Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 5 | Scandal

Resiko menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri yang jadi favorit dan berkualitas tinggi, adalah dengan siap akan segala tugas yang diberikan. Termasuk tugas-tugas yang datangnya keroyokan. Paper-paper yang tanggal deadline-nya hampir bersamaan itu membuatku stres, amat-sangat-stres. Bahkan, aku harus cancel semua jadwal nongkrong bareng teman-teman kampus. Yang paling parah, jadwal reuni kecil-kecilan juga harus aku batalkan.

Semua tekanan berbentuk tugas itu mencapai klimaksnya pada hari ini. Minggu pagi yang menyebalkan, dimana aku harus mengurung diri di kamarku untuk berkonsentrasi menggarap semua tugas ini. Aku bahkan harus melewatkan kesempatan liburan bersama keluarga Om Bondan, meski Dinda mati-matian berusaha mengajakku untuk ikut. Duh, maaf ya. Aku juga mau ikut, tapi nilai sempurnaku dipertaruhkan disini.

Kalian tahu, aku harus mempergunakan otakku agar suatu saat nanti aku tak harus selalu mengandalkan tubuh ini, demi mencapai apa yang aku mau.

"Eeeeerrrggghhh! Gue udah ga tahan lagi! Meni banyak pisan tugasnya!" Saking frustasinya, aku sampai mengacak-acak rambutku sendiri. "Bodo deh ah! Mau gegoleran aja! Sebodo amat sama tugas!"

Oh iya, aku baru ingat kalau belum mandi dari pagi. Tapi aku juga lapar, ish. Jadi, mandi atau makan dulu?

Seringkali, hasrat selalu lebih dominan dari menjalani kewajiban. Seperti hasrat minta disetubuhi, hasrat ingin memiliki sesuatu, dan lainnya. Mungkin Freud benar, manusia tak akan bisa lepas dari kebutuhan dasarnya untuk bergantung pada hasrat, naluri. Serupa binatang.

Rasa lapar yang meronta-ronta, memaksaku turun ke bawah. Ketika keluar kamar, kurasakan suasana yang berbeda dirumah ini. Sepi. Bukan berarti hari-hari lain suasananya ramai sih, tapi... ada perbedaan antara rumah yang ada penghuninya dan yang tidak. Suasana ini membuatku merasa kurang nyaman.

"Eh, Non Olin," sapa Asep, si tukang kebun.

Aku tahu, saat dia melihatku, yang terfokus di matanya itu adalah kedua buah dada besar ini. Aku juga tahu, bahwa akhir-akhir ini Asep memang sering curi-curi pandang ke arahku. Awalnya, aku agak risih akan matanya yang jelalatan itu. Tapi yah, aku juga harus ambil sisi positifnya: cowok kampung ini mengagumi tubuhku.

"Yang lain pada kemana, Sep?"

"Kan semuanya pergi, Non. Masa Non Olin ga tau?"

Dumbass! "Maksudnya, yang kerja dirumah ini pada kemana. Haaah, gitu aja ga ngerti Sep."

"Oh, Bi Nirah pergi belanja ke pasar sama Teh Retno, Neng Bunga mah ikut pergi sama Pak Bondan sekeluarga, Pak Moko juga, Teh Mala lagi ijin pulang kerumahnya, Pak Hildan mah lagi jaga di depan kan. Ada lagi yang mau ditanyain, Non?"

Oh, crap. Berarti aku cewek satu-satunya dirumah ini dong? Tinggal bersama dua laki-laki ini? Ah, sial. Aku jadi khawatir dengan keselamatan tubuhku. Bukan, bukan Pak Hildan yang kutakutkan; tapi cowok satu ini.

"Oh gitu. Yaudah makasih ya," jawabku singkat, lalu aku pergi menuju dapur.

Kubuka lemari es, untuk memastikan apa ada cemilan yang bisa kumakan. Nugget, bosen. Kentang goreng, nanti gendut. Bakso ikan, ga kenyang. Oh, ini ada eskrim. Tapi bukannya justru ini yang paling membuat gendut? Roti lapis, males buatnya. Kututup lemari esnya, percuma juga ga ada satupun yang memenuhi selera. Makanan instan semua.

Oh iya, kenapa ga delivery aja? Aku segera menuju ke ruang tamu, dimana telepon rumah berada. Tapi pesan apa? Ngg... ini aja deh.

Kutekan angka 14045 di tuts, dan dalam hitungan detik langsung tersambung ke si penerima. "Halo, saya mau pesen PaNas satu, minumnya teh botol aja, terus sama beef burger, french fries reguler lima, Mc Nugget, dan terakhir... Mc Flurry oreo."

Jangan heran tentang semua pesanan itu. Ya ya ya, aku tahu kok, semua yang kupesan ada di kulkas. Tapi ini masalah selera ya, ga bisa diganggu gugat. Harap maklum aja, namanya juga cewek.

Setelah kuberitahu alamat rumah ini, telepon kututup. Pesanan paling lama tiba sekitar setengah jam dari sekarang, dan selang waktunya baiknya kugunakan untuk mandi.

Iya, mandi-mandi lucuk gitu deh.


===


Tok tok tok.

Suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatianku dari mengeringkan rambut. Ih, drama sinetron banget sih; bisa pas aku baru selesai mandi terus ada yang mengetuk pintu. Maka, segera saja kubuka pintu, dan...

"Eh, Asep? Ada ap--"

Kalimatku tertunda, karena melihat Asep yang sedang melotot ke arahku, tepatnya ke... ups, astagaaaa, tubuhku hanya terlilitkan handuk yang cuma menutupi dada sampai ke paha! Olin bego, sembrono, kebiasaan sih suka keluar kamar cuma handukan aja kalau mau ke kamarnya Om Bondan atau Dinda! Duh, pantes tukang kebun ini melotot sampai segitunya!

"Woy, matanya nyantai aja dong!"

Asep tersentak kaget. Gelagapan, buru-buru dia buang muka. Ahaha, dia salah tingkah.

"I-itu Non, Pak Hildan telepon, ka-katanya... eh... anu... katanya ada deliperi. Non diminta kesana, eh gitu..."

"Oh, sip."

Kesal karena merasa ditelanjangi tatapannya, aku langsung banting pintu. Kukunci juga pintunya, untuk mewaspadai hal yang tidak-tidak. Segera saja kulemparkan handuk ke ranjang, dan kini tubuhku yang sintal ini tampak polos di depan cermin. Entah kenapa, aku suka sekali berlama-lama memandangi tubuhku ini lewat pantulan cermin. Ga tahu kagum atau gimana, aku suka ketika memandangi pantatku yang membulat sempurna, atau buah dadaku yang besar dengan puting yang berwarna merah agak kehitaman ini. Perutku rata kok, meski lekukan di pinggang belum meliuk sempurna. Yeah, at least, I've got this curvy body of mine; while other girl trying as fuck just to shape it. Tubuh yang sintal dan binal, teruntuk memuaskan hasrat dan nafsu siapapun yang menjamahnya.

Pathetic. Poor Olin.

"Oh iya, udah ditungguin sama Mas deliperinya."

Aku segera membuka lemari, lalu memilih sekiranya baju apa yang nyaman kupakai. Pilihanku jatuh pada kaus baseball hitam ukuran besar yang memang sengaja kubeli sebagai koleksi street wear. Well, enaknya, kaus ini juga nyaman dipakai dirumah sebagai pakaian santai. Ah, kelamaan. Segera kupakai kaus semi kemeja ini, lalu kukancingkan. Ukurannya yang panjang cukup menutupi sebagian paha sampai hampir lutut. Dan oops, aku hampir lupa memakai celana dalam.

And... done!

Aku segera keluar kamar, lalu menuruni tangga menuju lantai dasar. Karena malas dan juga lumayan jauh dari rumah ini ke pintu gerbang depan, maka aku gunakan sepeda listrik yang terparkir di teras. Well, jangan tanya kenapa ada sepeda listrik; untuk efisiensi, para pembantu dirumah ini menggunakan sepeda listrik untuk wara-wiri dari rumah ke gerbang. Jauh, serius. Mager kalau jalan kaki.

"Non Olin, kok belanjanya banyak banget?" tanya Pak Hildan begitu aku selesai membayar kepada si kurir.

"Laper Pak, sekalian stok buat nanti malem," jawabku. "Oh iya, Mbak Mala kapan pulangnya?"

"Ndak tau Non, belum ada kabar dianya. Oh iya, tadi ada info katanya mau ada pemadaman bergilir."

"Eh? Serius? Jam berapa?"

"Kurang tau Non, kemungkinan malam hari sih."

Shit, tugas-tugasku! Harus cepat-cepat digarap, eh... diselesaikan, maksudnya. Kalau digarap itu sih aku, hihi.

Gausah dijelaskan detailnya perjalanan pulang. Ini bukan seperti habis liburan penuh kesan. Ini cuma... ah, sudahlah. Otakku sepertinya mulai ribet dengan tugas, belum lagi soal pemadaman.

Kunaiki tangga cepat-cepat, lalu menutup pintu kamar. Oke, atas nama efisiensi, aku harus mengerjakan tugas-tugas ini diseling makan. Sip. Tugas, ayo kita bercumbu sampai puas.

Satu jam, dua jam, tiga jam... aku masih terfokus dengan tugas-tugas ini, dan hanya tinggal sedikit lagi sampai...

Ah, aku ngantuk. Tidur sebentar ga dosa kali ya.


===


"Mmhh..."

Aku terbangun. Sayup-sayup, kubuka mata sekaligus mengumpulkan kesadaran yang tercecer. Gelap. Sekelilingku gelap gulita. Oh, jadi selama aku tidur tadi sudah mulai pemadamannya ya? Harusnya aku menyiapkan lilin sebelum tidur tadi, jadi bisa ada penerangan alternatif. Ah, harus ambil lilin di dapur deh.

Tapi, tunggu. Aku merasa tak bebas bergerak! Kedua tanganku seperti direntangkan ke sudut-sudut ranjang dan dipegangi, atau... diikat? Iya, rasanya pergelangan tanganku seperti diikat tali atau semacamnya; menghalangiku untuk bebas bergerak. And oh, shit! Kakiku juga! Kedua kakiku merentang lebar dan terikat! Siapa sih yang berbuat iseng begini?!

"W-woy, yang bener aja! Ini gue diapain! WO--"

Kemudian serasa ada kain menyumpal mulutku, lalu terasa diikat kencang di tengkukku. Aku jadi tak bisa berteriak-teriak, hanya erangan kecil yang terdengar. Jelas, ada seseorang di kamar ini, tapi siapa?

"Hmmmphh... mmffhh... Hhnggghh!"

Aku meronta sekuat tenaga, tapi tetap saja tak bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan ini. Posisi yang tertelungkup dan terikat membentuk huruf X ini membuatku makin tak bisa leluasa. Apalagi, terasa ada beban yang menekan punggungku agar terus menempel dengan ranjang.

Ada orang disini! Ada orang disini! Ada orang disini! Ta-tapi, aku ga bisa melihat jelas siapa orangnya, ge-gelap, terlalu gelap... tapi, tapi... bisa kurasakan nafasnya yang menderu di belakangku. Laki-laki? Tapi siapa? Pak Hilman? Asep? Atau orang lain? Apa perampok?

Disaat ketakutan mendera dengan hebatnya, kurasakan tangan-tangan menjalar di sekitar dada. Mulanya hanya dari luar, diremas-remasnya buah dadaku, sedikit dicengkeram pelan namun kuat, lalu diremas lagi... tangan-tangan milik orang yang tak kukenal sama sekali. Aku berusaha berontak dengan bergoyang dan mengangkat tubuhku, namun malah membuat tangan-tangan ini makin leluasa menjamah payudaraku. Bahkan, kini tangannya makin berani dengan menyelusup setelah membuka kancing kausku, lancar menuju payudaraku yang... oh shit, aku lupa pakai bra tadi! Kedua telapak tangannya mendarat sempurna di payudaraku, dan langsung diremas-remas kuat seakan orang ini begitu gemas terhadapku. Malah, kadang putingnya dimainkan, ditarik-tarik, dipilin pelan, membuatku tak kuasa merasakan geli nikmat di daerah itu. Tapi rasa takut menghalangiku menikmati rangsangan ini sepenuhnya.

"Hhnngg... hiinnii... hhiaapphhaaa..."

Tak ada jawaban. Tangan-tangannya masih terus aktif menjamah buah dadaku. Dimainkan sampai aku mulai terangsang... sampai kukendurkan rontaanku... sampai tubuhku melemah dan lupa diri... sampai...

Tangan-tangan itu menarik diri dari buah dadaku, dan kini menjalar menuju punggung, terus turun sampai ke... kyaaaa, pantatku diremas! Berkali-kali pantatku diremas kasar dari luar kaus, lalu kurasakan kausku disibak dan kini pantatku diremas dari luar celana dalam.

Ditengah kepanikan ini, aku seperti sudah tahu kemana akhirnya; aku akan diperkosa. Aku akan diperkosa orang tak dikenal, dikamarku sendiri, ditengah kegelapan, dan aku tak berdaya melawan.

Keringat dingin mulai mengucur deras dari sekujur tubuhku. Bukan hanya karena takut memikirkan akan diperkosa, tapi juga karena sekarang masa suburku! Nalarku dengan cepat membuat kesimpulan, dalam situasi ini siapapun yang sedang menggerayangi tubuhku ini tidak akan perduli akan mengeluarkan spermanya dimana; dan itu beresiko tinggi!

Ketakutan kembali menyadarkanku, dan mengenyahkan nafsu yang sempat mengambil alih tadi. Aku kembali meronta-ronta, kini lebih hebat dari sebelumnya, tapi... AW! Pantatku ditampar keras-keras, membuatku menjerit tertahan. Tapi kesakitan ini tak berlangsung lama, karena kini kurasakan jemarinya sedang menggesek-gesek bibir kemaluanku dari luar celana dalam. Uuhhh... jangan disitu, geli.

"Hhnnngg... hhannghhannnhh...."

Jari-jarinya menggelitik bibir kemaluanku, bahkan dengan sengaja berputar-putar tepat dimana klitorisku berada. Aaaaahh, geli. Aku harus fokus, aku harus berusaha melawan, harus...

"Uuhh! Mmhhh... aaahh..."

Dia makin berani! Dia makin berani! Dia menyibak celana dalamku, lalu jari-jarinya bermain dengan bibir kemaluanku yang... oh no, mulai basah. Shit, bukan begini maksudnya! Jari-jarinya sepertinya sudah terampil; terbukti dengan menggesek naik-turun di bibir kemaluanku, terus begitu... sampai sekiranya kemaluanku cukup licin untuk...

"Aaaahhhh.... hhaanghhhaaannnhh... hhihh... hhituuuhh... mmhaassuukk..."

Satu jarinya perlahan masuk ke kemaluanku! Eh, eh, makin dalam... makin dalam... auuhh, uuhh, stop, stop, atau... atau... eh-eh, jarinya nakal! Jarinya nakal! Jarinya mengorek-ngorek dinding kemaluanku ke segala arah, maju-mundur, berputar-putar, dan ini membuatku... astaga, astaga, astaga! Satu lagi jarinya masuk!

"Hhoohh, hooohh, aahh, auuhh, ngghh... aahhh... huuuff... hoopphh, shhtoopphh..."

Rasa geli dibawah sana membuatku lupa diri begitu cepat. Aku malah mendesah-desah binal di hadapan pemerkosaku, gadis macam apa aku ini?! Tapi, tapi, kemaluanku yang dikocok-kocok cepat ini begitu nikmaaaaaaaat! Apalagi, ketika jari-jarinya secara bergantian mengorek-ngorek G-spotku, membuatku makin menggila! Aaahh shit, teruss... teruuuuss.... iyaahh, pinter ih, enak... hihi, enak banget!

"Oouuhhh... hhhoohhh... hoouuhhh... hhaahh... hhiyaahh... hiyaahhh... hiss... hhahuu... hihiiisss..."

Eh, kok berhenti? Orang ini serentak menghentikan kegiatannya merangsangku, tapi kenapaaaa? Aku hampir ada di puncak klimaks, dan dia berani-beraninya berhenti?! Segera saja kugoyangkan pantatku agar jari-jarinya yang masih ada di kemaluanku bisa tergesek dinding kemaluanku. Tapi dia malah semakin menggodanya dengan mencabut jari-jarinya! Oh damn, fffuuuuccckkk, terusin bangsat! Gue hampir nyampe tadi! Ah, anjing, ngehe, sialan!

Aku kembali meronta-ronta. Kali ini bukan karena menolak dijamah, tapi karena bingung bagaimana harus mengekspresikan rasa kesal ini. Aku meronta sekuatnya, tapi kedua tangannya kembali menahan punggungku. Terlanjur kesal, aku memilih untuk melawan, maka...

"Hyaaaaahhh! Hhihuu... hihahaaiinnn...."

Orang misterius ini merobek kasar celana dalamku, lalu setelah kemaluanku terekspos bebas, dia mencengkeram kedua bongkah pantatku. Dia bahkan membuka celah kemaluanku, dan bisa kurasakan nafasnya yang mendengus panas di bibir kemaluanku ini. Aku seperti pasrah dengan apa yang akan dilakukannya, kuhentikan rontaanku, dan...

Uuuhhh... lidahnya menyapu bibir kemaluanku pelan... teratur dari atas ke bawah, balik lagi ke atas, terus begitu... terus... membuat rasa nikmat itu menjalar lagi... hihi, nikmat... ooohh... sekarang lidahnya menusuk-nusuk berusaha masuk ke dalam kemaluanku. Keluar lagi, masuk lagi, keluar lagi, masuk lagi... eh, kali ini lidahnya bermain nakal di lubang kemaluanku, geli... geli... aku menggelinjang geli sehingga menggoyangkan pantatku seirama jilatan lidahnya yang menari liar di kemaluanku.

Duuuuh, sekarang satu jarinya menusuk-nusuk lubang pantatku, bersamaan dengan jilatan yang makin menjadi-jadi. Kenikmatan ini luar biasa, merangsangku perlahan namun pasti mulai mengantarkanku menuju puncak kenikmatan. Kali ini aku yakin, aku akan...

"Ooohhh, shiiittt! Eerrrggghh, hhaangghhaaann herrhenhhii!"

Dia kembali menghentikan aksinya! Bangsaaaaaat! Maunya apa sih ini orang?!

Dua kali aku gagal mencapai klimaks! DUA KALI! BAJINGAN! Aku yang tidak tahan lagi, makin gelap mata dan blingsatan. Aku berusaha menunggingkan pantatku, memancingnya agar memasukkan penisnya kesini, ke lubang nikmat yang telah basah ini. Ayodong, ga mau yang enak-enak apa?

Dituntun naluri, dia menindih tubuhku. Kedua tangannya sengaja mendarat di buah dadaku, lalu dimainkan payudara besar ini dengan cara diremas-remas pelan. Ah, gitu dong. Bersamaan dengan itu, kurasakan bahwa penisnya sedang berusaha menempatkan diri agar pas di bibir kemaluanku. Setelah kurasakan kepala penisnya berada di tengah bibir kemaluanku, dia mulai mendorong penisnya. Masuk... pelan... pelan... sampai kukira seperempat bagian lalu ditarik lagi sampai tercabut dari kemaluanku. Aku makin gila, kumundurkan pantatku meraih penisnya, seiring dengan penisnya yang kembali memasuki liang kemaluanku, dan tiba-tiba... DIA MENGHENTAK PENISNYA KUAT-KUAT MENUSUK KEMALUANKU SAMPAI DALAM!

Ahhh... itu enak banget, sumpah. Penisnya... uuhhh... lumayan besar, tebal. Shit, I might get addict to this cock.

Dia langsung menggenjot tubuhku dengan cepat, membuat desahan-desahan binal yang tertahan terdengar susul menyusul. Siapapun dia, orang ini pintar merangsang wanita. Dia bukan cuma fokus memompa kemaluanku, tapi juga merangsang buah dadaku sehingga aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sulit kutepis rasanya. Meski tubuhnya lumayan berat, namun kenikmatan yang dia berikan sanggup membuatku melupakan semuanya; situasi ini, siapa dia, apa yang dia lakukan padaku, atau... atau...

"Enhhoohhtt... ennhhoootthh... hhenaakk... uuhh uuhh, oohh, ohhh, hhyaaaa... hyaaahh... heruuusss..."

Yes, yes, yes, sedikit lagi, sedikit lagi, aku yakin kali ini aku akan berhasil mencapai klimaks. Ya, tinggal sedikit lagi... sedikit... lagi...

Dan dia berhenti memompaku.

"AAAAAARRRGGHHHHH!"

Aku membenamkan wajahku di ranjang. Entah harus berekspresi apa, tapi orang ini suka sekali melihatku menderita karena tak bisa mencapai klimaks! Lagipula, kenapa dia bisa tahu kapan aku mau orgasme? Keren banget orang ini.

Dia memompaku lagi. Lebih cepat dari yang tadi.

"Hooohh... hooohhh... herruusss... hanghhaannhh... herrhenhii... hanghhannn... henhootthh... hepet... hagii... hagii... aahhh, ahahh, aaaahh, uhhh yaa... yaaa... hiiyaaaaahhh~❤"

Dia berhenti lagi. Tepat ketika nafsuku sudah diubun-ubun. Kali ini aku tak peduli. Kugoyang pantatku agar bisa menggesek penisnya, tapi dia menekan pantatnya sehingga aku tak bisa leluasa menggoyang pantatku. SIALAAAAAAN!

Dia menggoyang tubuhku lagi. Kemudian disaat aku hampir mencapai klimaks, dia menghentikan goyangannya, lagi. Lalu begitu lagi. Lagi. Lagi. Terus sampai aku gila dibuatnya. Bisa kurasakan kemaluanku sudah begitu basah karena terus dirangsang tanpa pernah dipuaskan. Dan ini... menyiksa.

Dan entah kenapa, orang ini tiba-tiba membuka sumpalan kain di mulutku. Ah, bebas rasanya bisa menggerakkan bibirku lagi. Tapi kenapa ya? Oh, mungkin karena aku mulai lemas dan dia kira tak akan melakukan tindakan perlawanan lagi. Padahal dia belum tahu, satu-satunya tindakan perlawanan paling berbahaya dariku adalah....

"Aauuuhhh... digoyang lagi... ya?" tanyaku, disela desah nakal. Orang ini masih terus menindihku, tak membiarkanku menengok ke belakang. Dalam hati, aku merutuk sendiri kenapa pemadaman bisa begitu lama. Seandainya lampu menyala sekarang juga, aku jadi bisa tahu siapa yang berani-beraninya berbuat begini padaku.

Tapi pikiran-pikiran itu seketika buyar, berganti kenikmatan yang merayap menuju puncak lagi dibawah sana. Aku pun mendesah, mengerang, meracau asal merespon tiap hentakan dan sodokan penisnya di kemaluanku.

"Kali ini... hhmmm... jangan berenti... aahh, aahh... lagi dong... yhh... yaahh?"

Tapi si pemerkosaku ini masih tak menjawab. Dia masih asik menggenjot tubuhku dalam irama yang tak beraturan. Kadang pelan, kadang cepat. Sesekali lembut, lainnya brutal. Aku... ah, for god's sake, benar-benar menikmati sensasi ini.

"Yaahh... yahh... terus, terus... sodok yang dalem... ouuhhh, shittt... sedikit lagi, sedikit... yaaahh..."

Dia kembali menghentikan sodokannya. Bangsat kan? Tapi, penisnya masih tertancap di kemaluanku, dan meski tak bergerak, tapi orang ini membuat batang penisnya berdenyut-denyut di dalam sini. Ya, ya, aku tahu. Dia berusaha menggodaku. He's trying to make fun of me.

Jadi, kita lihat siapa yang menggoda siapa.

"Hnngghh... uhhh... nakal... banget, ya. Olin disiksa terus... uuhhh...." Sengaja aku mengejan agar otot-otot dinding kemaluanku menghimpit penisnya, sehingga menimbulkan sensasi pijitan di batang kerasnya itu. "Entotin... cepet... Olin udah ga kuat... ayodong. Oh iya, boleh... mmmhhh... pake Olin... sepuasnya, yaaa... apapun..."

Oops, rayuanku berbuah manis. Orang ini mulai menyodok kemaluanku lagi, mulanya pelan, lalu semakin cepat, makin cepat, sampai...

"Ahhh iyaahh, iyaaahh, gitu dooong... auuuhh, genjot teruss... entotin memek Olin terus... hhhaaaa.... aahh, ahh, oohh... ka...kalo, uuhh... kalo mau keluar... d-di... ahh ahh, di dalem ajaaa~❤"

Dan dia menggenjotku makin cepat, hihi.

"Di dalem yahhh... dalem... bikin Olin... aahh ahh, ahh... uhh yaa yaa, hhmmmpphh... hamil, ha...hamil... ahh, ahhh... hamilin Olin... pake Olin, sepuasnya... iyaahh, gituu... sodok yang kenceng! Duh, aahh, ahh... Olin mau pipiss... pipiss... aahh, jangan dicabut... ja-jangan, plisss... ayo keluar bareng... hamilin Olin, mau kan? Na-nanti... nantiii... kyaaaah! Nanti badan Olin makin semok... ka...kalo... lagi hamil... enak dipakenyaaahhh~~~~~~~❤"

Ow, ow, ow, ow, ow! Dia menyodokku makin cepat, dia menyodokku makin cepat, dia menyodokku makin cepat! Ayo, keluar, bareng. Keluar bareng. Keluar bareng. Jangan berhenti lagi. Terus, terus, terus, ayo terus. Sodok, iyahh, gitu. Aku disodok, ah, aduh... mentok, shit, mentok banget, mentok....

"NGGHHH... HHH... AAHHH AAHHH... PIPISS... PI-PIPIS... AUHHH... NYAAAAAAHHHHH.... OOOOOHHHHHH~~~~~~~~~❤❤❤"

Akhirnya, akhirnya, akhirnyaaaaaa! Sensasi gatal itu datang juga! Aku merasakan rasa geli bercampur nikmat dibawah sana, dan rasa itu berakumulasi menjadi semburan cairan bening yang mengucur deras dari lubang kencingku. Lalu, lalu... ASTAGA, INI SQUIRT PALING ENAK YANG PERNAH KURASAKAN! Cairan pipis mengucur berkali-kali, seiring tubuhku yang bergetar hebat dan mengejang terus menerus tanpa henti selama beberapa menit. Aku sampai harus membenamkan wajahku ke ranjang agar teriakanku tak menggema ke seantero rumah.

Oh my, oh my... the best squirt i have ever felt.

Ketika baru sadar dari efek sextacy, aku kembali digempur kenikmatan luar biasa karena sodokan-sodokan kerasnya mencium bibir rahimku. Ah, dia mau keluar. Shit, langsung ke rahim... langsung ke...

Dia membenamkan wajahnya ke tengkukku, menggigit leherku, sambil kedua tangannya mencengkeram keras kedua payudaraku. Puncaknya, orang ini membenamkan penisnya dalam-dalam di kemaluanku, dan bisa kurasakan ada sesuatu yang berdenyut-denyut di dalam sana sambil memuntahkan sesuatu. Uwaaah, spermanya menyembur langsung ke rahim. Dan karena kenikmatan yang dia berikan di puncak ejakulasinyalah, yang mengantarkanku menuju orgasme kedua.

"Nngghhhh... aaahh, oh, god... fuck... keluar... keluar... shit, shit, mampus deh gue... langsung... langsung... ke rahim... aaahhh.... ohhh.... iyaaaaaahhh~~~~~!"

Orgasme keduaku benar-benar menguras tenaga. Aku tertelungkup pasrah di atas ranjang, lemah dan tak berdaya, dengan seseorang menindih tubuhku dan penisnya menancap di kemaluanku. Nafas kami berdua tersengal, tapi tak butuh lama bagi orang ini untuk membuat penisnya mengeras lagi di kemaluanku. Akhirnya, kali ini aku kembali digempur tusukannya. Lagi.

Dia menggarapku berkali-kali. Bedanya, setelah ejakulasi pertamanya, orang ini jadi cepat ejakulasi. Bener deh, perbedaan durasinya jauh banget. Meski begitu, tak butuh waktu lama baginya untuk kembali 'keras'.

Ah, aku klimaks lagi.

Uh... kami klimaks bareng.

Lagi. Aku pipis lagi.

Dan lagi.

Lagi.

Aku lelah, tapi... klimaks lagi.

Dan saat ronde kesekian, lampu tiba-tiba menyala. Spontan, aku buru-buru menengok ke belakang untuk melihat siapa yang sedang menggarapku, tapi... aw, dia menahan kepalaku. Lalu dengan cepat orang ini menutup mataku dengan kain, lalu kembali menyetubuhiku.

"Aaahh... lemes... pake... sesukanya... gue... pake... aja... sesukanya... aahh... ya... gitu..."

Lalu, satu sodokan kuat mengakhiri semuanya. Untuk kesekian kali, dia mengeluarkan sisa-sisa spermanya di kemaluanku.

Aku yang lemas, tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Masalah gimana membuka semua ikatan ini, itu urusan nanti. Yang jelas, aku butuh istirahat astagaaaaaa!

Whops, si misterius ini ternyata mendengar ratapan batinku. Meski mataku ditutup, aku masih bisa merasakan kedua tangannya sibuk melepaskan ikatan-ikatan di pergelangan tangan dan kakiku. Lalu badanku diputar dan aku dibaringkan. Dia, kemudian meremas buah dadaku sambil menghisap-hisap kedua putingku bergantian. Karena ditutup kain, konsentrasiku jadi sepenuhnya berpusat pada indera perasa. Aku jadi super sensitif, dan rangsangan pada buah dadaku kembali membuat libidoku naik.

"Sekali lagi... pliss... terakhir... sekali... lagi," kataku, memohon.

Tubuhku lalu ditariknya, oh ternyata ke tepi ranjang. Dia membiarkan kedua kakiku menapak lantai, sedangkan pahaku dikangkangkan lebar-lebar. Aku bisa merasakan kepala penisnya yang digesek-gesekkan di bibir kemaluanku. Tak lama, sampai dia mendorong penisnya masuk. Pelan, pelan... dan, aw! Satu hentakan kuat penisnya langsung mendorongku mendekati klimaks.

Sedikit lagi.

"Aaahh.. iyaahh... haahh... aahh... terus... terus..."

Dia memompaku, begitu cepat. Anehnya, aku ingin ronde terakhir ini jadi penutup yang sempurna. Maka, sekuat tenaga kulingkarkan kedua kakiku di pinggangnya, meski seluruh tubuhku lemas luar biasa. Ayo, sodok terus sayang.

"Auuuhhh... Olin... pipis... lagi... hhngg.... hyaaaahhh....!"

Yah, yah... aku pipis lagi, hihi. Squirt ini mengantarkanku pada batas akhir tubuhku. Aku langsung lemas seketika, dan meski dia masih terus menggoyangku, tubuh ini tak lagi mampu meresponnya. Tiba-tiba, dia mencabut penisnya, lalu menarik tubuhku sehingga jatuh terduduk di sisi ranjang. Karena lemas, aku bersandar di ranjang, tanpa tahu apa yang akan dilakukannya.

Eh, terasa ada benda tumpul menyundul-nyundul bibirku. Aku tak punya pilihan lain selain membuka mulut dan membiarkan penisnya masuk ke mulutku. Kuhisap-hisap penisnya yang berselimut cairan pelumas dari kemaluanku, sambil sesekali lidahku bermain menyapu seluruh permukaan penisnya. Aku mengoralnya beberapa saat, sampai aku benar-benar kelelahan. Yang tak kuduga, dia memegangi kepalaku, lalu menyodokkan penisnya keluar-masuk di mulutku.

"Hhaahh... hehhahanghh... huhuhh... Hohinhh... hanghh... hihenhhothh..."

Keluar, masuk, keluar, masuk, keluar... sampai kira-kira beberapa menit mulutku menservis penisnya. Makin lama, sodokannya di mulutku makin kasar, sampai satu sodokan kuat membenamkan penisnya di mulutku, ah... bahkan sampai ke mulut kerongkonganku. Aku yang kesulitan bernafas, segera meronta-ronta. Namun percuma, penisnya yang berdenyut-denyut segera memuntahkan sperma yang meluncur deras ke kerongkonganku.

"Huaaaahh, gila!" begitu kalimat pertama yang keluar dari mulutku setelah terbebas dari sumpalan penis. "Haaahh... haaaahh... gue... dipake... abis... abisan..."

Aku pun lunglai, langsung terkapar di lantai. Sambil berusaha mengatur nafas, aku terpaksa menelan sperma yang terlanjur masuk ke kerongkongan. Rasanya aneh, lengket. Lalu, dengan sisa-sisa kesadaran, aku berusaha membuka ikat penutup mata ini.

Tapi bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup kembali. Ketika aku bisa melihat dengan jelas lagi, tak ada siapapun di ruangan ini.

Ah, terus itu siapa? Pikirin nanti aja deh, sekarang...

Bodo deh, aku bahkan tak punya kekuatan untuk merangkak naik ke ranjang.


===


Pagi ini, aku bangun dengan seluruh badan pegal-pegal. Untuk memastikan apa yang kualami itu bukan mimpi, aku segera mengecek ke selangkanganku, dan benar saja, terdapat banyak bercak putih dibagian ini. Kutengok ke ranjang, oh waw... terlihat basah sekali. Sepertinya semalam aku benar-benar digarap habis-habisan diatas ranjang ini.

Setelah mandi air hangat, dan berganti baju, kuputuskan untuk turun ke ruang makan. Aku harus sarapan, setidaknya untuk mengisi tenaga. Tapi tetap saja, rasa penasaran tentang siapa yang menggarapku semalam terus mengganggu pikiran. Tapi siapa?

Asep? Pak Hildan? Kecurigaan terbesar ada di Asep, tapi tanpa bukti, aku tak bisa menuduhnya.

"Non, ini sarapannya," kata Mbak Retno sambil menyodorkan sepiring nasi goreng padaku.

"Mbak Retno, Olin mau nanya dong."

Mbak Retno yang baru saja mau ke dapur, menoleh padaku. "Tanya apa Non?"

"Semalem pemadamannya jam berapa ya?"

"Jam sebelas sih kayaknya Non, emang kenapa?"

Berarti, siapa yang masih bangun di jam itu? "Terus, Mbak Retno tau siapa yang masih bangun pas pemadaman?"

"Ga tau Non, Mbak udah tidur, soalnya capek banget abis dari pasar, belum beberes rumah kan. Tapi, kayaknya Asep sama Pak Hildan masih melek, Non."

"Oh gitu." Yah, buntu deh. Mungkin harus kusimpan rasa penasaranku untuk nanti. "Belanja apa aja ke pasar emang, Mbak?" tanyaku, mengalihkan topik.

"Ya kebutuhan bulanan dapur, Non. Tapi sih, Pak Hildan titip beberapa kebutuhan dia buat jaga, mana berat lagi. Untungnya, Asep cuma nitip tali tambang aja."

Tali tambang? Rasanya aku jadi teringat sesuatu. "Emang buat apaan Asep nitip gituan, Mbak?"

"Katanya sih buat ngiket taneman buat dianuin atau apa gitu, kurang ngerti Mbaknya. Emang ada apa sih, Non"

Sambil tersenyum, aku menjawab, "Engga, ga ada apa-apa Mbak. Eh iya, makasih ya dimasakin nasi goreng."

Jadi tali tambang ya? Untuk mengikat tanaman? Ah, untuk mengikat tangan dan kakiku, mungkin. Ya, ya... Sep, Asep. Mau ajak perang dia, ternyata.

You reap what you sow, asshole. I'll fucking make sure that one day, you'll pay for what you did.

Yeah, revenge always sweet as candy.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar