Cerita Eksibisionis Gaby : Cerita 3 Gaby, Istri yang Ternoda: Hidup Baru (Final)
Setelah melepas kaus, Cakra berbaring di tempat tidur. Ia memintaku
untuk naik ke atas tubuhnya dan memijatnya. Aku sempat menolak. Aku
lebih memilih memijat punggungnya saja. Namun, ia terus mengancam
sehingga akhirnya aku terpaksa melakukannya. Aku naik ke atas tubuh
Cakra sambil berusaha menahan rokku agar tidak terlalu tersingkap. Tapi
hal itu sia-sia saja, sebab rok lingerieku terlalu pendek sehingga
pahaku yang mulus tetap tersingkap. Aku memijat dada Cakra dengan lembut
dan perlahan. Posisi itu membuatku sedikit membungkuk sehingga belahan
buah dadaku terlihat jelas oleh Cakra. Rambutku yang panjang menutupi
sebagian mukaku sehingga diriku terlihat sangat binal.
Cakra tampak begitu menikmati pijatanku. Lama-kelamaan tangannya mulai
nakal. Jari-jarinya bermain-main di sekitar pahaku, mengelus-elusnya.
Bahkan kemudian salah satu tangannya meremas-remas dadaku. Aku sudah
mencoba menepis tangannya. Namun percuma saja, sebab tenaga Cakra
terlalu kuat, tidak sebanding denganku. Perlahan-lahan aku mulai
terangsang oleh remasan dan rabaan Cakra di bagian-bagian sensitif
tubuhku. Aku sudah tidak konsentrasi lagi memijatnya. Aku
menggigit-gigit bibirku, menahan rasa merinding yang menyelimuti
tubuhku. Tiba-tiba Cakra menarik kepalaku, lalu mencium bibirku. Kali
itu aku tidak menolaknya sama sekali, dan bahkan langsung membalas
ciumannya. Rupanya gairahku sudah terpancing. Lidahku dan lidah Cakra
saling terpagut. Kami berciuman dengan panas. Cakra meremas-remas buah
dadaku, dan tanpa sadar jari-jariku juga memainkan puting dada Cakra.
Dalam satu kali kesempatan, Cakra membalikkan tubuhku dengan tenaganya
yang besar itu. Kini posisiku di bawah, sementara ia di atas. Cakra
mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan memegangnya dengan erat. Kedua
ketiakku yang putih dan mulus itu pun tersingkap jelas. Sore sebelumnya
aku sengaja mencukur bulu ketiakku untuk memancing gairah Mas Hendra.
Tapi aku tidak menyangka bahwa malam itu Cakralah yang akan menikmati
kesintalan tubuhku, bukan Mas Hendra. Cakra mengendus-endus ketiakku,
dan kemudian mulai menjilatinya. Aaaaah... aku menggeliat-geliat
kegelian. Cakra menarik tanganku secara menyilang ke punggungku, lalu
menekannya. Aku merasa kesakitan, namun tidak bisa apa-apa. Mungkin
Cakra melakukannya supaya bisa mendapat akses yang bebas untuk menikmati
ketiakku. Benar saja, setelah itu Cakra pun menjilat ketiakku dengan
ganas dan sedikit kasar.
“Oooh... Ahhh....” aku mendesah-desah.
Entah kenapa rangsangan Cakra di ketiakku terasa begitu nikmat. Awalnya
aku merasa risih dan malu, namun lama-kelamaan aku malah menikmatinya.
Setelah puas, Cakra membebaskan tanganku. Ia mendudukkanku, dan kemudian
melepas lingerieku. Aku duduk dengan malu-malu di hadapannya, hanya
mengenakan BH kecil dan celana dalam mini. Dengan satu gerakan cepat,
Cakra melepas penutup dadaku. Cakra kemudian melumat buah dadaku. Kedua
tangannya sibuk meraba-raba bagian tubuhku lainnya. Aku hanya bisa
pasrah, membiarkannya menikmati setiap lekuk tubuhku. Dalam hati aku
berdoa semoga Mas Hendra tidak datang dan melihatku dalam keadaan
seperti itu.
Setelah puas bergerilya di bagian dadaku, ciuman Cakra turun ke arah
perut. Kemudian ia melepas celana dalamku dengan kasar, lantas
membuangnya ke sudut kamar. Ia mengangkat kakiku, dan kemudian
menjilat-jilat jempol kakiku. Jilatannya itu berpindah ke betis, paha,
dan akhirnya berlabuh di vaginaku.
“Oooouuuh... aaaaah....” aku mendesah kuat saat bibir Cakra mulai
melumat bibir vaginaku.
Aku meringis sambil melihat aktivitas Cakra. Mulutnya sesekali
menarik-narik bulu-bulu kemaluanku. Tubuhku menggeliat-geliat menahan
geli. Perlahan-lahan cairan kewanitaanku meleleh, keluar dari dalam
vaginaku yang terus dirangsang oleh Cakra. Cukup lama juga Cakra
memainkan kemaluanku. Kemudian, ia membalikkan tubuhku dan memaksaku
untuk menungging. Ia mengeluarkan penisnya dengan cepat, lalu
menempelkannya ke bongkahan pantatku. Penisnya terasa begitu keras.
“Apa mungkin ia mau penetrasi sekarang?” aku membatin, bingung.
Aku merasa heran, sebab biasanya Cakra akan memintaku untuk mengoralnya
terlebih dahulu sebelum kemudian lanjut penetrasi. Tapi entah kenapa
kali ini ia tidak memintanya. Mungkin ia sudah tidak sabar.
Dugaanku benar. Cakra menempatkan penisnya di pintu masuk liang
kenikmatanku, dan kemudian mendorongnya dengan cepat. Aku tersentak
kaget. Rupanya Cakra benar-benar sudah tidak tahan. Sepertinya malam itu
ia sedang sangat bergairah. Aku sangat bersyukur, sebab itu berarti
permainan ini akan cepat selesai. Aku tidak berani berlama-lama, sebab
ada Mas Hendra yang sedang menunggu di pos kamling sana. Cakra mulai
menggenjot dengan cepat. Penisnya yang sangat keras itu mengaduk-aduk
lubang kehormatanku.
“Aiiiih... Oooh...,” aku mendesah-desah.
Vaginaku terasa sangat gatal. Cakra sesekali menampar-nampar pantatku.
Benar-benar kurang ajar. Ia telah memperlakukanku seperti pelacur. Tapi
aku juga tidak bisa menyangkal bahwa ia telah memberikanku kenikmatan
yang sungguh tidak terkatakan. Semakin lama genjotan Cakra semakin
cepat. Aku sempat menduga bahwa ia mau keluar. Sebuah hal yang cukup
aneh, sebab kami baru bermain dalam satu posisi. Tapi Cakra sudah mulai
mendesah, dan biasanya hal itu menandakan bahwa ia mau keluar. Genjotan
Cakra membuat vaginaku terasa mau meledak, dan itu tandanya aku juga
hampir meraih puncak. Benar saja, tidak lama kemudian tubuhku menegang.
Pantatku terangkat, dan dadaku turun menyentuh permukaan kasur. Tanganku
berusaha menggapai-gapai apa saja yang bisa aku raih. Namun aku hanya
meraih seprai, dan kemudian menarik-nariknya dengan belingsatan. Tubuhku
semakin menegang... terus menegang... semakin menegang... hingga
akhirnya....
“OOOUUUUHHHH.... AAAAAHhhhh....” aku menjerit tertahan, berusaha agar
suaraku tidak terlalu kencang sehingga tidak terdengar sampai keluar
kamar.
Aku telah mencapai puncak! Cakra melepaskan penisnya sejenak dan
membiarkan cairan kewanitaanku menyemprot ke mana-mana. Aaaah... rasanya
nikmat sekali. Aku benar-benar melayang. Kesadaranku seperti hilang
saat berhasil meraih puncak kenikmatan itu. Cakra kembali memasukkan
penisnya ke vaginaku yang basah kuyup itu. Ia menggenjot dengan sangat
cepat. Di akhir genjotannya, ia menyentakkan penisnya dalam-dalam ke
vaginaku. Aku tahu bahwa ia telah keluar. Aku merasakan
semprotan-semprotan spermanya membanjiri liangku yang paling berharga
itu. Aah, lagi-lagi aku membiarkan dirinya membuahiku dengan seenak
hatinya. Kami berdua kemudian sama-sama terjerambab di atas kasur,
lemas. Kami sama-sama diam. Kesadaranku seperti belum pulih benar. Aku
masih tenggelam dalam kenikmatan yang aku raih tadi. Beberapa menit
kemudian, Cakra beranjak dari tempat tidur, lalu berpakaian. Setelah
meremas-remas payudaraku dengan kurang ajarnya, dia pun pergi begitu
saja. Aku memandang kepergiannya dengan kesal. Aku merasa sangat lelah
dan rasanya ingin langsung tidur. Tapi kemudian aku segera sadar bahwa
mungkin sebentar lagi Mas Hendra akan pulang. Maka aku pun bergegas
bersih-bersih dan mengganti seprai. Aku tidak mau Mas Hendra mendapatiku
berbaring tak berdaya dalam keadaan telanjang bulat karena baru saja
disetubuhi.
****
Siang itu begitu cerah. Aku baru saja selesai mandi sehingga suasana
terasa begitu menyegarkan. Aku hanya mengenakan daster tipis dengan
bawahan di atas lutut supaya terasa adem. Aku tidak khawatir mengenakan
pakaian seksi seperti itu, sebab toh aku sedang di rumah sendirian. Mas
Hendra seperti biasanya sedang bekerja.
Aku menyalakan televisi untuk bersantai-santai. Belum ada satu menit aku
duduk di depan televisi, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu.
“Siapa yang bertamu siang-siang begini?” batinku, heran. Aku berpikir
mungkin itu adalah Cakra. Jantungku pun langsung berdebar kencang.
“Apa dia mau minta jatah lagi? Bukankah tadi malam sudah?”
Aku segera mengenakan kaus untuk menutupi bagian atas tubuhku, dan
kemudian berjalan ke depan. Sebelum membuka pintu, aku menyempatkan diri
untuk mengintip lewat jendela.
“Lho, Alfian?” aku membatin. Di depan rumahku ada seorang remaja yang
tampak culun dan pendiam. Dia adalah Alfian, tetanggaku yang rumahnya
tidak jauh dari rumah kontrakanku. Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Kak,” sapa Alfian sambil tersenyum.
“Selamat siang, Alfian,” balasku, ramah. “Mau cari Mas Hendra, ya? Wah,
kebetulan Mas Hendra lagi kerja,” jelasku. Tumben sekali Alfian bertamu
ke rumah. Hal ini membuatku heran. Aku pun menebak bahwa ia sedang
mencari Mas Hendra.
“A... aku nggak lagi cari Mas Hendra, Kak. Aku ada perlu sama Kak Gaby,”
ujar Alfian dengan muka tertunduk. Ia terlihat gugup, dan seperti tidak
berani menatapku. Ia memang terkenal sebagai anak yang pendiam dan
pemalu.
“Sama Kakak?”
“Iya, Kak. Boleh aku masuk?”
“Oh iya, silakan,” ujarku. Aku pun segera mempersilakan Alfian masuk.
“Mau minum apa, Alfian?” tanyaku, ramah.
“Oh, nggak usah, Kak. Nggak usah repot-repot. Aku cuma mau menyampaikan
sesuatu.”
Aku termangu, dan kemudian duduk di hadapan Alfian di ruang tamu.
“Ada perlu apa, ya? Kok sepertinya serius banget.”
“Begini, Kak Gaby. Lusa aku mau pindah ke Kalimantan. Ayah dan ibuku mau
transmigrasi ke sana, dan aku ikut. Kebetulan aku baru saja lulus SMA.”
“Oh ya? Waaah... jauh banget ya pindahnya.”
“Iya, Kak. Nah, sebelum pindah, aku mau minta tolong sesuatu ke Kak Gaby
untuk terakhir kalinya. Sebutlah ini sebagai tanda perpisahan.”
“Haha... ada-ada aja kamu,” aku tertawa geli. “Memangnya mau minta
tolong apa? Selama aku bisa bantu, pasti aku bantu.”
“Begini, Kak. Tapi Kakak jangan marah, ya?”
“Ah, kamu bikin penasaran aja. Memangnya apa, sih?”
“Mmm.... anu, Kak.... Terus terang, aku ngefans banget sama Kak Gaby.
Setiap kali Kakak lagi ngobrol-ngobrol sama tetangga, aku selalu
memperhatikan Kak Gaby.”
Aku semakin merasa geli. Ini benar-benar konyol. Jangan-jangan ABG ini
mau menyatakan cinta kepadaku. Aku hanya tersenyum simpul membayangkan
hal itu.
“Nah... Selama ini kan aku sering nonton film porno, Kak. Aku jadi
penasaran. Aku pengeeeennnn banget nyoba jilat buah dada dan kemaluan
perempuan, kayak di film-film itu. Kalau boleh, aku pengen nyoba hal itu
ke Kakak.”
Bagai disambar geledek, seketika emosiku tersulut. Aku tidak menyangka
cowok sepolos Alfian bisa mengatakan hal tidak senonoh seperti itu.
“Heh, Alfian! Jaga omongan kamu!” aku berdiri dengan penuh emosi.
“Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu ke aku! Memangnya kamu kira
aku ini pelacur?”
“A... aku mohon maaf, Kak. Aku suka banget sama Kak Gaby, tapi selama
ini aku cuma bisa membayangkan Kakak. Lusa aku udah mau pindah, jadi apa
salahnya Kakak bantuin aku.”
“Kamu benar-benar kurang ajar! Bisa-bisanya kamu berpikir aku mau
menyanggupi permintaan kotormu itu!! Sekarang lebih baik kamu pulang!!”
Cakra
“Ta... tapi... Mas Cakra aja bisa, kenapa aku nggak? Lagi pula aku cuma
minta sekali ini aja.”
Lagi-lagi aku seperti tersambar geledek. “Apa maksud kamu?”
“Ini, Kak.” ujar Alfian seraya menyerahkan handphonenya. Ada sebuah
video di layar. Aku pun langsung menyetelnya.
“A... apaaaa??” hampir saja handphone itu lepas dari genggamanku.
Di video itu tampak diriku yang sedang telanjang bulat, sedang jalan
dengan cepat dari rumahku menuju rumah Cakra. Ah, tiba-tiba aku merasa
pusing. Aku tak menyangka bahwa ternyata ada yang memergokiku saat
sedang ke rumah Cakra malam-malam. Dan orang itu adalah Alfian. Tubuhku
pun lemas seketika.
“Aku mohon, Kak. Aku benar-benar tergila-gila sama Kak Gaby. Selama ini
aku sering masturbasi sambil membayangkan Kak Gaby. Terlebih sejak aku
melihat Kak Gaby telanjang bulat, aku semakin sering masturbasi. Kak,
aku sayang sama Kakak. Dan sebelum aku pindah, aku pengen banget nyoba
yang kayak di film-film itu. Aku mohon, cuma sekali ini aja.”
“Nggak! Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini sebelum aku teriak!”
“Ya udah, Kak. Aku pergi. Tapi maaf, jangan salahkan aku kalau video itu
tersebar,” ujar Alfian, sambil beranjak dari kursi.
Aku ternganga. Rupanya Alfian hendak menjadikan video itu untuk
mengancamku.
“Alfian, tunggu!”secara spontan aku mencegah kepergian Alfian. Aku takut
sekali jika video itu tersebar. Bagaimana kalau nanti Mas Hendra tahu?
Oh, aku tidak bisa membayangkannya.
“Ada apa, Kak?”
“Tolong hapus video itu, Alfian,” ujarku dengan memelas. “Jangan
disebarkan. Aku mohon....”
“Aku pasti akan hapus video ini, Kak. Tapi aku juga minta Kakak bantuin
aku. Supaya aku nggak penasaran lagi, dan bisa tinggal di Kalimantan
dengan tenang. Aku udah lama memimpikan Kak Gaby. Aku suka Kak Gaby.”
“Terima kasih karena kamu sudah menyukaiku. Tapi, aku nggak bisa
melakukan itu, Alfian. Aku ini istri orang.”
“Tapi kenapa kalau sama Mas Cakra mau? Padahal aku juga nggak minta
macam-macam. Cuma mau yang tadi aku bilang.”
Aku diam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa menggigit
bibir bawahku, panik.
“Ya sudah, Kak. Aku pulang dulu, ya.” Alfian berbalik, hendak keluar
rumah. Aku pun buru-buru menarik tangannya.
“Tunggu... tunggu... tolong jangan pergi,” ujarku, sambil menahan
tangis. “Oke Alfian, oke! Aku turuti kemauan kamu.”
“Kakak serius?”
“Iya. Tapi tolong sebelumnya hapus dulu video tadi.”
“Nggak, Kak. Aku baru akan menghapusnya setelah Kakak menepati janji
Kakak.”
Aku menahan geram. “Oke! Tapi kamu harus janji, kamu hanya menjilat
dadaku dan kemaluanku.”
“Setuju, Kak. Aku janji,” ujar Alfian dengan muka berbinar. “Jadi kapan
kita bisa mulai?”
“Ayo ikut aku,” ujarku.
Aku mengunci pintu rumah, menutup gorden jendela, lalu berjalan dengan
lunglai menuju kamarku dan Mas Hendra. Alfian mengikuti dari belakang.
Sesampainya di kamar, aku menyuruh Alfian duduk di ranjang. Aku mengunci
pintu kamar, dan kemudian melepas kausku. Daster seksi yang aku kenakan
membuat buah dadaku begitu menantang. Aku naik ke ranjang, lalu
berbaring di sana. Dengan tangan gemetar, aku mulai melepas tali daster
di pundakku dengan perlahan, namun tetap menahan daster agar tetap
menutup buah dadaku. Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan
Alfian lakukan terhadapku sebentar lagi.
“Ini, silakan dimulai. Tapi ingat kesepakatan kita tadi,” ujarku sambil
memandang Alfian lekat-lekat.
“Iya, Kak.”
Perlahan Alfian naik ke atas tubuhku. Aku memejamkan mata ketika tangan
Alfian mulai menurunkan dasterku yang talinya sudah tidak terkait di
pundakku itu. Kulit dadaku merasakan hangatnya tangan Alfian yang terasa
gemetar. Sepertinya ia gugup. Dan kami sama-sama gugup.
Perlahan-lahan buah dadaku pun mulai tersingkap. Aku membuka mata
sedikit, dan aku melihat mata Alfian tampak berbinar-binar.
“Ooohhh... akhirnya mimpiku terwujud....” ujar Alfian, setengah
berbisik. “Terima kasih banyak Kak Gaby. Aku sayang Kakak....”
Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung melumat dadaku seperti orang
kesetanan. Ia mencupang kedua bukit kembarku dengan kasar.
“Pelan-pelan, Alfian. Pelan-pelan....” aku mencoba mengingatkan, sebab
aku merasa risih jika ia tidak bisa mengendalikan diri seperti itu.
“Oh iya, Kak. Maaf.... Baru pertama kali ini aku melihat buah dada
perempuan dewasa secara langsung, dan baru kali ini pula aku bisa
menciumnya. Apalagi ini milik Kak Gaby, orang yang selalu aku hadir
dalam mimpiku.
Aku agak tersipu mendengar omongan Alfian. Aku tidak menyangka bahwa
bocah itu benar-benar menyukaiku. Tidak lama kemudian, lidah Alfian
mulai memainkan puting susuku. Lidahnya melingkar-lingkar dengan lincah.
Permainannya begitu luar biasa. Entah dari mana ia mempelajari
kemampuan itu. Mungkin dari film-film porno yang sering ia tonton. Tanpa
sadar, aku memegang kepala Alfian sambil mendesah-desah. Aku rasakan
kedua puting susuku mulai mengeras. Oh tidak, rupanya aku mulai
terangsang. Ini yang aku takutkan sedari tadi.
“Eggh...,” aku mengerang saat Alfian perlahan-lahan menggigit-gigit
puting susuku.
Ini enak sekali. Aku tak menyangka bocah itu pandai memberikan
rangsangan. Bisa dibilang kemampuannya tidak kalah dibanding Cakra.
Tubuhku menggeliat-geliat menahan hasrat yang semakin lama semakin naik.
“Oooh..., kamu hebat Alfian,” batinku.
Aku mengintip aktivitas Alfian. Ia masih terus semangat melumat dadaku.
Aku perhatikan payudaraku yang putih, kenyal, dan menantang itu memerah.
Aku biarkan diriku dicupang oleh Alfian. Aku pasrah saja supaya video
itu bisa dihapus sehingga masalah ini bisa segera beres. Beberapa lama
kemudian, Alfian menghentikan aktivitasnya. Ia menarik dasterku dengan
tangkas, dan kemudian menurunkannya. Rupanya ia sudah ingin menikmati
bagian bawahku. Aku sama sekali tidak melawan ketika ia melepas
dasterku. Bahkan ketika ia menurunkan celana dalamku, aku menaikkan
sedikit pantatku untuk memudahkannya. Kini aku sudah telanjang bulat,
berbaring di hadapan Alfian. Aku menutup buah dadaku dengan tangan
kanan, dan merapatkan kedua belah pahaku sambil menutupi kemaluanku
dengan tangan kiri. Aku memandang Alfian, menantikan apa yang akan ia
lakukan berikutnya terhadap tubuhku.
Alfian
“Oooh... Kak Gaby,” desah Alfian sambil menggosok-gosok sesuatu yang
menonjol di balik celananya. Kemudian ia mengelus-elus pahaku sejenak,
lalu membukanya perlahan-lahan. Kini vaginaku pun terpampang dengan
jelas di hadapannya. Bulu-bulu kemaluan yang tercukur rapi tampak
kontras dengan kedua pahaku yang putih, mulus, dan padat itu. Rupanya
vaginaku sudah agak basah. Aku merasa malu kepada bocah itu sehingga
kedua pipiku memerah.
“Kak Gaby... aku hampir nggak percaya bisa dapet kesempatan ini. Ya
ampun, vagina Kak Gaby indah banget... Ooh... sebentar lagi apa yang aku
impi-impikan akhirnya tercapai....”
Alfian mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku memperhatikan
aktivitasnya dengan saksama. Ketika bibirnya mulai menyentuh bibir
kemaluanku, aku langsung mendesah.
“Oouuh....”
Bocah itu menyedot-nyedot cairan kemaluanku, lalu menelannya. Ia juga
memainkan lidahnya, menjelajahi vaginaku dengan leluasa. Tubuhku
menggeliat-geliat menahan gairah yang mulai menguasaiku.
“Aaaaah... Alfian sayang... terus... pelan-pelan....” tanpa sadar aku
memanggil Alfian dengan panggilan sayang.
Permainan Alfian semakin ganas. Lidahnya mengaduk-aduk liang senggamaku
tanpa ampun. Desahanku pun semakin keras. Vaginaku seperti mau meledak.
Aku merapatkan kedua pahaku hingga kepala Alfian terjepit. Kedua
tanganku meremas-remas buah dadaku sendiri. Kepalaku bergerak-gerak
tidak karuan. Dadaku membusung. Napasku terengah-engah. Aiiiihhh....
Tiba-tiba, Alfian menghentikan aktivitasnya, lalu bangkit dari tempat
tidur. Tangan kirinya terlihat sibuk menggosok-gosokkan penisnya yang
masih berada di dalam celana.
“Ooh, aku udah nggak kuat lagi, Kak. Aku udah mau keluar. Aku pinjam
kamar mandinya, Kak. Ada di mana?” tanya Alfian sambil meringis.
“Itu, keluar dari kamar ini, terus belok kanan. Kamu mau masturbasi?”
“Iya, Kak. Sebentar, ya,” ujar Alfian, lalu buru-buru pergi menuju
pintu.
Aku tercenung. Bocah itu begitu polos, dan setahuku ia merupakan anak
yang baik. Lusa ia akan pindah ke Kalimantan, dan mungkin kami berdua
tidak akan pernah bertemu lagi. Kemudian terlintas sebuah pikiran gila
dalam kepalaku, bagaimana jika aku memberi “hadiah” kepadanya?
Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena dia telah menyukaiku.
Juga sebagai tanda perpisahan. Yang aku maksud hadiah di sini tentu saja
bukan membolehkannya menyetubuhiku. Bagaimanapun aku tidak mau, sebab
aku merasa masih sebagai seorang perempuan terhormat. Aku rasa
mengoralnya sudah cukup membuat dia puas dan bahagia. Dan aku juga tidak
mengalami kerugian apa-apa.
“Alfian, tunggu,” aku berseru kepada Alfian yang masih berusaha membuka
kunci pintu kamar. Pintu itu memang agak bermasalah. Hanya aku dan Mas
Hendra yang bisa membukanya dengan lancar.
“Iya, Kak? Aduh, tolong bukain pintunya, dong, Kak,” ujar Alfian dengan
muka memelas. Sepertinya ia sudah benar-benar tidak tahan.
“Itu memang agak rusak. Ya udah, keluarin di sini aja. Sini Kakak
bantu,” tawarku.
“Ma... maksud Kakak?”
Aku beranjak dari kasur, kemudian menghampiri Alfian. Bocah itu hanya
bisa ternganga melihatku berjalan ke arahnya dalam keadaan telanjang
bulat.
“Alfian, Kakak akan bantu. Tapi ini hanya sekali aja. Setelah ini kamu
harus menghapus video itu, lalu pulang dan jangan kembali lagi ke sini,”
ujarku dengan nada tegas.
“I... iya, Kak.... Aku janji...,” jawab Alfian, terlihat begitu gugup.
“Kalau begitu sekarang lepas celanamu,”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Alfian buru-buru melepaskan celana panjang
dan celana dalamnya. Mataku langsung tertuju pada penisnya yang
ramping, panjang, keras, dan tegak. Kemaluan tersebut dihiasi oleh
bulu-bulu yang belum terlalu lebat. Aku berlutut di depan Alfian.
Perlahan-lahan kusentuh penisnya yang basah itu, dan kemudian kumainkan
dengan lidahku.
“Uuuh... Kak...,” Alfian mengerang. Tangannya meremas-remas kepalaku
sambil merem melek. Ia terlihat begitu keenakan. Aku pun semakin
semangat untuk mengoralnya.
Penis Alfian memang tidak terlalu besar, tapi benar-benar keras. Mungkin
karena baru pertama kali ini ia mendapat rangsangan seperti itu
sehingga ereksinya bisa benar-benar maksimal. Aku mengulum penis Alfian
dengan tekun. Entah kenapa aku begitu menyukai wangi penisnya. Aromanya
membuatku semakin terangsang. Aku melirik ke arah cermin di sampingku.
Astaga, aku melihat sebuah pemandangan yang begitu menggetarkan. Aku
terlihat begitu rendah. Di cermin itu, aku yang sintal dan dan cantik
jelita sedang berlutut dalam keadaan telanjang bulat di depan remaja
berwajah ndeso, mengulum penisnya.
“Oooh... maafkan aku, Mas Hendra. Aku tidak tahu kenapa aku sampai
melakukan hal yang sangat rendah ini....”
Tiba-tiba, cengkeraman Alfian di kepalaku semakin kencang. Aku juga
merasakan penis Alfian semakin keras.
“Aduuuuh... aku mau keluar, Kak! Aku mau keluar! Ouuuuh....”
Mendengar itu, aku semakin mempercepat kulumanku. Tidak lama
kemudian....
“Aaaaaaah.... Oooooh.... Kakaaaaak....” Alfian melolong. Tubuhnya
bergetar hebat. Kepalanya mendongak ke atas. Matanya memejam, dan
mulutnya menganga. Sepertinya ia telah mendapatkan kenikmatan yang
begitu luar biasa.
Aku juga merasakan penis Alfian berdenyut-denyut. Semprotan spermanya
langsung mengisi mulutku. Entah kenapa aku sama sekali tidak mual. Aku
membiarkan penis Alfian berada di dalam mulutku selama beberapa detik,
sampai ia selesai menumpahkan semua spermanya.
“Aduuuh... Kak Gaby, maaf... Aku... aku tadi udah nggak kuat. Aku nggak
bermaksud ngeluarin di mulut Kak Gaby,” ujar Alfian, seraya buru-buru
melepas penisnya dari dalam mulutku.
Aku menggeleng sebagai syarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku langsung
mengambil tisu, lalu menumpahkan semua sperma di dalam mulutku ke dalam
tisu itu hingga benar-benar bersih.
“Kak Gaby, aku minta maaf...,” ujar Alfian, prihatin melihatku dalam
kondisi seperti itu.
“Nggak apa-apa, Alfian,” ujarku, lembut. “Kini semuanya sudah selesai.
Sekarang tolong tepati janji kamu.”
“Iya, Kak,” jawab Alfian. Lantas ia mengambil hpnya, lalu menghapus
videoku di depanku. Kemudian, aku pun segera mengenakan dasterku lagi.
“Sekarang kamu pulanglah. Aku mau bersih-bersih. Oh iya, tolong jangan
kembali ke sini lagi. Tepati janji kamu,” ucapku dengan nada tegas.
Alfian menatapku sambil tersenyum lembut. “Iya, Kak. Aku pasti menepati
janjiku. Aku benar-benar berterima kasih sama Kak Gaby. Ini semua
benar-benar lebih dari harapanku. Terima kasih ya, Kak. Aku pamit dulu,”
Alfian memelukku dengan erat.
Aku membalas pelukannya sambil mengelus-elus punggungnya, layaknya
seorang kakak yang sedang menenangkan adiknya. Kemudian Alfian pun
pulang dengan keadaan puas sekali.
Berhubung aku belum terpuaskan, maka aku pun langsung bermasturbasi di
kamar mandi. Membayangkan sedang disetubuhi pria yang selama ini selalu
memuaskanku, Cakra....
****
Aku mulai terbiasa menjalani hidup yang aneh ini. Aku berstatus sebagai
istri Mas Hendra, namun aku harus selalu siap sedia jika Cakra sedang
minta dilayani. Ia benar-benar seperti pengantin baru. Dalam seminggu,
ia bisa minta jatah sebanyak 6 kali. Dan dalam satu kali kesempatan,
kami bisa bersetubuh hingga tiga ronde. Biasanya kami melakukannya
malam-malam, selepas Mas Hendra tidur. Cakra sudah tidak pernah
memintaku berjalan dalam keadaan telanjang bulat ke rumahnya. Tapi,
malah aku yang sering melakukannya sendiri, khususnya ketika aku sedang
sangat bergairah. Kadang-kadang juga Cakra datang siang-siang ke
rumahku, lalu menyetubuhiku di mana saja, seperti di ruang tamu, ruang
keluarga, kamar tidur, dan dapur. Bahkan suatu kali pernah, ia memaksaku
melayaninya di samping Mas Hendra yang sedang tidur! Untunglah Mas
Hendra tidak sampai terbangun karena aku sempat memasukkan obat tidur ke
dalam minumannya menjelang ia tidur. Pada suatu malam, aku sedang asyik
menonton televisi. Sudah dua hari ini Cakra tidak datang ke rumah atau
minta jatah. Sepertinya ia sedang “bertugas” di luar kota, merampok
truk-truk yang melintas di jalan raya. Untunglah gairahku sedang tidak
terlalu tinggi. Kalau tidak, pasti aku akan bingung dan gelisah, sebab
tidak ada yang memuaskanku, mengingat sampai sekarang Mas Hendra sama
sekali tidak berdaya di ranjang.
“Tok... tok... tok...,” terdengar ketukan pintu yang sepertinya diketuk
dengan terburu-buru. “Sayaaang... bukain pintunya, dongg!”
Oh, itu suara Mas Hendra. “Iya, Mas! Tunggu sebentar!”
“Buruan!” Aku dapat kabar baik, nih!” seru Mas Hendra, sementara aku
sedang mengambil kunci pintu di dalam kamar.
“Kabar baik apa sih, Mas?” tanyaku ketika sudah membuka pintu. “Kok
kayaknya seneng banget.”
Mas Hendra hanya cengar-cengir mendengar pertanyaanku. Setelah menutup
pintu, kemudian ia mulai bercerita.
“Aku naik jabatan, Sayang!” seru Mas Hendra. Aku sumringah mendengar
kabar baik itu.
“Oh ya?” tanyaku, dengan wajah nyaris tidak percaya. “Wah, berarti gaji
Mas Hendra naik, dong! Asyiiikk...!!”
“Iya, Sayang! Dan berita baiknya lagi, aku akan bertugas di kantor
pusat. Dan itu berarti kita akan pindah dari sini! Lusa kita sudah harus
pindah, sebab Senin aku sudah mulai bekerja di sana. Kamu pasti senang,
kan?”
Perlahan-lahan senyumku memudar. Seharusnya aku senang, sebab itu
berarti aku bisa lepas dari cengkeraman Cakra. Dia tidak bisa lagi
seenaknya memaksaku untuk melayaninya. Ya, seharusnya aku senang. Tapi,
entah kenapa sebagian diriku seperti tidak rela. Entah kenapa aku
seperti tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Cakra. Apakah aku telah
jatuh cinta kepada preman keparat itu?
“Sayang? Kamu kenapa?” ucapan Mas Hendra membuyarkan lamunanku.
“Oh, nggak apa-apa, Mas. Jadi lusa kita pindah?”
“Iya, Sayang! Yeaah... kita akan memulai hidup baru di sana!” seru Mas
Hendra, girang. “Aku sudah telepon jasa angkutan untuk memindahkan
barang-barang kita. Lusa mereka akan datang, dan kemudian kita langsung
pindah.”
Aku termangu. Untunglah Mas Hendra tidak terlalu memperhatikan perubahan
raut mukaku. Ia langsung pergi dari ruang tamu untuk mandi. Ia berjalan
sambil bersiul-siul senang. Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku
gelisah. Aku bingung harus bagaimana. Di satu sisi aku ingin pindah
bersama Mas Hendra. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin jauh-jauh dari
Cakra. Aahh... aku benci sekali dengan kenyataan ini.
****
Truk yang akan mengangkut barang-barang kami sudah datang. Sebelumnya
kami sudah mengepak semua barang berukuran kecil ke dalam kardus. Para
kuli angkut pun satu per satu sudah mulai memindahkan barang-barang dari
dalam rumah ke atas truk. Aku duduk di sudut ruangan sambil menatap
aktvitas mereka dengan gelisah. Aku bingung. Aku benar-benar tidak ingin
pindah dari sini. Tapi bagaimana cara melakukannya? Aku begitu panik
dan sangat kalut. Dan kemudian aku pun mulai terisak....
“Lho, sayang... kamu kenapa?” tanya Mas Hendra saat melihatku menangis.
Ia langsung menghampiriku dan membelai-belai rambutku. Aku pun langsung
memeluknya dengan erat. Tangisanku semakin keras.
“Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Aku hanya menangis tanpa berkata apa-apa. Pelukan dari Mas Hendra
sedikit menenangkanku. Perlahan-lahan pikiranku pun mulai tenang.
“Sayang...,” ujar Mas Hendra, lembut. “Ceritalah kalau ada masalah...
nanti sama-sama kita cari solusinya....”
Mendengar kata-kata Mas Hendra yang begitu teduh, aku pun mulai berani
membuka mulut. “Mas... aku... aku minta maaf....”
“Lho, minta maaf kenapa?”
“Aku nggak bisa pindah dari sini, Mas.... Aku pengen tetap di sini....”
ujarku. Air mataku pun semakin tumpah, sebab dengan berkata seperti itu,
berarti aku lebih memilih menjadi budak pelampiasan Cakra.
“Lho... lho... kenapa?” Mas Hendra melepaskan pelukannya. “Bukankah dulu
kamu pernah bilang pengen pindah dari sini?”
“Iya, Mas... tapi itu dulu.... Sekarang aku benar-benar nggak pengen
pindah... tolong aku, Mas....”
“Tapi....” Mas Hendra tidak meneruskan ucapannya. Ia terlihat sangat
terkejut.
“Tolong, Mas...,” aku kembali terisak.
“Tapi aku nggak mungkin membatalkan kepindahanku ke kantor baru,
Sayang....”
“Mungkin Mas Hendra saja yang pindah, sementara aku tetap di sini. Nanti
Mas Hendra bisa pulang ke sini seminggu atau dua minggu sekali...,” aku
memberi ide.
Mas Hendra menjauh dariku, dan kemudian terduduk lemas sambil
memijat-mijat keningnya. Aku jadi kasihan kepadanya. Aku segera
mendekatinya, dan kemudian memeluknya sambil terisak. Kami berpelukan
seperti itu dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya Mas Hendra mulai
bicara. Ia meminta alasan yang logis kenapa aku tidak ingin pindah. Aku
hanya bilang bahwa aku sudah sangat betah di kampung itu. Aku tidak
mungkin memberitahukan alasan yang sebenarnya kepada Mas Hendra, sebab
hal itu bisa sangat menghancurkan hatinya. Mas Hendra sulit menerima
alasanku, namun ia tidak sampai hati memaksaku untuk ikut pindah. Pada
akhirnya hatinya pun luluh. Ia menyetujui ideku, bahwa hanya dia saja
yang pindah, sementara aku tetap di sini. Ia pun langsung meminta para
kuli angkut untuk menurunkan kembali barang-barang yang sudah diangkut.
Mas Hendra harus membayar sekian rupiah sebagai konsekuensi karena
membatalkan pengangkutan barang. Namun, ia membayarnya dengan ikhlas
demi istri tercintanya in.
****
Setahun sudah aku tinggal berjauhan dengan Mas Hendra. Pada awal-awal
kepindahannya, suamiku itu pulang seminggu sekali. Namun demi menghemat
pengeluaran, ia pulang dua minggu sekali, dan kami sudah menyepakati hal
ini. Cakra semakin sering datang ke rumah sejak Mas Hendra pindah.
Bahkan hampir setiap hari ia tidur di rumahku, tentunya saat Mas Hendra
sedang tidak ada. Kami benar-benar seperti sepasang suami istri. Kami
tidur berdua dalam satu kamar. Bercinta dengan panas dari malam sampai
pagi. Ketika aku bangun, aku mendapati Cakra sedang tertidur pulas di
sampingku sambil memelukku. Kami sama-sama telanjang. Setelah
bersih-bersih, aku membuatkannya sarapan, dan kemudian kami sarapan
bersama-sama. Ia ibarat suami keduaku. Aku tidak menyangka bahwa
ternyata hubunganku dengan Cakra bakalan seperti ini. Padahal, dulu aku
teramat membencinya. Tapi kini dialah orang yang selalu memberiku
kehangatan. Memuaskan hasrat seksualku yang tinggi ini. Aku pun kini
menjadi perempuan yang binal. Aku selalu memakai pakaian yang seksi.
Tidak hanya di rumah, tapi juga di luar rumah. Saat pergi ke pasar,
sering kali aku hanya mengenakan daster pendek satu tali. Pakaian itu
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku dengan jelas, seperti belahan dada,
ketiak, dan kedua pahaku. Bahkan sesekali aku nekat tidak mengenakan
pakaian dalam. Tidak ada satu pun tetangga yang memprotes atau
menggangguku. Mungkin karena mereka takut dengan Cakra.
****
Saat menyetubuhiku, Cakra selalu menumpahkan spermanya ke dalam rahimku.
Aku selalu memintanya untuk mengeluarkannya di luar, tapi ia tidak
pernah mau. Hal yang aku takutkan pada akhirnya terjadi. Aku hamil, dan
usia kandunganku sudah satu bulan. Beruntung satu bulan sebelumnya aku
juga bercinta dengan Mas Hendra. Jadi begitu mengetahui aku hamil, Mas
Hendra senang bukan kepalang.
“Benarkah??? Aaaaah!! Akhirnya aku akan menjadi seorang, Ayah!” jerit
Mas Hendra ketika aku mengabarkan kehamilanku lewat telepon. “Sayang,
kamu nggak boleh beraktivitas terlalu banyak. Setelah ini aku akan
menambah uang kiriman untuk beli susu kehamilan. Kamu harus
banyak-banyak minum susu supaya pertumbuhan janin anak kita berlangsung
dengan baik.”
Kasihan Mas Hendra. Ia percaya bahwa anak dalam kandunganku ini adalah
anaknya. Padahal, saat kami bercinta malam itu, spermanya tidak sampai
masuk ke liang kenikamatanku, sebab penisnya tidak bisa berdiri.
Malamnya, aku menanti kedatangan Cakra. Sudah seminggu lebih ini ia
belum pulang. Nomor hpnya juga tidak aktif. Aku merasa kangen. Aku
gelisah menanti kepulangannya. Meskipun sedang hamil, namun gairahku
tetap tinggi. Setiap malam aku memakai lingerie yang sangat seksi. Jadi
kalau Cakra pulang, kami bisa langsung bercinta. Setiap hari pula aku
mencukur bulu ketiakku, menjaganya selalu bersih dan mulus. Khusus untuk
Cakra, sebab ia sangat menyukai bagian tubuhku yang satu itu.
“Mas Cakra, kamu ke mana?” aku bertanya dengan masgyul.
Pada malam kesepuluh, Cakra masih belum pulang juga. Keesokan harinya,
sebuah ambulans datang ke depan rumah Cakra. Astaga, ternyata ambulans
itu membawa jenazah Cakra! Dari para tetangga, aku mendengar kabar bahwa
Cakra terjatuh dari truk saat hendak merampok hingga tewas seketika.
“Astaga... Mas Cakra....”
Aku tidak ikut melayat atau menguburkan jenazah Cakra. Aku hanya
menangis di rumah. Menangisi kepergian Cakra. Ayah dari anak yang ada
dalam rahimku ini.
****
Kepergian Cakra benar-benar membuatku terguncang. Aku pun sadar bahwa
selama ini aku telah berbuat sesuatu yang sangat tidak patut.
Selanjutnya aku memutuskan untuk bertobat. Aku berjanji untuk lebih
mengendalikan nafsuku. Aku berjanji tidak akan membiarkan seorang pria
pun yang menikmati tubuhku lagi selain suamiku. Jika suatu hari nanti
aku tidak bisa menahan hasratku, maka aku lebih memilih untuk
bermasturbasi. Beberapa hari setelah kepergian Cakra, aku menelepon Mas
Hendra.
“Mas, sekarang kan aku lagi hamil. Bagaimana kalau aku pindah saja ke
sana?” tanyaku. “Jadi nanti kita bisa sama-sama menjaga calon anak kita.
Mas Hendra senang bukan kepalang mendengar ideku itu. Langsung saja ia
mengurus kepindahanku. Dan dalam waktu beberapa hari saja, aku sudah
resmi pindah. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang baru saja
dibeli Mas Hendra dengan cara mencicil. Kini aku pun memulai hidup baru.
Di tempat yang baru, dan dengan semangat yang baru. Namun aku harus
menjalaninya dengan menyimpan sebuah rahasia besar. Rahasia yang sama
sekali tidak boleh diketahui oleh suamiku, Mas Hendra.
TAMAT
Sangat menikmati cerita wife selingkuh didpan mata menggoda sekali perbnyak lg donk certanya berkualitas
BalasHapus