Cerita Eksibisionis Gaby : Cerita 1 Gaby, Istri yang Ternoda: Awal Perbudakan
Namaku Gaby. Aku adalah istri dari seorang pegawai rendahan bernama Mas
Hendra. Secara fisik, penampilanku termasuk di atas rata-rata, tubuhku
tidak tinggi namun sintal dengan payudara 34B, rambutku yang sedikit
bergelombang biasa kubiarkan terurai hingga dada, Pernikahan kami sudah
berjalan selama dua tahun, namun kami masih belum dikaruniai momongan.
Itu bukan karena kami sengaja menundanya, melainkan karena Mas Hendra
mengalami disfungsi ereksi. Meski demikian, kami menjalani hidup dengan
bahagia di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebenarnya aku dan Mas
Hendra sering bercinta, tapi sepertinya sperma Mas Hendra tidak sampai
masuk ke rahimku sehingga aku sulit hamil. Saat penisnya baru masuk
setengahnya, ia sudah keluar duluan. Untuk masalah ini, aku harus
benar-benar bersabar, sebab gairah seksualku terbilang tinggi. Mas
Hendra tidak sanggup mengimbangiku. Meski demikian, aku tetap sayang dan
mencintai Mas Hendra apa adanya. Namun ada satu hal yang membuat
kebahagiaan kami terusik. Di belakang rumah kami tinggal seorang preman
yang suka bersikap semaunya, termasuk kepada kami. Namanya Cakra, tapi
orang-orang biasanya memanggilnya Ceker. Usianya mungkin dua tahun di
bawahku. Dia belum menikah, dan tinggal bersama neneknya yang sudah tua.
Orangtuanya entah ke mana. Mas Hendra sangat takut kepada Ceker. Pernah
dulu saat kami sedang jalan berdua, kami berpapasan dengan Ceker. Mas
Hendra mencoba bersikap sopan kepadanya. Namun, Ceker malah membentaknya
dan bersikap kasar. Dia mengeplak kepala Mas Hendra di depan mataku.
Ceker meminta uang (memalak) kami. Mas Hendra buru-buru menyerahkan uang
50 ribu yang ada di kantongnya. Beruntung Ceker segera pergi. Sejak
saat itu Ceker sering bersikap semena-mena terhadap Mas Hendra. Sudah
terhitung lagi Cakra memalaknya. Mas Hendra tidak berani melawan, ia
memang seorang yang lembut dan tidak suka cari ribut. Tubuh Cakra begitu
kekar, dan Mas Hendra merasa tidak akan menang melawannya apalagi ia
bukan orang yang suka berkelahi. Kabarnya dulu Cakra bekerja di
pedalaman Kalimantan selama beberapa tahun. Mungkin itulah yang membuat
tubuhnya kekar dan berisi.
Pada suatu pagi, Cakra lagi-lagi berbuat ulah. Saat itu hari libur. Aku
dan Mas Hendra sedang asyik bersantai di rumah. Tiba-tiba Cakra masuk,
lalu memaksaku untuk ikut dengannya menghadiri acara pernikahan
temannya. Katanya ia tidak mau pergi sendiri. Mas Hendra dan aku mencoba
menolaknya dengan halus, tapi Cakra malah berkata dengan kasar, bahkan
hampir memukul Mas Hendra. Akhirnya aku buru-buru menyanggupinya sebelum
Mas Hendra terluka. Aku pun segera masuk ke kamar untuk berganti baju.
Ah, sial. Pakaianku banyak yang masih belum kering. Yang tersisa di
lemari hanya baju batik terusan tanpa lengan dengan bagian bawah tidak
sampai mencapai lutut. Jika tanganku terangkat sedikit, maka ketiakku
langsung terlihat. Ah, aku malu, sebab ada bulu-bulu halus di ketiakku.
Aku belum sempat mencukurnya lagi. Tapi tidak ada pilihan lain, aku
terpaksa memakai baju seksi tersebut. Aku sempat melihat Cakra
terperangah melihatku keluar kamar. Mungkin ia terpesona dengan
keseksian dan kecantikanku. Belahan dadaku juga terlihat sedikit. Mas
Hendra melepas kepergianku sambil mengecup keningku. Ia meminta maaf
karena tidak bisa beruat apa-apa. Aku mengatakan tidak masalah, sebab
hanya pergi sebentar. Aku berusaha menghiburnya supaya dia tidak terlalu
merasa bersalah. Aku membonceng motor RX King milik Cakra dengan posisi
mengangkang. Tadinya aku ingin duduk dengan posisi menyamping, tapi hal
itu tidak mungkin dilakukan, sebab bentuk jok motornya terlalu
menyulitkan. Berkali-kali aku berusaha menutupi paha mulusku yang
tersingkap karena rokku terangkat. Tapi percuma saja. Akhirnya aku
terpaksa membiarkan para pria hidung belang di jalan melihat pahaku yang
putih dan padat itu. Sebagian jalanan yang kami lewati begitu buruk.
Aku terpaksa berpegangan pada bahu Cakra supaya tidak terjatuh. Luar
biasa, bahunya terasa kokoh sekali. Benar-benar bahu seorang pria
sejati. Tapi aku segera menepis kekaguman itu setelah mengingat bahwa
Cakra adalah preman yang sering mengganggu kehidupanku dan suamiku. Aku
dan Mas Cakra tidak berlama-lama berada di acara pernikahan. Setelah
bersalam-salaman dan menikmati hidangan yang ada, kami langsung pulang.
Baru setengah jalan, tiba-tiba Cakra berhenti, lalu menelepon seseorang.
“Ndes, kamu di mana? Aku pinjem kontrakanmu, ya? Kuncinya di tempat
biasa, kan?” ujar Cakra dengan temannya di ujung telepon sana.
Setelah itu, ia menutup telepon, lalu melanjutkan perjalanan. Di sebuah
persimpangan, ia membelokkan sepeda motor ke arah lain.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku dengan jantun.g berdebar-debar.
“Sudah, ikut aja! Nggak usah banyak tanya!” bentak Cakra. Aku langsung
terdiam karena takut.
Setelah beberapa lama, kami tiba di rumah sederhana. Kanan-kirinya hanya
ada kebun jagung. Cakra mengambil kunci di bawah keset, lalu membuka
pintunya. Ia menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam. Aku sempat
memberontak. Tapi, Cakra terlalu kuat sehingga ia bisa menarikku ke
dalam. Rumah itu ternyata hanya sebuah kamar berukuran 5x4 m yang
dilengkapi dengan kamar mandi. Di kamar itu ada sebuah kasur tanpa
tempat tidur. Aku duduk di situ dengan takut-takut. Setelah menutup
pintu, tiba-tiba Cakra membuka bajunya. Sesaat aku terpesona melihat
dadanya yang begitu bidang dan perutnya yang kotak-kotak. Cakra
memelukku hingga aku terjatuh ke kasur, lalu berbisik,
“Gaby, ayo layani aku. Jangan teriak!”
Aku tersentak dan berusaha memberontak. Pikiran negatifku terbukti, ia
hendak memperkosaku! Tapi, aku tidak berani teriak. Cakra berusaha
menciumku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan Mas...jangan...kumohon!!” aku menghiba dan terisak
Tanpa mempedulikan permohonanku ia terus berusaha menyosor bibirku. Pada
sebuah kesempatan, akhirnya ia berhasil melumat bibirku. Tangannya yang
kasar itu mulai meraba-raba dadaku. Ia melakukannya dengan tegas khas
lelaki yang kuat. Sesekali ia juga melakukannya dengan lembut. Aku
benar-benar dibuat belingsatan. Aku mati-matian berusaha menahan nafsu
yang mulai melandaku. Tapi, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Entah
kenapa lama-lama aku mulai membalas ciuman Cakra yang menggairahkan itu.
Bahkan ketika Cakra memelorotkan baju batik yang kupakai, aku tidak
menolaknya sama sekali! Cakra mengangkat kedua tanganku, lalu ciumannya
mengarah ke ketiakku. Ia melepas BH-ku hingga kedua buah dadaku yang
padat dan kencang itu tersingkap. Cakra meremas-remas dadaku sambil
tetap menjilati ketiakku. Sesekali tangannya juga meraba-raba puting
susuku dengan lembut. Oh, rasanya nikmat sekali. Aku menggigigit bibir
bawahku karena keenakan.
“Mas Hendra...maaf, aku tidak sanggup lagi” tangisku dalam hati
Aku merasa bersalah sekali. Aku telah membiarkan orang lain yang bukan
suamiku menjarah tubuhku, mencumbuiku serta menikmati dadaku. Padahal,
selama ini yang bisa melakukannya hanya Mas Hendra, suamiku. Tapi, aku
membela diri bahwa aku tidak punya pilihan lain. Jika memberontak, bisa
saja Cakra membunuhku di tempat yang sepi itu. Nafsu pun semakin
menguasaiku. Aku meremas-remas kepala Cakra sambil mendesah-desah.
Cakra/ Ceker
Ciuman Cakra terus turun hingga mencapai perutku. Aku mengerang
keenakan. Tangannya yang kokoh itu mencoba melepaskan celana dalam warna
pink yang kupakai. Bukannya menolaknya, aku malah mengangkat tubuhku
supaya celana dalamku mudah dilepas. Kini aku benar-benar telanjang
bulat. Cakra membuka kedua pahaku, lalu mengamati vaginaku yang
ditumbuhi bulu-bulu yang agak lebat itu. Rupanya vaginaku sudah sangat
basah. Aku merasa malu sekali. Cakra adalah orang pertama yang melihat
kemaluanku selain suamiku sendiri. Tiba-tiba, kepala Cakra masuk ke
pangkal pahaku, lalu mencium dan menjilati vaginaku.
“Aaakhhh...ssshhh” aku menjerit kecil sambil menggigit bibir.
Baru kali ini aku dioral. Bahkan Mas Hendra pun belum pernah
melakukannya sama sekali. Aku serasa terbang di awang-awang. Rasanya
sungguh nikmat! Cakra sepertinya tahu di mana titik-titik sensitif
seorang wanita. Saat itu aku benar-benar tidak mempedulikan statusku
lagi sebagai istri Mas Hendra. Aku di bawa ke langit ketujuh oleh Cakra.
Aku mengencangkan kedua pahaku hingga kepala Cakra jadi agak terjepit.
Meski demikian, hal itu tidak menganggu aktivitasnya. Ia tetap
mengoralku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku tidak bisa
membayangkan, apa yang terjadi jika Mas Hendra melihatku dalam kondisi
seperti ini. Apakah ia akan diam saja atau melawan Cakra? Ah, aku tidak
bisa mengira-ngiranya. Beberapa lama kemudian, Cakra berhenti
mengoralku. Ia melepas celana panjang dan celana dalamnya dengan cepat.
Astaga, penis Cakra besar sekali! Tegak dan benar-benar terlihat kokoh,
sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar itu. Cakra membangunkanku, lalu
memaksaku untuk mengoralnya. Aku pun menuruti kemauannya dengan
setengah terpaksa. Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku. Aku
mencium penis Cakra dengan canggung, lalu mulai mengoralnya. Rasanya
asin. Cakra sepertinya suka sekali dengan caraku mengoralnya. Tangannya
meremas kepalaku, dan sesekali menyingkirkan rambutku yang panjang itu
dari mukaku. Tiba-tiba saja aku merasa hina. Aku adalah seorang istri
baik-baik, tapi sekarang malah mengoral seorang preman, bahkan seorang
yang sangat kubenci karena sering menindas aku dan suamiku. Cakra
menarik penisnya dari mulutku, lalu melumat bibirku. Aku membalas
ciumannya itu dengan penuh gairah. Lidahku dan lidahnya saling terpagut.
Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, semuanya berjalan begitu
saja. Tanganku secara spontan merangkul kedua lehernya. Siapapun yang
melihat kami pasti sepakat bahwa adegan itu bukan merupakan sebuah
pemerkosaan. Cakra menidurkanku, lalu membuka kedua pahaku yang sintal
dan padat berisi itu. Vaginaku pun terbuka lebar. Bulu-bulu hitamnya
tampak kontras dengan pahaku yang putih. Aku sudah benar-benar pasrah.
Ia menjilati leher dan ketiakku, lalu perlahan-lahan mulai memasukkan
penisnya ke vaginaku.
“Jangan… jangan… jangan….” di mulut aku menolak dan tubuhku meronta
untuk menghindari disetubuhi olehnya, namun vaginaku terasa gatal
sekali. Di satu sisi aku ingin segera menikmati penis besar Cakra yang
nampak lebih perkasa dari milik Mas Hendra itu, tapi di sisi lain hati
nuraniku berkata untuk menjaga kesucianku sebagai istri Mas Hendra.
“Aaaaaaah….” Aku menjerit kecil saat penis Cakra berhasil masuk ke liang
kenikmatanku.
Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan membusungkan dadaku. Nikmatnya
sungguh tidak terkatakan! Selanjutnya Cakra mulai menyetubuhiku. Aku
mendesah-desah dengan penuh gairah saat Cakra menggenjotku. Tubuhnya
bersimbah peluh. Begitu pula dengan tubuhku. Aku meraba-raba dadanya
yang bidang dan gagah itu. Saat itu pula aku sudah tidak bisa
mendengarkan nuraniku lagi, aku pun larut dalam nikmatnya birahi.
Setelah beberapa lama, kami pun berganti posisi. Dia menyuruhku
nungging, lalu mulai menggenjotku dari belakang. Tangannya mencengkeram
kedua pinggangku. Aaah, Cakra benar-benar pintar bercinta. Desahanku pun
semakin keras saja. Aku tidak peduli bila sampai ada orang yang
mendengarnya. Tubuhku meliuk-liuk tak beraturan. Setelah beberapa lama,
kami berpindah posisi lagi. Kali ini aku kembali berada di bawah,
sementara Cakra menggenjotku dari atas sambil mengamati wajahku yang
terlihat memerah karena keenakan. Aku merasa malu sekali dipandangi
dalam keadaan seperti itu. Tapi, aku sudah tidak peduli lagi. Aku hampir
keluar, dan Cakra masih terus menggenjotku.
“Lebih cepat lagi, Mas… lebih cepat lagi….” Ujarku, lirih. “Tolong nanti
dikeluarin di luar, Mas.” lanjutku lagi.
Tak disangka, Cakra malah memperlambat genjotannya. Hal ini membuatku
belingsatan.
“Ayo Mas, dicepetin lagi….” aku menatap Cakra dengan pandangan sayu
sambil memohon kepadanya, sungguh aku benar-benar merendahkan harga
diriku sendiri.
“Aku mau ngeluarin di dalem. Boleh, kan? Aku mau menghamili kamu,” kata
Cakra sambil menyeringai.
Aku tersentak kaget. Ucapannya benar-benar kurang ajar.
“Jangan, Mas! Aku mohon, keluarin di luar aja,” ucapku, sambil berusaha
menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri, sebab genjotan Cakra menjadi
sangat lambat.
Cakra diam saja, lalu benar-benar menghentikan genjotannya.
“Mas, ayo mas… plis….” aku benar-benar memohon kepadanya supaya dia
melanjutkan genjotannya. Seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam
vaginaku, tapi tertahan sehingga membuatku gelisah.
Cakra masih diam. Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berkata dengan lirih
dan pasrah kepadanya, “Ya udah Mas, keluarin di dalem.”
“Apanya? Ngomong yang jelas!” seru Cakra.
“Keluarin di dalem aja supaya aku hamil! Mas Cakra boleh menghamiliku!
Ayo Mas, hamili aku!” aku setengah berteriak.
Aku kaget mendengar ucapanku sendiri. Rupanya aku benar-benar sudah
dikuasai nafsu sehingga mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh itu,
betapa murahanya aku menyadari diriku menjadi seperti ini. Cakra
tersenyum penuh kemenangan, lalu kembali menggenjotku. Aku
mendesah-desah tak karuan. Tanganku menggapai-gapai benda apa pun yang
bisa kugenggam.
“Sedikit lagi… sedikit lagi… ayoo….” aku terus menyerocos. Aku mulai
mendekati puncak kenikmatan. Belum pernah aku merasakan proses yang
demikian hebat itu, sebab selama ini Mas Hendra tidak mampu
mengimbangiku.
Sepertinya Cakra juga mau keluar. Ia memelukku dari atas, lalu melumat
bibirku. Aku membalas ciumannya dengan panas. Aku pun memeluk
punggungnya dengan erat. Dadaku menempel dengan erat di dadanya yang
kekar. Cakra semakin mempercepat genjotannya. Desahanku semakin keras,
tapi tidak terdengar jelas karena bibirku sedang dilumat oleh Cakra.
Beberapa detik kemudian….
“AAAaaahhhh!!!” aku menjerit sambil membusungkan dada.
Tubuhku melengkung ke atas. Pangkal pahaku bergetar hebat. Jari-jari
tanganku mencengkeram punggung Cakra dengan kuat. Aku merasakan
kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang belum pernah aku rasakan.
Aku benar-benar terbang ke puncak kenikmatan dunia. Tubuh Cakra juga
terasa bergetar. Rupanya kami orgasme bersama-bersama. Sperma milik
preman itu memancar dengan kuat dan membanjiri liang kehormatanku. Aku
telah membiarkan cairan lelakinya masuk ke dalam vaginaku. Kami
sama-sama diam, mungkin masih menghayati sisa-sisa kenikmatan yang ada.
Napas kami terengah-engah. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku sudah terlalu
lama pergi. Mas Hendra pasti mencariku. Aku pun segera bangkit dari
kasur, membawa semua pakaianku ke kamar mandi, lalu membersihkan diri.
Aku keluar dari kamar mandi setelah selesai berpakaian. Setelah itu
gentian Cakra yang membersihkan diri di kamar mandi. Setelah semuanya
beres, kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, aku hanya diam, sebab
masih terpesona dengan kenikmatan luar biasa yang baru saja aku rasakan.
****
“Gaby, makasih, ya,” ujar Cakra sambil menyeringai saat menurunkanku di
depan rumahku.
Aku tidak menjawab apa-apa. Setelah itu ia langsung pergi dengan RX
King-nya. Mas Hendra menyambutku dengan riang.
“Kok lama sayang?” tanya Mas Hendra.
“Iya Mas, tadi Mas Cakra ngobrol lama sama teman-temannya,” jawabku,
berbohong.
Mas Hendra tersenyum lembut, lalu menyuruhku masuk. Katanya dia sudah
menyiapkan teh hangat untukku. Aku terharu, lalu buru-buru masuk ke
rumah dan pamit mau mandi. Aku tidak mau melihat Mas Hendra melihatku
menitikkan air mata.
“Mas Hendra, seandainya kamu tahu.... Istrimu tercinta ini baru saja
dinodai orang. Di dalam rahim istrimu ini ada benih-benih preman yang
selama ini sering memalakmu. Maafkan aku, Mas....” aku membatin sambil
berusaha menahan tangis
####
Pagi itu aku sedang sibuk di dapur mempersiapkan makanan, ketika sedang
membasuh sayuran tiba-tiba kurasakan remasan pada pantatku.
”Eeehh...Mas, pagi-pagi udah genit ya” seruku sedikit kaget
Mas Hendra tertawa dan mendekap tubuhku dari belakang, tangannya meraba
buah dadaku dengan lembut.
“Iiihhh...jangan ah...aku kan lagi kerja nih!” kataku menepis tangannya.
“Hahaha...ayo dong say, kan masih cukup waktu, masih sempat kok sebelum
ngantor nih.” Mas Hendra menggesekkan selangkangannya yang sudah
menegang pada pantatku menggodaku
“Dasar, baru bangun juga udah omes gitu” candaku sambil tertawa.
Aku pun pasrah meletakkan selada yang sedang kucuci pada wadah untuk
menikmati perlakuannya padaku. Tangan Mas Hendra menaikkan rokku dan
merabai pahaku naik hingga ke vaginaku yang masih tertutup celana dalam.
Mau tidak mau, aku pun mulai hanyut karena sentuhan erotisnya,
kurasakan vaginaku mulai basah.
Mas Hendra mengecup telingaku dan berkata, ”Punya istri secantik dirimu,
siapa yang akan pernah bosan!” sambil mencium pipiku
Ketika aku menengokkan wajahku, ia langsung melumat bibirku lembut. Aku
mengeluarkan lidahku membalas lidahnya yang menjilati bibirku,
kulingkarkan tanganku ke lehernya. Karena sudah terbakar nafsu, aku pun
tak perlu waktu lebih lama untuk mengimbanginya. Sebentar saja kami
sudah beradu lidah dengan liarnya, tanganku yang satu menjulur ke
belakang bawah meraba selangakannya yang sudah mengeras. Tangan Mas
Hendra dengan cekatan mempreteli kancing gaun tidurku, payudaraku
langsung menyembul keluar karena tidak memakai bra. Dengan gemas ia
memilin dan meremas puting payudaraku, sambil tangan kanannya merogoh
masuk ke dalam celana dalamku. Aku sendiri tidak bersikap pasif seperti
patung, tanganku meraih resleting celana Mas Hendra dan menurunkannya,
celana panjang yang dikenakannya agak gombrong sehingga tidak sulit
bagiku meraih penisnya dari balik celana dalam.
“Bentar...bentar say...” ia berhenti sejenak meremas payudaraku untuk
membuka gesper dan kaitan celananya, “ntar kalo kejepit kan berabe”
Aku tertawa dengan tingkahnya itu, “hihihi...sendirinya yang pengen
cepet-cepet, bangun-bangun udah minta gituan”
Celananya pun melorot ke lantai dan ia turunkan celana dalamnya hingga
lutut. Tangaku meraih batang penisnya yang sudah menegang dan mulai
kukocok perlahan, naik turun dengan begitu lembut. Ia juga meneruskan
remasannya pada payudaraku dan mulutnya mengecupi lembut pundak dan
leherku. Tangannya yang satunya mengobok-obok di balik celana dalamku.
“Ssshhh...say...” desahku lirih sambil memejamkan mata menikmati
sentuhan jarinya pada bibir vaginaku, kurenggangkan pahaku agar
tangannya lebih leluasa merambahi wilayah kewanitaanku. Kurasakan
jarinya mulai masuk ke dalam, satu jari, lalu disusul satu jari lagi,
uuhhh...nikmatnya, aku menyukai gayanya yang lembut ditambah lagi gelora
cinta di antara kami berdua.
“Wah, cepet banget basahnya say” kata Mas Hendra sambil tersenyum
menatap wajahku yang sudah memerah sayu dari samping belakang.
“Makanya cepetan dong, ntar telat nyalahin gua lagi!” kataku tak sabar.
Mas Hendra langsung mendudukkan tubuhku di tepi meja dapur, tapi
bukannya langsung to the point, ia malah mengarahkan mulutnya ke arah
payudaraku yang membusung tegak. HAP! Mulutnya pun mencaplok yang kanan.
Disedotnya putingku yang sudah menegang kuat-kuat, lidahnya menari
lincah di atas sana.
“Mas...aahhh....eeemmhhh” aku mendesah dan meremasi rambutnya, sensasi
geli ini sungguh membuaiku, tapi aku menyukainya. Kubiarkan Mas Hendra
terus menyusu dari payudaraku ini.
Tak lama, mulutnya pindah ke yang kiri. Hhhmmm...kali ini hisapannya
terasa lebih kuat. Sambil menjilat, beberapa kali giginya ikut bermain
dengan menggigit perlahan putingku yang kini semakin mengeras saja.
“Owhh, sssshh!” aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuan itu.
“Sekarang dong say...tusuk memekku.” bisikku lirih. “aku sudah kepengen
banget nih!”
“Of course say” kata Mas Hendra menganggukkan kepala.
Ditariknya celana dalamku hingga lepas sehingga vaginaku kini mekangkang
ke arahnya. Tangannya masih saja menggerayangi tubuhku, terutama
sepasang gunung kembarku yang merupakan anggota tubuhku yang ia sukai.
Ia terus memijit dan meremas-remasnya penuh nafsu. Sambil bibir kami
tetap berpagutan aku merasakan penis suamiku itu berada tepat gerbang
vaginaku, ia menggesek-gesekkan benda itu ke bibir vaginaku yang sudah
becek dengan penuh perasaan.
“Ayo cepet, sekarang Mas!” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa ditahan lagi, dengan perlahan Mas
Hendra pun mulai mengarahkan kepala penisnya ke arah vaginaku.
Digesek-gesekkannya ujung batang penis itu di luar bibir kemaluan Lucia.
Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku
yang berleleran di sana sebagai pelumas. Setelah dirasa cukup licin Mas
Hendra pun siap menusukku.
”Okay say, kumasukin sekarang ya!” bisiknya sambil mengecupku dengan
lembut.
Kurasakan kepala penis Mas Hendra melesak masuk dan dijepit oleh dinding
vaginaku yang berdenyut-denyut.
“Ooohhh yaaahh Mas” erangku mengiringi proses penetrasi
Rasanya begitu hangat, kenyal, namun keras saat batang penis suamiku
memenuhi liang senggamaku. Sambil tetap meremas-remas payudara kiriku,
Mas Hendra mendorong batang penisnya hingga benda itu menancap
seluruhnya. Kedua alat kelamin kami pun akhirnya menyatu dan saling
mengisi satu sama lain.
“Uhh,” aku mendesah pelan sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
Walau sudah terbiasa dengan ukuran penis Mas Hendra, namun tetap saja,
ada sedikit rasa nyeri yang timbul. Namun aku berusaha mengabaikannya,
rasa nyeri itu akan segera berubah menjadi rasa nikmat kalau Mas Hendra
sudah menggenjotku. Ia menggeser-geser posisi tubuhnya, berusaha mencari
posisi yang paling nikmat dalam persetubuhan kami pagi itu. Perlahan,
batang penisnya mulai ia gerakkan maju-mundur. Denyut-denyut kejantanan
Mas Hendra dapat kurasakan sehingga membuat organ kewanitaanku semakin
membanjir, sebagian cairan kewanitaanku bahkan mulai meleleh membasahi
bibir meja dari bahan marmer ini saking banjirnya. Tak peduli dengan
semua itu, Mas Hendra terus menggerakkan pinggulnya maju mundur, bahkan
ia terlihat begitu menikmatinya. Malah semakin lama, tusukannya menjadi
kian cepat dan dalam hingga terdengar bunyi berdecak akibat tumbukan
alat kelamin kami ditambah beceknya vaginaku.
“Enak gak sayang?” tanya Mas Hendra sambil terus menggenjot vaginaku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Aku tersenyum
mendesis sambil berusaha menganggukkan kepala. Aku hanya bisa melenguh
keenakan saat gelombang kenikmatan itu perlahan datang, membuat
jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya menderu tak kalah berat.
“Shhhh, aku mau keluar, Sayang. Ayo, tusuk memekku lebih dalam.” desahku
menyemangati suamiku.
Tanpa harus disuruh lagi, Mas Hendra semakin mempercepat sodokan
penisnya. Begitu cepatnya hingga tubuhku jadi terhentak-hentak
karenanya.
“Aaahhh...aahhhh...terusss...mas terusss...enak gitu!!” mulutku makin
menceracau tak karuan
‘Trang!’ panci yang akan kupakai untuk merebus sayuran yang sudah kuisi
air sepertiganya itu tersenggol olehku hingga jatuh dan airnya pun
tumpah membasahi lantai.
“Shhh... oughh... dikit lagi! Sshh... arghhh iya terus!” aku terus
mengerang tanpa mempedulikan panci yang terjatuh itu.
Dinding vaginaku semakin berkedut-kedut hingga akhirnya cairan kental
membanjir dari dalam sana. Mas Hendra mengimbangi dengan semakin
mempercepat goyangannya, dan tak lama kemudian...
“Uuuhhh...gggrrhh” ia melenguh dengan mata membelakak, penisnya ia tekan
sedalam mungkin ke vaginaku.
Sesaat kemudian cairan hangat menyemprot beberapa kali dari ujung batang
penisnya mengisi vaginaku. Akhirnya pagi ini aku berhasil merengkuh
kenikmatan bersama pria yang kucintai. Kinerja Mas Hendra dalam hubungan
seksual memang naik turun, kadang ia mudah lelah sehingga keluar duluan
di saat aku belum puas, dan ini yang sering terjadi, tapi di kala
kondisinya prima kami mampu meraih kepuasan maksimal seperti pagi ini.
Sebagai istri aku mengerti tenaga dan pikirannya banyak tercurah di
kantor sehingga kadang stress dan tentunya berpengaruh pada performanya,
namun sebagai wanita aku pun menginginkan kepuasan dalam bercinta dan
jujur saja seringkali aku kecewa kalau Mas Hendra ejakulasi duluan dan
meninggalkanku dalam kondisi nanggung. Terus terang aku meraih kepuasan
lebih ketika bercinta dengan Cakra tempo hari lalu. Ooohhh...tidak,
mengapa aku berpikir begitu? Preman itu memaksaku kenapa aku sampai
berpikir seperti itu, sungguh dilema bagiku.
“Ahhh...aku sayang banget sama kamu!” ucapnya sambil mengecup bibirku,
penisnya masih menancap di vaginaku dengan semprotan makin lemah, benda
itu juga mulai menyusut di antara himpitan dinding vaginaku
“Sama Mas, aku juga!” jawabku lalu balas memberikan ciuman ringan di
bibirnya.
Setelah merasa lebih segar kami pun mulai berbenah diri. Aku
mengancingkan kembali gaun tidurku dan memakai celana dalamku lagi,
demikian juga Mas Hendra. Kami menikmati sarapan sambil mengobrol
ringan.
“Sampai nanti yah sayang!” Mas Hendra mendekapku dan mengecup dahiku
setelah menyelesaikan makannya.
Aku mengantar kepergiannya hingga ke gerbang rumah kami. Setelah
sosoknya tidak terlihat lagi aku pun kembali ke dalam.
Hari itu sudah empat hari sejak “perkosaan” itu terjadi. Selama itu pula
Cakra tidak terlihat di rumahnya yang berada tepat di belakang rumahku,
hanya dipisahkan oleh pekarangan tak bertuan sejauh 20 meter. Kabarnya
ia sedang berada di luar kota. Ada yang bilang bahwa ia merupakan
anggota penjahat bajing loncat. Karena itulah ia sering pergi ke luar
kota untuk “bertugas”. Entah kenapa aku merasa seperti ada yang kurang
selama 4 hari itu. Apakah aku berharap bisa bertemu dengan Cakra? Ah,
aku buru-buru menepis anggapan itu. Cakra adalah preman, dan ia telah
memperkosaku. Sungguh aneh bila aku merindukannya. Tapi, harus kuakui
bahwa jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat
mengharapkan kenikmatan yang dulu kudapat saat disetubuhi Cakra. Aku
tidak bisa mendapatkannya dari Mas Hendra. Karena itulah, ketika mandi
sore itu aku tanpa sadar melakukan masturbasi di bawah shower
membayangkan kokohnya dada Cakra yang bidang, perutnya yang sixpack, dan
penisnya yang keras. Membayangkan diriku disetubuhi lagi olehnya. Pada
hari kelima di siang hari, aku sedang sibuk menyapu rumah. Mas Hendra
seperti biasa sedang sibuk di kantor. Tadi dia sempat SMS mengatakan
kalau nanti akan pulang malam karena harus menyelesaikan lembur di
kantor. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di
layar ponselku.
“Halo...,” aku menyapa seseorang di ujung telepon sana.
“Gaby, ini aku, Cakra,” ujarnya, singkat. Seketika jantungku langsung
berdebar-debar.
“Iya mas, ada apa?” tanyaku, agak gemetar.
“Nanti malam jam satu, datanglah ke rumahku lewat belakang. Datanglah
tanpa pakaian. Saat aku melihatmu keluar dari pintu belakang rumahmu,
kamu harus sudah telanjang. Awas kalau kamu tidak melakukannya. Aku akan
menculik suamimu dan membunuhnya!” ancam Cakra, lalu langsung menutup
teleponnya.
Aku ternganga. Aku harus berjalan menyeberang pekarangan belakang rumah
sejauh 20 meter malam-malam tanpa pakaian satu pun? Preman ini
benar-benar gila! Aku benar-benar takut dengan ancaman Cakra. Ia punya
banyak teman sesama preman yang sewaktu-waktu bisa menyakiti Mas Hendra.
Aku tidak mau terjadi karena aku yakin Mas Hendra tidak akan menang
melawan mereka. Mau tak mau aku harus menuruti kemauan Cakra. Aku
berdebar-debar saat membayangkan diri pergi ke rumah Cakra malam-malam
tanpa pakaian sehelai pun. Bagaimana jika ada yang melihatku? Apa yang
hendak Cakra lakukan kepadaku? Saat sedang merenung itu, tiba-tiba aku
sadar bahwa vaginaku sudah basah, aku menginginkan hal itu terjadi lagi
padaku mengingat tadi pagi ketika bercinta dengan Mas Hendra di kamar
mandi aku gagal meraih kepuasan, Mas Hendra keluar duluan seperti
biasanya, aku ingin menyelesaikan birahiku yang belum tuntas ini....
0 komentar:
Posting Komentar