lucu dengan pipi gembul itu, duduk bersebelahan dengan seorang gadis langsing dan manis, cantik sih. Mereka tampak asyik bercengkrama sembari menyantap steak yang terhidang di piring porselen. Dari cara mereka mengobrol, tampak jelas bahwa Om Bondan benar-benar nyaman dengan gadis itu. Terlalu nyaman, sepertinya.

Melebihi yang kulihat dengan Tante Indy. Melebihi ketika sedang mencumbuku.

Hngg... rasanya panas.

SLUTTY-LICIOUS
6th Scandal- 2



Dan... ups, disanalah dia. Pria gendut bertampang lucu dengan pipi gembul itu, duduk bersebelahan dengan seorang gadis langsing dan manis, cantik sih. Mereka tampak asyik bercengkrama sembari menyantap steak yang terhidang di piring porselen. Dari cara mereka mengobrol, tampak jelas bahwa Om Bondan benar-benar nyaman dengan gadis itu. Terlalu nyaman, sepertinya.
Dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat mereka dengan jelas--dan untungnya Om Bondan tak menyadari keberadaanku. Maka, aku menjauh dari sana dan menjaga jarak; berjaga-jaga agar tak ketahuan. Lalu kuambil ponselku dari tas kecil yang kubawa.

Aku pun menyentuh angka-angka yang tertera di layar. Nomer Om Bondan. Dari sini, kulihat Om Bondan gelagapan melihat layar ponselnya.

"Halo? Om lagi dimana?" tanyaku ketika telepon tersambung.

"Eh, kenapa Lin? Om lagi di PIM satu nih. Sedang makan siang sama klien."

"Oh gitu. Olin kesana ya, Om dimananya? Olin kangen, nanti kita ke apartemen. Mau kan?"

"Duh-eh, tapi Om lagi sama klien. Nanti saja Om hubungi lagi, sedang bahas bisnis soalnya. Ga apa-apa kan?"

"Ya Olin tunggu aja, sekalian kenalan sama kliennya. Gimana?"

Oh, kulihat Om Bondan mulai panik. Dia menoleh ke kiri dan kanan, seakan mencari sesuatu. Atau, dia mulai curiga aku ada di sekitar sini? "Sebentar Lin, hape Om low nih. Nanti saja telepon lagi ya."

Tanpa mendengarkan balasanku, Om Bondan memutuskan sambungan. Oh, really? Menyebalkan sekali om-om gendut ini! Aku pun mengaktifkan opsi kamera, lalu membidik fokus ke arah Om Bondan dan si gadis di sebelahnya. Biar saja, biar Tante Indy tahu kelakuan bejat suaminya!

Lalu bayangan Dinda terlintas di benakku. Kemudian menyusul Cecil, Tante Indy, anggota rumah yang lain, dan... Ayah. Bayang Ayah di rumah sana membuatku mengurungkan niat. Pasti, masalah ini akan melebar kemana-mana jika aku memberitahukan ini ke Tante Indy. Yang paling parah, hubungan Om Bondan dan Ayah bisa merenggang, bahkan bersitegang.

Aku mengunci ponselku, kemudian memasukkannya ke tas kembali. Yah, kadang... beberapa hal memang lebih baik tidak diberitahukan.

"Mending samperin aja deh."

Kulangkahkan kaki menuju mereka. Berjalan tenang, meski dada panas dan hati berkecamuk. Meski harus berkorban perasaan. Tch, perasaan? Aku seharusnya sadar, semua yang kulakukan ini awalnya karena uang. Ingat, yang membuatku bertahan adalah materi, bukan hati.

"Hai, Om." Aku menyapa Om Bondan, lalu menggeser satu kursi kosong. "Olin juga mau dong makan steak," kataku.

Terlihat ekspresi kaget di wajahnya. Hampir-hampir tak bisa berkata-kata dan pucat, Om Bondan menatapku penuh tanda tanya. "Lin, kok bisa... di...?"

Ekspresi yang sama juga terlihat di wajah gadis di sebelahnya. Ahaha, kalian kepergok ya? "Tenang, shaaaaaay. Aku ga bocor kok," kataku padanya.

"Lin, kamu tau Om disini dari siapa?" kali ini Om Bondan bertanya lagi. Ada kesan panik dari nada bicaranya.

Saat aku mau menjawab, Om Bondan memanggil seorang waitress. "Add one person lagi ya," katanya pada si waitress. "Itu aja, cukup."

"Terus, maksudnya tadi bagaimana Lin tentang ga akan bocor?"

"Ehem," aku mencoba merangkai kata, "Jadi gini Om. Tadi Tante dikasih tau temennya katanya ngeliat Om disini. Terus Olin disuruh ngecek, eh bener. Tadinya sih Olin mau laporin ke Tante aja, tapi kayaknya nanti bakal ribut-ribut jadinya. Yaudah, mending Olin ga kasih tau aja," jelasku.

Mendengar penjelasanku, Om Bondan dan si gadis terlihat lega. Tapi suasana masih canggung akibat kehadiranku, dan jadi kewajibanku mencairkan suasana lagi.

"Eh iya, kita belum kenalan. Aku Olin." Aku mengulurkan tangan kepada si gadis.

"Safira," sambutnya.

"Terus, abis ini mau kemana?"

Mereka berdua serentak diam. Loh, aku salah bertanya ya? "Mau check-in yaaaaa? Olin ikut dong, gabut nih ga ada kegiatan libur gini."

Saling berpandangan, mereka lalu menatap hangat padaku. Tersenyum lega, Om Bondan berkata, "Yakin Lin? Yasudah, nanti habis makan kita ke Amaris. Oke?"

"Tapi Olin cuma numpang rebahan aja kok. Ga akan ganggu kalian. Kalo gitu, Olin kasih tau Tante Indy dulu ya. Yah, mesti bohong deh ini." Lalu aku beranjak dari kursi, menuju bouffee untuk mengambil salad. "Sekalian makan, laper hehe."

========

Setelah menghubungi Tante Indy dan berusaha meyakinkan tante-tante seksi itu, bahwa suaminya tak ada di restoran yang dimaksud, Om Bondan memboyong aku dan Safira dengan Pajero Sport miliknya, meluncur menuju Hotel Amaris yang terletak di bilangan Kemang. Sengaja kutinggal Range Rover Om Bondan di parkiran mall, dan berkali-kali mengingatkannya untuk mengantarkanku kembali kesana. Maka, berangkatlah kami.

Perjalanan menuju Kemang diisi oleh keluhan Om Bondan tentang betapa macetnya Jalan Raya Terogong. Memangnya siapa yang suruh lewat jalur ini? Ekspektasinya, karena siang hari makanya tak mungkin jalur Terogong macet. Ah, manusia. Suka berekspektasi macam-macam. Berusaha meyakinkan diri lewat sugesti-sugesti yang dibuatnya sendiri; namun berubah kecewa ketika kenyataan tak sesuai harapan. Untungnya, aku sudah melatih diri untuk tak tenggelam dalam ekspektasi. Hal-hal yang kelihatannya remeh itu, yang justru akan menghancurkanmu perlahan.

Nah, untungnya, Om Bondan juga tahu diri. Aku pikir, dia akan membawa Safira ke apartemen pribadi kami berdua. Yah, untuk yang ini aku serius. Tak akan kuampuni dia jika berani memakai apartemen kami untuk bertukar lendir dengan perempuan lain.

Haaaah... suasana canggung ini hadir lagi. Di dalam mobil, hanya alunan musik dari radio yang terdengar--disamping celoteh bawel Om Bondan tentang macet yang berkepanjangan. Iseng, kuajak saja gadis yang duduk di kursi depan, tepat disamping Om Bondan ini, mengobrol. Sekedar basa-basi.

"Safira kuliah? Kerja?" tanyaku.

Gadis cantik itu seketika menengok ke belakang. Lalu sambil tersenyum, dia berkata, "Aku kuliah kok, tapi sambil kerja juga. Sambilan sih, jadi SPG Event gitu."

"Wah, sama dong. Aku juga kuliah, kebetulan freelance juga, tapi bukan SPG. Tapi lumayan lah, buat modal gaya hidup yang mahal di Jakarta," balasku, dengan maksud sekaligus menyindir Om Bondan.

Mungkin, karena kami sama-sama wanita, aku jadi bisa menebak-nebak apa yang ada di pikirannya. Mungkin, di benaknya aku ini gadis bawel yang sok kenal ke orang baru. Tapi bukan Olin namanya kalau ambil pusing dengan penilaian orang lain. Bodo amat, tercetak lebar-besar-tebal, mengisi halaman pertama kamusku.

Mungkin memang benar Safira berpikiran begitu terhadapku. Responnya terhadap kalimatku tadi terkesan datar, bahkan ingin menyudahi pembicaraan. Yah, jadilah suasana di dalam mobil kembali canggung. Sunyi, hanya di isi alunan lagu yang mengalun pelan.

Entah mengapa, bahkan musik paling hits sekalipun terdengar sumbang sekarang.

========
 
Untuk hotel bintang tiga, Amaris cukup memberikan fasilitas yang diatas standar. Desain kamarnya modern, kasurnya empuk dan selimutnya lembut. Apalagi ya? Ah, iya. Tak ada bellboy, jadi tak harus memberikan tip servis. Untuk sebuah hotel, kukira Amaris lebih seperti hotel transit daripada love hotel. Yang tidak nyaman disini hanya pandangan aneh dari banyak pasang mata ketika melihat satu om-om gendut check-in bersama dua gadis cantik.

Aku cantik? Iya dong. Memangnya kalian selama ini hanya melihatku dari sisi binalnya saja, gitu?

Kami dapat kamar bernomor 502. Setelah masuk dan menempatkan passcard di soket untuk mengaktifkan instalasi listrik, aku segera melemparkan tas kecilku ke ranjang, lalu ikut merebahkan diri di atasnya. Sementara Om Bondan duduk di tepi ranjang, Safira menarik satu kursi lalu menempatkan pantatnya disana--terlihat canggung dan gelisah, karena beberapa kali menggigit bibirnya dan menarik nafas panjang.

Sengaja kubiarkan belahan dadaku ini terekspos jelas untuk disantap mata Om Bondan. Biar dia membandingkan, lebih menggiurkan mana asetku ini atau milik dia yang standar itu. Aku yang pura-pura cuek malah sengaja mengutak-atik ponselku, sambil sesekali melirik ke arah mereka. Ah, tapi sepertinya Om Bondan lebih tertarik dengan barang baru itu.

"Hmm, Safira mau langsung atau...?" begitu tanyanya. Agak terkesan mesum sih ya.

Yang ditanya hanya mengangguk canggung, lalu mendekati Om Bondan. Kedua tangannya saling mengepal, dan dia mendekati Om Bondan dengan ragu-ragu. Makin terlihatlah ekspresi tegangnya ketika berdekatan dengan si Om. Menyadari Safira sedang tegang, Om Bondan meraih kedua tangannya--menggenggamnya erat.

"Iya... iya... Om ngerti. Pengalaman pertama ya?"

Loh, gadis ini masih perawan? Astaga, Om....

"Loh, Safira belum pernah begituan?" tanyaku spontan. Tapi dijawab Safira dengan menggelengkan kepala.

"Udah, tapi ini... pertama kalinya... sama bukan pacar. Aku... grogi...."

Ih, manis. Melihat sikapnya yang canggung dan polos itu, darahku seketika berdesir. Pikiran macam-macam pun serentak memenuhi kepalaku. Yang begini ini yang bisa 'diolah', macamnya Dinda, pfft. Tunggu, tunggu. Aku terangsang dengan perempuan tanpa lebih dulu distimulasi? Aku pasti sudah jadi lesbi sejati sekarang.

Ini gara-gara Dinda dan Tante Indy!

Sementara Om Bondan terus melancarkan modus tingkat kecamatannya untuk membuat Safira lebih santai, aku memikirkan ide lain. Loh, kenapa aku mesti ikut-ikutan bantu si Om? Harusnya biarkan dia berusaha sendiri. Tapi karena Olin ini selain cantik, seksi, pintar juga baik hati dan suka menolong, maka kuputuskan untuk membantu dia saja.

"Safira suka minum?" tanyaku.

"Ngg... ga begitu. Tapi masuk kok," jawabnya.

Siplah. Aku pun langsung turun ke lobby, lalu keluar menuju supermarket yang terletak disamping. Ditengah larangan menjual alkohol di pasar swalayan di Jakarta, entah mengapa aku bisa menemukan minuman beralkohol rendah disini. Ini kudapati ketika tadi membeli air mineral disini. Aku lalu mengambil beberapa botol Smirnoff, Mix Max, dan Black Jack. Setelah membayar, aku segera menuju lagi ke kamar. Yeah, disana... Om Bondan masih sibuk menyerang Safira dengan modusnya.

"Mending kita minum dulu, biar lebih santai yaaaa~~~"

Aku membuka beberapa botol, khusus untukku dan Safira. Minuman semacam ini memang tak akan membuat mabuk, tapi cukup membuat badan hangat, jadi bisa rileks. Kusarankan saja Om Bondan untuk mandi, kalau bisa selama mungkin, sementara aku mengajak ngobrol Safira untuk menghilangkan tegang.

Om, selesai ini, aku mau minta jatah bulanan tiga kali lipat!

"Safira punya pacar?" tanyaku, disela obrolan kami.

Gadis ini mengangguk. "Punya, tapi lagi ada masalah jadi kami akhir-akhir ini minim komunikasi," jawabnya.

"Kenapa gitu, kalau boleh tau?"

"Dia... lagi sibuk kerja."

"Terus kerjanya apa?"

"Jadi office boy di Arcadia. Itu, yang di jalan Simatupang."

Wow. Gadis secantik dia, mau pacaran dengan office boy? Rasanya sulit dipercaya. Ah, mumpung Om Bondan masih lama mandinya, kukorek saja informasi dari Safira lebih dalam lagi.

"Pasti kamu kecewa sama dia ya, karena lebih mentingin kerja daripada perhatian sama kamu. Makanya kamu coba-coba begini."

Kali ini Safira menggeleng. "Bukan, justru karena aku sayang sama dia, makanya... aku rela ngelakuin ini. Dia.... punya banyak hutang, makanya aku bantu."

Tsk, beruntung sekali cowoknya ini. Punya pacar cantik, manis, baik dan rela berkorban. Sayang, pasangannya cuma orang yang punya banyak hutang dan pekerja kelas bawah. Duh hidup, kenapa harus selalu timpang?

Seiring larutnya obrolan kami, tegukan demi tegukan bergantian mengisi kerongkongan kami berdua. Wajahku sudah mulai panas akibat efek minuman, pun dengan wajah Safira. Dia yang semula seperti menjaga bicaranya, kini terlihat lebih santai; membiarkan apa yang ada di pikirannya keluar apa adanya.

"Kok kamu mau-maunya sih bantu cowok kamu itu? Perhatian juga engga, yang ada kamu malah berkorban buat dia. Menurut aku sih, itu--"

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Safira memotongnya dengan nada tinggi. "Dia itu baik! Cowok paling baik yang pernah aku kenal! Pulang kerja dia jadi driver go-jek sampe malem, kalau libur ambil lembur, ada kerjaan tambahan diambil tanpa pikir capek atau engga. Hampir semua gajinya untuk bayarin aku kuliah, bantu-bantu adik-adiknya, dan sekarang gara-gara orangtuanya hutang sama rentenir jadi dia harus kerja ekstra keras lagi untuk bayar hutang berikut bunganya! Terus, kamu pikir aku mesti diem aja? Kamu...."

Dia... tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Terputus karena air mata yang mengalir turun lewati pipi. Di depanku, kini duduk seorang gadis yang hanya dengan menatap matanya saja, aku seperti dijelaskan makna kesedihan yang sebenarnya.

"Kamu ga akan ngerti... hidup macam apa yang kami jalani...."

Hidup ya. Aku seperti disadarkan lagi, caraku memandang hidup sebelum pindah ke rumah Om Bondan. Selepas kepergian Bunda, aku yang masih kecil harus hidup menderita bersama Ayah. Definisi derita kami pun berbeda; Ayah yang menderita fisik karena harus bekerja mati-matian demi menghidupiku dan mencukupkan pendidikanku, sementara aku yang menderita batin karena harus melihat Ayah berkorban untukku sedangkan aku hanya bisa diam.

Maka, mulai saat itu kuputuskan untuk menjadi kebanggaannya. Kelas dua, nilai-nilaiku melonjak drastis. Aku mendapat peringkat pertama setiap rapor dibagikan. Aku merajai puncak peringkat di Sekolah Dasar selama lima tahun. Lulus SD dengan nilai terbaik, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke SMP unggulan. Terus menjadi kebanggaannya sampai masuk SMA. Kubayar pengorbanan Ayah dengan prestasi--hanya demi menyenangkannya. Mulai masuk SMA, aku yang memasuki masa pubertas mulai dilirik banyak cowok disana. Juga didorong rasa penasaran, aku merelakan keperawananku diambil mantan satu sekolah waktu itu. Efeknya, aku menjadi ketagihan. Aku jadi seorang hiperseks--bahkan maniak. Hari-hariku di isi kegiatan mesum bersamanya. Melupakan tujuan awalku. Akibatnya, prestasiku anjlok.

Tapi tak kulihat ada ekspresi kecewa di wajah Ayah ketika mengambil rapor. Katanya, sudah naik kelas saja dia bersyukur sekali. Tambahnya lagi, mungkin aku butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan SMA yang benar-benar beda dengan SMP atau SD. Ya, dia memaklumi.

Waktu itu, tak ada yang membuat hatiku lebih teriris daripada senyum tulus di wajahnya yang semakin menua.

Maka kuputuskan untuk menjadi kebanggaannya lagi. Kutahan nafsuku mati-matian, dan kulampiaskan hanya pada hari libur. Aku jadi bisa mengontrol nafsuku yang besar ini, tanpa melupakan tugasku untuk belajar. Kujalani dua sisi hidupku dengan sebaik-baiknya; menjadi pelajar berprestasi dan juga gadis binal. Ayah tak pernah memintaku menjadi yang terbaik. Tapi menurutku, inilah balasan untuk semua pengorbanannya. He really deserved it.

Jadi, Safira... mungkin cara kita memandang hidup berbeda. Tapi kita punya kemiripan, yaitu sama-sama berjuang. Kepintaranku ditukar dengan waktu, karena jenius sekalipun percuma jika tak disertai kerja keras. Aku belajar jauh lebih keras dari orang seusiaku, dan mesti menahan perih di hati tiap kali menyaksikan sendiri bagaimana Ayah berjuang untukku. Ya, aku dan Ayah sama-sama berjuang, demi sedikit harapan untuk merubah keadaan jadi lebih baik.

Tapi entah kenapa aku lupa bagaimana aku dibesarkan ketika mulai tinggal dengan Om Bondan sekeluarga. Mereka kaya raya, jelas. Kekayaan mereka menunjang kebutuhan, keinginan-keinginanku, lalu gaya hidupku. Sedikit demi sedikit, racun hedonisme menular ke diri ini. Aku perlahan lupa diri. Lupa dari mana aku berasal. Lupa bahwa hidup itu tentang berjuang; lebih memilih cara praktis dengan mengangkang.

Dan sayangnya, sejak kapan aku menilai orang dari apa yang tampak di luarnya? Sejak kapan aku menakar seseorang dari profesinya? Dari isi dompetnya? Dari materi? Sejak kapan aku jadi orang yang merasa bahwa hidup harus berafiliasi dengan angka berseri?

Aku menatap cermin panjang yang menempel di dinding, lama. Rambut yang dicat, wajah yang dirias, pakaian bagus dan mahal--jadi Olin yang cantik dan terurus dengan baik. Olin yang baru, tapi tak kukenal sama sekali. Olin yang berbeda, namun kehilangan makna.

Aku kembali tersadar, hidup bukan tentang gaya. Bukan pencitraan. Bukan tampak luar. Bukan hal-hal remeh macam itu. Hidup adalah tentang mengerti esensinya. Tentang berjuang demi sesuatu yang berharga. Tentang mempertahankan apa yang semestinya. Tentang meraih bahagia, bukan kesenangan semata.

Lucu. Olin, seberapa jauh dirimu tersesat?

"Olin... kenapa bengong?" tanya Safira menyadarkan lamunanku.

Aku menatapnya. Kini Safira sudah menyeka air matanya, namun matanya tetap sayu--tanda efek alkohol yang semakin naik ke kepala. "Kamu bahas tentang hidup, aku jadi kepikiran masa lalu, ahaha," jawabku, jujur.

"Maaf ya, kalo kata-kata aku...."

"Ah, daripada begitu," aku menyenggol lengannya, "Kamu yakin masih mau ngelakuin ini?"

Safira mengangguk. Well, memang ada harga yang harus dibayar sebuah pengorbanan. Tapi, kupastikan kamu akan mendapat hasil yang setimpal.

Lalu aku berdiri, dan mulai melucuti pakaianku sendiri. Sekarang aku benar-benar polos, berdiri di hadapan Safira. Terlepas dari wajahnya yang sedikit tercengang memandangi tubuh *******, aku juga bisa merasakan keheranan darinya.

"Aku mau 'main' duluan sama si Om. Siapa tau suasananya jadi lebih santai, terus kamu jadi siap deh. Gimanapun juga, kan ga enak kalo 'main' dengan terpaksa," kataku.

"Tapi... kamu... sama Om kamu sendiri?"

Aku tersenyum padanya. Senyum dipaksa. "Ga apa-apa, udah biasa kok. Aku emang cewek kayak gitu, beda sama kamu."

Aku lalu mengetuk pintu kamar mandi. Saat Om Bondan membuka pintu, dia hampir selesai mandi dan hanya melilitkan handuk di pinggang. Yah, dia juga cukup heran mengapa aku yang telanjang tapi bukan Safira. Makanya, segera saja kutarik lengannya lalu mendorongnya ke kasur. Om Bondan merebah pasrah di ranjang, dan dengan cepat tanganku menyingkap handuknya. Kini di depan wajahku terpampang nyata penisnya yang gemuk itu--setengah berdiri.

"Om, Olin duluan yaaaaa~~~"

Tanpa menunggu respon dari Om Bondan, aku mencaplok penisnya yang masih setengah bangun. Kumainkan saja lidahku menyapu seluruh batangnya, dan seketika penis itu menegang sempurna di dalam mulutku. Lalu kurapatkan bibirku, sambil kepala naik-turun mengurut penisnya. Ketika kulumanku semakin dalam, kukombinasikan dengan hisapan dan sapuan lidah--membuat Om Bondan menggelinjang karenanya.

Terus kulakukan blowjob padanya sampai sekitar lima menit. Memacu birahi Om Bondan sekaligus birahiku sendiri. Posisiku yang menungging ini, membuat tubuhku meliuk bagai busur panah. Aksiku mengoral penisnya bagai seorang gadis maniak yang butuh penis lelaki. Kujilati setiap bagian kemaluannya, jika aku sedang menjilati dan mengemut bola kembarnya, maka satu tanganku sibuk mengocok batang penisnya dan jari telunjuk tangan satunya bermain-main dengan mulut penisnya. Atau ketika aku kembali mengulum batang tebal itu, maka kesepuluh jemariku aktif menggelitik bola kembarnya. Hal ini kulakukan terus menerus sampai kurasa penisnya berada di puncak ketegangannya.

"Tahan dulu ya Om, nanti dikasih yang enak-enak sama Safira deh," rayuku.

Lalu aku berhenti mengoral penisnya, dan beranjak ke Safira. Berbisik di telinganya, kubilang bahwa sekarang saatnya. Yang perlu dia lakukan hanya menggoyang penis Om Bondan dalam posisi WOT. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kuajak dia bangun, lalu ku arahkan agar berdiri berhadap-hadapan dengan Om Bondan yang merebah di ranjang. Safira berdiri di tepinya. Dari belakang, aku melucuti celana dalamnya. Pelan, mulai dari pantat, turun ke paha, lutut, dan tubuhku ikut berjongkok seiring celananya yang semakin turun. Lalu sekilas kulirik kemaluannya. Owh, sudah basah. Terlihat mengkilap. Ini akan mudah.

Safira masih enggan telanjang di depan Om Bondan. Tapi tak apa, sack dress yang dipakainya cukup memudahkan Safira menggoyang penis si Om tanpa harus membuka pakaian. Perlahan, dia menaiki ranjang, lalu tubuh Om Bondan. Didera gemetar, Safira perlahan menempatkan posisi selangkangannya tepat di atas penis Om Bondan. Tubuhnya semakin bergetar, ketika kepala penis Om Bondan mencium bibir kemaluannya.

Penis asing yang akan masuk ke sana, selain punya pacarnya.

"Kalo grogi, tutup mata aja. Nanti aku arahin kok," bisikku dari belakang.

Safira mengikuti intruksiku. Dia memejamkan mata. Lalu kupegangi kedua sisi pinggangnya, dan dia langsung mencengkeram kedua lenganku. Aku sedikit tertawa. Ini sih benar-benar amatir. Mungkin Om Bondan ingin merasakan sensasi 'main' dengan amatir semacam Safira. Ckckck.

Kuarahkan agar pinggangnya semakin turun ke bawah. Perlahan... sedikit demi sedikit. Safira tak kuasa menahan lenguhannya. Sepertinya penis itu mulai masuk. Entah, aku tak bisa melihat jelas. Kutekan lagi pinggangnya agar semakin turun. Mulanya, Safira menahanku. Gemetar di tubuhnya makin hebat. Kucoba saja untuk membuatnya lebih santai. Aku mengecup tengkuknya, lalu memberi kecupan-kecupan intens yang menjalar sampai ke belakang telinga.

Hey, semua wanita sensitif di daerah itu.

"Uunnghhh... Olin...."

"Santai... santai... nikmatin aja. Jangan buka mata ya... coba dirasain...."

Kecupan-kecupanku kuiringi dengan tekanan pada pinggangnya agar lebih turun lagi. Dan whops, hasilnya jadi jauh lebih mudah! Safira menduduki pinggang Om Bondan seutuhnya, tanda penis si Om sudah masuk penuh. Safira spontan berteriak, tapi buru-buru kubekap. Nah, masuk ke sesi selanjutnya.

"Santai, Fira. Diemin dulu, pasti kaget ya? Diem dulu, kalo udah siap baru goyang," bisikku. Lalu aku bertanya pada Om Bondan, "Gimana Om rasanya?"

"Sempit Lin... rasanya seperti dipijat gitu."

"Enakan mana sama punya Olin?"

Om Bondan mengernyit. "Ah, jangan tanya itu. Nanti kamu ngambek, Om ga dikasih jatah lagi," balasnya.

Tubuh Safira kembali bergetar hebat, bahkan yang lebih buruknya, dia menangis. Meski berusaha ditahan, tapi bulir-bulir air mata itu tak kuasa mengalir lagi di pipinya. Ah, pasti pengalaman yang buruk buat kamu ya. Maka, tugasku untuk membujuknya.

"Safira," bisikku, begitu dekat di telinganya. "Jangan buka mata ya. Jangan. Kalo kamu tutup mata, kamu jadi lebih gampang bayangin hal-hal yang kamu pengen. Sekarang," aku kembali memegang pinggangnya, "Coba kamu bayangin lagi 'main' sama pacar kamu. Ya ga akan sama sih rasanya, tapi bayangin aja."

Sedikit demi sedikit, kuarahkan pinggang Safira untuk bergoyang maju-mundur. Sedikit... demi... sedikit. "Bayangin... pacar kamu lagi ada masalah, dan ini satu-satunya cara yang kamu bisa supaya nyenengin dia. Bayangin, kamu lagi naikin dia... dan dia nunggu kamu goyang. Gausah buru-buru...."

"Hnngghh... iya... hmmp..."

Mulanya, aku masih mengarahkannya lewat kedua tanganku. Kuarahkan dia untuk bergoyang maju dan mundur. Pelan saja, tak usah buru-buru. Kubuat pinggulnya berayun maju, lalu diam sebentar. Kutarik lagi ke belakang, lalu kudiamkan lagi. Seiring arahanku, Safira juga mengeluarkan desahan-desahan erotis nan polos yang membakar birahi.

"Haaahh... go...yang.... Ma...maju... mundur... aahhh... nngghhh...."

Sip, gitu. Sedikit demi sedikit kupercepat arahanku. Makin cepat. Lebih cepat lagi. Sampai pinggulnya menyentak tiap kali bergoyang maju dan mundur. Lalu pelan-pelan kulepas tanganku dari pinggangnya. Biarkan dia mulai bergoyang sendiri.

"Ooohhh... oohhh... enak sayanghh? Enak...? Hnngghh... aauuuhh... yang, hhh... kangen... aaahhh... ahhh... kangen yangghh...."

Aku melirik ke arah Om Bondan. Dia mengacungkan jempol padaku, disela sensasi nikmat yang menderanya lewat goyangan Safira. Matanya menutup dan membuka, mulutnya berkali-kali kedapatan mengeluarkan desahan pelan. Haduuuh, Om mesum satu ini....

Duh, aku yang tak kebagian peran kini bengong. Sementara Om Bondan dan Safira saling memacu birahi, terus aku mesti apa? Duduk bersila di belakang Safira, aku memperhatikan bagaimana punggung Safira meliuk-liuk tiap kali menggoyang penis Om Bondan. Loh, terus aku ngapain?

Entah kenapa, aku malah jadi iseng bermain dengan buah dadaku. Kutadahkan daging besar nan kenyal ini di kedua telapak tanganku, menggoyang-goyangkannya ke atas. Mereka bergerak indah, menyundul-nyundul lalu jatuh ke bawah. Kutaksir beratnya. Kukira... ini cukup berat. Tak heran kalau aku sering merasakan pegal di pundak dan punggung. Lagipula, mereka tambah besar. Aku takut ukurannya akan bertambah satu huruf nanti. 36DD, eh ada ga ya? Atau malah jadi 36E, lalu jadi F, G....

No, no, no. Biarkan tetap segini. Aku tak mau tambah besar lagi!

Dan tololnya, aku malah menaksir buah dadaku sementara dua orang di depanku ini malah sedang asik-asiknya bercinta. Sebenarnya, entah kenapa ada hasrat ingin menggerayangi Safira. Kenapa bukan Om Bondan? Nah itu dia. Aku juga tak tahu kenapa. Apa aku semakin paten jadi lesbi sejati?

Tahan. Tahan. Tahan. Ayo Olin, tahan.

...

Bodo amat deh.

Tanganku kini mendarat lagi di pinggangnya. Tapi cuma sebentar, karena baik tangan kiri dan kananku punya tujuan akhir masing-masing. Tangan kiriku menjalar ke arah kemaluannya, sementara tangan kananku masuk ke dress Safira, bergerilya sampai mendarat di dada. Hnngg, dadanya tak besar sih, tapi tak kecil juga. Pas di tangan. Kuremas-remas pelan, menimbulkan desahan yang makin keras terdengar. Tapi ketika tangan kiriku menyentuh ujung bibir kemaluannya....

"Kyaaaaahhh! Hammpff---"

Fyuh, tangan kananku spontan membekap mulutnya. Tapi goyangan Safira kini melambat, dan Om Bondan tak suka ini. Yaelah Om, aku lagi?

"Fira... Fira... ssttt," bisikku pelan. "Kamu nurut aja ya. Diem, nikmatin. Tangan aku ga nakal kok, cuma... sedikit iseng. Biarin aja ya. Daripada... pacar kamu aku 'naikin' kayak gini, pilih mana?"

Masih dengan mata terpejam, Safira mengangguk. Wow, dia sepertinya benar-benar larut dalam khayalannya. Makanya, tanganku bisa bebas menjelajah sekarang. Tangan kiriku mencari-cari klitoris Safira yang tersembunyi. Agak susah sih, hhngg... nah ini dia, ketemu.

"Aauuuuhhh! Hhhaaaa.... aaanngghh.... ge-geli... hhnngg... aaahh," desahnya, ketika kugosok-gosok pelan klitorisnya.

Tangan kananku juga tak lupa dengan tugasnya. Langsung kusingkap bra yang dipakai Safira ke atas. Yuhuuu, buah dada proporsionalnya kini terbebas. Bergantian, kuremas-remas sambil sesekali kupilin puting susunya. Safira semakin menggelinjang. Goyangannya makin cepat, tak terkendali. Nah, aku punya ide lain.

Aku menduduki sebelah paha Om Bondan. Kemaluanku yang sudah basah dari tadi membuat permukaan kulit yang kududuki jadi licin--memudahkanku untuk menggesekkan kemaluanku dengan pahanya. Lalu tangan kiriku kembali aktif merangsang klitorisnya, sementara tangan kananku sibuk menyingkap dress Safira. Ah ribet kalau harus memegangi pakaiannya, jadi aku menyelusup masuk ke dalam dress. Kujilati sisi samping payudaranya, menjalar sampai ke pusat. Lidahku pun sampai ke putingnya, lalu... hap!

"Hhhaaannngghhh! Aaahhh... aahhh... e...enakk... oohh aahh... enak... hhnngg... aah... ahh...."

Tubuh Safira semakin liar bergerak-gerak maju dan mundur, malah kali ini melakukan goyangan memutar secara acak. Desahan-desahan nyaring pun keluar tanpa bisa direm bibirnya. Aku membayangkan bagaimana kemaluannya begitu menikmati penis Om Bondan yang mengganjal di dalam sana, membuatku menggesek-gesekkan kemaluanku pada pahanya lebih giat lagi. Uuhhh, geli dibawah sana. Enak. Enak banget. Tangan kiriku makin aktif memilin-milin klitoris Safira, sementara tangan kananku meremas-remas payudara kanannya dan mulutku tak henti-hentinya menghisap puting payudara kirinya.

Oh, oh. Aku ada ide lain!

"Aaahhh... aaahhh... geli... enak... yang... Fira kangen... enak yanghh... enak... dalem... auhh... sayanghh... hhngghh aahh aahh... aaaahhh... yang, yaaaang...."

Desahannya makin liar! Nah, dengan ini akan kuantarkan kamu ke puncak kenikmatan. Aku segera merentangkan tangan kananku, lalu dalam hitungan satu, dua, ti....

PLAK!

"AAAAAAAHHHHHHHH... HAAAAHHH... HHHAAAAA.... AAAAAHHNNGG!"

Safira klimaks bersamaan ketika kutampar pantatnya. Tubuhnya menegang kaku, bergetar beberapa kali. Lalu aku keluar dari balik dressnya, dan melihat Om Bondan juga menegang. Whaa... om satu ini... hei, hei... jangan bilang...

Aku segera mendorong tubuh kaku Safira, tapi cengkeraman kedua tangan Om Bondan pada pinggangnya malah makin mempererat penisnya dengan kemaluan Safira. Om, Om... ja-jangan...

"HOOOOOHHHH OM KELUAAAARRRRHHH....!"

Shit. Safira yang tanpa perlawanan karena sedang menikmati sensasi klimaksnya, pasrah ketika Om Bondan mengeluarkan seluruh spermanya di dalam kemaluan gadis itu. Tubuh mereka sama-sama menegang, berteriak keras, lalu tubuh sintal Safira jatuh ke dada Om Bondan. Masih dengan penis yang tertancap di kemaluannya, Safira tanpa sadar memaju-mundurkan pinggulnya--meski perlahan. Sepertinya dia sedang berusaha mengais sisa-sisa kenikmatan.

Kukesampingkan kenyataan bahwa aku belum mendapatkan klimaksku. The situation getting fucked up right now. Kebiasaan Om Bondan yang bisa mendatangkan masalah: ejakulasi di dalam. Ya kalau terhadap Tante Indy sih tak masalah, lah dia istrinya. Kepadaku juga masih bisa kutolerir, karena bagaimanapun aku akan meminta tanggung jawabnya kalau aku hamil.

Tapi... kepada gadis yang bukan siapa-siapanya?

Belum habis kekagetanku, Safira spontan bangun. Dia beringsut menjauhi Om Bondan, sembunyi di belakangku. Tubuhnya masih lemas, aku tahu itu. Meski begitu, aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetar hebat. Seperti orang menggigil kedinginan.

"A-aku... apa yang... Olin... aku...."

Kata-katanya terputus. Lagi-lagi, Safira menangis. Kali ini tangis histeris, bagai pecah setelah selama ini sekuatnya ditahan. Yah, aku bisa mengerti kenapa. Dia mengkhianati pacarnya, itu saja sudah menyakitkan hati. Ditambah harus rela menukar harga diri demi materi. Sebutuhnya terhadap uang, tetap saja... ini terlalu menyedihkan. Lalu ada sperma laki-laki lain di kemaluannya, aku tak bisa membayangkan rasanya jadi Safira.

Pasti hidupnya terasa makin pahit sekarang.

"Wah, wah, ma-maaf Safira. O-Om... ga... se...."

Kupelototi dia. Aku bersumpah akan meremas batang nakalnya ini. Ah iya, salahku juga. Kenapa tadi tak kubelikan kondom saja untuk mencegah hal seperti ini?

"Om, keluar dulu deh."

"I-iya, tapi...."

Tapi apa sih? Kupelintir saja penisnya, dan pria gendut ini langsung mengaduh. Sakit ya? Perasaan wanita yang hancur jauh lebih sakit dari ini.

"I-iya, Om keluar dulu! Tapi aw aw! Om pakai baju duluuuuuu! Awawawawaw!"

"Cepetan sana!"

Setelah Om Bondan memakai baju dan meninggalkan kami berdua, kutenangkan Safira. Aku biarkan dia menangis sepuasnya, sesenggukan di pelukanku. Menangis saja, sampai puas. Sampai lega. Sampai semua beban itu terasa lebih ringan. Kuusap rambutnya, lembut dan penuh perasaan.

"Aku ngerti... aku ngerti rasanya. Maaf, karena gara-gara aku juga..."

Agak aneh rasanya, gadis telanjang sedang berusaha menenangkan gadis lain yang habis menikmati permainan birahi. Tapi apalah arti nafsu jika perasaan sudah berontak. Apa arti norma, mana yang pantas dan tidak; jika hati sudah mengambil kuasa.

Aku memandangi cermin. Melihat tubuh telanjangku memeluk tubuh mungil Safira. Tubuh. Yang kulihat berikutnya bukan itu. Bukan rupa fisik. Ada dua hati yang sama-sama rapuh. Hati Safira sedemikian rapuh sampai sentuhan kecil bisa menghancurkannya. Sementara hatiku, tinggal tunggu waktu saja.

Hidup. Sebegitu menyedihkannya kah kehidupan itu? Sampai berkorban dan berjuang jadi terasa amat menyakitkan? Lalu apa inti dari semua ini? Apa hasilnya akan setimpal dengan usaha dan pengorbanannya?

Tunggu. Kita yang membuatnya berharga. Kita yang membuat sebuah hasil seberharga pengorbanannya. Kalau begitu, aku bisa membuat pengorbanannya jadi berharga kan?

"Fira... tenang ya. Kalo kamu takut hamil, aku ada pil KB. Aku selalu bawa kok, untuk jaga-jaga. Nanti langsung diminum ya, biar ga kejadian. Oh iya," aku memeluknya sangat erat, "Aku pastiin, kamu dapet hasil yang setimpal sama apa yang kamu lakuin sekarang ini."

Kutatap lagi wajahnya. Safira agak menunduk malu, membiarkan rambutnya menjuntai lemas tutupi sebagian wajahnya. Tapi bahkan aku tahu. Mataku kini bisa melihat apa yang ada dibalik untaian rambutnya. Di iringi tangis, ada senyum yang susah payah dia kembangkan.

========
 
Om Bondan mengantarkan kami kembali ke Pondok Indah Mall. Meski arah balik hanya diisi diam diantara kami, Om Bondan masih saja berusaha mencairkan suasana dengan lelucon garingnya. Tak ada yang berhasil. Mustahil tertawa dengan lelucon kadaluwarsa seperti itu.

"Safira, turun duluan aja. Aku mau ngomong dulu sama si Om ini," kataku padanya ketika mobil yang kami tumpangi telah sampai di parkir B2.

Safira menurut. Dia turun lebih dulu, setelah sebelumnya diberi tips beberapa belas lembar uang seratus ribuan dari Om Bondan. Kutaksir jumlahnya sekitar satu jutaan. Om Bondan juga bilang bahwa fee nya telah ditransfer ke rekening Safira dengan jumlah dua kali lipat. Safira tak lupa mengucapkan terima kasih, meski canggung. Lalu gadis itu keluar dari mobil, dan menuju eskalator--menungguku. Aku sudah bilang, akan mengantarkannya pulang nanti.

"Om, Olin mau minta uang bulanan!" desakku.

"Loh, loh. Bukannya sudah kemarin itu? Kok minta lagi?"

"Ini buat biaya tutup mulut, biaya bantuin Om, sama biaya ketauan nakal ke cewek selain Olin. Oh iya, sama biaya KENTANG! Olin minta uang bulanan lagi, jumlahnya empat kali lipat!"

Om Bondan tertawa terbahak-bahak. Ish, aku serius... tapi dia malah tertawa begini?

"Oke, oke. Nanti Om transfer ya. Dan soal kentang... kamu mau dituntaskan disini?"

"ENGGA YA. GA ADA TUNTAS-TUNTASAN. Terus transfernya disini, Olin mau liat sendiri."

Sedikit menghela nafas, Om Bondan meraih ponselnya. Kemudian mengambil token biru di laci dashboard. Sambil melakukan proses transfer via i-Banking, aku menanyakan sesuatu padanya.

"Om, kenal sama Safira dimana?"

"Hmm... ada dari kenalan Om. Penyalur SPG nakal gitu. Om tertarik sama dia karena katanya 'barang baru'. Yah, lumayan sih. Kenapa memangnya?"

"Om ga tau dia begitu karena alesan apa?"

"Tau kok. Dia mau bantu pacarnya lunasin hutang ke rentenir. Gadis baik. Jarang ada gadis macam itu di jaman sekarang ini," katanya sambil melirikku. Uh, aku merasa tersindir. "Kamu juga dulu seperti itu Lin, tapi dulu. Om makin ga kenal kamu yang sekarang. Jadi mata duitan sekarang mah."

"BODO AMAT. Lagian, Om ga punya rasa kasian apa? Harusnya kan--"

"Saya hanya mengajarkan apa artinya pengorbanan, Pauline," potongnya. Wh-wha... nada bicaranya serius sekarang. "Di dunia yang kewarasan dan kegilaannya campur aduk ini, orang harus dipaksa kuat. Lewat usaha-usaha, putar otak, bahkan pengorbanan. Saya hanya memberinya jalan, tak lebih dan tak kurang. Kebetulan, di jalan itu menganut konsep simbiosis mutualisme. Nafsu saya tersalurkan; dia dapat uang.

"Mungkin kamu belum mengerti sekarang. Tapi kalau kamu memilih berteman dengan Safira setelah semua ini, kamu akan lihat; dia akan jadi lebih kuat. Jauh lebih kuat dari yang bisa dibayangkan orang lain. Beberapa pengorbanan akan menempa mereka jadi pribadi yang lebih tegar menghadapi hidup ini. Karena manusia memang didesain untuk menjadi sekuat apapun yang mereka inginkan. Give it a try, shuuush... shuuush...."

Aku mencibir padanya. Entah harus merasa sebal atau kagum pada sikapnya ini. Tapi, untuk itulah aku menyelami ilmu sosiologi. Mengerti pola pikir tiap individu yang saling bercampur di ruang lingkup sosial yang kaya akan kemungkinan. Mencoba melihat lebih jauh, dari sekedar nafsu semata.

"Oh iya, ini mau Om transfer ya," katanya lagi.

Aku buru-buru mencegahnya. "Bukan ke rekening Olin, Om. Tapi ke rekening Safira, hehe. Ga apa-apa ya?"

Mendengarnya, Om Bondan hanya tersenyum sekilas padaku. Di wajah tua yang akhir-akhir ini selalu terkesan mesum itu, ada kesan lain yang kutangkap darinya. Kesan seorang paman yang bangga pada keponakannya.

"Kamu masih belum berubah ternyata," katanya, singkat.

"I once was changed. But it takes one precious day to make me got back to where I used to be. Just, please don't judge me from how big my boobs are. What define me is in here," aku menunjuk kepalaku, "And here," lalu menunjuk tepat di titik paling tengah bagian dadaku. "Who I truly am lies deep inside beyond these boobs."

"Huh... you mean... cleavage?"

"IT'S HEART! YOU FUCKING MORON!" teriakku, sambil membanting pintu mobil dengan kerasnya. KZL.

Aku bersungut-sungut berjalan menuju Safira yang sedang menungguku. Benar-benar om-om gendut itu! Huh! Menyesal aku kagum padanya!

Kulihat dari kejauhan Safira sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang. Sepertinya, dia jadi lebih tenang sekarang. Well, better get going.

"Hey, lama ya?"

"Engga kok. Jadi nganter aku pulang?"

"Jadi dong. Oh iya, tadi nelpon siapa? Pacar?"

Eh, aku ini kenapa coba. Baru kenal tapi sudah kepo?! Omaigat, aku semakin dekat menjadi lesbi sejati, sepertinya. Atau, lebih enak dianggap biseks kali ya, pfft.

"Bukan, itu dari agensi. Besok aku ada event, jadi SPG. Lumayan buat tambah-tambahan."

"Pacar ga ngehubungin emang, Fira?"

Safira menggeleng, begitu pelan. "Belum sih hari ini. Kemarin juga. Tapi aku percaya, dia ga akan macem-macem disana."

"Kalo gitu, coba telepon aja. Kadang, cewek mesti mulai nanya kabar duluan tau."

Lagi-lagi Safira menggeleng dengan pelannya. "Bukan ga mau. Tapi ga bisa, Olin," balasnya, lirih.

"Loh, kenapa? Dia sibuk banget ya sampe ga bisa ditelepon gitu?"

"Ya itu juga, dan lagi...," Safira tersenyum padaku, "Dia bisu. Jadinya ga bisa jawab jelas meskipun aku telepon."

Langkahku seketika terhenti. Entah, aku merasa seperti ditusuk-tusuk jarum kecil-kecil, berkali-kali. Rasa sakitnya merayap perlahan, sampai menjadi begitu sakit ketika semakin kurasakan. Entah harus malu pada diri sendiri, merasa kagum padanya, atau tenggelam dalam rasa bersalah tak ada habisnya.

Hari ini aku belajar satu hal: cinta itu terkesan utopis, hanya ada di dongeng belaka. Tapi sebenarnya, cinta adalah realita; bagi mereka yang sedang mengalaminya. Cinta itu tulus. Materilah yang menodainya.

Safira, kapan aku punya orang yang bisa kuberikan segalanya dan dia akan memberikan segalanya untukku, sepertimu?
 
 
 
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar