Cerita Eksibisionis Vira Chang : THE OFFICE – Chapter 4: The Shanghai Meeting – The Hidden Secret

“Wake up Riki! We’re about to depart!” panggil Cik Annie yang membangunganku. Kami sedang di Executive Lounge salah satu bank terkenal di Bandara Soekarno – Hatta. Ruangan yang temaram dengan sofa lembut berwarna coklat membuatku tertidur dengan nyenyak sambil menunggu pesawat di pagi buta ini.
“Riki honey… Kamu aku kirim ke Shanghai ya untuk menemani Cik Annie, kalian akan meeting dengan perwakilan tiap subsidiary di sana. Yang akan hadir nanti adalah perwakilan dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Aku sudah banyak share ke kamu tentang segala hal mengenai Market Quality Control Management. Aku yakin kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. So, go kick them in the ass, cowboy “, email itu yang aku terima sekitar 2 minggu lalu dari Mbak Vira yang menyuruhku untuk menemani Cik Annie ke Shanghai. Cik Annie adalah Corporate Secretary perusahaan kami, tugasnya utamanya adalah menjadi Front Person pada setiap pertemuan-pertemuan penting perusahaan.
“Come on, boy. We don’t have time as long as forever!” ketus Cik Annie kepadaku. Yah, nasib deh, seminggu ini bakalan bersama wanita yang super ketus. Meskipun berwajah cantik, tetapi kalau selalu ketus, aku tak tahan juga. Walaupun aku suka membanding-bandingkan kecantikan Cik Annie ini dengan Elma Theana, artis terkenal tahun 90an, hanya saja matanya sedikit lebih sipit.
Pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat Boeing 747 dengan maskapai Cathay Pacific. Aku belum pernah menumpangi pesawat sebesar ini sebelumnya, mengingat pesawat Garuda kebanyakan 777-300 atau 737-300. Kami akan singgah dulu ke Hongkong, kemudian berpindah pesawat dengan maskapai Dragon Air. Sepertinya maskapai ini adalah maskapai bentukan dari Catahy Pacific. Hanya saja yang aku herankan adalah, semua penerbangan ke China lewat Hongkong selalu harus menggunakan Dragon Air.
“Hi riki… kamu tidur terus… I need a hand right now..” tiba-tiba Cik Annie membangunkanku.
“Ya Cik… “ balasku sambil gelagapan karena dibangunkan. Rupanya aku tertidur lagi di dalam pesawat.
“Aku sudah lihat presentasi Vira untuk project Hanjin. Vira bilang, kamu ya yang membuatkan presentasinya?” tanya Cik Annie.
“Iya Cik… tetapi itu berkat bantuan Mbak Vira juga, dia yang mengajari untuk menulis ini dan itu” balasku enggan.
“Well… nanti di Shanghai, salah satu agenda kita adalah membahas project-project yang sedang kita kerjakan, jadi aku butuh bantuan untuk menjelaskan proyek si Hanjin ini ke mereka. Gambaran besarnya sajalah, tidak perlu terlalu detil. Kamu bantuin ya, ada beberapa hal yang aku tidak tahu” ujar Cik Annie.
Aku diam saja tidak membalas, sementara Cik Annie mengeluarkan blackberry Porsche Design nya, serta mengeluarkan earphonenya. Salah satu ujung earphone itu diulurkan kepadaku, dan salah satunya dia pakai sendiri. Aku hanya menurut saja, sementara Cik Annie mengeluarkan buku catatan serta pensil.
“Vira tadi malam memberikan file kepadaku untuk didengarkan, kata dia, di dalam rekaman itu sudah ada penjelasannya semua, tetapi aku tidak puas, kamu pasti lebih tahu detailnya, so kita dengarkan saja ya” ucap Cik Annie perlahan.
Wajahku merah padam. Hasil rekaman kami ternyata diberikan Mbak Vira ke Cik Annie? Tanganku bergetar, badanku lemas. Cik Annie sepertinya melihat gelagatku.
“Kenapa ki? I know. Santai saja. This won’t get spread wildly, your HR Dept won’t know anything!” ucap Cik Annie sambil tersenyum.
Aku tetap terdiam, sementara rekaman itu mulai terdengar. Entah kenapa, kegugupanku berangsur hilang, tetapi mulai teringat lagi akan malam itu. Kemudian Cik Annie mempercepat rekaman itu, dan langsung menuju ke menit sekian, rupanya dia sudah tahu bagian mana yang akan ditanyakan.
(suara rekaman) “Production process must apply… oooohhh…. Hmmmmffftt.. aaaah… Riki… aahh.. .. must apply quality… aaaaahhh…ahhh…. must apply ooh… must apply quality control items on… aaah aaah aaah… on each assembly steps… aaah… Riki honey, go get it tiger!!! Aaaaahhh… eat my cunt… eat my cunt… aaaaaaahh…”
Tiba-tiba Cik Annie menghentikan rekaman itu.
“Nah, bagian ini. Apa maksudnya production process must apply quality control items on bla bla bla… Vira tidak melanjutkan penjelasannya. Well, you know, she was enjoying your kissing…” tanya Cik Annie dengan serius.
“Itu maksudnya, meskipun di akhir proses ada tim Quality Control untuk mereview kualitas hasil produksi, akan tetapi proses review kualitas sebenarnya tidak hanya bergantung di satu proses saja, akan tetapi ada di setiap proses. Satu sub proses harus dicek kualitasnya oleh sub proses berikutnya, sehingga kualitas produk benar-benar terjamin.” Jawabku singkat.
“Wow… smart boy Riki… No wonder Vira counts on you very much… I believe you’re great in bed too” timpal Cik Annie dengan nakal.
“Yes, I’m great in bed. I can sleep for hours” candaku singkat dan enggan. Cik Annie tertawa keras. Yah, joke lawas, pikirku, dan ternyata Cik Annie masih saja tertawa dengan joke itu.
Pertanyaan-pertanyaan berikutnya aku jawab dengan singkat. Tak terasa sudah sampai sampai di Shanghai Pudong International Airport. Gila pikirku! Ini Aiport atau kota, besarnya bukan main.
“Riki, please grab my luggage on baggage claim. Aku mau merokok dulu di luar. Kamu tahu kan koperku yang mana?” perintah Cik Annie.
“Tahu” jawabku singkat.
Setelah mengambil bagasi, aku menuju ke luar. Cik Annie sudah menunggu di sana dengan seorang wanita yang membawa secarik kertas bertuliskan “Ms. Annie”. Sepertinya dia yang menjemput kami.
Perjalanan dari bandara ke hotel adalah salah satu hal yang menakjubkanku. Hampir semua mobil di sini buatan VW atau Buick, terkadang BMW dan Mercy, tetapi tak satupun kulihat mobil Jepang! Karena aku sangat suka mobil, dan sangat mengagumi Buick, maka hanay melihat pemandangan di tol pun sangat menyenangkanku.
“Welcome to RAMADA Hotel, please have our welcome drink!” ucap seseorang di lobby hotel saat kami sampai di hotel yang kami tuju. Aku pernah melihat hotel ini di Bali, tetapi tidak tahu kenapa namanya aneh begitu. Tidak berkesan eropa atau barat, bahkan china. Sepertinya ini hotel milik orang India.
Setelah Cik Annie berbicara dengan bahasa China, dia memberikanku kunci kamar hotel.
“Get your self prepped tomorrow at 06.30 sharp!” ucap Cik Annie singkat, dan dengan ketus tentunya.
“OK” jawabku singkat. Mulai dari sini aku sudah tak memiliki niat untuk menikmati kunjungan ke Shanghai.
Pukul 06.30 tepat aku sudah di lobby. Sebelumnya aku sudah sarapan pukul 06.00, hanya saja aku tak melihat Cik Annie.
“Morning riki. Come on, the traffic is gonna be like hell today. Call a taxi please!” pinta Cik Annie.
Wow, pikirku. Blazer The Executive hitam, dengan blouse hitam, dipadu dengan rok mini hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang putih. High heel hitamnya menyempurnakan pandanganku pagi ini. Rupanya Cik Annie benar-benar berdandan dengan maksimal untuk event ini.
Cik Annie berbicara dengan bahas china kepada sopir, kemudian kami melaju ke tengah kota. Aku benar-benar takjub dengan gedung-gedung yang sangat tinggi ini. Seakan-akan melihat menara BCA, tetapi jumlahnya sangat banyak sekali!
Kami sampai di Shanghai Manhattan Business Hotel, lokasinya dekat dengan The Bund River, sungai terkenal di Shanghai. Pemandangan di malam hari pasti indah, pikirku.
“Hi morning Annie… good to see you again… and this is Mr… ?” ucap seorang laki-laki menyambut kami.
“This is Riki, our best rookie in our site. Riki, this is Mr. Lu, our Business Development Manager.” Ucap Cik Annie.
“Hi Mr. Lu… I’m the Market Quality Analyst. Here is my business card” ucapku sambil menyodorkan kartu nama. Kami pun saling bertukar kartu nama.
Pukul 08.00 semua orang sudah berkumpul di ruangan meeting berbentuk bundar. Aku lumayan terkejut, ternyata semua wanita di sini berdandan seperti Cik Annie, blazer hitam, blouse hitam, rok mini, dan high heels hitam. Lumayanlah, pikirku, daripada mengantuk saja selama meeting, paling tidak ada pemandangan segar.
“Our High Voltage (HV) market in Vietnam is actually emerging, but we’re lack of HV engineers. Many of engineers are from either Indonesia or Malaysia, thus we found difficulties to persuade them, the engineers, to use our product, since they tend to use Indonesia or Malaysia product” ucap Mrs. Wang dari Vitenam pada saat dengar pendapat dari masing-masing negara. Aku melihat Cik Annie sedikit mengernyitkan dahi saat mendengarnya.
“Well, I know that issue. It’s been around for years actually, but I’m sure now things are changing, I heard that big contractors already stopped sending their engineer from Indonesia to Vietnam. So be patient, Mrs. Wang, keep being optimistic, furthermore, your sales are rising 23% year on year.” balas Mr. Lu sambil disambut tepuk tangan partisipan lain.
“Anything to share, Mrs. Sarah?” ucap Mr. Lu memberikan kesempatan kepada partisipan dari Filipina.
“Morning all, I’m Sarah from Phillipine. We are doing well this year untill we have an issue. One of the biggest shipyard company in Phillipine, The Hanjin Heavy Industries, stopped buying our product, and they bought the product from Indonesia instead. I thought, it was OK if the contract’s duration is only for 1 or 2 months. But then I had a news that they will buy the product from Indonesia for 14 months! That is ridiculous. We have the same product in Phillipine, how come they buy it from another country? In addition, I know their policy, that the longest contract permitted by the purchasing manager is only for 5 months. 14 Months contract is impossible. There must be something wrong about it!” ucap Mrs. Sarah dengan ketus.
Suasana meeting mendadak gaduh. Wajah Cik Annie merah padam. Mr. Lu berdiri sambil menenangkan para peserta meeting.
“Order please! Order please! Be quiet!” ucap Mr. Lu.
“I know this case… I know this case. We’ll discuss it later guys. Today we’re just sharing the project update from each subs. I’ll talk to both of you, Ms. Annie and Mrs. Sarah, after this, alright?” ucap Mr. Lu lagi.
Meeting segera dibubarkan, karena sudah menjelang makan siang. Aku berjalan bersama para partisipan ke meja makan, sedang Cik Annie sepertinya pergi dengan Mr. Lu dan Mrs. Sarah ke ruangan lain. Rupanya Cik Annie tidak tahu apa yang terjadi malam itu di Rolling Stone Café. Aku sudah cukup lelah untuk berpikir, sehingga langsung makan siang saja, tanpa perduli apa yang akan terjadi.
“Riki!” panggil Cik Annie dengan ketus. Aku baru saja selesai makan siang. Cik Annie tampak tenang, meskipun tadi wajahnya merah padam.
“Go grab a taxi. We’ll go back to hotel!” perintah Cik Annie. Kali ini sangat ketus sekali ucapannya. Aku pun hanya menurut saja, dan segera pergi ke lobby untuk meminta dipanggilkan taxi.
Setelah taxi kami sampai di hotel, Cik Annie menyuruhku untuk mengikutinya ke kamar hotelnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, sementara dia menyuruhku duduk di sofa, berhadapan dengannya. Sebenarnya cukup dengan menunduk sedikit saja, celana dalamnyanya sudah terlihat, tetapi aku tak berani melihat wajahnya.
“What happened, Riki? Is there something I don’t know?” tanya Cik Annie dengan nada tinggi.
“Mmm… saya pikir Cik Annie sudah tahu dari mbak Vira…” jawabku ragu.
“Vira? Apa lagi yang dia lakukan? Kau pikir dituduh di depan meeting tadi itu tidak memalukan???” bentak Cik Annie.
Aku tetap terdiam saja. Kemudian Cik Annie mengambil handphone dari tasnya, kemudian menelpon Mbak Vira. Lama mereka bercakap-cakap, sambil sesekali Cik Annie melirik kepadaku. Kemudian dia mengarahkan handphone itu kepadaku, sambil menghidupkan fitur Loud Speaker.
(Suara Loud Speaker) “Hi rikiii…. Kamu ga apa apa kan? Kamu ga diapa-apain sama Annie kan ki? Hehehe, be strong, my boy… semuanya OK kok… we’re great team, alright… “ terdengar suara Mbak Vira dari handphone itu.
“Hi Mbak.. aku gapapa kok.. baik baik saja.” Balasku di depan handphone itu.
Sesaat kemudian Cik Annie kembali berbicara dengan Mbak Vira lewat handphone, lalu menutupnya.
“Ok Riki. Aku menghargai kamu yang teguh merahasiakan kejadian itu. Vira sudah menceritakan semuanya kepadaku. Tapi…. Aku masih sangat kesal kepadamu akibat kejadian tadi pagi. Sekarang, mendekat kepadaku, dan berlutut!” perintah Cik Annie.
Aku menuruti saja perintah Cik Annie. Mbak Vira pernah bilang, Cik Annie kadang bisa saja sangat kejam, dia bisa memecat siapapun yang tidak dia sukai.
“Ayo sini, berlutut!” perintah Cik Annie ketus.
Posisi Cik Annie tidak berubah. Dia duduk di tepi tempat tidur, kedua kakinya membuka. Dengan posisiku yang berlutut di hadapannya, sebenarnya cukup melihat kedepan maka celana dalamnya sudah terlihat dengan jelas, tetapi aku tak berani memandang ke depan.
“Riki… kamu tadi pagi hendak mengintip celana dalamku kan? Sekarang, sebutkan. Apa warna celana dalamku?” bentak Cik Annie.
“Enggak Cik, aku engga mengintip. Aku engga tahu apa warna celana dalam Cik Annie..” balasku jujur.
“Hmmm… poor boy… sekarang, melihat ke depan, lihat baik-baik, apa warnanya!” perintah Cik Annie.
Aku mulai melihat ke depan, dan tampaklah pemandangan itu. Di ujung paha yang terbungkus rok mini itu tampaklah celana dalam hitam yang berenda. Aku benar-benar tertegun melihatnya.
“Now, do it like you did to Vira. Kiss it, eat it!” perintah Cik Annie.
Keragu-raguanku kini berubah menjadi kebingungan. Apa maksud semua ini? Tetapi wajah bengis Cik Annie makin meningkatkan keberanianku untuk mulai menyentuh lutut Cik Annie, kemudian perlahan-lahan menuju ke pahanya. Posisiku mulai mendekat ke Cik Annie, dan tanganku mulai merengkuh ritsleting rok mini itu di bagian belakang serta membukanya. Kemudian kuraih rok mini itu dan kutarik ke bawah, sementara mata Cik Annie mulai terpejam. Kemudian kebelai-belai pangkal paha itu sambil kucium paha kanannya.Sejurus kemudian kuraih celana dalam hitam berenda itu dan kutarik kebawah.
“Smart boy. Now, eat my cunt, cowboy!” perintah Cik Annie.
Pemandangan yang sungguh luar biasa, dengan blazer dan blouse hitam, tetapi bagian bawah nya sama sekali tak terlindungi sehelai benang pun. Cik Annie memejamkan matanya lagi, sementara pahanya kini membuka lebar, dan high heelnya menghentak lantai hotel yang terbuat dari kayu.
Aku mulai membelai kelentit Cik Annie, kemudian dengan kedua jempolku, kubuka lebar liang kemaluannya. Lidahku membelai lubang itu dengan satu usapan.
“Aaaaahhh….. nah, that’s right, tiger…. Do it tiger!” Cik Annie sudah mulai meracau, padahal baru satu jilatan. Libidoku mulai naik, dan kini kujilati dengan liar liang kemaluan itu.
“Aaaahh…. Riki…. Damn good rikiii…. Ya riki, eeemmmmhhhh….” Racau Cik Annie. Tangannya mulai mendorong kepalaku untuk semakin tenggelam di pangkal pahanya. Lidahku pun semakin liar menjilati liang itu yang mulai terasa asin.
“Aaaah… rikiii…. Come onnnn… again…againnn… eat meee… eat my cunt…. Aaah aaah aaahhhh….” Cik Annie mulai bergetar liar. Kakinya mulai menghentak-hentak di lantai dan high-heelnya beradu dengan lantai kayu.
“Riki…. I’m goin to cum…. Aaaah…. Please rikiiii.. don’t stooooppp…. Aaaaaaahhhhhhh…” pinggul Cik Annie naik dan mengejang hebat selama 4 detik… kemudian terbaring lemas sambil nafasnya terengah engah… dia sudah mencapai puncak orgasme pertamanya.
“Riki… now get up, and sit on the bed” perintah Cik Annie. Aku menuruti perintahnya. Dia kemudian melepas ikat pinggangku dan mengikat tanganku ke belakang. Celana panjang dan celana dalamku pun dilepasnya.
“Oh Wow… so this is the monster… hahahaha…. “ kemudian Cik Annie mengangkangkan kedua kakinya dan mendudukiku. Dia membimbing batang kemaluanku untuk masuk ke liang kemaluannya. Aku secara spontan mendekatkan kepalaku payudara kirinya yang masih tertutup blazer dan blouse, tetapi kemudian Cik Annie menamparku.
“No, cowboy… don’t you dare… remember, I’m your boss here… hahahaha…” tawa Cik Annie denagn keras saat mencegahku mencium salah satu payudaranya, meskipun dia masih berpakaian lengkap di bagian atas.
Cik Annie menempelkan ujung batang penis ke liang kemaluannya. Dia mendorong badannya sedikit kebawah, sehingga batang penisku hanya menyentuh bibir liang kemaluannya saja, tanpa masuk sedikitpun. Aku pun menatap mata Cik Annie, menunggu supaya badannya segera didorong kebawah sehingga batang penisku dapat masuk lebih dalam lagi.
“Hehehehe… sudah ga sabar ya ki, mau masuk… There’s one condition. You have to say this. I’m sorry Cik Annie. I’m now your slave. Now say it!” perintah Cik Annie.
“I’m Sorry Cik Annie. I’m now your slave!.” Ucapku.
“Three Times!” perintah Cik Annie.
“I’m Sorry Cik Annie. I’m now your slave!”
“I’m Sorry Cik Annie. I’m now your slave!”
“I’m Sorry Cik Annie. I’m now your slave!” ucapku tiga kali.
“Hahahahaaaa….. yesss… “ tawa Cik Annie dengan bengisnya. Kemudian secara perlahan-lahan dia mulai menurunkan badannya, dan batang penisku mulai masuk ke dalam liang kemaluannya lebih dalam lagi.
“Aaaaaahhh…. Rikii…. Oooh myy…. Mmmmm……” pinggul Cik Annie naik turun, suara berdecak-decak akibat batang penisku yang beradu dengan liang kemaluannya mengiringi suara lenguhan-lenguhan nikmat Cik Annie. Dia mulai mempercepat ritme gerakannya, dan kini memelukku erat.
“Rikiii… oooh ooohhh ohhh…. Aaaaaaahhh….. mmmmhhh…. Aaah aaah rikiiiii honeyyy….. aaahh” racau Cik Annie. Matanya sudah terpejam, bibirnya bergetar.
“Rikiii… aku mau sampai…. Aaaahh… aaaaaaaaaaaahhhhhhh rikiiiiiii….. mmmhhh mmmhhh mmmhh…” pantat Cik Annie mulai bergerak naik turun dengan cepat. Akupun sudah tak dapat menahan bendunganorgasme yang sebentar lagi sampai.
“Rikiiiiiiiiiiiiiii….. aaaaaaaaa iii’m cummiiiinnnnnn….. aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh…..” badan Cik Annie menggelinjang hebat, matanya terpejam dan kepalanya menoleh ke kiri belakang, serta tangannya memeluk kepalaku dengan erat. Tanganku yang terikat ikat pinggang pun ikut bergetar karena menahan nikmat. Cairan orgasmeku beradu dengan cairan ejakulasi dari Cik Annie.
Beberapa saat kemudian Cik Annie memelukku dengan lemas, liang kemaluannya masih menelan batang penisku yang masih keras. Cik Annie sepertinya sangat kelelahan dan tak mampu melanjutkan lagi. Dia kemudian bangun, melepas ikatan di tanganku, kemudian langsung beranjak ke kamar mandi. Akupun segera mengambil tissue untuk mengelap batang penisku, kemudian segera berpakaian.
“Riki, dinner at 08.00 pm sharp. OK!” perintah Cik Annie setelah keluar dari kamar mandi. Pemandangan itu masih luar biasa bagiku, dengan bagian atas yang masih mengenakan blazer dan blouse, sementara bagian bawahnya telanjang bulat tetapi masih memakai high heel.
“Ok cik” balasku, seakan-akan tahu isyarat bahwa aku harus segera pergi dari kamar itu. Akupun langsung menuju ke pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke kamar ku yang berjarak sekitar 5 kamar dari Cik Annie.
Saat hendak terbaring tidur, aku membuka handphone ku dan menghidupkan fitur Wi-Fi nya. Sesaat kemudian masuk email dari Cik Annie di handphone ku.
From: Annie Tanuwidjaya
To: Riki Waworuntu
Date: July 2, 2013, 03:37:02 pm
Hi Riki… smart boy… thanks for today. You’re doing great.
For tonight’s dinner, please dress up properly, with a business suit like what you wore this morning. But, one thing… don’t wear any underwear, okayy!
See ya at 8 pm sharp!
Regards
Annie
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar