Cerita Eksibisionis Gaby : Cerita 2 Gaby, Istri yang Ternoda: Semakin Binalnya Diriku
Gaby
Selepas petang, aku melamun sendirian di ruang tamu. Aku bimbang. Aku
berencana untuk memenuhi keinginan busuk Cakra, demi keselamatan Mas
Hendra. Tapi, aku juga belum siap. Aku tidak rela Cakra menyetubuhiku
lagi. Lagipula aku juga tidak berani pergi ke rumahnya malam-malam tanpa
pakaian. Itu adalah hal gila yang sungguh tidak layak dilakukan oleh
perempuan baik-baik sepertiku. Aku coba meminta kepada Cakra untuk
membatalkan niatnya itu. Barangkali ia masih punya hati untuk mendengar
permintaanku. Segera aku raih ponselku, lalu meneleponnya. Setelah
beberapa kali terdengar nada sambung, teleponku diangkat.
“Halo,” kata Cakra di ujung telepon sana.
“Halo Mas Cakra, ini aku, Gaby,” ucapku, dengan nada agak gemetar. “Mas,
aku tidak bisa menuruti kemauan Mas Cakra. Tapi aku mohon dengan
sangat, Mas, jangan celakakan Mas Hendra....”
“Ketentuanku sudah jelas! Kalau kamu nggak mau, tanggung sendiri
akibatnya!” bentak Cakra. Seketika rasa takut mendera hatiku.
“Aku mohon, Mas. Aku nggak bisa melakukan hal itu. Tolong, Mas...,” aku
mulai terisak.
“Masa bodoh! Besok pagi saat Hendra berangkat kerja, aku dan
teman-temanku akan menculiknya! Kamu siap-siap saja mendengar kabar duka
tentang Hendra,” kata Cakra, tajam.
Aku menutup mulutku, tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang
bakalan menimpa Mas Hendra jika aku tidak mau memenuhi keinginan Cakra.
Tubuhku lemas. Pikiranku pun kacau.
Tiba-tiba, Cakra menutup teleponnya. Aku panik, lalu segera meneleponnya
lagi.
“Mas... Mas... baiklah, nanti malam aku akan datang ke rumah Mas Cakra.
Tapi tolong, izinkan aku memakai pakaian. Kali ini tolong kabulkan
permintaanku, Mas. Aku akan melakukan apa pun yang Mas Cakra mau. Apa
pun. Tapi aku mohon biarkan aku memakai pakaian saat ke rumah Mas Cakra
nanti,” aku berucap dengan hati-hati supaya Cakra tidak kehilangan
kesabaran.
“Kemauanku sudah jelas. Nggak bisa ditawar lagi,” Cakra berkata dengan
singkat, lalu menutup teleponnya. Aku langsung terduduk lemas.
****
Mas Hendra baru pulang pada jam 9 malam. Ia kelihatan sangat lelah. Aku
merasa kasihan sekali. Ia telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
kami, dan tentu saja menabung. Kami bermimpi untuk membeli rumah
sehingga tidak perlu mengontrak lagi.
“Mas, langsung mandi, ya. Aku akan memanaskan makanan, lalu kita makan
bersama-sama,” kataku kepada Mas Hendra.
“Lho, kamu belum makan?”
“Belum, Mas. Aku sengaja menunggu Mas Hendra,” ujarku, lembut. Mas
Hendra tersenyum, lalu bergegas ke kamar mandi.
Mas Hendra terlihat lebih segar setelah mandi. Kami pun segera makan
malam. Mas Hendra makan dengan lahap. Rupanya ia benar-benar kelaparan.
Tenaganya terkuras untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya yang
menumpuk. Setelah makan, kami langsung masuk ke kamar.
“Sayang, aku capek banget. Aku tidur duluan, ya,” ujar Mas Hendra,
lantas memejamkan matanya. Aku tersenyum, lalu mengecup keningnya. Tidak
berapa lama kemudian, ia tampak tertidur dengan pulas, sementara aku
masih terjaga karena gelisah.
Sebenarnya aku bersyukur Mas Hendra pulang dalam keadaan lelah. Kalau
sudah begitu, biasanya ia akan tidur sampai pagi tanpa terbangun sama
sekali. Jadi sepertinya nanti aku bisa pergi ke rumah Cakra dengan
tenang. Aku mencoba tidur, dan sudah memasang alarm pukul setengah satu
dini hari. Lumayan jika aku bisa tidur selama satu atau dua jam. Tapi,
mataku tidak kunjung terpejam. Aku terlalu gelisah. Aku sudah coba
membaca buku, tapi tetap saja rasa rasa kantuk tidak kunjung datang.
Hingga akhirnya tanpa terasa waktu yang ditentukan telah tiba. Jam
dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan perlahan, lalu keluar kamar.
Sesaat sebelum menutup pintu, aku memandang Mas Hendra yang sedang tidur
nyenyak.
“Mas, maafkan aku...,”ujarku, lirih, nyaris terisak. Untuk berjaga-jaga,
aku mengunci pintu kamar dari luar.
Aku berpindah ke kamar tidur tamu, berdiri di depan cermin besar di
sana. Aku mulai melucuti dasterku hingga tinggal mengenakan pakaian
dalam saja. Aku merapikan rambutku, lalu menjepitnya dengan jepitan
rambut. Saat lenganku terangkat, tampak ketiakku yang halus dan mulus.
Tadi siang aku memang baru saja mencukurnya. Aku melepas BH-ku perlahan
hingga tersingkaplah dadaku yang bulat dan indah. Kemudian aku melepas
celana dalam. Aku memandang tubuhku dari depan cermin. Daerah
kewanitaanku tampak memesona dengan bulu-bulu hitam yang tercukur rapi,
kontras dengan pahaku yang putih dan berisi. Dalam hati, aku kagum pada
tubuhku sendiri, begitu sintal dan mulus. Padahal, aku tidak pernah
melakukan perawatan tubuh secara khusus. Aku segera menuju pintu
belakang. Tak kusangka, rupanya Cakra sudah menunggu di pintu belakang
rumahnya sambil merokok. Aku memandang sekeliling dengan berdebar-debar,
takut ada orang yang melihatku.
Setelah menarik napas, aku langsung melangkah menuju rumah Cakra. Ya,
tanpa pakaian sehelaipun! Benar-benar telanjang!
Aku berjalan dengan napas memburu. Aku sangat takut bila sampai ketahuan
orang. Aku langsung menghampiri Cakra. Ia tampak terpukau sejenak,
melihat tubuhku dari atas ke bawah dengan pandangan penuh kekaguman. Aku
merasa risih, lalu memaksa masuk ke dalam rumahnya. Cakra membawaku ke
kamarnya. Aku langsung duduk di tempat tidurnya sambil berusaha menutupi
dada dan kemaluanku, sementara ia keluar sebentar untuk menutup pintu
belakang. Setelah masuk kamar, ia langsung mengunci pintunya, lalu
membuka kausnya. Lagi-lagi aku terpesona dengan dadanya yang bidang dan
perutnya yang sixpack, tubuh yang menjadi objek khayalanku saat aku
bermasturbasi beberapa hari yang lalu.
“Gaby, terima kasih sudah datang,” ujarnya sambil terkekeh.
Aku hanya membuang mukaku, sembari menanti apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Cakra menghampiriku, lalu berusaha menciumku. “Ayo Gaby, layaniku aku
lagi,” ujarnya.
Kata-katanya benar-benar kurang ajar, seolah-olah aku adalah pelacur
yang bisa dinikmatinya kapan saja. Aku berusaha menghindar. Namun,
upayaku kalah oleh tangan Cakra yang kekar. Ia berhasil menarik wajahku,
lalu mencium bibirku dengan penuh nafsu. Aku gelagapan menerima
ciumannya. Lidahnya bermain-main di dalam mulutku, sementara tangannya
meremas-remas dadaku. Aku benci mengakuinya, tapi gairahku perlahan
mulai bangkit. Tanpa aku sadari, aku membalas ciuman Cakra tidak kalah
panasnya. Kami berciuman selama beberapa saat. Kemudian, Cakra
menurunkan ciumannya ke arah leherku, lantas turun lagi hingga dadaku.
Ia menjilat-jilat payudaraku, dan sesekali mencupangnya. Aku hanya bisa
pasrah menerima cumbuan yang begitu nikmat itu. Gairahku semakin
terbakar saat Cakra mengangkat tanganku, lalu melumat ketiakku.
“Ssshhh... ssshhh...,” aku melenguh keenakan.
Cakra berhenti sejenak, lalu mengambil tali di samping tempat tidur.
Sepertinya ia sudah menyiapkan tali tersebut.
“Mau buat apa, Mas?” tanyaku dengan napas tertahan, takut Cakra akan
bertindak macam-macam.
“Sudah, kamu diam saja. Sini tanganmu!” bentak Cakra.
Aku tidak berkata apa-apa lagi, lalu menyerahkan kedua tanganku
kepadanya, pasrah. Dia mengikat tanganku dengan erat, lalu mengangkatnya
dan mengikatnya ke tiang tempat tidur. Kini tubuhku telentang dengan
kedua tangan terangkat dan terikat.
Cakra terkekeh, lalu mulai menjilati dan mencupang dadaku. Aku
mendesah-desah tak karuan. Kemudian, Cakra membuka pahaku. Tanpa banyak
kata, ia langsung menjilat vaginaku. Aku semakin belingsatan. Aku
menahan gairah dengan merapatkan pahaku hingga kepala Cakra tertekan.
Cakra memainkan lidahnya di liang vaginaku pintarnya. Desahanku semakin
keras. Namun, aku berusaha menahannya ketika teringat bahwa di rumah itu
juga ada nenek Cakra. Aku tidak mau dia tiba-tiba terbangun, lalu
melihatku sedang digauli oleh Cakra di rumahnya. Mau taruh di mana
mukaku? Kenikmatan yang aku rasakan semakin hebat seiring dengan jilatan
Cakra yang semakin cepat. Lidahnya benar-benar lincah. Aku dibuatnya
melayang. Tubuhku menggeliat-geliat, namun tanganku tidak bisa apa-apa
karena terikat kuat. Setelah puas mengoralku, Cakra melepaskan ikatanku.
Ia membuka celananya dengan cepat, lalu menyodorkan penisnya yang sudah
tegak itu ke mukaku.
Aku tidak kuasa menolaknya, lalu langsung mengulumnya dengan perlahan.
Penis Cakra berbau anyir, namun entah kenapa bau tersebut malah semakin
meningkatkan nafsuku. Kini sudah tidak ada lagi Gaby sang istri setia.
Yang ada hanya Gaby yang sedang diperbudak nafsunya sendiri. Cakra
melenguh keenakan sambil memejamkan matanya. Ia tampak begitu menghayati
kulumanku. Ia meremas-remas kepalaku, menimbulkan sensasi tersendiri
dalam diriku. Aku pun semakin semangat mengoral penis Cakra yang semakin
lama semakin keras itu. Penis Cakra membuatku terkagum-kagum. Sangat
keras, tegak, dan perkasa. Aaah, aku ingin kembali merasakan penis yang
luar biasa itu....Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Cakra menghentikan
kulumanku, lalu merebahkanku. Aku memandangnya dengan pandangan sayu
karena nafsu. Dadaku turun naik seiring dengan napasku yang memburu.
Cakra menaikkan kedua kakiku, lalu menggesek-gesekkan penisnya di
vaginaku.
“Aaah... Aaah...,” aku hanya bisa mendesah, menahan rasa gatal yang luar
biasa di vaginaku.
“Mas... jangan, Mas...” ujarku, lirih.
Tanganku menahan perut Cakra yang kotak-kotak itu, bermaksud
mencegahnya. Meskipun aku sangat menginginkan penis Cakra, namun rupanya
sebagian diriku masih ingat bahwa aku adalah istri orang. Istri Mas
Hendra, pria baik hati dan pekerja keras. Cakra tidak peduli dengan
upayaku yang sia-sia itu. Pelan-pelan ia mulai memasukkan penisnya.
“Jangan, Mas... Ooouuuuuh...,” aku melenguh panjang saat penis Cakra
masuk dengan leluasa ke dalam liang kenikmatanku yang sudah basah itu.
Lantas Cakra mulai menyetubuhiku. Ia menggenjotku hingga ranjang yang
menjadi saksi kenikmatan kami berdua berderit-derit.
“Bagaimana rasanya, Gaby... enak, kan... enak, kan...,” ujar Cakra
sambil menyeringai.
Sungguh sebuah pertanyaan yang kurang ajar. Namun, aku benar-benar telah
dikuasai nafsu. Aku malah menjawab,
“Iya, Mas... terus, Mas... terus....”
Desahanku sepertinya membuat nafsu Cakra semakin memuncak. Ia memegang
kepalaku, lalu melumat bibirku dengan ganasnya, sambil tetap menggenjot
dengan kuat. Setelah beberapa lama, dia berhenti menggenjot, lalu
menyuruhku menungging. Aku menuruti kemauannya dengan pasrah.
Cakra meremas belahan pantatku yang padat itu. Sepertinya ia sangat
gemas. Ia menjilat-jilatnya, dan bahkan menggigit-gigitnya. Ia tidak
peduli meskipun aku mengaduh kesakitan. Ia tetap memainkan bongkahan
pantatku itu dengan kasar. Setelah puas, Cakra lantas memasukkan
penisnya. Mataku langsung terpejam merasakan sensasi saat penis Cakra
yang keras itu masuk ke vaginaku. Cakra mulai menggenjot lagi sambil
mencengkeram belahan pantatku dengan kuatnya.
“Plok... plok... plok...,” begitu suara yang muncul saat paha Cakra
beradu dengan pantatku. Oooh, nikmat sekali rasanya.
“Terus, Mas... setubuhiku aku... perlakukan aku semaumu... terus,
Mas...,” aku mulai meracau tak jelas.
Tanganku memegang tiang tempat tidur dengan erat. Aku benar-benar telah
diperbudak oleh nafsu. Vaginaku pasti sudah basah sekali. Saat penghuni
rumah yang lain tertidur lelap, aku dan Cakra memadu kasih dengan
panasnya. Seorang istri yang cantik namun tak berdaya, digauli oleh
seorang preman bertubuh kekar. Preman itu telah memberiku kenikmatan
yang tidak aku dapatkan dari suami yang sangat aku cintai. Tidak lama
kemudian, Cakra berhenti menggenjot. Ia berpindah posisi ke bawahku.
Rupanya ia menginginkan posisi woman on top. Aku secara spontan naik ke
atas tubuhnya, lalu mengarahkan vaginaku ke penis Cakra. Perlahan-lahan
kuturunkan tubuhku hingga penis Cakra melesak masuk memenuhi rongga
senggamaku. Aku menggigit bibir sambil mendesah. Pada posisi itu, Cakra
tidak menggenjot sama sekali. Terpaksa aku menaik-turunkan tubuhku untuk
mendapatkan kenikmatan kembali. Kali ini aku yang bergerak aktif.
Tanganku meraba-raba dada Cakra yang bidang. Aku menggoyang-goyangkan
pinggul dengan mata terpejam sambil mengahayati rasa nikmat yang mendera
tubuhku. Saat aku membuka mata, aku lihat Cakra sedang memandangiku
sambil terkekeh. Tangannya berada di belakang, menyangka kepalanya
dengan santai. Aku merasa malu sekali. Aku seperti seorang pelacur binal
yang sedang mendaki puncak kenikmatan bersama seorang berandal.
Tiba-tiba, Cakra merengkuh tubuhku, lalu melumat bibirku. Salah satu
tangannya memainkan dadaku yang putih dan padat itu dengan kasar. Aku
membalas ciumannya dengan tidak kalah ganas pula. Aku mengisap-isap
lidah Cakra, lalu menelan ludahnya yang masuk ke dalam mulutku.
Sementara itu, Cakra menggenjotku dalam gerakan yang cepat.
“Oouh... ouhh... aku mau keluar, Mas,” kataku di sela-sela ciuman panas
yang kami lakukan.
Cakra membalas ucapanku dengan mempercepat gerakannya. Vaginaku terasa
seperti mau meledak.
Tubuhku menegang kuat. Kedua tanganku memeluk Cakra dengan erat, seolah
tidak mau lepas. Aku sudah benar-benar lupa bahwa dia adalah preman yang
kerap berlaku kasar kepada suamiku.
Tidak lama kemudian....
“AAAaaaaaah...,” aku menjerit tertahan. Kepalaku mendongak ke atas, dan
mataku sayu. Aku serasa terbang ke awang-awang. Waktu seolah-olah
berhenti. Aku telah mencapai orgasme dalam posisi woman on top. Aku
telah meraih kenikmatan yang luar biasa!
Cakra terlihat memperlambat genjotannya. Sepertinya ia memberiku
kesempatan untuk menikmati orgasme tersebut. Setelah beberapa detik, aku
langsung mencium bibir Cakra dan memeluknya dengan erat, seperti
berterima kasih kepadanya karena telah memberiku kenikmatan yang sulit
digambarkan dengan kata-kata.
Cakra
Cakra hendak menuntaskan semuanya. Ia kembali menggenjot dengan cepat
sambil mencengkeram pantatku. Napasnya terasa memburu. Kali ini aku
membantunya dengan memainkan kedua putingnya dan mengulum telinganya.
Aku melakukannya secara spontan. Aku benar-benar sudah seperti seorang
pelacur.
Leher Cakra terlihat tegang, dan kemudian... “Aaaaaah... Aahh....” ia
telah mencapai orgasmenya.
Aku merasakan spermanya menyembur di dalam vaginaku. Untuk kedua
kalinya, rahimku terisi oleh cairan kelelakiannya. Setelah itu kami
terdiam, tetap dalam posisi semula. Napas kami tersengal-sengal. Peluh
menghiasi tubuhku dan tubuh Cakra. Aku merasa lemas sekali, juga
mengantuk. Kalau saja itu adalah rumahku, maka aku akan langsung
tertidur. Tapi, aku harus pulang. Aku segera beranjak dari tempat tidur,
melepas penis Cakra dari vaginaku.
“Mas, aku pamit pulang. Keburu pagi,” ujarku sambil merapikan rambut.
Cakra masih terbaring lemas di ranjang. Ia hanya menyahut singkat. “Ya,
pulanglah. Terima kasih untuk malam ini.”
“Rupanya preman begundal ini bisa juga berterima kasih,” batinku, heran.
Aku teringat, dulu ia juga pernah berterima kasih kepadaku saat
menurunkanku di depan rumah setelah aku melayaninya. Sepertinya ia
merasa puas sekali hingga bisa berucap terima kasih seperti itu. Aku
segera keluar dari kamarnya, menuju pintu belakang. Setelah
celingak-celinguk dan memastikan tidak ada orang di sekitar sana, aku
langsung melangkah dengan cepat menuju rumah, tentu saja masih dalam
keadaan telanjang. Namun, sekarang kondisiku lebih kacau. Rambut
acak-acakan, tubuh berkeringat, dan vagina terasa lengket. Setelah tiba
di dalam rumah, aku bergegas mengunci pintu, lalu membersihkan diri
sekenanya di kamar mandi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Seusai
mengenakan pakaian, aku masuk ke dalam kamar. Aku lihat Mas Hendra masih
tertidur dengan pulas. Ia tidak tahu kejadian apa yang baru saja
dialami oleh istrinya. Aku merapikan selimut yang tersingkap dari tubuh
Mas Hendra, lalu mengecup kening suamiku itu. Lagi-lagi aku sedih saat
teringat bahwa aku mau saja melayani nafsu bejat Cakra, dan bahkan turut
menikmatinya. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Mas Hendra, mohon maafkan aku...,” ucapku dalam hati.
Tak terasa, air mataku mengalir. Meskipun sedih, namun tubuhku terasa
nyaman dan lega setelah meraih puncak kenikmatan bersama Cakra tadi.
Tidak lama kemudian, aku pun tertidur saking lelahnya.
-------------------------------
Tak terasa, seminggu sudah sejak peristiwa gila itu terjadi. Sudah
seminggu ini pula Cakra tidak terlihat di rumahnya. Mungkin ia sedang
“bertugas” bersama teman-temannya, membajak truk-truk yang melewati
daerah kekuasaan mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku
geleng-geleng kepala. Aku hampir tidak percaya telah melakukannya,
meninggalkan suamiku pada tengah malam buta, lalu berjalan ke rumah
Cakra dalam keadaan telanjang bulat. Kejadian itu masih saja
terbayang-bayang. Sensasinya begitu luar biasa. Oooh... mengingatnya
membuatku bergairah. Jantungku berdebar-debar. Harus aku akui, nafsu
seksku rasanya semakin meningkat saja. Namun, sayang seribu sayang, Mas
Hendra tidak bisa mengimbanginya. Aku sudah sering memancing-mancingnya,
tapi ia seperti tidak paham sama sekali. Akhirnya aku pun memilih untuk
bermasturbasi demi memuaskan hasratku yang semakin tinggi ini. Sensasi
yang aku rasakan ketika berjalan ke rumah Cakra tanpa sehelai benang pun
sungguh tak terlupakan. Kadang aku ingin mengulang lagi sensasi itu.
Seperti yang aku lakukan dua hari yang lalu. Saat itu aku sudah tidak
kuat lagi menahan nafsuku. Setelah suamiku tidur, aku berjalan kaki ke
sawah di dekat rumah dengan mengenakan daster dan membawa senter.
Sesampainya di sana, aku nekat melepaskan seluruh pakaianku. Kemudian
aku bermasturbasi di sana, duduk di pinggir sungai di bawah langit malam
yang begitu cerah. Aku meremas-remas payudaraku sendiri serta
menggesek-gesekkan vaginaku. Ah, rasanya nikmat sekali. Sensasi
bertelanjang bulat di ruang terbuka meningkatkan gairahku. Saat itu
tidak tebersit sedikitpun dalam pikiranku bahwa bisa saja ada orang yang
melewati sawah itu. Aku sudah tidak peduli. Yang aku cari hanyalah
kenikmatan. Seiring gairah yang semakin meninggi, aku membaringkan
tubuhku di tanah sambil terus memainkan vaginaku. Tentu saja tubuhku
menjadi kotor, namun aku tidak peduli. Aku terus bermasturbasi, sambil
membayangkan diri diperkosa oleh Cakra. Aku melenguh menahan kenikmatan
yang semakin lama semakin naik ke ubun-ubun. Suara desahanku berpadu
dengan suara gemericik sungai. Lama-kelamaan vaginaku seperti mau
meledak. Aku berusaha menahannya sekuat mungkin. Kedua belahan pahaku
merapat, menekan tanganku yang sedang memainkan vaginaku. Aku tahan...
aku tahan... aku tahan... hingga akhirnya...Oooohhh.... tiba-tiba saja
sejumlah air bening memancar kuat dari vaginaku. Aku mendesah panjang.
Mataku terpejam. Tangan kananku meremas daun-daun yang berserakan di
tanah. Tubuhku bergetar hebat. Aku benar-benar terbang ke awang-awang.
Aaah, rasanya sungguh tiada tara. Baru kali ini aku bermasturbasi sampai
“muncrat” seperti itu. Malam itu aku berhasil mencapai puncak
kenikmatan yang begitu luar biasa, sendirian tanpa pasangan. Kemudian
aku segera memakai kembali pakaianku. Sekadarnya saja tanpa celana
dalam, sebab tubuhku kotor terkena debu. Sesampai di rumah, aku pun
segera mandi, lalu tidur nyenyak sekali.
****
Pagi ini entah kenapa gairahku meningkat lagi. Padahal aku harus segera
berangkat ke pasar dan berbelanja. Tiba-tiba, sebuah ide gila tebersit
di kepalaku, yakni pergi ke pasar dengan pakaian yang minim tanpa
mengenakan celana dalam. Aku kaget sendiri kenapa bisa sampai
mendapatkan ide seperti itu. Tentu saja aku tidak mau melakukannya.
Pagi-pagi seperti ini banyak juga tetanggaku yang datang ke pasar, dan
aku tidak mau mereka melihatku tampil seksi di tempat umum. Meskipun
aku sudah mati-matian menolak ide gila itu, tapi entah kenapa aku tidak
bisa berhenti memikirkannya. Aku seperti menantang diri sendiri untuk
melakukannya. Aku benar-benar dibuat frustasi. Hingga akhirnya aku pun
memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Memutuskan untuk melakukan hal
gila tersebut....
****
Aku berkaca di kamar. Aku terlihat begitu seksi, hanya memakai baju
terusan mini yang biasa aku pakai untuk tidur. Baju itu memperlihatkan
pundak dan sedikit belahan dadaku. Panjang roknya satu jengkal di atas
lututku sehingga pahaku yang padat dan putih mulus itu bisa terlihat
jelas. Aku merasa semakin seksi saat setelah mengikat rambut panjangku
ke atas hingga tengkukku yang bersih dan mulus tersingkap. Aku
memutuskan untuk pergi ke pasar yang agak jauh supaya tidak bertemu
dengan tetanggaku. Butuh waktu setengah menuju ke sana. Aku harus ke
terminal dahulu dengan angkot, lalu naik bus besar sampai di depan pasar
yang aku maksud. Aku berangkat dari rumah dengan memakai jaket untuk
menutupi bagian atasku. Bagaimanapun aku harus tetap berpakaian dengan
sopan saat masih berada di sekitar rumahku. Syukurlah perjalanan cukup
lancar. Hingga tidak terasa sampailah aku di tempat tujuan, sebuah pasar
tradisional yang cukup besar. Setelah turun dari bus, aku langsung
menuju toilet dengan langkah cepat. Jantungku berdebar-debar. Di dalam
toilet, aku mengatur napasku sejenak. Aku berusaha meyakinkan diriku
bahwa aku siap untuk melakukan hal ini.
Aku mulai melepas jaket sambil menarik napas. Kemudian aku melepas BH-ku
perlahan-lahan. Samar-samar puting susuku tampak dari balik baju.
Kemudian aku pun menanggalkan celana dalamku. Kini tubuh sintalku hanya
terbungkus selembar baju terusan yang relatif mini. Sementara jaket, BH,
dan celana dalam segera aku masukkan ke dalam tas. Sesaat aku sempat
ragu, apakah aku akan tetap meneruskan rencanaku ini, berkeliling pasar
tradisional dengan hanya memakain baju seksi tanpa celana dalam. Tapi
aku berpikir, semuanya sudah terjadi sampai sejauh ini. Jika dibatalkan,
maka pasti aku akan menyesal. Aku membuka pintu toilet dengan hati
mantap, kemudian menuju kotak pembayaran kebersihan yang dijaga oleh
seorang lelaki muda. Ia sedang membaca koran. Setelah aku memasukkan
uang ke dalam kotak, aku mengucapkan terima kasih kepada lelaki
tersebut.
Ia mendongakkan kepalanya untuk membalas ucapanku itu. Aku lihat ia
terperangah saat melihatku yang tampak begitu seksi. Entah apa reaksi
apa yang bakal ditunjukkannya bila ia tahu bahwa aku tidak mengenakan
pakaian dalam sama sekali. Aku mulai berkeliling. Dadaku berdesir
merasakan sensasi yang luar biasa ini. Pertama-tama aku menghampiri
lapak buah yang dijaga oleh seorang pria paruh baya. Aku pura-pura
melihat-lihat buah yang ada di sana, padahal sebenarnya hendak
memperlihatkan keseksian tubuhku kepada pria tersebut. Aku sengaja
memeriksa buah pisang yang menggantung di atas dengan mengangkat
lenganku. Ketiakku yang mulus pun terlihat jelas. Tak hanya itu,
payudaraku juga tampak lebih menantang. Baju terusan yang aku pakai juga
terangkat (bagian roknya) sehingga pahaku yang putih mulus itu
tersingkap. Sekilas aku melirik kepada si pedagang buah. Ada sensasi
yang luar biasa ketika melihat pedagang buah itu terpaku melihatku,
menikmati setiap lekuk tubuhku dengan matanya. Saat melakukan hal
tersebut, jantungku benar-benar berdegup kencang. Malah tanganku agak
gemetar. Mungkin saking gugupnya. Atau mungkin saking bergairahnya.
Dalam hati aku mengutuk Cakra yang telah membuatku menjadi perempuan
yang punya pikiran aneh-aneh seperti ini. Puas melihat-lihat aneka buah
di lapak tersebut —lebih tepatnya puas memamerkan keindahan tubuhku
kepada si pedagang buah, lantas aku beranjak dari situ. Aku berjalan
menyusuri pasar.
Dengan baju yang relatif mini dan seksi seperti itu, aku pun menjadi
pusat perhatian para lelaki di sana. Ada yang terang-terangan
memandangku, ada pula yang malu-malu. Sesekali memandangku, lalu
beberapa detik kemudian berpaling ke arah lain. Dalam hati aku
bertanya-tanya, apakah mereka tahu bahwa aku tidak memakai BH dan celana
dalam? Memikirkan hal itu, tubuhku terasa dialiri listrik. Gairahku
meninggi. Sepertinya vaginaku mulai basah....Selama di pasar, aku tidak
hanya berjalan-jalan saja, tapi juga berbelanja beberapa kebutuhan,
seperti beras, telur, sayur-sayuran, dan beberapa mi instan. Setelah
tidak ada lagi yang ingin kubeli, aku pun memutuskan untuk pulang.
Bila saat awal datang tadi aku hanya membawa tas kecil, maka kini aku
harus membawa sebuah plastik besar berisi barang belanjaan. Sebelum
pergi dari pasar, sebenarnya aku berencana pergi ke toilet lagi untuk
memakai BH dan celana dalamku kembali, sekaligus memakai jaket yang aku
simpan di dalam tas. Tapi, lagi-lagi sebuah ide gila terbetik di
benakku. Aku menantang diri untuk pulang ke rumah tetap dalam keadaan
seperti itu —tidak memakai jaket, dan tidak memakai BH serta celana
dalam! Entah apa yang terjadi dengan diriku ini. Tidak henti-hentinya
aku menantang diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya
dilakukan oleh seorang perempuan baik-baik. Yang lebih tidak aku
mengerti lagi, aku mau melakukan ide konyol itu! Akhirnya aku pun tidak
jadi pergi ke toilet. Aku langsung menuju ke halte bus depan pasar. Aku
menunggu selama beberapa lama, sebab bus jurusanku tidak kunjung
datang. Saat itu angin berembus kencang. Aku berusaha keras menahan
rokku yang agak lebar itu supaya tidak beterbangan ke mana-mana.
Bagaimanapun aku tidak mau orang-orang tahu bahwa aku tidak memakai
celana dalam. Namun sekeras apa pun aku menahan rok, tetap saja aku
tidak bisa mengalahkan angin. Terpaksa aku merelakan sebagian paha
mulusku yang tersingkap dipandangi oleh beberapa pedagang asongan dan
pedagang koran yang sedang berada di sekitar situ. Beruntung bus yang
aku tunggu segera datang. Jadi, aku bisa menyelamatkan diri dari
pandangan mesum para pedagang asongan itu. Namun, lagi-lagi masalah
menghampiriku. Bus itu penuh sekali. Aku harus berpikir cepat, mau tetap
naik bus tersebut atau menunggu bus lagi. Kernet bus terburu-buru
mengajakku masuk, sebab bus jurusan lain di belakangnya juga sudah
menunggu untuk mengambil penumpang di halte. Akhirnya tanpa berpikir
lagi aku langsung masuk ke dalam bus tersebut. Di dalam bus, aku harus
berdiri dan berdesakan dengan orang lain yang kebanyakan pria. Tangan
kananku berpegangan pada bagian atap bus supaya tidak terjatuh,
sementara tangan kiriku memegang kantong belanjaan. Kedua tanganku
sama-sama sibuk. Berhubung tubuhku tidak terlalu tinggi, maka aku harus
mengangkat tanganku tinggi-tinggi supaya bisa menggapai pegangan di atap
bus. Kontan saja ketiakku terpapar dengan jelas. Untung saja
akhir-akhir ini aku merawatnya sehingga terlihat bersih, putih, dan
mulus. Jadi, aku tidak terlalu malu.
Meskipun demikian, tetap saja aku merasa risih. Para lelaki di bus itu
melirik-lirikku. Bahkan seorang bapak separuh baya yang tepat berada di
sebelah kananku, entah kenapa seperti sengaja mengarahkan mukanya ke
lenganku yang terangkat, sambil memandang ketiakku, dan sesekali
mengintip belahan dadaku dari atas. Mungkinkah dia tahu bahwa aku tidak
memakai BH? Bisa jadi, sebab puting susuku terlihat samar dan menonjol
dari balik baju terusanku.
Ingin rasanya aku menurunkan lengan. Tapi, itu tidak mungkin, sebab
nanti aku bisa terjatuh. Yah, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.
Terpaksa aku biarkan bapak kurang ajar itu memandangi tubuhku. Setelah
beberapa menit perjalanan, tiba-tiba aku merasa ada sebuah tonjolan
keras yang menekah pantatku. Aku benar-benar kaget. Aku melirik ke
belakang, dan di sana ada seorang pemuda berwajah kasar. Tonjolan itu
menggesek-gesek pantatku. Astaga, tampaknya itu adalah penis si pemuda
tersebut! Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa untuk menghindari
pelecehan tersebut. Bapak di sebelah kananku masih terus memandangi
ketiakku, dan sesekali mengintip ke belahan dadaku. Bahkan kini aksinya
semakin berani, yakni mencium-cium lenganku. Sementara pemuda di
belakangku tak henti-hentinya menggesek-gesekkan penisnya ke belahan
pantatku. Aku sadar bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain
pasrah dan menerima perlakuan itu. Ya sudah, aku biarkan saja kedua
orang itu berbuat semau mereka. Dalam hati aku terus berdoa supaya aku
segera sampai.
Kejadian berikutnya benar-benar membuatku tersentak. Pemuda di
belakangku menyusup ke balik rok, lantas meraba-raba pahaku! Bukannya
marah, aku malah semakin bergairah. Aku benar-benar mengutuk diriku
sendiri yang mau saja diraba-raba seperti itu oleh orang yang tidak
dikenal. Gawatnya, tangan si pemuda semakin lama semakin naik ke atas.
Oh, tidak. Apa yang aku takutkan terjadi. Tangan si pemuda telah sampai
di bagian tubuhku yang paling sensitif. Aku mendengar suara sentakan
dari mulut si pemuda. Sepertinya ia kaget saat mengetahui aku tidak
memakai celana dalam.
Aku rasakan bulu-bulu kemaluanku ditarik-tarik oleh si pemuda. Ia juga
mencium-cium tengkukku. Aku hanya bisa menggigit-gigit bibirku. Vaginaku
semakin basah. Aku melenguh pelan saat si pemuda memainkan vaginaku.
Aku berharap para penumpang di sekitarku tidak mendengarnya, meskipun
itu agak mustahil. Aku merapatkan pahaku, menahan gairah yang mulai
mendekapku.
Semakin lama gesekan-gesekan penis si pemuda di pantatku semakin cepat.
Begitu pula dengan tangannya yang memainkan vaginaku, gerakannya lebih
cepat daripada sebelumnya. Hal ini membuatku belingsatan. Aku berusaha
menunduk, menyembunyikan kepalaku agar orang-orang tidak melihat wajahku
yang memerah karena menahan gairah. Pemuda itu pintar sekali memainkan
vaginaku. Ia tahu titik-titik sensitif di liang kehormatanku itu. Aku
semakin menundukkan kepala. Dalam keadaan seperti itu, bapak separuh
baya di sebelahku malah semakin bertindak kurang ajar. Ia berani
meraba-raba dadaku dan melingkarkan jari-jarinya di putingku. Aku
semakin tidak karuan menerima serangan-serangan itu. Lagi-lagi aku
merasakannya lagi. Seperti ada sesuatu yang mau meledak dari vaginaku.
Rasanya seperti ingin pipis, tapi yang ini sangat nikmat. Aku berusaha
menahannya sekuat tenaga. Tapi permainan tangan si pemuda dan rabaan si
bapak menggagalkan upayaku itu. Susah payah aku menahan diri, tapi
akhirnya menyerah juga. Aku telah sampai di puncak kenikmatan. Sejumlah
cairan bening tumpah dari vaginaku, membasahi tangan si pemuda. Aku
memekik tertahan. Aku berharap suara mesin bus yang berisik itu bisa
mengaburkan suara pekikanku.
Oooh... begitu nikmat rasanya “keluar” dalam keadaan berdiri seperti
itu. Aku mempererat peganganku pada bagian atas bus supaya tidak ambruk,
sebab aku agak lunglai. Si pemuda masih menggesek-gesekkan penisnya.
Dan tidak lama kemudian ia berhenti sambil menekan penisnya. Aku
merasakan kedutan-kedutan pada penis yang keras itu. Rupanya ia telah
“keluar”.
Sementara itu, si bapak masih saja meraba-raba dadaku. Beruntung aku
sudah hampir tiba di halte tujuan. Aku pun segera meminta kernet
menghentikan bus. Aku cepat-cepat turun, sambil menundukkan wajah karena
malu. Aku khawatir para penumpang tahu bahwa aku baru saja digarap oleh
si bapak dan pemuda. Setelah turun dari bus, aku buru-buru memakai
jaket. Aku tidak mau tampil seksi di daerah rumahku, takut ketahuan para
tetangga. Tidak lama kemudian, angkot yang aku tunggu datang, dan aku
segera menaikinya. Aku termenung di dalam angkot, memikirkan hal yang
baru saja terjadi pada pagi itu. Setengah diriku mengutuk diriku sendiri
karena mau saja dilecehkan oleh orang yang tidak dikenal. Tapi,
setengah diriku yang lain merasa sangat puas karena aku berhasil
melakukan tantangan yang aku buat sendiri, serta mendapatkan kepuasan
atas pelecehan itu. Ah, aku benar-benar bingung. Sesampainya di rumah,
aku segera mandi, lalu masak, mengolah bahan-bahan yang aku beli di
pasar tadi. Memasak untuk orang yang aku sayangi, suamiku Mas Hendra.
Ya, saat ini dialah orang yang aku cintai, meskipun mungkin aku telah
mengkhianatinya....
****
Malam ini Mas Hendra pulang sekitar jam tujuh malam. Aku sudah memasak
makanan yang istimewa untuknya, makanan kesukaannya. Omong-omong, sudah 7
hari ini kami tidak bersetubuh, dan aku rasa hal ini tidak baik untuk
tubuh dan jiwa Mas Hendra. Selama ini aku meyakini bahwa seks merupakan
sarana ampuh untuk menyeimbangkan hidup, menghilangkan stres, dan
menenangkan pikiran. Aku yakin Mas Hendra sedang sangat membutuhkan
seks. Karena itulah malam ini aku ingin memanjakankannya. Saat menunggu
kepulangan Mas Hendra, aku memakai lingerie yang sudah lama sekali tidak
aku pakai. Lingerie ini membuatku terlihat sangat seksi. Bagian dadanya
longgar, dan bagian roknya sangat pendek. Jika aku membungkuk, maka
dadaku akan terlihat jelas. Kalau dilihat dari belakang, maka celana
dalamku akan tampak, sebab roknya terangkat. Aku harap lingerie ini bisa
memancing gairah Mas Hendra. Malam ini aku akan berusaha memuaskannya.
Saat sedang melamun itu, tiba-tiba aku mendengar suara Mas Hendra
mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Aha, dia sudah pulang! Aku
berdebar-debar membayangkan tanggapan Mas Hendra saat melihatku
berpenampilan seperti ini. Dengan hati riang, aku pun segera membuka
pintu. Aku tersenyum lebar kepadanya. Namun, senyum lebarku langsung
berhenti seketika saat melihat Cakra berada di belakang Mas Hendra. Aku
lihat Mas Hendra dan Cakra sama-sama terperangah saat memandangku dengan
pakaian yang sangat seksi. Menyadari ada Cakra −orang yang tidak berhak
melihatku dalam keadaan seperti itu, aku buru-buru berlindung di balik
pintu. Tapi, sepertinya semuanya sudah terlambat. Cakra nyengir, lalu
langsung masuk ke dalam rumah, dan duduk di ruang tamu. Aku memandang
Mas Hendra, meminta penjelasan atas semua ini.
“Sayang, tadi aku berpapasan sama Mas Cakra,” kata Mas Hendra, mulai
menjelaskan. “Katanya ia mau ke warung makan untuk makan malam. Aku
menawarinya makan di rumah kita. Tentunya masakanmu lebih enak daripada
masakan di warung makan,” lanjut Mas Hendra, sambil tersenyum lembut
tanpa dosa.
Dalam hati aku mengutuk keras perbuatan Mas Hendra itu. Untuk apa ia
mengundang bajingan seperti Cakra untuk makan malam? Kalau Mas Hendra
tahu bahwa istrinya ini sudah pernah disetubuhi dan “dibuahi” oleh
preman itu, pasti ia tidak akan sudi mengundangnya! Namun, memang
begitulah Mas Hendra. Kalau sudah takut dengan seseorang, ia akan
bersikap baik kepada orang itu, bahkan terkadang berlebihan. Ia tidak
berani membalas setiap tekanan, pelecehan, dan kekerasan dari orang yang
ia takuti. Sebaliknya, ia malah menunjukkan sikap yang baik kepadanya.
Entah karena ia memang baik atau karena tidak berdaya menghadapinya. Aku
benar-benar kecewa, sebab sepertinya rencanaku untuk memanjakan Mas
Hendra gagal total. Ya sudah, aku ikuti saja kondisi itu.
“Kalau begitu Mas Hendra dan Mas Cakra langsung ke meja makan saja, ya,”
ujarku, berusaha lembut meskipun sedang kecewa berat. “Aku sudah
menyiapkan semua makanan di meja. Kalian makan duluan saja, aku mau ke
kamar dulu.”
“Ngapain kamu ke kamar? Ayo kita makan bareng-bareng!” ujar Cakra sambil
memandangiku. Aku merasa risih dipandangi seperti itu.
“Iya Mas, aku ikut makan kok. Tapi, aku mau ganti baju dulu sebentar,”
kataku sambil menahan malu. Aku perhatikan Mas Hendra diam saja.
“Sudah, nggak perlu ganti! Ayo makan, aku sudah lapar!” seru Cakra,
lantas menggamit lenganku dan menarikku menuju meja makan.
“Ta... tapi, Mas...,” aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku, tidak tahu
harus berkata apa. Akhirnya terpaksa aku mengikuti tarikan Cakra,
sementara Mas Hendra mengikuti dari belakang.
Aku memakan makanan di meja makan dengan canggung dalam diam. Maklumlah,
saat itu aku sedang memakai lingerie yang sangat seksi, padahal ada
orang lain di situ, yakni Cakra. Bagaimanapun aku tetap memikirkan
perasaan Mas Hendra. Aku tidak mau ia sakit hati. Dalam hati aku
memaki-maki kenapa kejadiannya bisa seperti ini. Mas Hendra dan Cakra
mengobrol-obrol. Cara berbicara Mas Hendra kepada Cakra seperti seorang
pelayan saja. Sepertinya ia benar-benar tidak ingin mengecewakan atau
membuat Cakra tersinggung, mungkin karena takut. Aku buru-buru
menghabiskan makananku yang porsinya hanya sedikit itu. Kalau makan
malam sudah selesai, aku harap Cakra segera pulang.
“Aaaah... kenyang... enak sekali masakanmu, Gab,” puji Cakra. Aku hanya
tersenyum kaku. “Badanku pegal-pegal, nih. Tolong pijitin aku ya, Gab.
Ayo pindah ke kamarmu.”
Bagai mendengar suara petir di siang bolong, permintaan Cakra
benar-benar membuatku tersentak. Berani-beraninya ia memintaku untuk
memijatnya di kamarku dan Mas Hendra. Baru saja aku hendak menolak, tapi
Cakra memelototiku. Aku pun merunduk, takut.
“Hendra, pergilah ke pos ronda, gantikan aku ronda sebentar sampai aku
selesai dipijit,” perintah Cakra. “Nanti kalau sudah selesai, aku akan
langsung ke pos ronda. Tapi ingat, sebelum aku datang, kamu nggak boleh
pulang!” serunya dengan nada tinggi.
Aku lihat Mas Hendra seperti hendak menyampaikan sesuatu, tapi tidak
jadi. Akhirnya ia hanya berucap, “Baik Mas Cakra, aku pergi sekarang,”
ia pun melangkah ke pintu.
“Tunggu Mas Hendra!” aku berseru. “Ganti baju dulu, Mas! Mas Hendra
masih pakai baju kantor!”
“Nggak apa-apa, Sayang. Nggak masalah. Ya sudah, aku pergi dulu, ya,”
ujarnya sambil tersenyum lembut.
Aku langsung lemas seketika. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang
akan terjadi berikutnya.
Selepas Mas Hendra pergi, Cakra menutup dan mengunci pintu, lalu menutup
korden.
“Ayo Gaby...,” ujar Cakra sambil tersenyum lebar, lantas berjalan menuju
kamarku dan Mas Hendra. Seperti dihipnotis, aku pun mengikuti
langkahnya dari belakang dengan takut-takut....
0 komentar:
Posting Komentar