Shit!!
Di depan mataku, didengar langsung oleh kupingku, Jojo bicara
lembut, sangat lembut kepada orang di seberang sana. Bangsatnya, ketika aku
bertanya, “Kita mau ke mana?” Jari telunjuknya langsung ditempelkan ke bibir
memberi kode agar aku diam. Aku terang melotot.
Apa-apaan ini? Siapa yang tengah ia ajak bicara lewat telpon.
“Iya, aku paham. Aku ngerti kondisimu. Nanti kita ketemu dan aku
dengar ceritamu, ya?” Jojo berkata. “Oh, tadi? Bukan. Kawanku. Aku
lagi jalan sama kawan. Aku lagi bantuin acara dia.” lanjutnya.
Anjing!! Kawan? Bangsat!! Jelas sudah siapa
yang dia ajak bicara. Aku mencoba bersikap wajar. Ini di depan umum, Non. Kami
lagi berjalan menuju parkiran Mal Taman Anggrek. Aku hanya bertanya dengan
gerak bibir tanpa bersuara, “Ratih?”
Jojo mengangguk. Betul-betul bangsat. Ratih
adalah mantan pacar Jojo sebelum aku.
Tanpa banyak ba-bi-bu, aku mempercepat
langkah menuju parkiran, meninggalkan Jojo yang berjalan sangat pelan seperti
sengaja mendapat kesempatan. “Tunggu di mobil ya, man.” Jojo berteriak
kepadaku.
Man? Kenapa ga sekalian “pren” atau “coy”
aja?
Taik!!
Aku makin mempercepat langkah. Masuk ke mobil dan langsung starter. Go. Good bye.
Sembari melaju di jalan, kutelepon Selly. “Ke
mana nanti malam?” tanyaku.
“Oh, ok. See ya.” sahutku setelah mendengar
jawabannya.
***
Pukul 22.20 waktu Kemang. Aku, Selly, Ratih
(shit nama teman Selly ini sama dengan nama si bangsat yang pernah dipacari Jojo),
dan Angga, masuk ke Bedroom. Angga berasa bener jadi raja minyak diapit tiga cewek yang
penampilannya bikin semua orang sejak dari parkiran ga berkedip dan menelan air
ludah. Ratih dan Angga, keduanya teman Selly. Aku sendiri baru dikenalkan saat
bertemu di meeting point, Taman Suropati, tadi.
Kami diantar ke bed yang sudah di-book Angga. Biasa saja
penampilannya. Muka agak bulat, tanpa kumis dan janggut karena selalu dicukur
bersih, kulit lumayan putih, tinggi nyaris sepantar denganku, karenanya tidak
terlalu atletis. Bokongnya saja yang cukup menarik. Aku berani taksir ukuran di
dalam celana bagian depannya. Pasti tidak terlalu panjang tapi cukup gemuk.
Tiba-tiba aku berdesir sedikit membayangkan isi celananya.
Aku tepis perasaan itu. Aku tahu aku tengah
diamuk kemarahan pada Jojo. Dan aku tahu juga diriku, tak bisa membayangkan isi
celana begitu saja dan pasti penasaran untuk melihatnya. Sukur kalau bisa
memegang.
Tapi, aku yakin bisa menepis keinginan
terhadap Angga, karena dia kelihatannya sedang antusias dengan Ratih. Sedari berangkat, ia mempersilakan Ratih duduk di depan. Turun membukakan
pintu, menggandeng ketika berjalan, aih. Kata Selly, Angga memang ngincer Ratih
sejak ia kenalkan dua minggu lalu di Blowfish.
“Trus sudah berapa kali ketemu? Kok belum
dapat juga?” You know what i mean with “belum dapat juga” kan? Aku percaya lah si Angga ini bukan
berniat betulan mau jalan sama Ratih, paling cuma pengen nyobain service-nya
aja.
“Kayaknya belum,” ujar Selly. “Buktinya Angga masih ajak gue untuk
pergi bareng, kan?”
Aih, apa yang sedang dimainkan Ratih? Mau 5-6
kali hang-out dulu biar puas baru ngasih? Ahahaha…
***
Wuh, sudah dua jam lebih kami bergerak
bersama musik. Aku nyaris hanya sesekali saja kembali ke bed untuk menyeruput
punch atau air mineral. Lalu kembali ke kerumunan. Terutama bergerak berempat.
Angga benar-benar jadi raja minyak. Aku harus menghormati orang yang mengajak
bila dia bergeser dari Ratih, Selly lalu hanya berdua denganku. Ahahaha… kurasa
dia tak tahan juga melihat gerakku yang memang sengaja menggoda siapapun.
Sebelum balik ke bed yang kedua, aku sengaja melepas bra di toilet. Sumpek.
Terang sekarang Angga yang pasti melihat perubahan bentuk di dadaku jadi godeg
juga.
Sorry, Rat, ini perkara simple aja. Kompetisi, jeng. Sialnya, namamu sama dengan nama si bangsat-nya Jojo itu!
Aku biarkan tangan Angga sesekali menarik
pinggangku untuk lebih mendekat agar kedua pangkal paha kami bersentuhan.
Sempat juga tangannya diletakkan di bokongku, yang segera kuturunkan lebih
rendah agar menyentuh ujung dress-ku. “Kalau mau, naik dari
situ,” ujarku dalam hati. Tapi gerakanku mengisyaratkan seolah semuanya
kulakukan tanpa sadar. Padahal, apa yang tak sadar? Aku tak menenggak apapun
yang memabukkan.
Angga memfaatkan kesempatan itu untuk meraba
terus ke atas. Aku sengaja pura-pura kaget, lalu mengambil tangan Angga secara
sopan dan mengembalikan ke pinggang, lalu aku angkat lagi untuk kemudian aku
berputar. Aku beri dia senyum sopan sembari jemari yang lain menyentuh dagunya.
Angga paham, aku tak mau di-”kurangajari”. Ahhahaha… Lebih dari itu pun
kukasih, Ngga. Tapi, nantilah. Memang Ratih doang yang bisa bikin kamu
penasaran.
Dan kini aku kembali ke bed. Betul-betul
capek. Aku sempat sendirian cukup lama di floor sementara Selly, Ratih dan
Angga istirahat. Kini aku sendirian istirahat. Aku ambil gelas, menyedotnya,
kosong. Habis, rupanya. Air mineral juga tinggal sedikit. Aku baru mau memberi
isyarat untuk memesan segelas lagi, ketika seseorang menyodorkan gelas yang aku
tahu isinya.
“Ini kalau haus bener,” aku mendongak. Hmh.
Lumayan. Aku ambil tawarannya, Jack-D. Kulihat jam di tangan sudah pukul 1
lewat. Bolehlah, sudah waktunya boleh mabuk.
Ia mengenalkan dirinya dengan nama Wisnu. Aku
sendiri tak begitu soal benar apa ini nama benar atau bukan, makanya kusebut
“mengenalkan dirinya dengan nama Wisnu.” Toh, aku sudah tahu maunya, icip-icip,
sukur kalau dapat lebih, dan selanjutnya tuker-tukeran nomor telepon lalu
“bye”. Kalau lagi butuh kontak, kalau gak ya wassalam.
Selanjutnya kami bicara. Karena situasi amat
berisik, tentu yang namanya bicara itu saling merapat mulut ke telinga
masing-masing. Wisnu telah menuang dua kali ke gelasku, hingga Angga dan Ratih
datang. Mereka saling berkenalan.
Angga sesudah berbasa-basi langsung selonjor
di bed, ditemani Ratih. Rasanya kurang dari satu menit, saat aku melirik
mereka, keduanya sudah saling berpagutan. Tangan Angga masih melingkar di
pinggang Ratih sedangkan Ratih memegang lengan kiri Angga.
Melihat itu, Wisnu mengajak aku ke bed-nya.
“Mau pindah ke tempatku? Biar mereka ga terganggu.”
“Di tempatmu ramai,” ujarku. Sesungguhnya
tempat yang ia tunjuk tak ada yang menempati. Semua temannya mungkin masih di
floor. Tapi aku memang mau melihat seberapa jauh Angga dan Ratih bermain.
Duileh, bermain.
Ah, rupanya Angga tipe tak sabaran. Kulihat
tangannya sudah menuntun jemari Ratih untuk meraba bagian pentingnya. Satu
tangan Angga membuka tali pinggang dan resluiting, membiarkan jemari Ratih
masuk lebih dalam. Mengelus dari kepala hingga pangkal. Lalu Angga mengeluarkan
penisnya dari selipan boxernya.
Bener kan gue, ujarku dalam hati. Punya Angga
ini tak terlalu panjang tapi gemuk.
“Shit!” aku mengumpat pelan. Tapi cukup untuk
didengar Wisnu.
“Tuh, kan. Pindah yuk, nanti gue jadi
pengen,” ajak Wisnu.
“Gue juga, yuk. Lo kasih gue,” tangannya
langsung kutarik.
Di bed Wisnu tak ada lagi percakapan.
Tangannya langsung meraih leherku, dan langsung melahap bibir dan mulutku
dengan bibir dan mulutnya. Aku ingin ia masuk lebih dalam, sehingga jemariku
menekan kepalanya.
Lebih dalam masuki aku. Oh, inilah aku. Milikmu saat ini. Jangan sia-siakan. Karena saat berikutnya
boleh jadi aku sudah buat orang lain. Lumat aku dari atas hingga ke bawah. Tak
ada yang akan kucegah. Karena tubuhku ini milikku dan hanya aku yang berhak
menentukan kepada siapa akan berbagi. Jojo hanyalah salah satu penikmat yang
kebetulan baginya kuberi juga cinta. Tapi, kebangsatan sikapnya siang tadi
harus mendapat pelajaran yang setimpal. Perempuannya dipakai orang lain.
Balasan aksiku ke Wisnu membuat birahinya
cepat naik tinggi. Aku bercampur hasrat yang dipengaruhi sepenuhnya oleh Jack-D
dan kemarahan kepada Jojo.
Hanya saja, ini hanyalah sebuah tempat riuh
yang dipenuhi orang. Seliar apapun kubuat tak bisa diteruskan sampai melepas
pakaian. Wisnu pun hanya bisa menjamah, meraba dan menjilati payudaraku,
menusuk vaginaku dengan jarinya yang kubiarkan satu, dua hingga tiga. Aku pun
hanya bisa membalas budinya dengan lidahku ke lehernya, lidahnya, bibirnya dan
tanganku yang meraba, lalu mengocok dari pelan hingga kuat penisnya. Hingga ia
berbisik yang di telingaku seperti berteriak, “Wid, aduh… Gue mau keluar, di
mana?”
“Sekarang?” tanyaku. Wisnu hanya mengangguk.
Aku langsung mempercepat kocokan dan memindahkan mulutku dari lehernya ke leher
penisnya. Menyemburlah cairan yang setengah kental setengah cair ke
tenggorokan. Aku menghapus sisanya dengan lidah.
“Kok sedikit?” tanyaku sembari meminum sisa
Jack-D. Membersihkan keset di tenggorokan. “Udah dikeluarin di mana? Lo main
dulu ya sebelum ke sini?”
“Enggak, coli sendiri aja,” kata Wisnu. “Gue pengen ngewe malam ini sebetulnya. Makanya tadi gue kocok dulu sebelum
berangkat. Biar bisa main lebih lama.”
Aku tertawa kecil. “Begok bener, sih?” Lalu
aku duduk setengah rebah. “Nu, gue belum. Colok lagi, dong?”
***
“Lo ganas juga, ya?” kata Angga ketika kami
mau memasuki mobil. Hari sudah menjelang pagi. Subuh belum
dimulai memang. Tapi badan harus dikeluarkan dari tempat bising itu.
Aku memiringkan kepala meminta penjelasan.
“Gue lihat tadi lo sama cowok itu, siapa
namanya?”
“Oh,” aku paham. “Wisnu. Ganas gimana?”
“Ya ganas. Gimana ya? Ganas.” Aku tertawa kecil. Sebelum benar-benar masuk mobil, Angga bertanya, “Kita
antar mereka dulu ya.”
Aku tak mengangguk juga tak menggeleng. Aku
tahu maksudnya. Hebat bener nih anak. Semalam minta dua sekaligus.
Selanjutnya aku sudah tidak tahu apa-apa. Begitu
masuk mobil aku langsung tidur. Kulihat Selly dan Ratih begitu juga. Tak sopan
benar memang, membiarkan Angga sendirian hanya ditemani musik menyupiri kami
bertiga. Yang kutahu, aku sudah di depan sebuah pagar, masih di dalam mobil,
duduk di belakang sedangkan bangku di sebelahku kosong, sedang Angga di depan
sendirian tanpa Ratih.
“Kita di mana, Ngga?”
“Oh, ini kontrakan temanku. Dia sama istrinya
lagi pergi, nitip sama aku. Rumahku lagi banyak orang, Wid. Tadinya aku mau
bawa kamu check-in, tapi masak aku bopong kamu masuk hotel?”
“Kenapa ga dibangunin dan aku bisa naik taksi
pulang, ini sudah pagi, Ngga.”
“Iya, enggak apa. Sebentar aja, kok. Aku buka
pagar dulu.” Lalu ia sudah keluar mobil dan membuka pagar.
Tak lama masuk lagi, membawa mobil, keluar, menutup pagar dan kembali ke mobil
membuka pintu untukku.
“Yuk.” ajaknya.
“Aduh, Ngga, gue pulang aja, ya. Udah pagi
banget. Itu udah adzan. Gue capek banget. Lagian mau ngapain sih?”
“Gue nafsu banget sama lo, Wid.”
“Ah, lo gila. Enggak, ah. Nanti malam minggu,
bokin gue pasti datang, gue dah gak dipake berhari-hari, nanti kalau dia berasa
beda seperti udah ada yang make gimana?”
Demi menyebut kata “bokin” kemarahanku
kembali bangkit dan sesungguhnya ingin segera telanjang saat itu juga di depan
Angga. Tapi, aku juga sepertinya sengaja mengeluarkan kalimat itu. Aku tahu
Angga tak akan goyah dan justru makin naik nafsunya mendengar nanti malam aku
dipake bokin. “Aduh, make bokin orang, sebelum si bokin pula.” Uuh lelaki mana
yang ga nafsu dikasih kesempatan gitu. I know what’s in your
brain, guys.
“Please, Wid. Nanti gue anter pulang, deh. Atau setidaknya ngopi
aja dikit. Udah tanggung masuk rumah.”
Aku mengangguk pelan lalu turun.
Ketika pintu depan belum ditutup rapat benar,
Angga langsung meraih pinggangku dari belakang. Ia membalikanku dan meraup
mulutku dengan mulutnya. Aku diam tak membalas, juga tak berontak.
Aku tahu Angga tipe yang “tak lama”, tak
sabaran pula. Meski masih di antara perasaan marah, tapi
ada sedikit malas pagi ini. Hanya, meski begitu, aku tak mau rugi juga. Maka,
kuminta Angga melepas bajunya semua.
“Langsung masukin aja, Ngga. Ga usah kelamaan
pemanasan.”
“Lo horny banget?” tanya Angga tak mengerti
maksudku.
Aku cuma mengangguk. “Udah cepetan buka
semua. Langsung masukin.”
“Tapi, gue belum bangun nih.”
“Lo telanjang juga langsung bangun, kok.
Percaya ama gue, deh. Ayok,” aku pun langsung melepas semua yang menutup tubuh.
Lalu rebah di sofa panjang terdekat.
“Plis, langsung, Ngga. Mana kontol lo?”
Tangan kiriku membelai vagina yang bersih tanpa satu rambut pun.
Angga menyorongkan bokongnya, kuelus sebentar
batang kontol yang memang naik pelahan itu. Aku bangkit
sedikit, mengulum sebentar, memberi basah pada kontol Angga, sebab memekku
masih kering setelah hampir dua jam lalu selesai. Rasanya belum sempat
dibersihkan.
“Give the best for mama, ya?” kataku pada batang kontol Angga. Angga tersenyum, lalu mengambil posisi.
“Ayoo, Ngga, plis… sekarang…” perintahku.
Dan Angga menurut. Ia
langsung memasukkan kontolnya pelan-pelan.
“Oh, langsung Ngga, ga usah pelan-pelan,”
Angga menurut lagi.
Aku langsung memekik. Kejutan ini yang
kuharapkan. Aku bisa mengukur kemampuan Angga melihat gayanya dengan Ratih,
pagi ini pun ia pasti keletihan, cuma nafsunya saja yang tak bisa ditahan
hingga fisik lebih fit. Maka, aku memutuskan untuk memuaskan diriku dengan
caraku. Hentakan Angga cukup memberiku pukulan nikmat sampai ke kepala.
“Enak, Wid?” tanyanya sambil meremas bulatan
payudaraku.
“Hajar, Ngga. Habisin. Habisin. Oww… terus,
fuck… iya begitu…” aku meracau memberinya semangat. Sesekali kusapu putingnya
dengan lidahku. Meraba dan memasukkan jari tengah kiriku ke anusnya. Bersamaan itu
kujepit keras kontolnya dengan vaginaku.
Angga melenguh panjang. “Wiiiid… Oouughhhh…”
Aku tahu satu posisi misionari ini bisa membuatnya klimaks, dan
aku juga bertekad memberi kepuasan bagiku pada posisi ini. Beberapa hentakan berikutnya, Angga menunjukkan tanda-tanda mau mencapai
titiknya.
“Tahan, Ngga. Gw dikit lagi, percepat, Ngga,
percepat.”
Dan Angga tumpah, kususul sedetik kemudian.
Ia ambruk di atasku. Beberapa detik kemudian, ia sadar ada yang salah. “Wid?
Sorry, gue tumpah di dalam ya?” Ia mengangkat badan tanpa mencabut penisnya.
“Gak apa, aman kok. Kalau ga salah.”
“Kalau jadi gimana?” tanyanya.
“Buang.”
***
Aku tahu Jojo akan datang malam ini. Ia terus menerus menelponku, meninggalkan SMS, sejak kemarin sore. Aku tak pernah mereply atau pun menjawab. Baru sore ini kujawab. Baru 5
menit aku bangun. Sepulang tadi, membersihkan make up dan membasuh muka dengan
sabun, aku lepas semua pakaian termasuk bra dan cd, lalu bugil di balik
selimut.
Aku: SORRY… G dgr,br BaNGun.Smlm pgi ma kwn2
Jojo: Siapa?
Aku: KWN2
Jojo: Co/ce?
Aku: ce ce & CO
Aku tak bohong kan? Memang dua cewek satu
cowok.
Jojo: Siapa co-nya?
Duileh yang ditanya cuma nama cowoknya. Mau menunjukkan cemburu?
Aku tak menjawab. Sepuluh menit kemudian, saat aku masih
malas-malasan di atas tempat tidur, ia menelpon. Kali ini kuangkat. “Ada apa?”
“Siapa cowoknya?”
“Angga.”
“Siapa Angga? Aku
baru dengar.”
“Temannya Selly.”
“Siapa Selly? Kok aku baru dengar juga?”
“Teman fitness,” kataku.
“Aku ke rumah nanti malam atau kita ketemu di
luar?” tanya Jojo.
“Ga dua-duanya. Aku malas. Udah dulu ya,
masih ngantuk.” Klik.
Jojo tak menilpun lagi. Aku pun tak tidur
lagi. Meraba vagina sebentar. Kering. Mengering tepatnya. Tadi aku sudah
membasuhnya di tempat Angga. Tapi aku tahu masih ada sisa-sisa di sana yang
mengering. Aku merasakan Angga mengeluarkan cukup banyak, meski sudah sempat
dikeluarkan oleh tangan Ratih.
Jariku terus masuk ke dalam. Lebih dalam.
Mengocoknya pelahan agar basah dan sisa-sisa sperma yang mengering bisa keluar.
Aku hentikan.
Tiba-tiba aku punya ide yang menarik. Buatku,
tentu saja. Aku ke kamar mandi, membasuh vagina sedikit tanpa mengelap dengan handuk
kecil. Membiarkannya kering oleh udara.
Aku mengambil kaos dan membiarkan tubuhku
hanya dibalut oleh bahan tipis yang agak panjang hingga nyaris selutut itu. Aku
keluar kamar, menjumpai Sari, pembantuku di ruang keluarga yang sedang menonton
tivi.
“Mama ke mana?” aku bertanya.
“Pergi sama dek Citra dan dek Anto,” Citra
dan Anto, keduanya adikku. “Katanya menginap di villa.” tambah Sari.
Kami memiliki sebuah villa kecil di puncak.
Biasanya dipakai kalau papa sedang pulang untuk waktu yang lama. Berarti sekarang hanya aku dan dua pembantuku.
“Siapin makan, mbak. Lapar.” aku meminta.
Lalu aku kembali ke kamar, menyalakan tivi
dan memilih siaran yang ingin kutonton. Memeriksa HP, membaca semua SMS yang
masuk. Kebanyakan dari Jojo. Ada satu yang kureply, dari Selly. Gila nih anak
udah bangun duluan. Selly tanya apa aku minggu depan sibuk atau enggak. Ada
sepupunya yang datang dari Semarang untuk panggilan kerja. Selly meminta aku
menemani dia bersama sepupunya.
“Ganteng ga?” aku mereply asal-asalan. Tak ada jawaban langsung. Maklum sih, SMS Selly sudah 4 jam lalu.
Sebenarnya aku malas juga temani orang. Lagian cuma dari Semarang, pasti kan
sering ke Jakarta juga. Buat apa ditemani? Toh ga bakal nyasar.
***
Sudah hampir pukul 7, aku mendengar bunyi
motor berhenti di depan rumah. Kamarku terletak paling depan, dan hanya
berjarak 6 meter dari pagar. Aku tahu siapa yang datang dari suara motornya.
Itu Jojo.
Aku bangun dari leyeh-leyeh, melepas kaos, ke
kamar mandi yang ada di dalam kamar. Aku tak mandi, aku tak
mau membersihkan sisa-sisa jilatan dan tumpahan dua lelaki semalam dari
tubuhku. Aku hanya membasuh membersihkan tangan, kaki dan membasuh muka, lalu
menyemprotkan body splash, memberi parfum pada bagian belakang telinga, dada
dan leher, lalu mengambil rok celana pendek, aku gunakan tank top untuk atasan.
Ketika di kamar mandi tadi, Sari sudah
mengetuk memberitahu aku kedatangan Jojo. Ia tak perlu menunggu terlalu lama.
Sari sudah berpindah menonton tivi di ruang atas.
“Hai, sayang,” sapa Jojo. “Maafin aku kemarin,
ya. Aku mau jelasin persoalannya.”
Aku hanya diam, mendekat padanya, lalu meraih
mukanya dan melahap mulut Jojo. “Jangan ngomong dulu bisa, nggak? Kamu
kebanyakan ngomong, kebanyakan bohong.”
Jojo yang masih bingung tapi pasti nggak
nolak, membalas seranganku. Setelah berciuman agak lama, aku menariknya masuk
ke kamar. Aku membuka rok celanaku, mengangkang dengan satu kaki ke tempat
tidur, kuminta Jojo berjongkok. Ia langsung memainkan lidahnya begitu tiba di
bawahku. Aku memintanya untuk terus menjulurkan lidah ke dalam dengan menekan
kepalanya. Jojo tahu isyaratku dan terus memutar lidahnya sembari masuk,
rasanya seperti dibor dengan bahan lembut.
Lalu ia mengganti pola dengan lidah keluar
masuk. Aku menekan kepalanya agar terus memainkan lidah di dalam. Oh, terus Jo.
Rasakan hangatnya di dalam sana. Semalam tiga jari masuk ke sana dan tadi pagi
satu penis melesak dengan keras. Bukan jari dan penismu. Oh, Jo. Teruskan. Ada
sisa-sisa cairan yang mestinya kau hirup dari dalam sana asal saja kau tak datang
selambat ini. Sekarang mungkin cairan itu sudah bersih karena meleleh atau
masuk ke dalam sekalian. Tapi, pasti ada sisa di dalamnya.
“Kamu lagi keputihan, ya?” Jo mengangkat muka
sebentar.
Uh, begok. Mungkin itu peju Angga.
“Kenapa? Jijik ya? Bukan kok, bukan
keputihan, itu mungkin punyaku,” jawabku asal. Dan Jojo kembali bersemangat.
Selanjutnya aku menarik kepala Jojo agar
melepas vaginaku. Aku rebah di atas tempat tidur. Jojo langsung
naik untuk 69. Ia sorongkan batangnya yang lebih panjang dan hampir sama besar
dengan Angga ke mulutku. Aku menyambutnya dari pelahan hingga menyodokkan ke
tenggorokan.
“Hrooargh, hrooargh, hrooargh… ah,” aku
mencabut sebentar bersamaan dengan banyaknya air liur akibat tersedak hingga
dalam. Aku sungguh menikmati blow job begini. Disedak oleh sodokan penis.
Lidah Jojo terus mengorek vaginaku sembari
sesekali melenguh nikmat oleh permainan lidah, tenggorokan dan mulutku di
kontolnya. (Duh, sumpah, setiap menulis kata kontol, selalu ada yang berdenyut
di bagian bawahku. Beberapa kali aku harus berhenti untuk mengoreknya dengan
jariku. Aku ingin menggantinya dengan kata yang lebih lembut semacam “barang”,
“punya lelaki”, atau “penis”, tapi akhirnya aku lebih suka kata “kontol”. DUH!
Tuh kan).
Satu jariku masuk ke anusnya sampai Jojo
mejen-mejen. Lalu ia menurunkan bokongnya hingga penisnya (sorry ga kuat) ke
payudaraku. Aku menjepit dengan bongkahan 36C-ku, lalu mendongak sedikit agar
lidahku menjangkau anusnya. Kusapu pelahan bagian luarnya dan pelahan memasukan
lidah mengorek isi anusnya.
“Oooh, yang…” Jojo bangkit dari posisinya dan
langsung celentang. Aku segera menaikinya, memasukkan kontolnya (duh!) ke
memekku. Selanjutnya aku bekerja dengan cepat.
Setelah beberapa menit aku bergoyang dan naik
turun, Jojo menaikkan tubuhnya, melahap tetekku sembari memberi gigitan pelan.
Kali ini aku maju mundur sembari menikmati hisapan. Tak berapa lama di sini,
Jojo memegang pinggangku dan menaik turunkan bokongnya, mengambil alih
goyangku. Ditusuk dari bawah, aku menjerit-jerit kecil.
“Oooh.. oooh.. oooh.. yang… yang keras, yang…
oooh…”
Ia lalu membalikkanku tanpa mencabut dan
menyodok dari atas. Aku tahu sebentar lagi ia keluar. Aku segera menjepit-jepit
keras agar turut merasakan permainan yang dipersingkat ini. Tak lama kemudian,
ia benar-benar menjerit dan mencabut, menumpahkan semuanya di atas badanku.
Mengusapkan kepala penisnya ke bawah pusar, lalu memasukkan lagi ke vaginaku.
Memberi aku kesempatan untuk mencapai orgasmeku sebelum penis itu benar-benar
mengecil. Dan aku mendapatkannya malam itu.
“Aku minta maaf ya, yang,” Jojo kembali
membuka topik kemarin.
Aku menggeleng, dan bangkit dari tempat
tidur. “Enggak.”
“Loh, tapi tadi?”
“Kenapa tadi? Kamu
suka, kan? Kamu enak kan?”
Jojo mengangguk.
“Ya sudah, jangan ditanya. Aku ga maafin
kamu. Kamu ga boleh gitu lagi kalau terima telpon Ratih. Bila
perlu kamu tak perlu menerima telponnya lagi. Aku tak akan maafin kamu sampai
kamu benar-benar membuktikan bahwa kamu sudah tak ada apa-apa dengan Ratih.”
Jojo mengangguk lagi.
“Aku menerimamu lagi, kok. Sekarang kamu
istirahat, gih. Recovery. Aku mau mandi, orang rumah ga ada, kok.”
***
Bas meneleponku, ia akan datang malam ini.
Segera kukontak Jojo agar untuk sementara tidak mengusikku.
Saat pesawatnya tiba di Soekarno-Hatta, sore
itu, dan kami bertemu, aku melihatnya begitu kuyu. Letih luar biasa terlihat dari kuyu itu.
Seminggu dia meninggalkanku untuk
pekerjaan di Berau, Kalimantan Timur. Bila malam, ia masih sempat menelponku berjam-jam, dan
pagi sekali sudah bangun. Apalagi waktu di tempatnya satu jam lebih cepat dari Jakarta.
Bisa kubayangkan keletihan itu. Makanya aku
membiarkan dia tertidur sepanjang perjalanan kami menuju Carita, langsung dari
airport. Bas hanya bangun untuk makan di tempat peristirahatan di jalan tol.
Sempat juga dia memesan satu cup coffee yang baru dia minum menjelang kami tiba
di Carita. Rupanya segelas kopi dan tidur selama sejam cukup membuat tubuhnya
sedikit pulih.
Sebelum turun, aku sempat menggodanya. “Beib, aku butuh kamu terjaga malam ini, ya? Aku kangen banget.”
“Trus memang kita mau ronda?” canda Bas.
“Ah, beib. Aku butuh ini,” lalu aku mengelus
selangkangannya dari luar celana.
“Wuih, aku juga butuh ini, yang,” kata Bas
sambil memasuki rokku dengan jarinya. “Juga ini (tangannya menyentuh
payudaraku), dan ini (lalu Bas memulas bibirku dengan bibirnya).”
Kami lalu tak mau menunda lama untuk melepas
kangen itu. Setelah check-in dan mendapat kamar, aku langsung menubruknya,
menelanjanginya dan tak mau berlama-lama untuk pemanasan. Selangkanganku sudah basah sekali. Sepanjang
perjalanan aku sudah membayangkan untuk ditusuki oleh penis Bas yang tak pernah
terlupakan rasanya olehku itu. Sudah ingin diporak-porandakan oleh gayanya yang
cenderung ugal-ugalan bila get laid.
“Oh, punyamu sudah keras, Bas.”
“Apaku?”
“Kontolmu, sayang. Sudah keras banget,”
ralatku menyadari dia menyukai kevulgaran dalam bercinta. “Masukin, sayang,”
pintaku sambil menuntun penisnya memasukiku.
“Oh, kamu basah sekali, Wid. Habis dipakai,
ya?” tanya Bas seraya mendesah.
“Iya, sama dua kontol. Gede banget. Kamu sih
kelamaan,” aku menjawab mengikuti seleranya yang suka meracau tak karuan kalau
bercinta.
“Shit!” Bas mempercepat kocokan di memekku.
“Mereka tumpah di mana?”
“Di mana-mana. Di mulut, di dalem memek. Oooooh, Bassss… teruuus…”
Setelah beberapa menit, Bas mencabut kontolnya.
Menyodorkan ke mulutku. Dia memang paling
menyukai aku menikmati aroma memekku sendiri yang menempel di penisnya. Setelah
itu dia melap memekku yang sangat basah, lalu menjilatinya beberapa saat dan
kembali memasukiku. Makin lama gerakannya makin cepat, aku mulai kuatir. Aku
memang sudah ingin meledak dari tadi, tapi perjalanan yang cukup panjang
membuatku butuh waktu agak lama dari biasanya untuk orgasme.
“Wid, Wid, Wiiiiid… Oh aku mau tumpah, mana
mukamu.”
“Tahan, Bas. Tahan, sayang. Sebentar
lagiiiii…”
“Wiiiiiddd…” terlambat, Bas telah mencabut
penisnya dari lobangku dan mendekatkan selangkangan ke wajahku. Lalu seer,
seer, crottt, crottt, seer…
Aku ambil penis Bas, kujilati sisanya.
“Ooh, sorry, sayang. Aku tak tahan.” Lalu dia ambruk di sisiku.
“Iya, sayang. Gak apa. Istirahat dulu, nanti
lagi, ya. Aku belum.”
Lalu, Bas menarikku. Memeluk dan mencium
bibirku, lalu ambruk dengan tangan memegang kiri tetekku.
Aku menenangkan diri sebentar dengan segelas
air putih, tak beranjak menemaninya, lalu menyalakan televisi. Kulirik jam, 15
menitan tadi. Mestinya aku pun sampai. Tapi, barangkali karena tiba-tiba aku
butuh agak lama, dan Bas terlampau letih, hingga permainan itu tak bisa dicapai
secara bersama.
Aku memutuskan untuk menunggunya. Setengah
jam. Pelan kudengar dia mendengkur. Oh, my God. No. Aku tahu petanda apa ini. Bas
kalau sudah mendengkur berarti butuh tidur lama. Oh, no. No. No.
Benar saja, sejam setengah kemudian dia tetap
tak bergerak. Kadang dengkurnya keras, kadang lembut, lalu hilang, tapi tak
lama mendengkur lagi. Oh, kau letih sekali, Bas. Mereka mengambil tenagamu dan
aku tadi tak menunggu kau pulih.
Tapi di bawahku sangat bergelora. Aku lalu
bangun, berinisiatif membangunkannya dengan caraku. Kucelentangkan dia, kuambil
kontolnya, kujilati pelan lalu mengulumnya, menjilati bolanya, naik ke atas
menjilati putingnya. Dan Bas mengelus rambutku, aku mendongak, melihatnya
tersenyum tapi mata tetap terpejam.
“Enak, yang. Bobo, yuk.”
Uh! Enak, yang, tapi bobo yuk. Aku tak peduli, mencoba terus. Lima menit
berlalu, agaknya usahaku sia-sia. Penisnya tak kunjung tegak. Ini bukan
biasanya. Biasanya mata Bas merem tapi penisnya bisa tegak dan aku tinggal
menaikinya. Tak peduli dia tidur. Oh, Bas kamu kenapa?
Akhirnya aku menyerah. Aku turun dari tempat
tidur ke toilet. Membersihkan mukaku, lalu mandi sebentar, sekadar basah dan
seka dengan sabun sekenanya, bilas lalu mengeringkan badan. Kulihat dia tetap
tidur.
Air dingin tadi tak sanggup mendinginkan
geloraku. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Tak bisa melihat Bas terus tanpa
terangsang.
Aku mengambil pakaian tidurku. Merah menyala
dengan bordir bunga, dengan panjang hanya sejengkal dari selangkanganku. Hanya CD yang kukenakan di dalam, aku tak
mengambil lagi bra-ku. Lalu kuambil cardigan hitam dan mengancingnya hingga
atas. Kurasa di bawah tak terlalu dingin. Dan aku tak mau repot nanti kalau
sewaktu-waktu Bas menelponku, memintaku ke atas dan mengulangi permainan tadi.
Kukecup pipinya dan pamitan, “Beib, aku ke bawah
ya. Cari minuman. Kamu telpon
aku kalau udah siap, ya.”
Kulihat Bas mengangguk.
***
Bar hotel ini kecil saja. Hari masih pukul 23.00, belum terlalu malam,
tapi sudah sepi. Tak ada siapapun kecuali satu bartender dan satu orang yang
memainkan organ tunggal. Mereka berdiam masing-masing. Memang sepi. Barangkali
karena ini hari Senin dan Carita adalah tempat berlibur, bukan bisnis sehingga
sepi pengunjung di hari kerja.
Aku mendekat dan memesan Margarita. Campuran 1,5 oz tequila ditambah setengah oz
triple sec, diberi lime juice dan dibubuhi garam. Ini cukup membuat darahku
agak tenang rasanya.
Aku meminta pemain organ memainkan musik yang
agak lembut. “Apa saja, asal lembut,” pesanku kepada bartender. Sebelum pergi,
aku meminta sebungkus rokok mentol putih.
Sembari berdiam sendiri, aku mengirim SMS ke
beberapa kawan, sekadar hai dan yang membalas kulanjutkan ngobrol dengannya via
SMS. Aku memesan satu margarita lagi sembari melihat jam. Sudah 00.10, hmh… Bas
belum bangun juga.
“Datang sendiri?” tanya bartender sembari
menyorongkan margarita gelas kedua.
“Nggak. Sama suami. Di atas dia, lagi ada
pekerjaan,” jawabku asal.
Dia mengangguk-angguk.
“Sepi, ya? Apa karena hari Senin?” aku balik
bertanya.
“Belakangan ini, Jumat atau Sabtu pun di bar
ini sepi. Tamu hotel lebih suka pergi keluar. Yang dari luar juga sudah mulai
jarang datang. Apalagi sekarang tamu hotel juga kayaknya gak banyak,” dia
menjawab panjang lebar. Lalu, kepalanya mendongak dan menebar senyum. Rupanya
ada yang datang di belakangku.
“Hai, mister… please,” ia menyorongkan
tangannya terbuka menunjuk ke tempat di mana saja yang baru datang itu bisa
duduk.
Aku tak menoleh. Dari sapaan mister, aku bisa
menduga seorang bule tua sedang masuk.
“Hai, apa kabar?” oh dia bisa berbahasa
Indonesia. Lalu duduk. “Boleh?” pertanyaan ini buatku.
“Oh, silakan.” Lalu ia duduk di sebelahku di
meja bar itu.
“Beer,” pesannya.
Mereka lalu bercakap. Sesekali aku melihat. Oh, salah rupanya. Bukan bule tua. Tidak muda juga. Kutaksir
usianya mungkin sekitar 40-an. Bulu tangannya sedikit bahkan terlalu sedikit
untuk ukuran orang Indonesia. Aku sendiri tak suka dengan bulu tangan atau bulu
di bagian manapun sehingga menganggap cowok ini cukup memikat. Perawakannya
tinggi, lebih tinggi bahkan dari Bas yang bagi orang Indonesia sudah masuk
golongan tinggi. Sedikit kekar.
Ia menggunakan celana putih selutut longgar
dan kemeja tipis biru. Sesekali ia melirik ke bawah dan terus ke bawah kanan.
Itu berarti melirik pahaku yang memang bertebaran ke mana-mana karena hanya
menggunakan lingerie strach lace. Tangan kirinya kadang turun ke bawah
membetulkan sesuatu di selangkangannya. Aku bisa melihat ia menggeser posisi
penisnya ke arah kiri dan meratakn posisinya.
Oh, shit! Aku tentu bisa melihat panjang dan
besarnya dari luar celananya. Agaknya bule ini tak menggunakan celana dalam
lagi. Aku mulai pusing.
Kucoba telpon ke HP Bas, lima kali tak juga
diangkat. Meminta ke bartender untuk menelpon ke kamarku berbarengan dan aku
menelponnya lagi. Juga tidak ada yang mengangkat. Bas tidur atau pingsan ini?
Aku lalu bangun, meminta bartender memasukkan
tagihanku ke kamar. Tapi si
bule ini menyela, “biar masukkan ke saya saja. Kamu sudah mau tidur? Kita jalan
bersama.”
Ia lalu mengenalkan dirinya, Martin. Dari
Swedia. Ia tengah datang untuk assessment suatu bisnis di Banten ini.
“Kamu datang dengan boy friend?”
Aku mengangguk.
“Dia yang tadi kamu telpon dan tidak angkat?”
Aku mengangguk lagi. Kami sama-sama memilih
tangga ketimbang lift. Toh aku di lantai dua.
Setiba di lantai dua, aku bertanya? “Kamu di lantai ini juga?”
Martin menggeleng, “tidak saya satu lantai
lagi. Mau ke atas sama saya? Your boy friend need some rest, I think. And I can see you didn’t
sleepy actually.”
“Kamu juga belum mau tidur?” tanyaku. Dia menggeleng.
Aku mengikuti ajakannya.
“Mengapa kamu belum tidur?” Martin bertanya. Kami sudah tiba di muka kamarnya.
“Honestly,” kataku. “I need sex tonight.”
Martin mempercepat membuka kamarnya.
Menyilakan aku masuk lebih dulu. Menyelipkan kuncinya sehingga kamarnya terang.
Dan di pintu itu juga ia meraih leherku, yang itu berarti ia harus tertunduk
sangat jauh, membisikan kata-kata di telingaku. “Saya bisa kasih kalau kamu
mau.”
Aku agak ill feel sebetulnya mendengar dia
berbahasa Indonesia,
seperti mendengar kumpeni bicara. Tapi aku hargai keinginannya untuk belajar
mengasah bahasa Indonesianya.
“So, fuck me, Martin. Here, now, and very
hard.”
Martin membopongku ke tempat tidur. Lalu aku
membuka cardigan dan menyisakan lingerie saja. Martin membuka kemejanya, lalu
menciumku, memainkan lidahku dan tiba-tiba ia turun ke bawah, ke
selangkanganku. Mengelus celana dalamku dari luar, lalu menjilati tepiannya
sementara satu tangannya sibuk menjalar ke mana-mana. Oh, aku mulai meledak
lagi.
Ia lalu membuka CD-ku dan terpana melihat
vagina menumpuk milikku yang tanpa satu bulu pun.
“Oh, its nice. I love your pussy. I’ll make
you sweat, I promise.”
“So, make it happen and don’t talk too much,”
aku merintih.
Lidahnya telah mengorek memekku, masuk terus
ke dalam, berputar di dalam dan sesekali keluar masuk menusuk-nusuk. Lidahnya kasar, lebih kasar dari Bas yang
sangat kusukai permainan oralnya. Kedua tanganku meraba rambutnya, mengusapnya,
lalu aku mengangkat kaki, menggantikan tanganku dengan kaki. Ia terus bekerja
tanpa memedulikan kakiku yang telah mengusak-usak rambut tipisnya, sementara
kedua tanganku bekerja di dua tetekku.
“Shit, Martin… I love your tounge.”
Cukup lama ia bermain di bawah sana, hingga
aku tak tahan dan betul-betul meledak. Aku melenguh panjang dan merentangkan
kaki. Martin menaikiku, mencium lembut bibirku. Aku tiba pada keinginanku yang
tertunda tadi.
“Oh, enak Martin. Kamu hebat. Aku
merasakannya barusan.”
“Kamu sudah?”
Aku mengangguk. “But not enough.”
Martin tersenyum lalu melumat bibirku.
Lidahnya dijulurkan lagi, aku menyambutnya. Lalu aku membalik tubuh, gantian
menaikinya sambil terus berciuman sangat dalam. Kusapu gigi atas dan bawahnya
bergantian dengan lidahku. Lalu kuambi kedua bibirnya masuk ke dalam bibirku.
“Mmmmhh… fuck. Your fuckin’ cunt, Wiwid.
Great kisser.”
Aku lalu turun terus ke leher, mampir ke
kedua putingnya, bergerak agak lama di sana. Memainkan lidahku bergantian,
terus turun ke perut, pusar. Membantu Martin membuka celananya. Bangsat! Aku sudah dikerjainya sekali dan dia
tegak benar pun belum. Lidahku lalu bermain di selangkangannya. Menjilati
seputaran kontolanya sembari tanganku meraih batang yang mulai memanjang dan
membesar itu. Lidahku menjalar terus ke dua bolanya. Menjilati bagian itu yang
menyisakan sedikit rambut di sana, terus memutar lidahku di kedua bola sembari
tanganku mulai mengocok pelan batangnya yang betul-betul kian membesar dan
memanjang itu. Lidahku mulai naik dari kantong zakarnya ke atas, menyusuri
batang yang kurasa sangat lama hingga ke ujungnya.
Ooh… aku bisa memastikan bakal ada rasa perih
pada mulanya kelak. Aku memerhatikan dari atas kontol Martin yang telah tegak
sempurna. Lalu aku mulai mengocok dengan mulutku. Masuk, batangnya dapat masuk
meski aku harus membuka mulut terlalu lebar. Lalu kucoba memasukkan terus…
Horgh… ohhhh... horgh… rasanya sudah mentok dan batang itu masih menyisakan
segenggaman jariku di luar. Aku betul-betul bernafsu hebat membayangkan bahwa
sebentar lagi, kapanpun aku mau, batang besar dan panjang ini, lebih besar dari
milik siapapun yang pernah kurasai, akan memasuki.
Terserah dengan cara apa ia akan memasukiku,
sekasar apapun aku akan menerimanya. Aku pun mempercepat keluar masuk kontolnya
di mulutku, memberi putaran lidah di dalam sehingga membuat Martin
menggelinjang dan sedikit menjambak rambutku. Ia lalu tak melepaskan pegangan
pada rambutku itu lalu membimbingku lebih cepat dengan menaikturunkan kepalaku.
Aku tak kuat. Aku langsung bangkit,
menyiapkan lubangku dan menuntun penisnya memasuki vaginaku. (Ah tak enak
istilahnya penis dan vagina, kukoreksi: menuntun kontol besar dan panjangnya
memasuki memekku yang haus akan sodokan keras). Kontol Martin ini terbesar yang
akan segera memasukiku. Lebih besar dari siapapun yang pernah mengeram di dalam
sana.
Hampir dua kali lebih besar dari Bas, bahkan
lebih besar dari Valdi yang sebelumnya kurasa paling besar yang pernah melesak
ke dalam memekku dan menumpahkan peju di sana. Lebih besar dari bule… shit
siapa namanya mantan pacar Hesti yang pernah kuberi hand and blow job di
kontrakan mereka, ketika Hesti terkapar mabuk dan tak sanggup melayani pacarnya
sendiri.
Martin mau bangkit untuk mengambil alih
posisi. Aku mencegahnya. “No, no baby… biar aku saja.” Kontol ini terlalu besar untuk dibiarkan
masuk sendiri. Bisa-bisa aku menjerit kesakitan.
Dan ini pun, oh dan ini pun, ampun…. Aku tak bisa mengontrol diriku. Meski aku
yang mengambil peran di atas tapi aku tak sanggup untuk menahan diriku untuk
tidak berteriak. Belum semua milik Martin masuk.
“Ooooohhhh… damn you, Martin. Diam, Martin,
diam.” Aku meracau tak karuan.
Oooh, kapan habisnya ini. Belum masuk semua.
Aku menahannya pada suatu posisi yang kurasa sudah cukup dalam, lalu bergerak
pelan naik turun. Merasakan tiap inchinya.
Martin keenakan di bawah sana. Tangannya memainkan kedua payudaraku, terus
meraba ke bawah hingga bongkahan pantatku dan membantuku menahan beban tubuh
yang setelah lima menit mulai merasa berada di ujung nikmat.
Oh, tapi aku belum mau selesai. Aku mencabut
penisnya, memberi istirahat pada memekku yang langsung berkedut hebat. Aku memulas
batang besar ini dengan lidahku, lalu mengambil posisi menungging.
“Lick my ass, Martin and stick your big dig
into my wet pussy,” perintahku.
Martin bangun, menjilati dan mengecup semua
bongkah pantatku hingga tiba di mulutnya dan mulai memainkan lidahnya, dari
luar lalu pelan memutar ke dalam, terus ke dalam.
Ooohhh…
Ia mengulanginya lagi dari luar hingga empat
kali, lalu bangkit, mengarahkan batangnya yang kulihat menggantung tegak. Aku mengangkang agak lebar agar memberi jalan
lebih mudah, dan… heg!
“Anjing!” Aku memekik.
“What?” Martin belum tahu apa itu anjing atau
ia tak tahu dalam beberapa situasi “anjing” bisa berarti pujian atau rasa
sukur.
“Rape, me. Drill your bitch!”
Martin mulai mengerti, ia lalu menghentak
sekali lagi. “Anjing!”
Lalu ia menusuk dengan lebih cepat, lebih
cepat, lebih cepat…
Aaaaahhhhh… aku tiada merasakan apapun
kecuali kesakitan. Tapi
aku tak mau ia berhenti. Aku menjerit sekuatnya.
“Aaaaaahhhh… Martin your hurt me, fuck… you
hurt me… don’t stop… Martiiiiiiiiiiinnn…”
Tak ada lima menit ia mengendurkan adukannya
pada lubangku. Aku mulai
mengatur nafas, dan merasakan gesekan nikmat yang gak ketulungan. Oh, rasanya
sedikit lagi. Aku membutuhkan gerakan keras dan cepat.
“Martin, I’ll cummin’ … I’ll cummin’, make it
quit.”
“Yes, baby… I’m coming now…” rupanya ia pun
merasakan sensasi hebat di dalam sana. Ia makin cepat, cepat, cepat dan
akhirnya…
“Bitch! Oh, Wid. Your tight pussy… Oooh…
fuck!! Fuck!!!
Oooh…” bersamaan dengan itu ia menyembur… terasa benar. Sekali, dua kali, tiga
kali, empat kali, lima kali, dan oh, masih… enam kali. Aku ambruk tengkurap dan
ia langsung setengah menindihku. Menciumi pelan
keringat di pundakku.
“Oh, thank you, Wiwid. I love your tight
pussy.”
Aku berbalik dan mengambil kontolnya yang
sedang perlahan melemas. Aku beri lumatan di kepalanya dan membuat ia menjerit…
“Oooh… no, please…. I can’t take it.”
Aku tak peduli, ia berusaha terus menarik
kepalaku dari sana. Tapi aku terus menyedot sisa sperma dan mengulum kepala
penisnya yang mengilat karena bergesekan dengan vaginaku.
Oh, Bas. I’m sorry. I know you will
understand. Kau terlalu
lelah malam ini, Bas.
0 komentar:
Posting Komentar