Cerita Eksibisionis Eva : Naked Sushi

Hi, salam kenal. Namaku Eva, aku berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Saat ini aku sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, angkatan 2008. Kejadian ini terjadi saat aku baru semester dua.
Siang itu pukul 14.04. Hari sangat panas, sampai-sampai blouse hitam dan rok sepanku basah oleh keringat. Aku baru sampai di kamar kostku ketika HP-ku berdering. Dari Mbak Rina, tetangga kostku.
“Va, gawaaaat...!” kata suara di seberang telpon.
“Ada apa, mbak?” tanyaku.
“Kamu bisa bantuin mbak ga?”
“Bantuin apa dulu,” aku penasaran.
“....” mbak Rina menjelaskan, suaranya putus-putus, tapi aku menangkap maksudnya.
“Hah?! Emoh! Gila! Ga mau aku, mbak!” aku terkejut mendengar permintaannya.
“Plis.. plis.. bantuin aku, Va. Bayarannya lumayan kok...” suaranya masih putus-putus.
“Yah, aku sih kepingin bantuin mbak. Tapi kalau yang ini, mohon maaf, aku ga bisa.” tolakku halus.

“Ga bisa ya?”
“Maaf, mbak.”
“Gak pa-pa. Maaf ya, Va, sudah minta yang aneh-aneh.” Mbak Rina menutup teleponnya.
Aku menghela nafas panjang, sambil menggeleng. Memang ada beberapa teman kampusku yang nyambi jadi WP untuk tambahan uang saku. Tapi yang ini lebih gila dari itu. Ada-ada saja Mbak Rina ini.
Oh iya, Mbak Rina adalah tetangga kostku, kamarnya tepat di samping kamarku. Mbak Rina ini seorang Fresh Graduate dari Universitas Negeri Terkenal di Yogyakarta, saat ini dia sedang magang di salah satu Hotel Berbintang. Mbak Rina sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, sebab waktu pertama kali aku sampai di Jogja, dia lah satu-satunya orang yang mau nemenin aku, dan dengerin curhat-curhatku yang sedang homesick.

Makanya aku ga habis pikir, kenapa Mbak Rina kepikiran memintaku untuk melakukan hal tersebut.
Untuk lebih jelasnya begini: Pembaca sekalian tahu sushi dan sashimi? Makanan jepang yang terbuat dari potongan ikan segar, kadang-kadang dibalut dengan beras jepang dan nori (rumput laut). Apabila biasanya sushi dan sashimi disajikan dalam piring, maka kali ini potongan ikan tersebut disajikan di atas tubuh telanjang wanita, yaitu: AKU!!!
Hiii, aku bergidik.
Aku meletakkan tasku, dan mencuci muka. Karena penasaran, aku menyalakan laptop, memasang modem, dan mencoba mencari info dengan kata kunci “Naked Sushi”. Kemudian munculah gambar seorang wanita jepang dengan irisan daging di atasnya, dan orang-orang makan dengan lahap dari tubuhnya. Oooh... ternyata di luar negeri hal ini sudah biasa to. Aku kemudian memperhatikan gambar selanjutnya, manis juga modelnya.
Aku berkhayal, seandainya gadis itu adalah aku. Hmm, seru juga kali ya? Telanjang sambil dilihatin banyak orang. Mmm, vaginaku mulai basah, nafasku memburu, aku membayangkan ada yang meraba-raba kemaluanku.
“Hmmmh...” tanganku mulai masuk ke balik rokku, mencari-cari gundukan kecil di dalam sana
“Mmmmh...” aku memijat-mijat clitorisku dari balik celana dalam, membayangkan beberapa laki-laki sedang memainkan payudaraku.
“Uhh.. Aahh...” aku berteriak tertahan, pijatanku semakin kencang, mataku terpejam. Oh, bagaimana kalau para tamu bernafsu dengan tubuhku, dan hanya bisa bermasturbasi dari jauh?
“Ahh... hah... hah... aaah...” aku terengah-engah.
“Tuli lulit tuli tulit!” tiba-tiba Ringtone khas nokia berbunyi, Mbak Rina menelpon lagi.
“Hah... ha... h-haloo-o…” aku masih terengah-engah.
“Halo, Eva? Duh, mbak jadi kepikiran. Maafin mbak ya, Va. Maafin udah ngajak yang aneh-aneh.”
“I-iya... gak pa-pa, mbak.” aku masih mengatur nafasku.
“Mbak jadi gak enak sama kamu, maafin mbak ya… soalnya begitu dapat kabar, Sushi Girl yang biasa ga bisa datang, mbak langsung panik dan keinget sama kamu...”
“Gak pa-pa, mbak...” nafasku sudah mulai normal.
“...Padahal besok ada tamu penting dari Jepang,”
“Oh, terus gimana, mbak? Sudah dapat penggantinya belum?"
“Belum, ini mbak lagi nyari-nyari... oh iya, barangkali temenmu ada yang berminat?”
“Temenku? Hmm, barangkali ada, ntar kucariin yaaa... Eh btw, berapa honornya?”
“Ga banyak sih, cuma satu juta + tips.”
 What? Satu juta?!!
“Wah, banyak juga ya... hmm, maaf… terus di sana ngapain aja? Ntar main juga ga?”
“Enggak, cuma bugil, terus tiduran, tamu dilarang colek-colek.” jelas Mbak Rina.
Wow! cuma bugil, tiduran, dapat satu juta, bahkan temen kampusku, yang nyambi jadi WP pun, honornya ga sampai segitu...
“Eemm...“ aku berpikir.
“Va, kenapa?" tanya Mbak Rina.
“Gak pa-pa...”
“Ya udah, nanti kalau ada temenmu yang mau, mbak dihubungi ya...”
“Eh... em.. mbak.. tugasnya cuma bugil dan tiduran aja to?”
“Iya...”
“Mmm, kalau gitu, aku mau deh...” sahutku malu-malu.
“Ah, beneran kamu mau?” mbak Rina ga percaya.
“Iya, mbak... aku mau kok.”
“Oh, Terima kasih banyaaak yaaaa...” terdengar suaranya kegirangan.
“Sama-sama, mbak.”
“Oke, kalau gitu jam 7 malam nanti kamu ke tempat kerja Mbak di hotel. Kamu parkir di tempat parkir karyawan, nanti bilang aja temennya Bu Rina.”
“Siap, Mbak.”
“Thanks, yaa... see u!”
“See u,” telepon ditutup.
Wow, perutku serasa mulas saking excitednya, dadaku berdebar-debar membayangkan nanti malam aku akan telanjang dikelilingi orang asing. Aku segera melepas baju kuliahku dan melemparkannya ke lantai, membuka kait Bra-ku, dan...
Ups, aku lupa menutup pintu! Aku segera mengunci pintu, untung kost-kostan masih sepi, hihi.
Aku segera melompat ke tempat tidurku, memelorotkan celana dalamku, sampai aku telanjang bulat.
 Aku berhayal tentang kejadian malam nanti sambil memainkan bibir kemaluanku yang tembem. Aku menggosok-gosok clitorisku, dan memilin-milin puting susuku. Tubuhku menggelinjang hebat, aku menggigit bantal agar teriakanku tidak terdengar tetangga kost. Siang itu, aku terkulai lemas dan tertidur tanpa busana.
***

Saat terbangun, langit sudah gelap. Aku melihat HP-ku, pukul 18.05. Aku bergegas mandi dan berpakaian. Lalu mengendarai motorku, sebelum ke tempat Mbak Rina, aku menyempatkan diri makan dulu.
Pukul 18.55, aku tiba di tempat Mbak Rina bekerja. Sebuah Hotel berbintang yang terletak di Utara Jogja. Aku memarkir motorku di tempat parkir karyawan, seperti kata Mbak Rina. Aku mencari-cari pintu samping, sampai seorang security menyapaku.
“Saya temannya Bu Rina...” jelasku.
“Ooh, dik Eva ya? Mari, sudah ditunggu Bu Rina...” Satpam itu tersenyum seolah sudah paham maksud kedatanganku. Dia mengantarku ke sebuah ruangan. “Monggo, ditunggu mawon, saya balik dulu ke pos.”
Ruangan itu berukuran cukup besar, ada sebuah meja rias dan kaca, sofa panjang, dan sebuah kamar mandi. Aku duduk di sofa, Jantungku berdebar-debar tidak karuan.
“Evaaaaa.. untung kamu datang.” Mbak Rina datang dan menyalamiku, aku cuma tersenyum kecil. “Sudah siap too?” tanyanya.
“Mudah-mudahan, mbak.” jawabku grogi.
“Wis, pokoke tenang aja.” kata Mbak Rina sambil membuka laci meja rias dan mengambil sesuatu. “Ini, kamu mandi dulu.” Mbak Rina memberikan handuk dan pencukur kepadaku. “Oh iya, jangan lupa itu dibersihin ya...” dia menunjuk kemaluanku.
“Ah, harus dicukur ya, mbak?” tanyaku polos.
“Ya, iyalah... masak tamunya makan sushi yang ada jembutnya?” Mbak Rina mencoba mencairkan suasana, mukaku memerah.
“Habis mandi, kamu ganti pakai ini...” Mbak Rina memberikan pakaian mirip kimono kepadaku. “Barang-barangmu biar mbak yang nyimpen.” lanjutnya.
Aku masuk ke dalam kamar mandi. Kulepaskan seluruh pakaianku. Aku memandangi tubuhku yang tak ditutupi sehelai benangpun di kaca washtuffel. Dengan tingi 160 cm dan berat 50 kg, membuat tubuhku terlihat proporsional. Kemudian aku memegang dada 34 B ku, hmm kencang juga, lumayanlah ga malu-maluin di depan orang banyak. Apalagi dengan rambut lurus sebahu, wajah manis khas jawa, dan kulit kuning langsat, mudah-mudahan bisa mengharumkan nama Indonesia di Dunia Internasional, hehehe.
Well, it’s show time. Aku mulai membersihkan bulu halus di sekitar kemaluanku. Sesaat kemudian kemaluanku sudah mulus seperti anak bayi. Aku menyalakan shower air hangat. Aku mengambil sabun cair dan mengoleskannya ke tangan dan leherku, lalu aku menyabuni dadaku yang montok. Aku memejamkan mata saat air menerpa dada dan wajahku. Sejenak aku ragu, tapi kupikir: “Aah, sudah terlanjur basah, sekalian mandi aja”.
Akupun menyabuni kemaluanku, dan memainkan gundukan daging di sana.  “Aaah…” erangku pelan. Aku menggesek-gesekkan jariku ke clitorisku yang menegang.
“Mmmh…” aku memejamkan mata, lututku terasa lemas. Aku terduduk di lantai kamar mandi, air shower terus mengucur membasahi kulitku yang memerah.
Jari tangan kananku semakin dalam merogoh ke dalam liang kemaluan yang basah, sementara tangan kananku meremas-remas payudaraku. Aku bisa membayangkan berpasang-pasang mata, bernafsu memandangi tubuhku yang indah. Birahiku semakin naik.

“Mmmh...” aku berteriak tertahan, sekarang posisiku sudah tertidur, meringkuk di lantai kamar mandi, gerakan jemari di kemaluanku semakin kencang, mataku menatap nanar rintikan air yang deras.
“Aaaakh...” aku berteriak tertahan, sekujur tubuhku mengejang dan berguncang-guncang hebat, aku merasakan cairan keluar dari dalam kemaluanku. Sesaat aku tetap meringkuk seperti itu, membiarkan air hangat menetes-netes di badanku. Aku mengatur nafasku yang terengah-engah.
“Va… Eva... Udahan belum mandinya?” Mbak Rina mengetuk-ngetuk pintu.
“Ah, iya... ini baru udahan.” aku segera bangkit dan mengeringkan badanku. Aku mengenakan kimono yang diberikan Mbak Rina, dan keluar dari kamar mandi.
“Duuuh, lama banget kamu, memang ngapain aja di dalem?” omelnya.
“Hehehe...” aku cuma nyengir. Di ruangan itu sudah ada dua orang lagi, mereka segera mengeringkan rambutku dengan hairdryer, dan merias wajahku.
“Udah yuk, ikut mbak.” kata Mbak Rina begitu aku selesai di rias.
Mbak Rina menuntunku berjalan melewati lorong. Disana karyawan hotel hilir mudik melewati kami. Aku merasa seksi, sebab di balik kimono ini aku tidak mengenakan apa-apa lagi, ditambah lagi beberapa karyawan sesekali melirik tubuhku yang menapak jelas di balik kimono yang setengah basah.
Kami sampai di ruangan berukuran 4x5 meter yang ditutupi tatami, sejenis tikar jepang. Dindingnya ditutupi anyaman bambu dan sejenis pintu geser dari kertas. Ada beberapa lukisan cat air tergantung di sana, tidak terlalu jelas tapi aku yakin itu lukisan wanita sedang mandi. Di tengah ruangan ada meja kotak setinggi lutut, dengan bantal di atasnya. Mbak Rina memintaku melepaskan kimono dan berbaring di sana. Aku melepaskan penutup terakhir di tubuhku, tangan kananku menutup buah dadaku, sementara tangan kiri menutup kemaluanku, Malu. Aku berbaring tanpa busana di meja itu, sementara Mbak Rina memanggil seseorang, tidak jelas.
Kemudian dua orang wanita berpakaian waitress datang, usia-nya kira-kira sama denganku. Mereka membawa nampan berisi handuk kecil dan tissue.
“Permisi ya, mbak.” kata seorang wanita sambil mengusapkan tissue basah di tangan kananku. Tercium aroma alkohol, mungkin biar higienis, pikirku. Dia mengangkat tanganku dan meletakkan tanganku di sisi tubuhku. Sementara yang seorang lagi melakukan hal yang sama pada tangan kiriku. Otomatis payudara dan kemaluanku terekspos.
Lampu gantung mengayun-ayun pelan di atasku, menimbulkan siluet di dadaku yang mencuat. Aku melirik ke bawah, kemaluanku yang polos terpampang indah di hadapan Mbak Rina dan dua orang waitress tersebut. Mbak Rina terpana memperhatikan badanku yang tak ditutupi selembar benangpun. Tubuhku terasa panas, meskipun AC diruangan itu mengucur kencang.
“Wah, kok ya nggak dari dulu kamu kerja sama mbak.” katanya. Aku cuma nyengir.
“Begini ya, mbak jelaskan dulu: nanti badanmu akan jadi lepek’an sushi.” Mbak Rina menjelaskan dengan logat medhok-nya, sementara dua orang waitress tadi sekarang membersihkan bahuku. “Tamu akan makan langsung dari badanmu itu, tapi tenang aja Va, mereka nggak dibolehin ngapa-ngapain kamu.”
Aku lega mendengar itu.
“Tapi nek ada yang jail, ya aku ora iso opo-opo, paling ya nowel-nowel susumu dikit, hehe.”
Aku mengernyitkan kening, aku kurang jelas menangkap maksud Mbak Rina, sebab payudaraku sedang dibersihkan oleh dua orang waitress tadi. Mataku terpejam, saat tissue basah itu bergerak berputar-putar di mengelilingi bukit kembarku. Geli. Putingku kembali menegang. Birahiku kembali memuncah saat tissue basah itu menuruni perutku, pelan-pelan mendekati bukit di bawah perutku. Aku menggigit bibir bawahku, ketika salah seorang dari mereka membersihkan bagian luar kewanitaanku.
“Umhh...” aku melengguh pelan.
“Ee... maaf ya, mbak.” kata gadis itu, sambil tetap membersihkan bibir kemaluanku dengan seksama.
“Haah... haah...“ punggungku melengkung, dadaku terangkat, aku melirik pelan ke arah waitress tersebut, ia sedang mengusap-usap clitorisku, ia tersenyum dan melirikku penuh arti.
“Aaaah...” hampir saja aku orgasme, jikalau waitress tidak melanjutkan membersihkan bagian paha dan kakiku.
Saat aku melirik ke Mbak Rina, kulihat dia salah tingkah, tatapannya nanar, nafasnya sedikit memburu. “Emm... emh... Va, tak tinggal sik, yo...” Mbak Rina buru-buru meninggalkan ruangan, seperti orang yang kebelet pipis.
Dua orang waitress itu selesai membersihkan tubuhku, lalu mereka mohon diri. Sesaat kemudian datang seseorang yang berpakaian ala chef jepang, setelan putih beserta ikat kepala putih. Membawa nampan berisi potongan-potongan ikan beraneka warna. Mas Chef, sebut saja begitu.
“Selamat malam,” kata Mas Chef, seorang laki-laki, kutaksir usianya 35 tahun.
“E... e... malam.” jawabku, aku spontan menutupi dada dan kemaluanku.
“Baru pertama kali ya?” ia mencoba mencairkan suasana. Tampangnya cool, seolah sudah biasa melihat pemandangan seperti ini.
“Iya,” jawabku. Wajahku memerah, baru kali ini ada laki-laki yang melihatku telanjang. Perasaanku campur aduk antara malu dan nafsu yang bergejolak.
“Ooh... gak pa-pa. Mbak rileks aja ya, jangan bergerak.” katanya sambil meluruskan tanganku, meletakkannya di sisi tubuhku. Maka payudara dan kemaluanku terpampang jelas di depan matanya, wajahku panas, kemaluanku basah. Namun, sepertinya dia tetap cool saja.
“Oke, saya mulai sekarang ya...” Mas Chef menyusun nori, rumput laut jepang di atas pusarku, ia membentuknya menyerupai bunga.
“Mas, sudah lama kerja gini?” aku memberanikan diri bertanya.
“Oh, kalau jadi chef sudah lama, tapi kalau yang begini baru tahun lalu ikut pelatihan di Jepang.” katanya sambil meletakkan Udang yang dibalut sejenis nasi di atas nori bentuk bunga tadi.
“Memang di sini sudah lama ya? Menyediakan ’menu’ kaya gini?”
“Ah, nggak. Saya ini chef angkatan pertamanya... mmm, bentar ya... jangan ngomong dan jangan gerak dulu.” katanya. Saat ini dia sedang meletakkan sejenis udang di atas kemaluanku. Terasa dingin saat udang tersebut menyentuh kulitku, aku refleks bergerak, sehingga udang tersebut terjatuh ke selangkanganku.
“Walah, jangan gerak-gerak, mbak!” Mas Chef mengambilnya dengan sumpit.
“Maaf, geli, mas.” aku minta maaf, sementara tangannya mencari-cari udang yang jatuh. “Aaah...” erangku pelan saat tidak sengaja ia menyenggol clitorisku.
“Aaa... maaf... maaf... ditahan bentar, ya.” ia meletakkan udang tersebut pelan pelan di atas kemaluanku. Wajahnya sangat dekat, sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang hangat diantara selangkanganku. Aku melirik sedikit, wajahnya terlihat sangat serius.
“Yah, inilah resiko pekerjaan, mbak... pokoknya kalau geli ditahan aja, nanti sushinya jatuh-jatuh.” ia menambahkan potongan ikan salmon dan tuna di kemaluanku, di atasnya ditambahkan daun untuk hiasan. Aku hanya menggigit bibirku, menahan geli yang tak tertahankan.
Mas Chef pindah ke atas kepalaku, ia menyusun nori seperti bentuk perahu di atas payudaraku. Lalu di atasnya ia hendak meletakkan potongan salmon, tapi terjatuh karena bentuk payudara yang membulat. Keningnya mengernyit, ia mengambil potongan tersebut dan mencoba meletakkannya kembali, kali ini wajahnya sangat dekat dengan wajahku, nafasnya terdengar jelas di telingaku. Aku berdebar-debar.
“Wah, grogi bener nie mbaknya...” Mas Chef melihat wajahku yang tegang.
“Iya, mas... baru pertama.”
“Ah, saya juga grogi pas pertama kali.” ia sekarang menyusun sushi di lenganku.
“Baru pertama... telanjang di depan cowok...”
“Ow... cowokmu?”
“Belum punya...” jawabku.
“Ow-ow... i see...” katanya, sambil meletakkan telur ikan di perutku. “Pokoknya nanti rileks aja, mbak merem aja.” ia menambahkan beberapa potongan buah di tubuhku.
Mas Chef memandangi tubuhku, ia terlihat puas dengan hasil karyanya. “Welldone!, sudah selesai. Okay... saya tinggal dulu ya.” Ia pun keluar, bersamaan dengan itu Mbak Rina masuk ruangan, ia memandang takjub tubuhku yang penuh dengan potongan sushi dan sashimi.
“Yummy, mbak jadi laper, pengin makan kamu nih, hihi…” kata Mbak Rina sambil mencolek payudaraku. Aku cuma tersenyum, agak sulit berbicara dengan tumpukan sushi di tubuhku.
“Klik!” Mbak Rina mengambil fotoku dengan HP-nya. Aku ingin mengejarnya, tapi saat ini aku hanya pasrah tidak bisa bergerak. “Tamunya sudah datang, kamu siap-siap ya.” katanya.
Aku hanya mengangguk
Mbak Rina keluar ruangan, sesaat kemudian dia datang bersama 6 orang laki laki yang berpakaian rapi. Mbak Rina mempersilahkan mereka duduk mengelilingiku. Wajahku panas, hatiku bergejolak. Tidak bisa kujelaskan sensasinya, telanjang dan berpasang-pasang mata memperhatikan tubuhku. Dadaku berdebar-debar, kemaluanku mulai basah.
Aku tidak jelas mendengarnya, tapi salah satu dari mereka bernama Mr. Sakamoto, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban. Sementara seorang lagi bernama Mr. Ryusuke, yang ini seumuran Mbak Rina, mungkin eksekutif muda.
Seorang waitress masuk menghidangkan sake. Kulihat Mr. Ryusuke memperhatikan tubuhku yang halus. Sesaat kemudian Mbak Rina mempersilahkan mereka untuk makan. Mbak Rina dan waitress undur diri.
Mereka menuangkan sake, dan mulai minum-minum sambil tertawa tawa dan bercanda satu dengan yang lainnya dengan bahasa Jepang. Mr. Sakamoto mempersilahkan teman-temanya makan. Hatiku berdebar-debar. Seorang dari mereka mengambil sushi yang ada di lenganku dengan sumpit, mencelupkanya ke dalam Soyu (kecap asin jepang) dan memakannya dengan lahap. Seorang lagi mengambil ikan dan nori yang menutupi dadaku, dengan tangan, sepertinya ia sengaja menyenggol payudaraku. Puting susuku terkekspos. Birahiku semakin bergejolak, putingku menegang.
Mr. Ryusuke, mengambil tuna yang menutupi kemaluanku, dan mencelupkannya ke dalam wasabi (sambal jepang). Kulihat matanya tak berkedip memandangi kemaluanku yang polos tanpa bulu. Bulu kudukku meremang, kemaluanku semakin basah. Mr. Ryusuke berkernyit, mungkin ia menyadarinya. Ia kemudian mengambil udang di kemaluanku, kali ini dia memasukkan udang tersebut di vaginaku sambil tersenyum.
“Mmmmmh…“ aku memejamkan mataku.
Mr. Ryusuke memasukkan udang yang dibasahi cairanku ke dalam mulutnya, yang lainnya tertawa terbahak-bahak melihatnya. Mr.Sakamoto menegur Mr. Ryusuke, menyuruhnya agar lebih sopan. Tamu-tamu jepang itu bercanda dan bernyanyi sambil minum minum sake, aku hanya bisa diam dan menahan birahi yang bergolak.
Aku terkejut, saat seorang dari mereka tiba-tiba memakan potongan ikan yang menutupi perutku, langsung dengan mulutnya. Mungkin sudah mabuk. Tak lama kemudian yang lain ikut-ikutan melakukan hal yang sama.
“Uggh...” aku melenguh ketika seorang dari mereka mengambil tuna yang menutupi puting kiriku dengan mulutnya, sepertinya dia sengaja mengenai putingku.
“Teishi!!” Mr. Sakamoto berusaha mencegah, tetapi sepertinya ia terlalu mabuk. Mr. Sakamoto terjatuh di atas tatami.
“Aaah...” aku menahan teriakanku saat Mr. Ryusuke memakan salmon yang ada di kemaluanku. Ia sengaja menjatuhkan sepotong di selangkanganku, maka kepalanya masuk diantara selangkanganku, dan mencari-cari potongan itu. Aku merasakan nafasnya yang panas, dan lidahnya yang menari-nari di kemaluanku.
Aku menikmati saat lima orang menggerogoti tubuhku. Perut, payudara, leher, dan kemaluan semuanya habis dilumat mereka.
“Aaaah... aaah…” kakiku mulai mengangkang, mataku terpejam, kemaluanku sudah banjir oleh lendir.
Tiba-tiba pintu diketuk, para tamu terkejut. Mas Chef dan Mbak Rina datang. Mas Chef berbicara dengan bahasa jepang kepada Mr.Sakamoto. Mr. Sakamoto melirik ke arah 5 orang yang lain seperti marah. Sepeninggal Mas Chef dan Mbak Rina, Mr. Sakamoto mengomeli mereka dengan bahasa Jepang. Mereka, terutama Mr. Ryusuke, hanya bisa menunduk.
Mr. Sakamoto berbicara kepadaku, “Do you supik enggurisu?” (do you speak English, maksudnya)
“Y-YES...” jawabku.
”I’m aporogisu for my staffu behaviour.”
“That’s okay.”
“You are so biutifuru.” (you are so beautiful, maksudnya)
“Emm, thanks...”
 “You reminds me to my gurandouhturu.”
Lama kami bercakap-cakap, ternyata Mr. Sakamoto ini seorang pengusaha dari Jepang yang sedang menangani proyek pengadaan air bersih di kabupaten Gunung Kidul.
Setengah jam lamanya mereka disitu sambil ngobrol-ngobrol, aku hanya menikmati tatapan mata mereka yang sesekali melirik tubuhku yang kini tak lagi tertutup apa-apa. Birahiku memuncak, ingin sekali aku masturbasi di hadapan mereka, tetapi aku tidak berani.
 “Suramat malam, sampai jurumpa lagi…“ pamit Mr.Sakamoto dalam bahasa Indonesia. Mereka keluar ruangan diantar Mbak Rina. Seorang waitress membersihkan tubuhku dengan tissue basah, seseorang lagi membawakanku kimono. Aku mengenakan kimono itu ala kadarnya, tali di bagian pinggang tidak kuikatkan
Aku berjalan lunglai keluar ruangan, kimono yang kukenakan tidak kuikat sempurna, sehingga bagian depan tubuhku terpampang jelas. Beberapa waitress dan karyawan hotel yang lewat di lorong terkejut melihatku setengah telanjang. Sudahlah, toh dari tadi aku sudah telanjang. kunikmati pandangan mata seorang room boy pada dadaku yang menyembul dari balik kimono, sementara seorang cleaning service mencuri-curi lihat kemaluanku yang polos.
“Eva!” kudengar Mbak Rina menyusulku dari belakang. “Good Job!” lanjutnya sambil menepuk pundakku.
Aku memasuki kamar ganti. Aku langsung menjatuhkan tubuhku pada sofa panjang di sana. Aku mengatur nafasku, sementara kimono yang kukenakan terjuntai di samping tubuhku. Payudaraku mengacung terlihat jelas oleh Mbak Rina.
“Makasih banyak ya, Va...” kata Mbak Rina sambil duduk di sampingku.
“Sama-sama, mbak...” jawabku pelan. Aku benar-benar lemas malam itu, aku merebahkan kepalaku di pangkuan Mbak Rina, dia membelai rambutku.
“Mbak sudah tertolong banget, nanti kalau ada tamu lagi, mbak minta tolong lagi, boleh ga?” katanya.
“Boleh...”
“Makasih ya, Eva sayang…”
Aku menoleh ke arahnya, tersenyum manis. Ia membelai pipiku, aku memejamkan mataku, menghirup dlam-dalam aroma tubuh Mbak Rina, harum sekali.
Nafasku memburu, tidak terasa kemaluan sudah basah tidak karuan. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku dari payudaraku, turun ke perut sampai akhirnya menutupi kemaluanku yang polos. Aku melengguh pelan, ingin rasanya aku masturbasi di depan Mbak Rina.
“Gak pa-pa, Eva sayang...” kata Mbak Rina, mungkin ia sudah mengerti. Sekilas aku meliriknya, cantik sekali.
“Eh... beneran gak pa-pa?” aku menggamit tangannya yang membelai pipiku.
“Iya..:” Mbak Rina mengangguk.
Aku menekan kemaluanku dari luar, sambil memejamkan mataku. Aku mengusap kemaluanku, memainkan bibirnya. Aku menghela nafas panjang, sensasi ini baru pertama kali kurasakan, telanjang bulat dan bermasturbasi di pangkuan orang yang kusayang. Birahiku semakin memuncah. Aku meraba-raba klitorisku, memainkanya dengan jemariku Dadaku yang telanjang naik turun seiring nafasku yang memburu.
“Aaaaaa...” mulutku mengangga, tapi tidak bersuara. Kenikmatan ini tidak bisa kubayangkan sebelumnya. Mataku menatap nanar ke arah Mbak Rina, bisa kulihat wajahnya memerah, dan nafasnya mulai tidak teratur.
Tangan mbak Rina, pelan-pelan turun membelai dadaku. Aku memegang tangannya menuntunnya ke arah puting susuku yang menegang. Mataku terpejam saat mbak Rina memainkan puting susuku. “Aaah... ahh...” kocokan jari di kemaluanku semakin kencang, tubuhku bergerak tidak karuan. Kimono yang kukenakan tidak lagi menutupi tubuhku.
Tangan Mbak Rina meremas-remas payudaraku, sementara tangan yang satu-nya memelukku erat. “Ah... ah... mbak... Rinn… Eva sudah mau keluar…” aku meracau tidak jelas, pahaku tertekuk ke depan dadaku. Aku merasakan kemaluanku berkedut-kedut. Aku memeluk Mbak Rina erat sekali.
“Aaaaakkh...” aku menjerit, tubuhku mengejang-ngejang, menggelinjang liar dalam pelukan Mbak Rina. Aku semakin erat memeluknya.
“Hahh... hah... hah...” Nafasku terengah-engah, aku merasakan ada yang keluar dari kemaluanku. Mbak Rina memelukku, mengecup keningku. Untuk sesaat, aku terbaring tanpa busana di pangkuannya. Ia memelukku, membelai rambutku, hangat seperti seorang ibu yang memeluk anaknya
“Hh... hh… hh...” aku mengatur nafasku, peluh membasahi seluruh tubuhku.  “M-makasih ya, mbak…” ucapku lemah.
“Iyaaa... Eva sayang…” jawab Mbak Rina. Bisa kurasakan hatinya masih penuh dengan birahi.
“Ee... permisi, bu Rina… ditunggu sama Pak Bob,” tiba-tiba seorang karyawan sudah berdiri di depan pintu.
Aku spontan meraih kimono yang tergeletak di bawah untuk menutupi tubuhku seadanya. Karyawan itu melirik bagian samping dadaku yang mengintip.
“Eh, iya... sebentar lagi saya ke sana.” kata Mbak Rina sambil berusaha mengendalikan dirinya. Dia mengambil nafas panjang, sebelum beranjak ke pintu. “Eva, mbak tinggal dulu ya... sudah malam, kamu pulang aja, masalah honornya tenang aja... beres!”
 Mbak Rina dan karyawan itu pun pergi meninggalkanku. Aku melemparkan kimonoku ke bawah. Aku masuk ke ruang shower dan mandi. Setelah berpakaian, aku meninggalkan ruangan itu, seorang wanita berpenampilan kantoran menghampiriku.
“Selamat malam Eva, terimakasih atas bantuannya...” ia tersenyum ramah sambil menyerahkan amplop berlogo Hotel tersebut.
“Eh, sama-sama, mbak.” aku tersenyum.
***

Aku memacu motorku melewati remang lampu jalan monjali. Hari sudah malam dan bertambah dingin, di kiri jalan kulihat warung yang menjual susu segar masih buka. Aku mampir sebentar, memesan susu jahe hangat.
Aku membuka amplop itu, dan melihat 10 lembar uang seratus ribuan.
“Wow...!” batinku.
Tiba-tiba hapeku bergetar, 1 pesan diterima, dari Mbak Rina : “BESOK ADA TAMU DARI KOREA, TOLONG LAGI YA, VA...”
Wah bisa kaya nih, batinku riang dalam hati.
Author : Jaya. S
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar