Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 1 | Scandal

SLUTTY-LICIOUS
=1st Scandal=



“Om, pelan-pelan kenapa sih!”


Aku berusaha menahan kepala pria paruh baya di depanku ini dari perbuatannya menggerayangi buah dadaku secara brutal. Tapi lidahnya yang lihai berkali-kali lolos menjilati putingku, membuatku menggelinjang geli. Hal ini membuat pertahananku mengendur, dan pada akhirnya berangsur-angsur pasrah membiarkan lidahnya menjilati buah dadaku dengan liarnya.

“Nggh... Om, nanti kalo Tante pulang gimana?”

Pria ini menatapku lekat, menghentikan sejenak kegiatan mesumnya pada buah dadaku. Dia lalu berkata, “Tenang aja Lin, tadi Om udah make sure kalo si Tante bakal pulang sore. Jadi kita bisa hepi-hepi deh.”

Pulang sore, katanya. Aku langsung menepuk kening, membayangkan bahwa diriku akan digarap seharian penuh kali ini. Bukannya tak mau, tapi... capek.

Aku melirik jam dinding, dan mendapati bahwa ini masih pukul sepuluh pagi. Aku makin pasrah, menyadari bahwa diriku siang ini akan menjadi boneka seks Om Bondan, pria yang tengah menggerayangi payudaraku ini.

Dan Om Bondan, bukan satu-satunya orang yang sering menikmati tubuhku. Masih banyak skandal yang terjadi dirumah ini, dan hebatnya, antara satu sama lain sama-sama tak tahu akan skandal masing-masing.

Kecuali aku.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sebelum kita beralih ke cerita utama, mari kuperkenalkan diri lebih dulu. Namaku Olin, dan jangan tanya nama panjang, itu ga penting. Ngg... seperti pada cerita-cerita panas umumnya, mungkin aku harus mendeskripsikan tubuhku juga. Oke, here it is...

“Hai, nama aku Olin. Aku gadis cantik-manis-seksi-binal berkulit putih hasil peranakan Sunda–Jakarta. Aku juga punya darah chinese, dari Nyokap yang asal Bogor. Aku sih ga tinggi-tinggi banget, cuma sekitar 160-an senti deh. Berat aku ideal dong, ada di angka 40-an. Hah, angka detilnya? Kepo!

Wait, what?! Ukuran dada? Emangnya kalian ngerti soal dada? Jangan sok tau kalo ukuran dada itu diliat dari ukuran bra, deh. Misal, ukuran bra-nya 40D, kalian kira itu gede ya? ITU-SALAH-BANGET. Angka pada ukuran bra menunjukkan lingkar dada—bukan buah dada. Semakin besar angkanya, berarti makin lebar tubuhnya. Sedangkan huruf pada ukuran bra menunjukkan bentuk dan ukuran payudara itu sendiri; misal cup A yang berarti ukurannya kecil, cup B yang agak padat dan kencang, cup C yang bentuk ideal, dan cup D yang lebih besar dari C tetapi agak turun bentuknya. Kalo Jupe? Hmm, mungkin cup G. Kalo aku? Aku sih pake bra di size 36D.

Ya... ya... ya, call me toge or whatever, ini udah dari sananya begini kok.

Aku punya bentuk tubuh yang... apa ya, mendekati langsing, istilahnya. Perutku hampir rata, H-A-M-P-I-R. Tinggal nge-gym beberapa kali lagi, aku bisa dapetin bentuk perut yang rata. Eits, aku ga gendut loh, apalagi montok. Aku cuma ada di level antara langsing dan sekal. That’s it. Oh, I almost forget one thing, rambutku seleher dengan gaya bob, FYI.”

Selesai sudah perkenalan singkatnya, dan kini kita beralih ke cerita selanjutnya. Semua ini bermula dari ketika aku lulus SMU. Selesai sekolah, dan kebetulan karena aku lolos SMPTN, maka aku diterima di Universitas yang areal kampusnya sebesar hutan itu. Ayahku berpikir, daripada aku harus pulang-pergi Bogor-Depok untuk kuliah, kenapa aku tidak dititipkan saja ke adiknya yang tinggal di kawasan elit Margonda? Maka, jadilah aku tinggal dirumah Om Bondan, adik Ayah. Tapi Ayah tak tahu, bahwa keputusannya itu akan berakibat fatal.

Bersamaan dengan kepindahanku kesini, aku juga putus dengan pacarku. Hubungan kami berlangsung selama tiga tahun, dari sejak kami baru masuk SMU. Tapi itu bukan masalah, karena aku juga sudah bosan dengannya. Kalian tahu, pacaran selama tiga tahun dengan cowok yang kalian temui hampir tiap hari, baik saat sekolah maupun ketika libur, akan membuatmu cepat menemukan titik jenuh. Aku bahkan sudah lupa rasa kangen itu seperti apa.

Satu-satunya yang kusesali dari hubungan kami hanya... keperawananku yang kuberikan untuknya. Ah, aku jadi merutuk pada libido masa-masa remajaku yang tak terkendali. Hormon-hormon sialan, kenapa kalian membuatku jadi seorang hyper begini. Seharusnya kalian rubah aku jadi seorang frigid saja.

Awal kepindahanku, semua terasa indah dan cerah. Aku sudah yakin akan memulai kehidupan yang baru; ngampus saat weekdays dan ngegaul ketika weekend, bertemu dengan orang-orang baru, dan babak baru kehidupanku. Aku juga sempat terpana, ketika baru tiba dirumah Om Bondan. Aku sampai berpikir kalau aku salah alamat. Rumahnya, megah. Absolutely, indeed, undoubtedly, Om-ku ini tajir mampus. Dari gerbang utama, aku masih harus jalan kaki sepanjang lapangan bola untuk sampai ke rumahnya. Bangunan rumahnya sendiri luar biasa megah, juga mewah—mirip mansion, kalau kukira.

Kuingat-ingat, apa dia Om Bondan yang dulu sering mampir kerumahku ketika aku masih kecil? Ayah pernah bilang, kalau beliau adalah seorang pengusaha. Tapi pengusaha macam apa yang punya rumah begini megah? Pikiranku serentak membuat tabel perbandingan antara Ayah dengan adiknya. Hasilnya, aku sampai pada sebuah kesimpulan: Ayahku hanya menang ganteng.

Hari pertama, aku langsung dikenalkan pada anggota keluarganya. Ada Tante Indy, sosialita merangkap pengusaha barang bermerk dan perhiasan yang punya body aduhai meski umur menginjak kepala empat; Si sulung Nathan yang urakan namun cerdas, yang kuliah di Oxford dan sedang berlibur dirumahnya sendiri; adik perempuannya, Dinda, yang selalu tenggelam dalam buku-buku dan selalu kikuk; lalu Cecil, cowok paling kecil yang manja dan manis. Terlalu manis untuk ukuran cowok, malah. Dan namanya, pfft, apa-apaan itu, Cecil? Manis sekali, ya ampun.

“Ngomong-ngomong, Olin umur berapa sekarang?” tanya Om Bondan waktu itu.

“Delapan belas, Om. Kan aku baru lulus SMU kemarin.”

Om Bondan cuma mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu bilang kalau aku beda tiga tahun dari Nathan, tapi tiga tahun lebih tua dari Dinda. Oh, berarti Nathan umur 21, Dinda ada di kisaran 15-16, lalu Cecil... dilihat dari tubuhnya yang baru tumbuh, dan faktor lain... aku taksir umurnya sekitar 11-12 tahun.

Aku kembali mengingat-ingat, apa dia Nathan yang sering mandi bareng denganku waktu kecil dulu? Kalau iya, pantas saja jika sekarang dia selalu curi-curi pandang ke tubuhku. Sikapnya yang terkesan cuek berbanding terbalik dengan matanya yang jelalatan, terfokus pada buah dada ini. Dasar laki-laki, otaknya memang mesti disapu biar ga ngeres.

Selesai dengan anggota keluarga, aku dikenalkan dengan para staff pengurus rumah ini. Ada Pak Moko, di usianya yang genap lima puluh dia masih sigap jadi supir pribadi keluarga Bondan. Katanya, beliau sudah lima belas tahun mengabdi jadi supir. Lama juga ya...

Lalu ada Bi Nirah, isteri dari Pak Moko. Profesinya adalah pembantu senior, bahasa kerennya: Kepala Pembantu Rumah Tangga. Bi Nirah memimpin serta mengarahkan dua pembantu lain dalam urusan beres-beres rumah. Pembantu kedua namanya Mbak Retno, janda kepala tiga tanpa anak. Tubuhnya masih kencang, berkat kebiasaannya minum jamu dan kerja berat yang membakar kalori. Yang ketiga, sebut saja Bunga, nama sebenarnya, usia sembilan belas. Bunga ini adalah keponakannya Bi Nirah, yang dipaksa bapaknya cari kerja setelah lulus sekolah. Kasihan, mestinya dia bisa kuliah atau semacamnya...

Nah, mereka itu –Pak Moko, Bi Nirah, Mbak Retno, dan Bunga– masih satu kampung, jadi kalau mereka sedang berkumpul, pasti yang dibahas ya ga jauh-jauh seputar kampungnya. Yang repot kalau lagi musim pulang kampung, mereka mudik serentak dan kembali serentak pula.

Kita beralih ke tukang kebun dan sekuriti. Ada Asep yang asli Tasik sebagai tukang kebun. Perawakannya kurus namun kekar, dengan kulit yang hitam legam. Sepertinya seumuran denganku. Asep menggantikan tukang kebun lama yang pensiun karena ingin menikmati nuansa menyeruput kopi hitam ditemani sepiring pisang goreng saat pagi. Oh iya, Asep ini playboy-nya pembantu di sekitar komplek sini. Kalian harus tahu nama kerennya kalau lagi nongkrong: Ace-P, dibaca Eis-Pi.

Untuk sekuriti, kenalkan dua sekuriti andalan penjaga keamanan rumah ini: Pak Hildan dan Mbak Mala. Yep, dua orang. Cewek-Cowok. Pak Hildan ini... cuma sekuriti biasa. Kurus, sering sakit-sakitan, ga kuat begadang, dan pelor—nempel molor. Yang justru bisa diandalkan itu Mbak Mala. Dia lulusan outsourcing pelatihan sekuriti dengan nilai terbaik. Tubuhnya tegap, mirip laki-laki. Berbanding terbalik dengan wajahnya yang manis. Dia juga jago silat, jadi jangan main-main dengannya.

Nah, selesai sudah perkenalannya. Kalian merasa terhibur dengan perkenalan yang panjang ini? Nanti dulu, bagian menariknya baru dimulai. Cerita selanjutnya memuat kisah skandal pertamaku dirumah ini: dengan Om Bondan.

===

Sebagai gadis yang telat mengenal apa itu kehidupan malam, aku jadi norak. Satu bulan jalan kuliah, aku mulai diajak hangout kesana-sini. Dan karena aku termasuk yang mudah bergaul, jadi mengumpulkan teman itu semudah membalikkan mangkok mie goreng teman. Teman ada disana-sini, kenalan sama cowok ini-itu, jalan sama si ini, besoknya sama si anu. Pernah dalam satu minggu, malam-malamku full diisi oleh jadwal hangout di sana-sini. Clubbing everynite, beibeh!

Aku berkomitmen, it’s okay kalau mau dugem, tapi engga minum. Berkali-kali aku ditawari minuman alkohol, dan berkali-kali pula aku menolak dengan halus. Tapi lama kelamaan prinsipku jebol juga oleh se-sloki liquor. First shot, kepalaku serasa berputar. Ringan, berat, terasa terombang-ambing. Dilanjut dengan second shot, then third shot... fourth... lalu musik remix yang menghentak seakan menghipnotis, menggodaku untuk bergoyang di dance floor. Dan... ow, katanya sih, waktu itu aku jadi pusat perhatian karena goyanganku yang panas dan menggoda. Untungnya, aku punya teman-teman yang bisa diandalkan. Mereka menjagaku dari tangan-tangan jahil, dan sigap mengantarku sampai rumah.

Dalam keadaan setengah sadar, aku berusaha mengenali siapa yang mengantarku dari gerbang sampai pintu rumah. Laki-laki, memapahku dengan telaten. Tapi rasanya, aku merasa bahwa tangannya yang memelukku mendarat di payudaraku. Diremas-remas lembut, sambil berjalan gontai ke pintu. Lalu orang itu meninggalkanku di sofa, dan aku bersandar lemas. Untungnya, semua orang sedang pergi kerumah mertuanya Om Bondan, kecuali Om Bondan sendiri yang belum pulang kerja.

Itulah hal terakhir yang kuingat, karena setelah itu aku tak sadarkan diri.

Paginya, aku berusaha membuka mata meski terasa berat. Disertai menguap dan meregangkan badan, punggungku dimanja oleh empuknya ranjang. Kupikir aku ada di kamarku, tapi ternyata bukan ketika aku ingin memeluk guling yang ada disamping, yang ternyata bukan guling melainkan...

Om Bondan, sedang terlelap tanpa mengenakan satu pakaian pun.

Wha... wha... what the—

Aku tersentak, dan kesadaran pulih seratus persen meskiiiii, kepala masih terasa berat. Aku melihat tubuhku sendiri, dan menyadari bahwa aku juga sama telanjangnya dengan Om Bondan. Lalu disusul rasa nyeri pada selangkangan dan pantatku, serta ceceran cairan putih kental pada paha, perut, belahan dada, dan pipiku. Wait, aku meraba selangkangan dan pantatku... dan menemukan cairan yang sama! Ini pasti sperma, pikirku. Dalam kondisi shock, kebingungan, dan panik aku mau tak mau mengarahkan pandangan pada Om Bondan, yang masih tertidur.

Tak bisa berkata-kata lagi, aku menarik selimut lalu sesegera mungkin pergi dari kamar. Dengan mengendap-endap, aku berhati-hati agar tidak ada satupun yang melihatku. Bagaimanapun, aku harus menjaga nama baik Om Bondan, karena bisa panjang urusannya kalau aku bertindak gegabah. Setelah berada di kamar, aku merenungkan semuanya dengan hati-hati. Ada rasa kecewa, jelas. Kenapa Om yang kupercaya bisa tega berbuat begitu padaku. Tapi anehnya aku tidak terlalu marah atau sedih. Hanya kecewa dan bingung. Aku bingung karena, tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini dan apa yang harus kuperbuat.

Oke, coba kita pikir baik-baik. Kalau aku histeris dan marah-marah kepada Om Bondan, pasti nama kami berdua yang tercoreng. Juga nama baik kedua keluarga. Masalah akan bertambah parah kalau sudah merembet ke keluarga besar. Ujung-ujungnya, hasilnya akan berakhir buruk. Kalau aku bicarakan ini ke Om Bondan secara baik-baik, itu juga sulit. Untuk bertemu saja sekarang malu, apalagi bicara baik-baik?

Maka, setelah melalui proses pemikiran yang lama dan rumit, aku sampai pada sebuah kesimpulan, dengan mempertimbangkan beberapa faktor: Pertama, aku bukan perawan, jadi ini bukan masalah besar. Kedua, anggap saja ini balas budi kepada Om Bondan. Ketiga, aku butuh uang tambahan untuk mengimbangi gaya hidupku yang sekarang. Jadi, kesimpulannya, aku akan membiarkan masalah ini dan akan memanfaatkannya selagi ada kesempatan. Ah, kita bicara nanti tentang harga diri. Nasi sudah menjadi bubur, dan sekalian saja racik buburnya supaya jadi enak.

Tentu, aku akan melihat reaksi Om Bondan lebih dulu.

Tanpa membersihkan diri, aku menunggu Om Bondan masuk ke kamarku. Setelah hampir dua jam menunggu, terdengar suara pintu diketuk.

“Ya, masuk aja,” kataku.

Yang ditunggu tiba. Om Bondan, kali ini memakai piyama.

Kami saling bertatapan, lama. Om Bondan mulanya ragu-ragu mendekatiku, tapi setelah melihat aku tak bereaksi, dia mulai duduk di tepi ranjang.

“Olin, maafin Om. Semalem itu... Om lupa diri,” katanya, dengan nada berat.

Aku masih diam, menunggu dia menyelesaikan seluruh penjelasannya.

“Om tau, Om salah. Malah zinah dengan keponakan Om sendiri. Om seharusnya bawa Olin ke kamar. Tapi Om tau, Olin semalem mabuk parah, dan Om ga kuat liat belahan dada Olin. Apalagi dress Olin kesingkap, jadi Om bisa liat celana dalem Olin. Dari situ, Om mulai lupa diri.”

“Tapi kan Olin keponakan Om, kok bisa tega gitu sih?” Cieee, akting dulu ceritanya.

Sambil menunduk, Om Bondan menjawab, “Iya, Om salah. Om lupa diri. Tapi jujur, Om baru sekali ini nikmatin ‘main’ yang bener-bener nikmat, yaitu sama Olin semalem. Om ga pernah ngerasain ini dari Tante kamu, atau dari cewek-cewek yang Om bayar. Kayaknya, Om ketagihan sama Olin....”

Aku menunduk, lalu tersenyum kecil. Dari titik ini, aku dapat melihat masa depan yang cerah; hidup berkecukupan, jenjang karir yang bagus, prospek masa depan, gadget, gaya hidup, dan sebagainya. Tinggal sedikit lagi, maka Om Bondan akan benar-benar terjerat olehku.

“Emang Olin apaan Om,” kataku lirih. “Olin bukan pelacur kan....”

“Engga, engga! Olin tetep keponakan Om yang paling Om sayang. Tapi gini, Om mau nawarin sesuatu. Olin boleh minta apa aja sama Om, asalkan Om bisa ‘ngerasain’ Olin lagi. Apapun, Om rela kasih buat Olin. Olin mau minta apa? Apartemen? Mobil? Hape baru? Om kasih buat Olin asal—”

Aku menyela, “Wow, wow, nanti dulu Om! Olin ga mau disamain kayak pelacur ya, Om. Olin pikir, kita emang udah terlanjur basah, dan Om pasti tau kan Olin udah ga perawan?”

Om Bondan mengangguk, lalu aku melanjutkan, “Olin cuma minta, ini kita berdua aja yang tau. Kasian Tante Indy kalo tau, Om. Dan Olin minta, jangan dirumah ya. Ga aman Om, Olin takut....”

Om Bondan tampak berpikir sejenak, lalu senyum-senyum sendiri. “Kalau begitu, Om nanti belikan apartemen buat kita, gimana? Tapi Olin bener ga keberatan?”

Aku tersenyum riang membalas pertanyaannya. “Anggap aja ini balas budi Olin ke Om. Terima kasih mau ngertiin Olin ya, Om,” jawabku.

“Om yang harusnya makasih.”

Om Bondan memelukku dengan erat, yang kubalas dengan pelukan juga. Tanpa sepengetahuannya, aku tersenyum senang. Hore, aku punya apartemen sekarang!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nah, selesai sudah flashback-nya. Kita kembali ke masa sekarang, dimana aku sedang bermesum ria dengan Om Bondan. Kami kini sedang rebahan, telanjang bulat di ranjang, saling bercerita sambil sesekali aku memainkan batang penisnya. Aku keasyikan bercerita tentang awal mula skandalku dengannya, dan Om Bondan dengan setia mendengarkan. Tentu, dengan mengurangi beberapa bagian untuk kusimpan sendiri.

“Oh iya, Olin lupa kan! Kita kan udah sepakat Om, ga ‘main’ dirumah gini!”

Tapi Om Bondan tak mempedulikanku, dia masih asyik menyantap buah dadaku yang menggantung indah. Om Bondan malah sengaja membenamkan mukanya di belahan payudaraku, sambil kedua tangannya tak berhenti meremas-remas sepasang daging kenyal ini.

“Om, Olin mau nanya deh.”

“Apa sayang? Tanya aja sama Om kamu yang ganteng ini,” kata dia, kepedean.

“Waktu Olin mabuk itu, Om ngapain aja sih ke Olin?”

Om Bondan berusaha mengingat-ingat, tampak matanya bergerak-gerak ke atas. Lalu dia tertawa, cukup keras sampai aku membekap mulutnya.

“Cerita aja, gausah pake ketawa!”

“Hahaha, iya... iya. Om cerita dari awal ya. Jadi gini, waktu itu kan kamu lagi mabuk parah, tiduran di sofa. Nah, Om baru pulang ngantor dan kaget liat kamu dalam kondisi begitu. Om pertama bangunin kamu, tapi kamu malah nyerocos ga jelas terus ngangkang. Jadinya celana dalem kamu keliatan, disitu Om sempet nelen ludah juga. Terus, Om mikir kalo pembantu ngeliat ga enak, makanya Om bawa ke kamar Om. Kesini nih, pas banget di ranjang ini.”

“Iyah? Terus?”

“Nah, posisinya gini.” Om Bondan lalu bangkit, dan mengarahkanku agar tidur telentang sambil kedua kaki mengangkang. Lalu dia berdiri di tepi ranjang, mengelus-elus pahaku. “Om awalnya dilema, tapi karena udah keburu nafsu makanya Om buka celana dalem kamu aja. Taunya meki kamu bersih banget, ga ada bulunya. Om makin nafsu, jadinya Om masukin satu jari buat ngetes. Kayak gini nih...”


Om Bondan memasukkan jari tengahnya, dan seketika mengaduk-aduk lubang kemaluanku. Aku langsung menggelinjang nikmat, karena ujung jarinya selalu menyentuh titik-titik sensitif dinding kemaluanku. Desahan-desahan erotis pun keluar dari bibirku.

“Setelah becek, Om jongkok di depan selangkangan kamu. Terus Om jilat-jilat aja itil kamu, Lin. Kamu makin blingsatan, nah kayak gini. Om ngerjain kamu sambil terus Om mainin jari Om di meki kamu. Desahan kamu makin ga karuan, dan paha kamu ngejepit muka... mmphh... ppffhhh....”

“Kayak gini Omh? Iyaahh...? Gini yahhh...? Auuuhh... dijilatin sih itilnya.....” kataku, sambil menjepit kepala Om Bondan dengan kedua pahaku erat-erat. Pantatku bergoyang pelan mengikuti irama tusukan jari dan jilatan pada klitorisku, sementara kedua tanganku mencengkeram sprei. Om Bondan yang hafal betul posisi g-spotku, menstimulasi bagian itu dengan jarinya. Aku semakin menggelinjang, makin menggelinjang, sampai...

“Auuuhhh... yeeaahhh.... kellluuuaaarrrrhh..... hhngghhh....!”

Bersamaan dengan mulut Om Bondan yang menghisap klitorisku, dan jarinya yang terus mengorek g-spotku, aku squirt! Cairan bening bermuncratan, membasahi mulut dan muka Om Bondan tanpa bisa dicegah lagi. Jepitan pahaku pada kepalanya makin kuat, diiringi erangan dan tubuh yang mengejang beberapa kali, sampai mereda sendiri.

“Haahh... ahhh... aku squirt kayak gitu juga Om?” tanyaku.

Om Bondan mengangguk. “Iya dong, makanya Om hafal banget gimana bikin kamu squirt, Lin. Habis itu, Om udah ga sabar. Akhirnya Om arahin penis—”

“Baku banget bahasanya Om. Talk dirty to me, dong... Om sayang....”

“Hmph, iya... akhirnya, Om arahin... ngg...”

“Kontol?”

“Nah iya, itu. Masuk ke meki kamu kayak....” Om Bondan menyibak bibir kemaluanku dengan kepala penisnya, lalu masuk lebih dalam, dan dalam satu hentakan.... “Gini Lin!”

“Auh! Bangsaaatt!”

Untuk kesekian kalinya, aku digauli Om Bondan. Penisnya yang tebal itu masuk sepenuhnya mengisi kemaluanku. Rasanya nyeri pada awalnya, lalu berangsur-angsur nikmat, seiring dengan rasa gatal yang menyeruak di seantero dinding kemaluanku.

Om Bondan menggenjotku dengan cepat, lalu tiba-tiba iramanya dipelankan, lalu kembali cepat. Terus begitu sampai membuatku gila dan kelabakan. Desahan-desahan dan kata-kata kotor dengan lancar keluar dari bibirku, menambah semangat Om Bondan untuk menggenjotku. Berkali-kali aku hampir klimaks dibuatnya, dan berkali-kali juga aku dibuat kecewa karena Om Bondan berhenti tepat ketika aku hampir orgasme. Lalu dia menggenjotku lagi, lagi, dan lagi. Kemudian berhenti tepat ketika rasa ingin pipis yang kurasakan mulai memuncak.

“Aaaaah, Om... nakal banget. Olin jangan dimainin gini kenapa....”

Om Bondan tersenyum licik, lalu tetap menggenjot kemaluanku dengan tempo acak sambil kedua tangannya meremasi kedua buah dadaku. Gawat, kalau terus diremasi begini, aku takut payudaraku malah jadi makin besar. Ah, ah... rasa itu datang lagi. Gatal, mau pipis... apalagi ketika Om Bondan memilin-milin putingku. Aku... aku... ayo Om, sedikit lagi... lagi....

“Ah, bangsat! Om Bondan maaaah!”

Om Bondan lagi-lagi, untuk kesekian kalinya berhenti. Jika ini terus berlanjut, lama-lama aku bisa gila! Aku tak tahan lagi, aku mau segera orgasme! Maka aku menggoyang sendiri pinggulku, namun dicegah oleh kedua tangan Om Bondan yang menekan pahaku. Aku merutuk kesal, berusaha memprovokasinya dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan ejekan. Persetan dengan statusnya sebagai Om-ku!

“Kasih Om anal dulu, nanti Om bikin klimaks,” katanya, enteng.

Aku protes, dengan bilang bahwa anal itu sakit. Tapi Om Bondan malah merentangkan kedua kakiku, lalu perlahan-lahan mengeluarkan penisnya dari kemaluanku.

“Waktu itu kamu yang minta malah, Lin. Masa sekarang ga boleh?”

“Masa Om? Olin minta dianal? Beneran?”

Om Bondan mengangguk, lalu memposisikan kepala penisnya yang telah berlumuran cairan pelumasku di lubang pantatku. Dia mencoba memasukkan penisnya sedikit demi sedikit, pertama sepanjang ruas kuku, lalu ditarik lagi. Dimasukkan lagi sekepala penis, lalu ditarik lagi. Om Bondan benar-benar pintar membuatku menikmati anal intercourse ini tanpa harus merasa kesakitan. Lalu beliau memasukkan lagi, kali ini sepanjang setengah batang penisnya; membuatku mengejan dan meringis. Om Bondan sengaja mengoleskan pelumasku yang menempel di penisnya pada rongga lubang pantatku agar tidak terlalu kesat. Lalu setelah sekiranya licin, Om Bondan mendorong penisnya pelan-pelan... sedikit demi sedikit... sampai masuk semuanya!

“Ahh... masuk semuanya, Lin...”

“Huuh, masuk Om... sesak....”

Om Bondan mulai menggenjot pantatku, tapi tak kuasa karena remasan otot-otot di lubang pantatku yang begitu kuatnya. Aku yang benar-benar menikmati ini, secara inisiatif memasukkan dua jari ke kemaluanku sendiri, sementara tangan satunya menggesek-gesek klitorisku.

“Olin... pantat kamu... duh, enak banget...! Ga berenti ngeremes kontol Om, kayak vacuum cleaner aja....”

“Iya dong, aahh... hhaaa... ooohh... pantat Olin kan vacuum cleaner khusus kontol Om. Itu artinyaaahh... kontol Om... cuma... buat Olin... mmphh...”

“Olin... Om mau keluar yaa... keluar di dalem pantat... yaahh... ga kuat nahannn....”

Oh no! Disaat aku sedang menikmati kedua lubangku, Om Bondan akan keluar! Itu artinya aku akan gagal klimaks lagi! Karenanya, aku semakin mempercepat kocokan pada kemaluanku. Menimbulkan bunyi clek.. clek.. clek.. yang riuh terdengar. Seiring dengan jari-jari tangan satunya yang terus menggosok klitoris, aku menggelinjang. Ya, ya... begitu... rasa itu akhirnya datang lagi... ayo pipis, aku mau pipis. Aku mau....

“Tungguin Om! Tahan dulu, tahan dulu, tahan dulu! Olin mau nyampe! Ahh ahh ahh dikit lagi! Ayo nyampe, sedikit lagi!”

“Om... udah... ga kuat....”

“Tahan! Ahh, bangsat! Bangsat! Bangsaaattt! Nyampee... nyampeee... Olin nyampeee... haaahh ahh ahh ahh... pipis Om, Olin pipis... Olin... HYAAAAAAAAHHH......!”

Tubuhku terangkat, meliuk bagaikan busur. Rasa itu meledak, menjelma jadi bermuncratannya cairan bening yang mengalir deras membasahi perut dan paha Om Bondan, juga selangkangan dan pahaku. Aku merasakan orgasme luar biasa yang susul menyusul dengan kenikmatan yang sulit diungkap kata, tubuhku bergetar-getar hebat, kedua buah dadaku mengacung tegak, sementara kepala mendongak ke belakang, mata membelalak dan mulut terbuka. Air liur menetes dari sela bibirku, mengekspresikan kenikmatan tiada tara dalam menyambut orgasme yang luar biasa hebat kali ini. Sementara Om Bondan melesakkan penisnya dalam-dalam ke pantatku, dan dapat kurasakan penisnya mengejang beberapa kali sambil memuntahkan spermanya mengisi lubangku.

Ah, ini lebih daripada nikmat.

“Haaahh... haaah... pokoknya, Olin punya Om. Olin cuma boleh ‘main’ sama Om,” kata Om Bondan, disela nafasnya yang tersengal.

Aku mengangguk pasrah. Ah, aku gadis paling beruntung di dunia. Punya Om yang kaya raya, kebutuhanku terpenuhi, juga pemenuhan hasratku yang hyper ini. Apa yang kurang? Rasanya semua sempurna.

Aku kembali melirik jam dinding. Sudah setengah tiga siang, dan sebentar lagi Tante Indy akan pulang. Maka, aku buru-buru menyuruh Om Bondan mencabut penisnya dari lubang pantatku, kemudian aku memakai dasterku lagi dan mengendap-endap keluar dari kamarnya. Tiba di kamar, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Kuambil handphone yang tergeletak, lalu browsing sesuatu untuk menenangkan pikiran. Lalu perhatianku tertuju pada sebuah iklan situs jual-beli online yang tengah menawarkan suatu produk.

“Oh, special offer iPhone 6s? Mau dong. Om Bondan, kayaknya satu ronde lagi gapapa ya. Hihi.”

Aku kembali bangun, lalu diam-diam menyelinap ke kamar Om Bondan. Ini demi iPhone, lagipula hanya quickie. Hanya quickie...

How should I name my lustful behavior?

I guess I find it right name. Slutty-licious.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar