Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 2 | Scandal

SLUTTY-LICIOUS
2nd Scandal


Hari ini aku disibukkan dengan tugas kuliah yang menumpuk, sementara nafsu menggebu minta dipuaskan sementara Om Bondan sedang bertolak ke Hongkong untuk mengurus beberapa berkas. Tak tanggung-tanggung, satu bulan! Terang saja aku panik bukan main. Siapa nanti yang akan memuaskan birahiku? Terus, uang jajanku? Pulsa? Kuota internet? Belanja akhir minggu? Astaga, aku tak bisa membayangkannya.

Hari pertama ditinggal Om Bondan, semua masih tampak normal. Aku masih dapat meredam nafsu liarku. Setidaknya, untuk hari ini.
Hari kedua, aku mulai bermasturbasi. Dengan jari, dengan bantal, pulpen, tepi meja, apapun yang bisa kugunakan untuk menyalurkan hasratku. Tapi tak ada yang benar-benar bisa membuatku puas! Aku butuh penis!

Hari ketiga, persediaan uang jajanku mulai menipis. Untungnya, aku masih belum lupa trik hidup hemat yang diajarkan Ayah dulu waktu sekolah. Sebenarnya, aku termasuk fleksibel—tergantung pada bagaimana kondisi yang aku hadapi.

Hari keempat, nafsuku tak tertahankan lagi. Aku uring-uringan di kasur. Berkali-kali masturbasi tak cukup memuaskanku. Aku mulai berpikir untuk mencari pelampiasan lain. Aku mulai melirik laki-laki yang ada di rumah ini.

Hari ketujuh, aku melihat Nathan mengendap-endap menuju dapur. Biasanya cowok itu tak pernah kelihatan dirumah, entah pergi main atau sekedar keluar. Aku berinisiatif untuk mengikuti dari belakang. Ketika berada di dapur, ternyata sudah ada Bunga yang menunggu disana. Aku pun mencari posisi yang aman untuk bersembunyi sambil mengintip. Dari balik tembok, kulihat mereka bicara sesuatu, sepertinya obrolan serius. Lalu kemudian hening, mereka saling bertatapan. Sejurus kemudian, mereka berciuman. Amat mesra, juga menggelora. Uhh, aku iri dengan Bunga. Aku juga ingin dicium seperti itu. Hmm, sepertinya ada kisah cinta terselubung dirumah ini, dan Nathan-Bunga adalah salah satunya.

Sambil berciuman, tangan Nathan berinisiatif bergerilya dibalik kaus yang dikenakan Bunga. Merambat naik, sampai mencapai dada. Dari siluet yang kulihat, tangan Nathan aktif meremas payudara kanan Bunga, membuat si gadis menggelinjang. Terlalu lama bermain api dengan Om Bondan membuatku hafal, bagaimana seorang pro dan amatir dalam menjamah tubuh wanita. Dan Nathan termasuk yang pro. Ngg... sementara Bunga, dia pasif. Duh, aku jadi basah, kan.

“Nathaaaan...!”

Suara Tante Indy! Aku tersentak, begitupun dengan Nathan dan Bunga. Aku buru-buru meninggalkan mereka, dan pura-pura duduk menyalakan televisi di ruang tamu. Mengatur nafas, bersikap setenang mungkin.

“Eh, Olin. Nga-ngapain di-disini?” tanya Nathan, ketika melewatiku. Dari nadanya yang gugup, aku tahu dia belum bisa berbaur dengan suasana.

“Nonton lah, tuh lagi liat si Pangeran cium Puteri Tidur.”

Nathan kembali tersentak, lalu pergi begitu saja. Dan aku baru ingat bahwa kalimatku secara tak langsung menyinggungnya! Ahaha, tapi memang adegan di televisi sedang menampilkan Ken the Prince is kissing Barbie the Sleeping Beauty, my bad? Sabodo teuing, deh.

Meski mataku tertuju ke layar, tapi pikiranku masih terbayang ciuman tadi. Ah, panas menggelora... aku mau. Tanpa sadar, aku mengusap-usap selangkanganku sendiri yang masih tertutup celana pendek. Buru-buru kutepis pikiran mesumku, lalu kembali ke kamar. Aku baru ingat, ada tugas yang harus dikerjakan.

Hari kedua belas, aku makin gila. I need someone to fuck me, hard! Tapi siapa? Siapa? Andaikan aku bisa menghilangkan urat malu, pasti sekarang aku sudah telanjang bulat di pinggir jalan, mengangkang lebar sambil menunggu tiap lelaki yang lewat untuk memperkosaku. Atau minimal aku sudah menggoda para pria dirumah ini. Aku penasaran, apa penis Nathan ‘senikmat’ ayahnya, bagaimana genjotan Asep, Pak Moko juga sepertinya berpengalaman. Kalau Pak Hildan, biar aku saja yang menggoyang diatas. Kasihan dia, sakit-sakitan begitu masih harus menggenjotku.

Aku lalu menungging diatas kasur. Memelorotkan celana dan celana dalamku, lalu merogoh klitorisku dan memainkannya sesuka hati. Mendesah-desah liar diatas ranjang, sambil pantatku maju-mundur bagai sedang digenjot penis. Duh, I need a cock, right now!

Sekali klimaks, dua kali, empat, enam... aku tak pernah puas. Tidak tanpa adanya penis yang memenuhi kemaluanku.

Hari ketiga belas, aku sedang berkeliling rumah. Rasanya masih banyak sudutnya yang belum kujelajahi. Tentu, ada alasan lain juga: untuk mengusir pikiran kotorku. Seharusnya aku fokus ke tugas kuliah. C’mon, tugas, tugas, tugas.

“Maaf, Non Olin.”

Satu suara memanggilku. Oh, Mbak Retno. “Iya, Mbak? Kenapa?”

“Non Olin bisa bantu Mbak, ndak? Tolong bawakan paket ini ke kamar Nyonya Indy, ya? Mbak ndak berani, takut lancang,” katanya.

“Loh kan biasanya juga kalo beberes masuk aja Mbak, kok tumben ga berani?”

“Soalnya Nyonya Indy lagi ndak dirumah, Non. Mbak ndak berani masuk kalau tanpa sepengetahuan Nyonya.”

Aku manggut-manggut saja mendengarnya. Ah, cuma paket bingkisan kan. Lagipula aku sudah terbiasa masuk ke kamar mereka kok. Untuk main kuda-kudaan dengan suaminya, tentu saja.

“Yaudah sini, Olin bawain. Tapi nanti imbalannya masakin Olin mie rebus ya? Laper Mbak.”

“Sip, Non. Pokoknya Mbak masakin mie rebus yang enak deh.”

Mbak Retno pergi, kini giliran aku yang pergi ke lantai dua, lalu masuk ke kamar Om Bondan dan Nyonya Indy. Kutaruh bingkisan itu di ranjang, lalu aku merebahkan diri sebentar. Ah, sudah berapa lama kasur ini menjadi saksi bisu perselingkuhan kami? Jika saja Tante Indy tahu...

Ketika sedang melihat sekeliling kamar, aku mendapati ada sesuatu yang ganjil yang terletak diatas meja rias. Bentuknya menyerupai... ah masa sih. Aku pun menegaskan pandanganku, dan... what the... itu penis karet! Also known as... dildo. Aku mendekati meja rias, hanya untuk melihat lebih jelas benda apa yang menarik perhatianku ini. Memang benar sebuah dildo, dengan dudukan pada pangkalnya. Bentuknya sendiri lumayan panjang, dengan diameter yang cukup besar. Aku ragu-ragu menyentuhnya, tapi juga penasaran. Yap, hanya untuk memastikan.

Sentuhan pertama... permukaannya elastis. Detilnya bagus, lengkap dengan urat-urat palsu yang digurat menyerupai aslinya. Elusanku berubah menjadi genggaman. Hmm, pas di tangan. Kukocok pelan, hanya untuk memastikan kekerasannya. Wow, ternyata kokoh juga. Serentak darahku berdesir, aku merinding seketika. Aku langsung kalut, terjebak antara dilema.

“Ah, pasti punya Tante ini mah.”

Aku menarik nafas sejenak, lalu melepas genggamanku pada dildo itu. Harus tahan, masa aku main sama karet?Macam sudah ga laku saja. Tapi, aku butuh dipuaskan. Ambil, jangan. Ambil, jangan. Ambil, jangan...

“Tante, pinjem dulu deh ya!” kataku, sambil menyambar dildo itu.

Aku membawanya ke kamarku, lalu melemparnya ke ranjang. Bingung harus kuapakan dildo ini, aku browsing di internet tentang trik-trik memakai dildo. Membaca-baca beberapa artikel, membuat kepalaku semakin pusing. Tanpa berlama-lama lagi, aku segera menelanjangi diriku. Mmhh, aku begitu bergairah, sampai-sampai kuremas buah dadaku sendiri.

Aku pun berbaring di ranjang, lalu mengambil dildonya dan menggesek-gesekkannya ke bibir kemaluanku. Sudah cukup basah, menunggu sesuatu yang lama diidam-idamkan: penis, meski cuma karet. Aku terus menggesek-gesekkan benda ini, membuatku menggelinjang geli sambil mendesah seksi. Lucu, aku menggoda diriku sendiri.

“Masuk yaaa... satu, dua... ti—”

Aku mendorong perlahan dildonya. Sedikit demi sedikit dildonya mulai masuk. Astaga, meski terbuat dari karet, tapi benda ini terasa penuh mengisi dinding kemaluanku. Rasanya sesak, dan juga nikmat. Hal ini membuatku semakin terangsang, dan terus mendorong sampai benda ini masuk seluruhnya ke kemaluanku. Sedikit lagi... sampai masuk semua, dan...

Astaga, dildonya menyentuh mulut rahimku!

“Ouh, gilaaa... gede banget masa... enak...”

Aku tenggelam dalam nafsu. Kumaju-mundurkan benda ini dengan tanganku, membuatku semakin tak karuan. Aku mengejang, mengerang, mendesah-desah serta mendesis nikmat, kadang menggelinjang tiap kali orgasme datang. Tapi aku tak pernah puas, sehabis sensasi orgasme itu berakhir aku selalu ingin merasakannya, lagi dan lagi. Maka, sudah tak terhitung berapa kali aku mencapai klimaks dengan dildo ini, aku tak akan berhenti sebelum merasa puas!

Lalu aku menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah tombol terletak dibalik dudukan dildonya, dan ketika kutekan, serentak benda ini bergetar hebat. Ah... ah... aku semakin merasa nikmat, getarannya menstimulasi seluruh saraf sensitif pada dinding kemaluanku, sehingga membuatku makin cepat mencapai klimaks lagi, lagi, sedikit lagi...

“Ahh.. ahh... ouhh... uuhh... terus... teruss... enak banget sih... mmhhh...”

Aku ingin merasakan sensasi baru! Maka, kucabut dildonya lalu kugenggam erat. Masih dengan nafas tersengal, aku beranjak menuju ke kursi. Kuletakkan dildonya diatas kursi, kunyalakan getarnya, lalu aku mengangkang diatas dildo tersebut. Aku menurunkan pinggul perlahan, memasukkan dildo perlahan-lahan memasuki kemaluanku lagi. Terus turun, sampai seluruh batangnya tertelan masuk. Duh, kepalanya mencium mulut rahimku lagi...

Oh yeah, fuck me... fuck me... bitch, Imma’ bitch... mmhh... mmhh... nyaaahhh...”

Aku terus menggoyang dildonya dengan kecepatan yang perlahan naik. Pinggulku bergerak berputar, kadang naik-turun atau kombinasi keduanya. Semua kulakukan agar seluruh dinding kemaluanku tersentuh jadi aku bisa merasa amat nikmat. Aku juga memejamkan mata, membayangkan sedang menggoyang penis seseorang. Hal ini membuatku merasa semakin tenggelam dalam birahi.

Sampai pada ketika tubuhku meliuk kemudian mengejang, aku mencapai klimaks. Lagi. Gila, ini orgasme yang keberapa kali?! Aku terus bermasturbasi sampai merasa amat lelah, lalu capek sendiri. Aku kemudian beranjak ke ranjang, dengan dildo yang masih menempel di kemaluanku. Kurebahkan diri, lalu menarik selimut tutupi sebagian tubuhku. Kubiarkan dildonya bergetar-getar di kemaluanku sementara aku memasuki proses tidur. Aku begitu ketagihan, dan rasanya tak ingin melepas benda ini dari kemaluanku.



~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Satu minggu sebelum Om Bondan pulang. Aku makin tak terkendali, dan sudah membulatkan tekad untuk mengajak cowok pertama di rumah ini yang pertama kali kutemui hari ini, siapapun itu. Tapi sampai sore, tak ada yang bisa kutemui. Anehnya, semua laki-laki dirumah ini sibuk dengan urusannya masing-masing bahkan sampai tak nampak di depanku. Akhirnya, lagi-lagi dildo milik Tante Indy yang kugunakan sebagai pelampiasan.

Tapi malam ini, tak kutemui penis karet itu. Aku sudah memeriksa ke setiap sudut kamar Tante Indy, tapi tetap saja yang kucari tak ketemu. Dildonya... seperti sengaja menghilang. Aku kalut, panik. Aku butuh benda itu untuk memuaskan hasratku!

Kayaknya, aku sudah berubah dari sex-addicted into sex-junkie. Persis seperti orang yang ketergantungan dengan narkoba. Ciri-cirinya pun sama; gugup, panik, gelisah. Tapi aku sadar banget, kalau fase ini tak akan terjadi andaikan aku tak sok jaga gengsi. Andaikan aku bisa sebinal pelacur sungguhan yang dengan gampangnya bisa menggoda lelaki. Andaikan aku bisa seperti tokoh-tokoh utama di cerita panas yang bisa flirting sana-sini. Andaikan...

“Pasti ada di sekitar sini, yakin banget kok nyimpennya di...”

Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. Aku kaget, lalu spontan menengok ke belakang. Ternyata Tante Indy, membungkuk sambil tersenyum nakal padaku. Mampus.

“Cari apa Lin? Kayaknya penting banget ya?” tanya Tante Indy, dengan nada menggoda.

Aku panik, kaget, juga bingung, menjawab dengan gelagapan, “Eh-oh, itu... Olin lagi cari... ehm, itu Tante, duh... k-kok Ta-Tante udah... pu-pulang?”

Aku makin panik, ketika Tante Indy menunjukkan dildo dalam genggamannya dari balik punggung. Dia lalu menunjukkan benda itu padaku, tepat di depan mukaku. “Cari ini ya? Hayooo, Olin udah mulai nakal,” katanya lagi.

“Eng-engga Tan, bu-bukan... Olin ca-cari...”

Tapi kali ini aku tak bisa mengelak lagi ketika Tante Indy memperlihatkan padaku beberapa rekaman video ketika aku sedang bermain dengan dildonya di kamarku. Ah, aku bodoh. Bego, tolol, idiot! Kenapa tak kukunci pintu kamarku?! Kenapa juga aku tak sadar ada yang mengintip?! Apa jangan-jangan bukan cuma Tante Indy yang tahu kelakuan mesumku ini? Astaga...

Tante Indy hanya menggelengkan kepala beberapa kali sambil tersenyum, lalu berjalan dan menutup pintu kamar. Dia kemudian mengunci pintunya, lalu duduk di tepi ranjang. Menyilangkan kaki, sambil tetap menggenggam dildo itu.

“Tante baru tau kalo Olin suka masturb pake dildo. Enak banget ya Lin?”

Aku masih diam, duduk terpaku tak berani menjawab. Bahkan untuk sekedar bertatapan muka dengannya saja tak mampu.

“Waktu itu, Tante ga sengaja liat Olin masturb pake tangan. Ya... sambil nungging-nungging gitu di kamar. Tante awalnya kaget, shock liat Olin. Tapi Tante mikir, ‘wah ini anak binal juga ternyata’, jadi Tante mau ngetes Olin dengan sengaja taruh dildo Tante di meja rias. Kiriman paket itu juga ide Tante loh, Lin.”

Hyaaaaah! Aku kena jebak, ternyata! Jadi ini semua memang sudah diatur oleh Tante? Great, satu ganjalan di pikiranku terjawab. Masih ada satu pertanyaan lagi, what for?

“Olin mau ini?” tanyanya, sambil menggerak-gerakkan dildo dalam genggamannya.

Aku tak begitu saja terpancing oleh godaannya. Aku masih punya harga diri. Aku bukan pelacur. Aku bukan perempuan binal. Aku gadis baik-baik, dan gadis baik-baik sudah sepatutnya menahan diri. Makaaa, aku masih diam saja menanggapi sikap Tanteku ini.

“Ayolah, Lin. Masa kamu masih mau terus bersikap jaim gitu di depan Tante yang udah tau kelakuan mesum kamu sih? Kamu emang ga kangen ditusuk-tusuk sama dildo ini?”

Glek! Aku menelan ludah. Iya, dildo itu terlihat menggiurkan. Teksturnya, ukurannya, panjangnya, sensasinya saat masuk ke kemaluanku, fitur getarannya, ah... aku mau dildo itu sekarang juga. Jadi binal di depan Tanteku sendiri bukan masalah, selama... tidak! Engga, engga, engga! Jangan tergoda, Olin! Itu cuma mainan penis karet yang ga ada apa-apanya dibanding penis asli! Kamu ga perlu menurunkan harga dirimu demi sebuah sextoy.

Tapi Tante Indy yang cantik dan seksi punya banyak cara untuk menggoyahkan keteguhanku. Dia membuka sanggul rambutnya, membiarkan rambut panjang cokelatnya tergerai bebas. Lalu dia melucuti blouse hitamnya, kemudian kemeja, dan rok merah selututnya. Semuanya dilemparkan ke lantai, hanya meninggalkan pakaian dalam yang masih melekat setia di tubuhnya. Buah dadanya besar dan montok, dengan perut yang rata dan paha yang ramping. Aku tak percaya bahwa perut itu adalah hasil dari melahirkan tiga orang anak. Lebih tak percaya lagi ketika Tante Indy membuka mulutnya, lalu membiarkan dildo itu memenuhi mulutnya.

“Ta-tante ngapain...”

“Mmhh, dildo ini... aeemm... enak banget... sluurrpp... mmm... Lin,” jawabnya, sambil mengulum dildo itu dengan binal.

Tante Indy terus melakukan kegiatannya mengoral dildo tersebut sambil menatapku, sesekali mengerling nakal. Aku seakan bisa membaca pikirannya yang menyebutkan ‘ayo sini, jangan malu-malu’ padaku. Hal ini menambah kekalutan yang kurasakan. Haruskah aku terus bersikap sok jaim di depannya atau menuruti dorongan nafsu?

“Mhh... oh iya, Tante lupa... dildo ini... aeemm... slurrp, ‘bekas’ Olin ya? Hihi, enak...”

“Tante! Olin mau dildonya! Olin ga tahan lagi! Kasihin dildonya ke Olin! Plis Tante, plis!”

Cukup, aku tak tahan lagi. Biarlah aku disebut gadis binal, jalang, gampangan, apalah—aku hanya peduli bagaimana nafsuku bisa segera tersalurkan.

Aku perlahan-lahan mendekati Tante Indy, hanya untuk memohon agar dia segera memberikan dildonya padaku sehingga aku bisa langsung pergi ke kamarku untuk menuntaskan hasrat ini. Masalah bagaiman sikapku pada Tante Indy setelah ini bisa dipikirkan nanti. Yang ingin kulakukan sekarang hanya mengenyahkan pikiran-pikiran mesum di kepalaku; lewat memuaskannya salah satunya.

Tapi diluar dugaan, Tante Indy malah semakin menggodaku dengan tak memberikan dildonya. Aku berusaha membujuk dengan segala cara, tapi Tante Indy tetap pada keputusannya. Aku bilang padanya bahwa aku rela melakukan apapun agar mendapatkan benda itu, dan hal ini dimanfaatkan betul oleh Tanteku. Dia malah menyuruhku untuk menciumi kakinya, yang langsung kutolak mentah-mentah.

“Apaan sih Tante! Olin ga akan ngelakuin hal kayak—”

Kalimatku terhenti kala Tante Indy mengangkang lebar, memamerkan selangkangannya padaku. Lalu dia mulai menggesek-gesekkan dildonya pada kemaluannya yang masih tertutup celana dalam, sampai kemaluannya basah oleh lendir dan tercetak jelas. Aku meneguk ludah ketika dia menyibak celana dalamnya, lalu menggesek-gesekkan dildonya langsung ke bibir kemaluannya. Kadang Tanteku mendesah kala ujung dildo tepat menyentuh klitorisnya, membuatku membayangkan jika aku ada di posisinya.

“Kamu mau ini ga? Ayo lakuin apa yang Tante suruh... mmhh...”

Ah, persetan dengan harga diri! Aku mau dildo itu, se-ka-rang! Dan akan kulakukan apapun untuk mendapatkannya! Apapun!

“I-iya Tante...”

Aku pun mulai menunduk, mengarahkan mukaku ke kaki Tante. Semakin dekat, dan aku sempat ragu ketika jarak antara bibirku dengan tempurung kaki Tante begitu dekat. Aku ragu apakah harus meneruskan ini, dan birahi yang memuncak membantuku meyakinkan jawabannya. Akhirnya, aku mencium kaki Tanteku sendiri, mulanya hanya sekali, lalu sekali lagi, sekali lagi disertai kecupan ringan, berlanjut ke kecupan basah, lalu kemudian yang mendarat di kakinya adalah kecupan-kecupan mesra. Tanteku sendiri mengangkat kakinya, lalu menyuruhku mengulum jari-jari kakinya.

“Lin, jarinya juga atuh. Kenapa, jijik ya? Hihi, Olin... Olin... ponakan Tante udah binal ya sekarang,” komentar Tante dikala dia menggesekkan kakinya di pipiku.

Aku menuruti kemauannya. Kujilat jemari-jemari kaki Tante, lalu kukulum layaknya sedang menghisap permen. Kuikuti nafsu yang menuntunku untuk berimprovisasi; aku menjilati, mengulum, serta melakukan keduanya secara bersamaan. Lalu kulirik Tante, dan mataku terbelalak ketika Tante sedang memaju-mundurkan dildonya yang telah masuk sepenuhnya ke kemaluannya sendiri.

“Olin, buka mulutnya... aaaahhh...”

Aku mendengarkan intruksi Tante. Aku membuka mulut lebar-lebar, lalu Tante menarik dildo dari kemaluannya dan langsung memasukkannya ke mulutku. Aku sempat kaget, tapi segera kukuasai diri; aku mengulum dan menghisap cairan cinta Tante yang melumuri tiap senti dildonya. Aku kembali melirik, dan ada senyum terkembang di bibir Tante Indy tanda puas.

“Tante kasih pinjem dildonya deh Olin, kamu kasian banget sih sampe mau aja jilat kaki Tante gini. Horny banget ya?”

“Hehe, i-iya Tante... Olin ke kamar dulu ya sebentar.”

Baru aku mau bangun, tapi Tante menarik lenganku. Dia menggeleng pelan sambil menatapku, lalu berujar, “Pake dildonya disini. Tante mau liat kamu main sama dildonya, Olin.”

WTF! Ngomong apa Tanteku ini? Mana bisa aku begitu? Bermasturbasi, di depannya? Astaga, apa Tanteku sudah gila?

Aku meringis, lalu menjawab, “Mana bisa Olin gitu, Tante... kan risih...”

“Ssstt, Tante aja ga risih ngocokin meki Tante di depan kamu. Lagian kan kita sama-sama perempuan, masa kamu risih? Apa kamu ga risih kalo di depan laki-laki?”

Pyash! Kupingku merah mendengar kalimat Tante Indy. Aku merasa bahwa kata-katanya adalah sindiran buatku, atau jangan-jangan dia tahu perselingkuhanku dengan suaminya? Ah, tetap tenang, Olin. Mungkin dia hanya menggoda. Iya, cuma menggoda saja.

“I-iya kalo gitu... Olin ‘main’ sama dildonya disini...”

“Buka baju kamu, celananya juga. Emh, dalemannya juga ya.”

Aku menuruti saja apa katanya, sudah kepalang tanggung. Kepalaku sudah pusing, dan butuh pelepasan beban. Maka, aku melucuti seluruh pakaianku ke lantai, sementara Tante Indy membuka lemari. Lalu dia kembali dengan membawa sebuah... handycam?

“Ngghh, Olin. Tarik kursi meja riasnya kesini, terus tempelin pangkal dildonya di kursi ya. Ayo, keponakan Tante yang paling Tante sayang harus nurut sama Tantenya~”

Setelah aku melakukan semua yang disuruhnya, Tante Indy menyuruhku bermasturbasi dengan gaya Woman on Top. Aku menurut saja, lalu duduk seperti biasa di atas kursi. Bedanya, aku mengarahkan kepala dildonya agar tepat terarah ke bibir kemaluanku. Pelan-pelan, aku mulai duduk. Kepala dildo mulai menguak bibir kemaluanku yang telah basah kuyup, masuk semakin dalam... lalu aku berhenti saat setengah dildonya sudah masuk. Aku memejamkan mata, meresapi sensasi kenikmatan dari tiap inchi bagian dildo yang menyentuh saraf-saraf sensitif pada dinding kemaluanku. Ah, aku rindu sensasi ini. Rasanya... rasanya...

“Ngghh... masuk... semmuaaaanyaaahh....”

Bless! Kepala dildonya mencium rahimku! Aku bergetar hebat, inilah sensasi yang kurindukan! Sensasi ketika ada benda tumpul yang mencium mulut rahimku tiap kali aku menurunkan pantatku, dan menggesek dinding-dinding kemaluanku ketika aku menaikkan tubuhku. Aku tak peduli lagi pada kenyataan bahwa Tanteku sedang menyaksikanku bermasturbasi. Mmhh, I’m nasty, such a slutty bitch...

“Auuhh... enak! Ahh.. iyahh... ouuhh... ngghh.. ngghh... kena rahim... kena... astagaaa...! Ini... aahh.. ahh... yeahh... iyaahh.. iyaahh...!”

Aku melirik, dan Tante ternyata sudah menyalakan handycam-nya, dan kini mengarahkan lensa ke arahku. “Gimana, enak ga Lin? Coba ceritain disini,” kata Tanteku.

“Enak... enak... banget... sshh... uuuhh...”

Aku mengkombinasikan semua gerakan, naik-turun, maju-mundur, memutar, untuk menggoyang dildo ini. Hal ini semakin menambah sensasi kenikmatan yang kudapat, karena semua titik sensitif pada kemaluanku kena dengan tepat.

“Nah, sekarang sesi perkenalan. Sebutin nama, umur, asal, ukuran bra, makanan kesukaan, sampe gaya favorit kalo lagi ngentot, ya Lin. Mulai dari... sekarang!”

“Iyahh... na-nama aku... mmhh... Olin, na-nama... auuuhh... panjangnya... Fra-Fransisca... Pauline... ahh.. ahh... umur aku... 18, asal da-dari... aaww! Ke-kena... rahim terus... ah iya, asal... dari... Bogorhhh... Tante... Olin ga konsen...!”

I’m recording right now, Olin~! Terusin sayaaang...”

Kay... aahh... fuck... size bra... 36D—”

Tante Indy memotong, “Aren’t they big? Hihi.”

“—apa tadi... oh iya... ma-makanan kesukaan... aahh... mmhh... wagyu steak... minuman... minuman... li-liquor... da-dan... gaya favorit kalo ngen... mmhh... WOT....”

“Kenapa WOT?” tanya Tante.

“So-soalnya... aku... bi-bisa... ngerasa nikmat bangetttss... iyaaahh! Ka-kayak gini...aahhh!”

“Oke, karena Olin suka gaya WOT, jadi Olin bisa dong tahan nge-WOT selama 10 menit tanpa berhenti?”

Wha—Tante?!”

“—Dan jika Olin berhenti, Olin sepakat kalo rekaman ini boleh disebarin ke internet. Oke, Olin deal yaaa...”

Aku kaget bukan main, karena ini tak pernah kuperkirakan. Aku memang sudah curiga saat Tante mengambil handycam, tapi 10 menit menggoyang dildo tanpa jeda? Aku harus sanggup... aku pasti... aduh, benda ini kenapa enak banget mengaduk kemaluanku sih?!

Aku menuruti kata-kata Tante. Aku tak punya pilihan lain selain terus menggoyang dildo, tanpa jeda. Aku menggoyang pantatku sebisa yang aku mampu, dan sudah tak terhitung berapa kali aku orgasme karenanya. Yang jelas, waktu berjalan amat lambat, bahkan sampai aku merasa ngilu di selangkanganku karena terus menggempur dildo ini tanpa ampun. Lalu setelah sekian lama, kulihat Tante Indy menaruh handycam-nya di ranjang, dan mengarahkan lensanya agar tetap fokus padaku. Lalu Tante mendekatiku, sambil melucuti pakaian dalamnya. Kini ada dua wanita yang telanjang bulat di kamar ini.

“Kasian, Olin capek ya... masih ada dua menit... gimana kalo Tante bantu Olin?”

Sementara aku terus menggoyang dildo, Tante Indy menjepit sebelah pahaku dengan kedua pahanya; menempelkan selangkangannya di pahaku. Sambil Tante Indy menggesek kemaluannya, dia memainkan klitorisku dan salah satu payudaraku. Dia tersenyum, lalu berkata, “Biar semangat Olin genjotnyahh. Emm, tete Olin gede banget sih, Tante jadi suka remesinnya, hihi.”

Dirangsang demikian hebatnya, aku semakin menjadi-jadi. Aku menggoyang makin cepat, dan mendesah tak karuan. Diluar dugaan, Tante Indy mencium bibirku, melumatnya dan memasukkan lidahnya untuk mengajak lidahku menari. Aku merespon ciumannya, dan kami bergumul dengan panasnya, bermandikan keringat.

“Tante... Tante... Olin... Olin mau... pipis... hmmffhh... pipis... Ahhh!”

“Iyahh... hhh... pipis aja Lin... pipis... bareng sama... ahh... aahh... Tante yaaa....”

Aku makin mempercepat goyanganku, begitupun juga Tante yang semakin ganas menggesekkan kemaluannya pada pahaku. Kami saling berlomba untuk mencapai klimaks, dan diakhir penantian ini... rasa itu mengumpul... lalu... lalu...

“KYAAAA—hmmppffhhh....”

Tante Indy melumat bibirku agar teriakan orgasmeku tidak terdengar kemana-mana. Tubuh kami bergetar hebat, dan tangan kanan Tante basah oleh semburan cairan beningku yang bermuncratan deras ke segala arah. Aku juga bisa merasakan paha kananku basah, disertai pinggul Tante yang menghentak-hentak. Mmhh, kami berdua merasakan sextacy yang paling nikmat hari ini.

“Haaahh... Tante... kita...”

Tante Indy kembali mengecup bibirku yang setengah membuka. Dia lalu menjilati pipiku, terus sampai ke daun telinga. Masih dengan nafas yang tersengal, Tante Indy membisikiku sesuatu, “Congrats, Olin. You’re in from now on.

Tante Indy dengan nakalnya meremas payudaraku, lalu berjalan ke kamar mandi. Meninggalkanku terpaku sendiri, dengan dildo yang masih menancap tegak. Kaku, tak tahu harus bersikap bagaimana di depan Tante Indy selepasnya dari kamar mandi nanti.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar