Cerita Eksibisionis Jeanny : 3 EXB

Di eskalator panjang menuju keluar stasiun, Aku berdiri hanya beberapa anak tangga di bawahnya. Aku berharap ada angin nakal yang menerpa roknya, sedikit hembusan saja sudah mampu memperlihatkan kulit pantatnya. Rok mininya terlalu ketat untuk diterpa angin, sekaligus membuatku yakin, tak ada "garis" apapun yang tercetak di sana kecuali bulatan. Dia benar-benar tak berCD! Sialan benar.

Keluar dari stasiun dia menyusuri Orchard Road, memberiku peluang untuk menyapa dan berkenalan. Tapi kok rasanya cara kenalan yang kuno banget ya, Aku jadi ragu. Tepatnya, tak menemukan cara yang "elegan" untuk berkenalan. Ketika menunggu lampu hijau buat penyeberang, dia sempat menoleh sekejap. Tapi Aku tak yakin apakah dia melihatku, matanya tertutup sun-glasses. Ayo Sam! Gunakan akalmu!

Sampai dia menyeberang perempatan, Aku belum menemukan caranya. Ah, toh pagi ini Aku tak punya waktu, Aku harus ngantor. Masih banyak kesempatan lain. Itulah, kalau orang tak berhasil mencapai maksudnya, keluarlah alasan sebagai rasionalisasi kegagalannya. Anak-anak yang gagal menjangkau benda yang menarik hatinya lalu mengatakan benda itu jelek. Engga! Dia istimewa, jauh dari jelek.

Aku masih menguntitnya ketika dia menyeberangi taman di ujung Orchard Road itu dan lalu menuju gedung 8 lantai. Cukuplah buat hari ini. Dia berkantor di hotel yang di lantai satunya terpampang nama restoran cepat-saji terkenal itu. Kelihatannya hotel ini semacam youth hostel kalau menilik namanya. Aku balik ke stasiun menuju kantor.

Di kantor aku coba meng"evaluasi" perilaku Si Paha Mulus itu untuk menghitung peluangku. Hampir tiap hari ketemu dan Aku selalu mengamatinya, mustahil kalau dia tak tahu tingkahku ini. Rekanku cewe pernah bilang, dia tahu benar kalau ada orang mengamati tubuhnya di kendaraan umum. Aku rada yakin, tadi pagi dia tahu Aku menguntitnya. Hanya Aku tak yakin, gerakan membuka kakinya (dan memperlihatkan bulu-bulu kewanitaannya) tadi disengaja atau tidak. Aku akan segera mendapatkan jawabannya.

***

"Damn!" lagi-lagi umpatku. Kali ini bukan karena paha yang tergoler, lebih dari itu. Gerakan membuka kaki yang bertahap sedikit demi sedikit mempertegas ketelanjangan selangkangannya. Lumayan lebat miliknya. Seperti beberapa hari lalu, "gerakan" inipun dilakukan menjelang Aku seharusnya turun. Dan lagi-lagi Aku memilih untuk terus menikmati bulunya ketimbang turun terus ke kantor. Yang berbeda adalah tak ada earphone di kupingnya. Matanyapun terbuka. Ada lagi yang berbeda.

"Hai!". Cukup pelan suara itu, tapi bagiku seperti suara kanon. Siapa yang disapa? Akukah? Matanya lurus tajam menatapku. Ada sunggingan senyum di bibirnya. Tak salah lagi. Dia menyapaku. Tiba-tiba Aku merasa bersalah telah "tertangkap" basah meneliti bulu-bulu selangkangannya.
"Biasanya turun di Orchard," Kanon itu terus menyerangku sebelum Aku sempat merespons. Bahasa Inggrisnya logat khas orang sini. Logat "Singlish", Singapore English, kata orang Inggris. Kalau orang Singapore bilang: "You can't say like that" misalnya, terdengar dikupingku sebagai: "Yu can-no' se laik de' laa". Begitulah Singlish.
"Oh, emm..." Nah lo Aku gelagapan.
"Atau mau ikuti saya lagi?" serangnya. Mampus lu Sam. Ketahuan tingkahmu. Senyum kecil tadi itu melebar menjadi tawa penuh kemenangan.
"Ya. Aku mau ikut kamu ngantor di NNN (nama hotel tempatnya kerja)," balasku.
"Oh yeah, siap-siap turunlah". Memang, kereta ini telah memasuki stasiun Dobyghout.
Di escalator panjang itu kini Aku di anak tangga yang sama, sejajar. Pake sepatu dengan hak sedang tinggi badannya hampir sama denganku. Tiba-tiba lidahku kelu, tak keluar sepatah katapun dari mulutku. Bingung memulainya, boo.
Lepas dari tangga berjalan, Aku merasa lebih santai.
"Kenalkan, Aku Sammy," kataku menjulurkan tangan.
"Jeanny," balasnya sambil menyambut tanganku. Telapak tangan yang halus banget. Jeanny membuka tasnya dan mengeluarkan kartu nama berlogo hotel itu. Jeanny, Marketing Manager. Akupun memberikan kartuku.
"Saya pikir kamu harus ngantor kan? Telepon saya jam istirahat ya," katanya.
"Okay."

***

"Sorry, terlambat," katanya sambil menyeret kursi dan duduk. Sepersekian detik waktu dia membungkuk sebelum duduk, Aku sempat menangkap bulatan buah dadanya melalui leher blusnya yang super rendah. Aku menelan ludah.
"Gak pa-pa, cuman 5 menit." Dalam telepon tadi kami janjian makan siang bersama di food center yang terletak di basement Wisma Atria, Orhard Road. Tempat ini kami pilih melalui kompromi dengan pertimbangan letaknya kira-kira di tengah antara kantorku dan kantor Jeanny, juga pilihan makanannya beragam. Obrolan sambil makan siang diisi dengan saling membuka diri masing-masing. Aku ceritakan terus terang tentang diriku yang jauh dari keluarga. Tapi masih menyembunyikan niatku mendekati dia. Lihat-lihat dulu perkembangannya.
Jeanny tinggal sendiri di apartement di Jurong juga, 2 stasiun lebih jauh dari tempatku. Tiga tahun sebagai marketing manager di hotel itu dia rasakan mulai membosankan dan berniat pindah kerja. Kini sedang lihat-lihat lowongan kerja. Aku rasa cukuplah informasi yang kuperoleh tentang dia untuk pertemuan pertama ini.

Kini Aku pulang kerja tak sendiri lagi. Jeanny duduk di sebelahku. Duduk merapat (kereta memang selalu penuh) dengannya merupakan kesenangan tersendiri. Aku bisa menghirup aroma wangi tubuhnya. Kulit langsatnya memang benar-benar halus. Tak ada reaksi penolakan ketika tanganku "mampir" di pahanya. Bahkan dia berani menyandarkan kepalanya ke bahuku sambil tiduran. Kesempatan yang amat bagus untuk menikmati bulatan dadanya. Sayangnya dia tak selalu bisa makan siang di luar.
"Kita makan siang bersama lagi?" ajakku lewat telepon.
"Oh, sorry, hari ini Aku harus makan siang di sini sekalian meeting. Gimana kalo pulang kantor saja?"
"Okey, ketemu di Orchard?"
"Yup"

***

"Kamu udah lapar?" tanyanya begitu ketemu.
"Belum," jawabku jujur.
"Good. Kita tunda makan malam, jalan-jalan aja," katanya sambil menggamitku menuju taxi-stand. Gila, dia main tarik saja tanpa menunggu persetujuanku.
"Kemana kita?" tanyaku setelah kami duduk di taksi. Jeanny menyebutkan tujuan ke sopir taksi menggunakan bahasa Mandarin, jelas saja Aku tak paham percakapan singkatnya dengan sopir.
"Nanti kamu akan tahu."

Busyet, tadi dia membawaku tanpa kesepakatan, sekarang tujuannya pun Aku belum boleh tahu. Jeanny begitu percaya diri bahwa orang akan menurutinya. Rada kurang "sopan" sebenarnya untuk seseorang yang baru dikenalnya. Tapi Aku tak mempedulikannya. Apalagi duduknya juga "kurang sopan". Dengan menyandarkan tubuh sepenuhnya ke sandaran, hampir seluruh pahanya terbuka. Dan, entah disengaja atau tidak, kancing blousnya yang paling atas terbuka. Tentu saja belahan dan sebagian bukit kembarnya juga terbuka. Aku langsung mengkhayal yang "engga-engga". Mungkin Aku dibawanya ke suatu tempat yang memungkinkanku menyalurkan segala yang tertahan sejak beberapa hari lalu.
Taksi terus melaju menyusuri jalan-jalan besar dan kecil, menembus kemacetan. Aku belum hafal jalan-jalan di business district ini, sehingga ketika taksi berhenti di pinggir jalan agak kecil dan tak begitu ramai, Aku gagal mengidentifikasi daerah mana ini. Yang jelas, kami berdua memasuki pintu diskotik NNN. Lamunan nakalku buyar. Jeanny lebih sigap menyodorkan uang di ticket box.
"Ini ideku, jadi Aku yang bayar. Nanti kamu bayar makan malam aja," jelasnya.
"Okay, what ever you say laa," kataku meniru dialeknya. Jeanny ketawa lebar. Gembira benar dia sore ini.

Walaupun masih sore diskotik itu lumayan banyak pengunjungnya. Kebanyakan orang kantoran. Musik hingar bingar mengiringi beberapa pasangan yang turun di tengah ruangan. Jeanny memilih meja agak di tengah dengan lampu yang lumayan terang, dekat lantai dansa. Pilihanku sebenarnya di meja pinggir yang cahayanya temaram. Apa boleh buat, Jeanny telah menyeretku ke meja tengah yang terang itu lalu pesan minuman.

Jeanny membuka blazernya dan digantung di sandaran kursi. Gila! Blazer tak berlengan itu mencuatkan pinggiran buah yang langsat padat. Leher blouse tipis yang rendah dan kancing yang dilepas satu menyuguhkan "cetakan" buah kembar yang bulat.
"Ayo turun," ajaknya. Aku nurut saja. Musik yang terdengar bertempo cepat, Jeanny langsung larut dengan iramanya. Aku mulai menggoyang tubuh mengikuti irama musik, gaya "standar", tapi... Jeanny, lagi lagi Aku harus menyebut gila. Tak ada bagian tubuhnya yang tak bergoyang. Kedua susunya berguncang ke mana-mana, pinggulnya berputar hebat. Pahanya yang makin terbuka berloncatan bergantian.

Gaya menari yang gila, bentuk tubuh yang serba menonjol, dan pakaian yang minim atas bawah membuat Jeanny segera saja jadi pusat perhatian pengunjung. Suitan nakal dan tepuk tangan sering terdengar dari pengunjung. Bahkan cowo-cowo yang sedang asyik menaripun "melupakan" pasangannya untuk menatapi goyangan tubuh Jeanny. Aku yakin Jeanny sadar bahwa dia menjadi pusat perhatian. Dia malah meningkatkan gaya tariannya dengan menggoyang-goyang susunya. Nampaknya dia amat menikmati kondisi ini. Keringat yang mulai membasahi tubuhnya makin membuatnya "bersinar".
Sekitar 2-3 lagu disko panjang telah terlewati, badanku mulai pegal-pegal sebenarnya, padahal hanya goyangan biasa.
"Kita istirahat dulu," teriakku mecoba meningkahi bunyi musik.
"What?" teriak Jeanny. Kuulangi teriakanku, lebih keras.
"Okay, okay," kami menuju ke meja. Tepuk tangan panjang pengunjung menggema.

Jeanny minum birnya sambil terengah. Tubuhnya basah. Blouse tipis yang basah itu menempel ke tubuhnya makin mempertegas "cetakan" bulatan kembar dadanya yang turun-naik. Pemandangan indah yang membuatku tegang di bawah dan tambah ngos-ngosan.
"Gimana tarianku," tanyanya.
"Gila!". Jeanny ngakak.
"Tapi orang-orang pada senang."
"Benar. Dan kamu menikmatinya."
"Memang," ngakak lagi dia.
Hanya beberapa saat duduk ketika irama musik berubah lembut, Jeanny menarik tanganku lagi. Inilah yang kutunggu. Kami bergabung di antara pasangan-pasangan yang berpelukan bergoyang pelan.

Kedua tangan Jeanny menggantung di leherku. Pinggangnya kuraih lebih mendekat lalu menempel erat. Tak peduli penisku yang menegang ini menempel ketat di perut bawahnya. Aku yakin dia bisa merasakannya. Bulatan padat yang menekan dadaku menambah keteganganku. Tiba-tiba Jeanny mempererat tekanan pinggulnya di selangkanganku dan... dengan nakalnya dia memutar pinggul. Letak penisku yang tegang ke atas serasa digilas-gilas. Ampun, dia malah ketawa, matanya menatapku. Aku mengambil aksi, kucium bibirnya dan kulumat. Jeanny membalas lumatanku. Kami "bersilat lidah" beberapa saat sampai akhirnya Aku malu sendiri karena tingkah kami dipelototi pedansa lain. Aku melepas.

"Kenapa?" tanyanya.
"Engga enak ah, dilihatin orang."
"Gak apa-apa, acuh aja." Kami berlumatan lagi sampai dia melepas karena kehabisan nafas. Aku makin tinggi.
"Kamu terrangsang ya?" Lagi-lagi pinggulnya "menguyek" penisku. Aku meremas pantatnya. Kali ini dia memakai celdam.
"Sorry ya, membuatmu begini," katanya kemudian.
"Tak apa, Aku senang kok. Tapi kamu harus bertanggung jawab." Aku nekat, mulai menyerang.
"What do you mean..." nanyanya tak serius, sambil senyum sih.
"Aku ingin ada kelanjutannya."
"Ha... ha... ha..." Sialan, cuma ketawa dia.
"Aku serius, menginginkanmu."
"Lihat-lihat keadaan dulu ya."
"Apa maksudmu?"
Lagi-lagi dia hanya ketawa.

Benar-benar tak ada capeknya dia. Ketika musik berganti keras lagi Jeanny langsung menghambur ke tengah meninggalkanku sendirian di meja, menggoyang tubuh seksinya dengan lebih sensual. Lagi-lagi dia menjadi tontonan orang, dan tampaknya dia menikmati sorotan puluhan mata ke tubuhnya.

***

Kami meninggalkan diskotik jam 9, masih sore sebenarnya untuk ukuran hiburan malam. Tapi Aku masih banyak acara (yang kurencanakan) bersama Jeanny. Aku mengharapkan selesai makan malam nanti Aku bisa menyalurkan "kebutuhan dasar"-ku yang telah seminggu tertahan, dengan menyetubuhi tubuh seksi Jeanny. Dia tadi, setidaknya menurut penilaianku, telah memberikan sinyal lampu hijau.
Taksi yang kami tumpangi berhenti di pinggir Orhcard Road.

"Makan di mana kita?"
"Ummm, kamu benar-benar udah lapar?"
"Belum begitu lapar." Rangsangannya di diskotik tadi menghilangkan nafsu makanku.
"'Kay, kalau begitu, Aku masih ada yang harus kuselesaikan di kantor. Aku duluan, nanti susul Aku 5 menit kemudian," katanya sambil memberikan sesuatu ke tanganku. Sebuah kunci kamar, di gantungannya tertulis nomor kamar dan logo hotel tempat kerjanya. Aku bersorak!
"Okay, terima kasih."

Mungkin inilah gerak jarum jam yang paling lambat di dunia. Bagiku lima menit serasa 5 jam. Dengan menenangkan diri Aku masuk pintu utama hotel itu. Aroma makanan dari restoran fast food di lantai satu tak sanggup menggodaku untuk makan, padahal perutku belum terisi makanan sejak 7 jam lalu. Aku langsung menuju lift.

Kamar yang tak begitu luas, tapi bersih. Seperti kamar hotel standar lainnya ada 2 tempat tidur single, meja kerja, dan satu set sofa kecil. Jendela kaca lebar ke arah taman di depan hotel. Koden dan viltrage-nya terikat rapi di kedua pinggiran jendela. Di kejauhan tampak gedung-gedung jangkung yang bersiram cahaya lampu. Di kamar mandi tak ada bath tube, hanya douce yang dilengkapi pemanas air. Semuanya bersih dan rapi. Yang membedakan dari kamar hotel lainnya adalah, di meja rias ada seperangkat alat make-up wanita dan ada satu set mini compo music equipment. Sekarang Aku mau ngapain? Lagi-lagi menunggu. Tegang. Dering telepon mengagetkanku.

"Oh, kamu udah sampai. Sorry ya membuatmu menunggu. Bentar lagi kerjaanku selesai."
"Aku tunggu. Jangan lama-lama ya!"
"Lapar ya?"
"Iya. Tapi bukan lapar secara fisik."
"Ha..ha...ha... pesan makanan aja."
"Engga mau."
"Okay deh, bye." Telepon ditutup.

Tadinya Aku hanya bermaksud cuci muka saja, tapi air hangat dari pemanas air begitu nyaman. Aku mencopoti pakaianku. Singletku basah keringat.

"Sabar ya," kataku kepada penisku yang masih menyisakan ketegangan. Celdamku juga basah, plus noda-noda "cairan pendahuluan". Di tengah Aku mandi, kudengar pintu terbuka, lalu tertutup lagi, dan suara langkah kaki. Mungkin Jeanny yang masuk. Aku cepat-cepat menyelesaikan mandiku dan dengan hanya berbalut handuk di pinggang Aku keluar. Benar, Jeanny tampil segar, bersih dari keringat. Masih mengenakan blazer yang tadi, dan terkancing rapi.

"Hai, sorry ya kelamaan." Aku tak menjawab, langsung memeluknya, erat. Jeanny membalas pelukanku, tapi hanya sebentar terus melepaskan diri. Kurasakan ada yang berbeda tadi. Gumpalan daging kembarnya langsung menekan dada telanjangku. Jeanny tak memakai bra.

"Sebentar ya," katanya sambil menghidupkan mini compo. Terdengar musik keras, musik disco dari CD (bukan celdam, lho). Lalu tubuhnya mulai bergoyang. Huh, tak puasnya dia menari-nari. Aku hanya berdiri diam menontoninya. Tonjolan penisku menekan handuk, seperti anak yang baru disunat memakai sarung dengan ganjalan. Jeanny terus bergoyang mengikuti irama musik. Matanya menatapku, bibirnya tersungging senyum. Lalu sebelah tangannya ke dada melepas kancing blazernya yang paling atas.

Baru kusadari dia tak mengenakan blouse lagi. Belahan dadanya segera nampak. Masih sambil menari tangannya mencopot kancing kedua. Pinggir kiri kanan bulatan dadanya terbuka. Okay, Aku nikmati dia memperagakan tarian strip tease sambil tegang. Gumpalan daging yang berguncang-guncang itu benar-benar bulat. Lalu kancing ketiga yang merupakan kancing terakhir. Puting dadanya sebentar nongol sebentar ngumpet. Dan... blazer itu benar-benar terlepas. Tiba-tiba dilemparnya blazer itu ke arahku. Aku tak sempat menangkap, blazer itu jatuh ke lantai. Kini tubuh Jeanny dari pinggang ke atas telanjang. Padahal jendela kaca terbuka lebar dan lampu kamar menyala terang. Buah dadanya benar-benar menggiurkan. Aku tak tahan lagi. membuang handuk lalu menubruknya. Jeanny tak berhenti menari. Berkali-kali mulutku tergelincir dalam usaha menangkap bulatan daging susunya. Di luar dugaanku, Jeanny menolak tubuhku.

"Tetap di tempatmu, ya. Nonton aja."
"Engga!" protesku.
"Nanti tiba giliranmu, OK?" Sekilas dia melirik senjataku, senyum.
Baiklah, lagi-lagi Aku nurut, walaupun dengan rasa heran. Putingnya sudah menegang, tanda dia juga telah terangsang, tapi menolakku. Dengan telanjang bulat Aku menonton pertunjukannya. Masih tetap menari, kedua tangannya ke belakang, sepertinya sedang melepas rits roknya. Wow! Posisi tubuh yang begini mengakibatkan dadanya makin menonjol. Gilaaaa, Aku tak tahaaaan!

Rok itu mulai turun, bulu-bulu kelaminnya mulai tampak. Turun lagi, jelaslah, seluruh permukaan kewanitaannya memang ditumbuhi bulu, tapi tipis, pendek, dan merata. Jeanny melangkahi roknya yang sudah tergeletak di lantai. Tubuh telanjang yang nyaris sempurna. Hampir tak ada guratan atau "flek". Gerakannya berubah menjadi erotis. Kakinya kadang membuka lebar seolah menunjukkan bahwa dia memiliki lubang dan clit. Kadang memperagakan gerakan-gerakan senggama gaya doggie. Jeanny sama sekali tak terganggu, kemungkinan ada orang lain yang menonton tubuh telanjangnya dari jendela gedung seberang. Lalu Jeanny mendekatiku. Inilah saatnya, pikirku.

Sambil masih bergoyang Jeanny mendekat sampai ujung penisku menyentuh bawah perutnya, lalu digeser-geserkan. Lalu menjauh lagi. Huaaaa.....! Gerakan tadi diulang lagi. Tubuhnya merendah, bangkit lagi, merendah lagi sehingga kepala penisku menyapu-nyapu dari rambut kemaluannya ke dada.

Aku sungguh tak mengerti. Setiap Aku mencoba merengkuh tubuhnya, Jeanny menghindar. Ketika Aku pasif, kembali dia menggeser-geserkan ujung penisku ke tubuhnya. Sesekali Aku berhasil menangkap tubuhnya dan memeluknya erat. Jeanny membuat gerakan memutar pinggul menguyek penisku seperti tadi waktu kami berdansa. Tapi ketika Aku menikmati sensasi ini sambil merem dan pelukanku mengendor, Jeanny cepat-cepat melepaskan diri.

Tak ada jalan lain. Aku harus memaksa, kalau perlu memperkosa. demikian terlintas di pikiranku. Pikiran seorang lelaki lapar, yang tak mungkin menunda lagi, sementara makanan sudah siap terhidang di depan hidung.
Pada suatu saat dia lengah, Aku menangkap tubuhnya, memeluk erat sambil bertahap menggeser ke tempat tidur. Jeanny bertahan, balas mendorong memepet tubuhku sampai punggungku menyandar di dinding.

"Sabar ya sayang." Mana bisa sabar.
Tubuhnya merendah. dielusnya batang penisku. Mataku terpejam menikmati elusannya. Pada saat posisinya berlutut, kusodorkan penisku ke mulutnya. Jeanny menggeleng lembut. Tangannya makin intensif mengelusi kelaminku, hanya sebelah tangan, sedangkan tangannya yang lain menjangkau sesuatu di meja rias. Jeanny melumuri telapak tangannya dengan cairan body lotion, lalu mengocok batang penisku. Caranya mengocok sungguh merangsang. Tubuhnya sambil menggeliat-geliat dan mulutnya mengeluarkan erangan. Sesekali penisku ditempelkan ke dadanya lalu telapak tangannya "menggiling". Tanpa sadar Aku mulai ikut mengerang. Pembaca, kondisiku yang sudah demikian tinggi, stimulasi pada kelaminku demikian intensif, telah seminggu tak ejakulasi, akhirnya aku tak mampu menahan diri, jebol juga. Aku mencapai puncak.
Cepat-cepat Jeanny memeluk pinggulku, Aku meledak di dadanya, Kuat sekali Jeanny mencekram pinggulku. Aku berdenyut-denyut di dadanya.

Banyak sekali aku menumpahkan cairan mani di dada Jeanny. Maklum, telah "menabung" seminggu. Pelukannya mulai mengendor setelah dirasakannya Aku tak berdenyut lagi. Jeanny melepas. Di"periksa"nya cairan putih yang menumpahi buahnya. Lalu, tanpa kuduga, dengan telapak tangan dia meratakan cairan itu ke kedua buah dadanya.
"Bisa menghaluskan kulit," katanya ketika dia melihatku bengong atas tingkahnya. Aku membantunya. Baru kali ini telapak tanganku tanpa gangguan meremasi payudaranya. Kenyal.

***

Aku mencoba me-refresh ingatanku tentang perilaku Jeanny sejak pertama kali melihatnya. Naik kereta selalu pamer paha dan bagian dada, beberapa kali Aku menangkapnya tak berceldam dan menunjukkannya kepadaku, menari erotis di tempat umum dan menikmati jadi tontonan, dan terakhir bertelanjang bulat menari di depan hidungku dengan membiarkan jendela kamar terbuka lebar. Aku yang mulai menduga sejak beberapa hari lalu semakin merasa yakin, bahwa Jeanny memang EXB, alias (sexual) exhibitionist, orang yang suka memamerkan tubuhnya di depan umum.

Selain itu, Jeanny begitu mandiri dan independent, hidup dan tinggal sendiri, punya pekerjaan dengan posisi bagus. Mandiri mungkin menjadi ciri umum cewe Singaporean. Beberapa cewe teman kantorku juga begitu. Ada satu lagi sifatnya yang menonjol (selain dadanya he..he..) dia otoritatif, maunya orang menuruti kehendaknya.

Begitulah sosok seorang perempuan yang bernama Jeanny, yang baru kukenal tapi seolah sudah begitu dekat.

"Mikirin apa," tanyanya mengejutkanku. Kami berdua masih telanjang. Aku terlentang Jeanny tiduran di dadaku.
"Ah, engga. Cuma capek, dan lapar."
"Wah iya, kamu belum makan ya?" Jeanny bangkit, dadanya berguncang indah.
"Yuk, kita makan dulu," ajaknya sambil memungut blazernya dan dipakai. Lalu roknya. Hanya kedua potong pakaian itu saja yang dikenakannya. Dengan agak malas Aku bangkit berpakaian. Aku sebenarnya mengharapkan tinggal lebih lama di sini sehingga bisa menyetubuhinya.
"Belum waktunya," jawabnya ketika Aku mengutarakan niatku.
"Kapan?"
"Tunggu saja setelah Aku siap."
"Kapan siapnya?" kejarku.
"Sudahlah, sudah larut nih, kita makan trus pulang."
Akhirnya kami cuma makan fast food di lantai 1 hotel ini.
"Kuantar sampai apartmentmu," usulku ketika kereta hampir sampai di stasiun tujuanku.
"Tak usahlah."
"Aku ingin mengantarmu."
"Belum waktunya, honey."
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar