Cerita Eksibisionis Naya : 9 Oh Dinda

original stories (by anonymous)

Hari itu perasaanku benar-benar tidak karuan. Aku merasa sangat bersalah dengan apa yang kulakukan semalam. Di lain hal, aku juga merasa bingung dengan apa yang dilakukan Naya terhadapku. Jika Naya benar-benar marah, kenapa dia malah mencium bibirku? Tentu aku juga senang karena akhirnya aku dapat merasakan kelembutan bibir mungil Naya. Begitulah perasaanku saat ini, begitu campur aduk dan ditambah rasa kesepian setelah Naya pergi.

Ketika aku masuk ke kamarku, kudapati barang-barang milik Naya masih berada pada tempatnya. Itu berarti Naya tidak akan lama pergi dari rumah ini. Bahkan ada satu koper yang dalam kondisi masih terbuka. Sepertinya Naya buru-buru sehingga lupa untuk menutup koper itu kembali. Aku pun mendekati koper tersebut.

Koper tersebut berisi berbagai pakaian Naya. Dan yang paling menarik perhatian adalah salah satu sisi koper tersebut berisi tumpukan pakaian dalam Naya. Yah, meski aku sudah pernah melihat tubuh Naya tidak tertutup pakaian sehelaipun, bisa melihat dan bahkan menyentuh pakaian dalam yang biasa digunakan Naya adalah suatu kesenangan sendiri. Namun anehnya, menurutku jumlah pakaian dalam Naya terbilang banyak untuk ukuran cewek yang jarang memakai pakaian dalam. Ah sial, penisku mulai bereaksi setelah mengingat bagaimana bentuk tubuh telanjang Naya. Segera kukeluarkan penisku yang memang dari semalam belum merasakan ejakulasi.

Sambil memainkan penisku, kuambil salah satu celana dalam dari koper tersebut. Setelah kubuka lipatannya, aku mendapati model celana dalam tersebut memiliki model yang menurutku sangatlah seksi. Entah bagaimana penampilan Naya ketika memakai celana dalam ini. Apalagi dengan bahan setipis ini, aku yakin delana dalam ini tidak dapat menutupi kemaluan Naya dengan sempurna. Tanpa sadar aku mulai menggosokan celana dalam Naya ke penisku. Seperti halnya yang kulakukan dengan pakaian dalam Naya yang tertinggal di rumahku, kugunakan penutup kemaluan Naya tersebut sebagai alat bantu onani. Namun aku mencoba berhati-hati dengan celana dalam ini, aku tidak mau meninggalkan noda pada celana dalamnya yang dapat membuat Naya curiga. Berbeda dengan pakaian dalam Naya yang tertinggal di rumahku, yang mana aku sengaja menggunakannya sebagai penampung spermaku, untuk kali ini aku tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mencucinya karena bisa saja Naya pulang sewaktu-waktu.

****

Sehari telah berlalu. Naya tidak kunjung pulang dan bahkan memberikan kabar. Aku telah mencoba menghubunginya, namun teleponku tidak pernah diangkat, dan chat tidak pernah dibalas. Sementara itu, teman-teman sekontrakanku sudah mulai berdatangan.

Sore itu, gerimis mulai mengguyur kotaku. Aku yang masih di kampus, bergegas untuk pulang sebelum hujan bertambah lebat. Namun sial, di tengah perjalanan, hujan lebat disertai angin datang dengan tiba-tiba. Langsung saja kutepikan motorku pada sebuah warung tenda pinggir jalan yang kebetulan sedang tutup untuk berteduh.

Karena jalan yang kulewati bukanlah jalan utama, maka sedikit sekali kendaraan yang melewati jalan tersebut. Kanan dan kiri jalanan ini hanyalah terdapat hamparan sawah. Meskipun 200 meter di depan sudah terdapat perkampungan, tetap saja suasana sepi menyelimuti jalanan ini. Ditambah lagi hari yang mulai gelap, membuatku berpikir untuk mengurungkan niatku berteduh, dan langsung melanjutkan perjalanan saja. Namun tiba-tiba sebuah motor matic yang datang dari arah yang sama denganku tadi berhenti di depanku. Sepertinya dia juga ingin berteduh. Ternyata motor matic tersebut dikendarai oleh seorang cewek SMA berjilbab. Dan ketika helmnya dibuka, ternyata sebuah wajah yang familiar yang berada di baliknya.


"Dinda?" kataku menyapa cewek tersebut.

"Lho? Kak Chandra?" jawab Dinda.

"Kamu dari mana sore-sore gini kok baru pulang?" tanyaku.

"Iya kak, tadi mampir ke rumah temen dulu. Mau pulang malah hujan... kakak juga mau pulang?" katanya.

"Iya, aku dari kampus... mau pulang juga... eh malah hujan.... padahal dikit lagi nyampe..." jawabku.

"Kakak gak bawa jas hujan?" tanyanya.

"Gak bawa din... tadi sempet kepikiran buat nerabas aja, lagian udah deket.... eh malah ketemu kamu disini..." kataku.

"Oh... yaudah kalo kakak mau nerabas hujannya, duluan aja gapapa..." katanya.

"Trus kamu? Bawa jas hujan?" tanyaku.

"Gak juga kak... mau nerabas hujan juga kayak kakak, tapi takut buku-bukunya basah.... ya terpaksa nunggu reda dulu deh..." jawabnya.

"Hmmmm gitu ya... yaudah kalo gitu aku temenin kamu aja lah..." kataku.

"Gausah kak... gak papa.... kakak kalo emang buru-buru, duluan aja..." katanya.

"Aku gak buru-buru kok din... lagian kasian kamunya, sendirian disini.... apalagi suasananya sepi kayak gini.... takutnya kamu kenapa-napa..." kataku.

"Duh... aku jadi gak enak sama kak chandra....." jawabnya.

"Gakpapa din... sini duduk disini aja... disitu nanti kecipratan air...." kataku mengajaknya untuk duduk bersamaku di sebuah kursi panjang.

Ketika Dinda mendekat, ada sebuah pemandangan yang tidak mungkin tidak menarik perhatianku. Adalah baju seragam OSIS yang kini dikenakannya, telah basah oleh air hujan. Dengan bahan yang agak tipis tersebut, membuatnya menjadi tembus pandang ketika terkena air. Dan tentu saja, tatapan mesumku mengarah menuju 2 buah gundukan indah yang dimiliki Dinda. Meskipun area tersebut sedikit tertutup oleh ujung jilbab yang dikenakannya, serta sebuah saku dengan logo OSIS yang sedikit membuatnya tidak terlalu jelas, namun aku dapat melihat dengan jelas sebuah warna yang mencolok tercetak jelas di balik bajunya. Sebuah warna biru muda yang berbentuk bulatan sesuai dengan bentuk 'benda' yang ditutupinya. Sepertinya Dinda tidak memakai dobelan baju lagi dibalik baju seragamnya, sehingga sebuah bra berwarna biru muda langsung terlihat jelas membayang dibalik baju seragamnya yang basah oleh air hujan.

"Kakak ngilatin apa?" celetuk Dinda tiba-tiba.

"Eh, anu.... kamu gak pake jaket? Baju kamu basah banget gitu..." tanyaku.

"Iya kak, aku gak bawa jaket...." jawabnya sambil membetulkan posisi jilbabnya, yang malah membuat area dadanya menjadi semakin terlihat. Entah Dinda sadar atau tidak jika bajunya menerawang seperti itu. Namun jika dia tahu, pasti Dinda akan menutupinya, bukan malah menyibak jilbabnya sehingga pemandangan tersebut menjadi semakin terlihat jelas.

"Ini padahal cuma kena hujan sebentar tapi... EH!" kata Dinda melanjutkan ucapannya tadi sambil tetap membetulkan jilbabnya. Namun sepertinya kali ini dia sadar ketika pandangannya melihat ke arah bajunya sendiri. Dengan sigap, dia langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Keliatan ya kak?" tanyanya sambil memasang muka terkejut.

Aku mengangguk mendengar pertanyaan polos dari Dinda tersebut.

"Maaf din.... aku gak sengaja liat tadi..." kataku.

"Keliatan banget ya?" tanyanya mencoba untuk lebih meyakinkan.

"Gak terlalu kok din... maaf lho..." jawabku.

"Iya gak papa kak... akunya aja yang ceroboh... untung kak chandra ingetin... kalo gak, orang lain ntar yang malah pada ngeliat..." katanya.

"Emang kamu gak pake rangkepan din?" tanyaku.

"Gak kak.... biasanya aku juga gini... gak tau kalo bakal kejadian kayak gini...." jawabnya.

"Emang kamu biasanya pake beha warna apa aja?" tanyaku. Entah setan mana yang membuat aku bertanya seperti itu.

"Kok kakak malah nanya warna beha?" Dinda balik tanya.

"Eh gak... maksud aku kalo kamu pakenya warna putih sih gakpapa kalo gak pake baju rangkap... kan jadi gak terlalu keliatan..." jawabku. Untung aja aku tidak nyeletuk tanya berapa ukuran branya, bisa panjang urusannya nanti.

"Oh gitu... macem-macem sih kak.... malahan sering yang warna, tapi biasanya gak keliatan juga... ini karna basah aja jadi keliatan... eh, kok malah bahas beha sih?" katanya.

"Eh maaf, malah bahas beha hahaha...... udah duduk aja sini... nanti lama-lama bajumu juga kering..." kataku.

Dinda pun duduk di sebelahku dengan tetap menyilangkan tangannya. Sebenarnya kursi yang kami duduki itu berukuran panjang. Tapi karena ujung kursi telah basah, maka Dinda memilih duduk sangat dekat denganku, bahkan sedikit memepetku.

Jujur saja, setelah melihat pemandangan tadi, penisku mulai memberontak. Apalagi ditambah sekarang Dinda duduk sangat dekat denganku, sehingga aku dapat mencium aroma parfum miliknya. Ingin sekali rasanya dengan hawa yang dingin ini aku mendekap tubuhnya.

"Kamu pulangnya sore banget kayak gini, emang orang tuamu gak khawatir?" tanyaku memecah suasana sepi.

"Papa mama lagi pergi 5 hari kak, makanya aku minta kak Naya buat nemenin di rumah..." jawabnya.

Naya! Bisa-bisanya aku hampir lupa dengan kabar Naya. Dinda memang memiliki daya tarik tersendiri untuk bisa membuatku lupa akan Naya. Selain kecantikan dan kepolosannya, suguhan 'pemandangan' seperti tadi memang dapat membuatku lupa akan segala hal.

"Oh iya! Gimana kabar Naya?" tanyaku antusias.

"Kak Naya baik-baik aja kok kak... kalian lagi berantem ya?" kata Dinda.

"Kok tau?"

"Kak Naya kemaren yang cerita...... udah... yang namanya pacaran pasti sering berantem kayak gitu..." katanya.

Pacaran. Dinda masih menganggap kalo aku berpacaran dengan Naya.

"Eh, kamu sendiri? udah punya pacar?" tanyaku.

Dinda hanya menggeleng dengan tersenyum manis.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kenapa apanya?" tanya Dinda membalas.

"Kenapa kamu gak punya pacar? kamu kan cantik... pasti banyak yang suka sama kamu..." kataku memuji kecantikannya.

Dinda tersipu malu.

"Makasih kak... hmmm... aku belum boleh pacaran sama papa kak..." jawabnya sambil malu-malu dengan kedua tangannya yang memainkan ujung jilbabnya.

"Bagus lah..." kataku.

"Kok bagus?" tanyanya.

"Ya bagus aja.... semoga nanti cowok yang beruntung itu bisa bahagiain kamu ya.... haha" kataku.

"Ah, kakak bisa aja..."

Tiba-tiba handphone Dinda yang berada di dalam tasnya berdering. Karena tasnya berada di bawah, dia menunduk untuk mengambilnya. Sehingga aku dapat melihat punggung Dinda yang memperlihatkan tali pembungkus payudaranya yang tercetak sangat jelas di balik seragam basahnya.

Dinda pun menjawab panggilan telepon tersebut, yang sepertinya dari Naya.

"...iya nih kak, aku kejebak hujan..." ucapan Dinda yang kudengar.

"...gak kok... ini aku sama..." lanjut ucap Dinda yang segera kupotong, dan memberinya isyarat untuk tidak bilang ke Naya jika dia sedang bersamaku.

"....sama temenku kak." lanjut Dinda.

Setelah beberapa percakapan, Dinda pun menutup teleponnya.

"Naya ya?" tanyaku.

"Iya kak..."

"Emang ada siapa aja di rumah?" tanyaku.

"Cuma kak Naya sama pembantu kak..."

"Eh, boleh gak nanti aku ikut ke rumahmu?" kataku.

"Boleh aja kak, kenapa nggak?" jawabnya.

"Kira-kira Naya marah gak ya?"

"Hahaha... gak tau kak... liat aja nanti..." katanya.

Suasana kembali hening ketika Dinda sibuk dengan handphonenya. Aku yang bingung, juga ikut-ikutan mengambil handphone untuk sekedar mengecek pesan. Aku berpura-pura memainkan handphoneku. Padahal, aku mencoba mencuri-curi kesempatan untuk memfoto Dinda. Karena sekarang ini kedua tangannya tidak lagi menutupi area dadanya, seharusnya dari arah sudut kamera handphoneku yang kupegang ini dapat menangkap 'penampakan' dari bra Dinda.

Sesaat kemudian, Dinda terlihat menggigil kedinginan.

"Kamu kedinginan din? sampe menggigil gitu?" tanyaku.

"Lumayan sih kak...." jawabnya.

"Itu udah gak lumayan lagi din... kamu menggigil gitu... pake aja nih jaketku." kataku sambil melepas jaket yang kukenakan.

"Gak usah kak... gak papa..." jawabnya.

"Gak usah gimana... itu baju kamu basah gitu... nanti masuk angin lho.... nih jaketku masih kering kok dalemnya... pake aja..." kataku memaksanya.

"Trus kakak gimana?" katanya.

"Udah pake aja... bajuku masih kering kok..." kataku sambil menyerahkan jaketku.

"Makasih kak... tapi..." katanya.

"Tapi kenapa?" tanyaku.

"Percuma pake jaket kak... kalo bajuku udah basah gini... tetep aja dingin..." katanya.

"Yaudah lepas aja bajumu... ganti pake jaket..." kataku.

Dinda sedikit terkejut dengan ucapanku.

"Ha? Mau ganti baju dimana kak?" tanyanya.

"Ya terpaksa disini din... dari jalan gak keliatan kok... lagian gak ada yang lewat juga" kataku.

Warung tenda ini memang dikelilingi oleh kain bekas spanduk partai. Hanya bagian depan saja uang tidak tertutup kain. Hanya saja terdapat gerobak jualan serta 2 motor kami yang setidaknya mengahalangi pandangan dari luar.

"Ya tapi kan ada kak chandra..." kata Dinda.

"Ya kan aku bisa balik badan din..." kataku.

"Tapi...." kata Dinda ragu.

"Yaudah, aku pindah sana deh, sekalian jaga-jaga kalo ada yang lewat..." kataku.

"Tapi kak chandra jangan noleh dulu kalo aku belum bilang boleh ya..."

"Iya dinda... iya..." kataku.

Aku pun beranjak menuju motorku, meninggalkan Dinda yang akan ganti baju. Tentu saja aku merencanakan sesuatu. Dengan bermodal handphone, akan kuulangi lagi metodeku yang kupakai untuk merekam Naya pada aktivitas Dinda ini. Aku pun duduk pada jok motorku sambil membelakanginya. Kuatur posisi handphoneku agar tidak diketahui ole Dinda. Ketika aku mengatur posisi, pandanganku tertuju pada spion motorku. Ya! Pantulan spion motorku mengarah langsung pada posisi Dinda! Sehingga selain dapat merekam aktivitasnya, aku juga dapat menontonnya secara langsung!

Dinda terlihat berdiri di sudut ujung warung tenda yang tertutup kain setinggi dada ini. Setelah meletakkan tasnya dan jaket yang kuberi pada sebuah kursi yang lain, dia lalu terlihat melihat kondisi sekitar, termasuk melihat kearahku. Namun sepertinya dia tidak menyadari keberadaan spion dan kamrea handphoneku, sehingga dia langsung melanjutkan aktivitasnya.

Tentu aku sangat berdebar-debar dengan apa yang akan aku liat sekarang ini. Penisku juga sudah mengeras dengan sempurna. Padahal aku belum melihat apa-apa.

Dan pertunjukan pun dimulai.

Namun yang kulihat Dinda tidak memulai membuka kancing bajunya. Dia malah terlihat berusaha meraih ujung rok panjangnya. Dan benar saja, dia menarik ujung rok abu-abu tersebut sampai ke pinggulnya! Tentu saja paha putih mulus langsung terpampang dengan jelas, serta salah satu bagian terpenting yang tidak mungkin dilewatkan, celana dalamnya. Celana dalam berwarna biru muda yang pastinya sepasang dengan bra yang dikenakannya.

Tak lama kemudian, kedua tangan Dinda langsung memegang ujung delana dalamnya, dan menurunkannya! Namun aku tidak dapat melihat dengan jelas kemaluan Dinda yang ditutupi oleh kain segitiga tersebut karena Dinda langsung berjongkok. Iya, sudah pasti dia ingin kencing.

Dari sudut ini, aku tidak dapat melihat vagina Dinda seperti apa. Aku hanya dapat melihat pahanya dari samping. Tapi aku tetap dapat melihat kucuran air kencing yang langsung membasahi tanah Pemandangan yang sungguh indah sekali.Namun tak seindah ketika Dinda menyelesaikan aktivitas kencingnya. Ya, dia bangkit untuk berdiri. Sambil tetap menggunakan tangannya untuk menahan rok panjangnya tetap di pinggul, akhirnya vagina indah milik Dinda terekspos dengan jelas. Berdirinya yang menghadapku, membuatku dapat melihat bagaimana keindahan bentuk vagina milik Dinda. Sebiuah lubang kemaluan yang dihiasi oleh rambut yang terbilang masih sedikit, berwarna putih bersih, serta dalam kondisi sedikit basah karena air kencingnya sendiri.

Sambil tetap berdiri seperti itu, Dinda terlihat bingung. Dia seperti mencari sesuatu. Hingga akhirnya celana dalam yang tadinya masih menyangkut di lututnya, dia biarkan celana dalam tersebut terjatuh ke ujung kakinya begitu saja. Dan dengan bantuan tangan kirinya, akhirnya celana dalam tersebut dapat lolos dari kedua kakinya yang masih mengenakan sepatu. Tetapi kenapa Dinda melepas celana dalamnya?

Rupanya setelah Dinda memungut celana dalamnya, dia gunakan untuk mengusap selangkangannya! Dia tadi pasti bingung harus memebersihkan kemaluannya menggunakan apa. Hingga akhirnya dia gunakan celana dalamnya sendiri untuk mengeringkan kemaluannya yang masih basah oleh air kencing. Lalu, apakah dia akan menggunakan celana dalamnya tersebut kembali? Ternyata tidak, dia meletakkan celana dalamnya ke kursi dan segera membetulkan posisi rok panjangnya kembali. Berarti, dia memilih untuk pulang sambil tidak mengenakan celana dalam!

Selanjutnya adalah adegan utamanya, yaitu mengganti baju seragamnya dengan jaketku. Dinda melepaskan kancing bajunya dari bawah, sehingga lama-kelamaan kulit putih perutnya mengintip dari balik bajunya. Setelah kancing terakhir lepas, tanpa melepas jilbabnya, dia langsung membuka bajunya. Sehingga akhirnya bra biru muda yang tadi hanya terlihat membayang dari balik bajunya, kini akhirnya terlihat. Model bra standar yang terlihat sangat pas menutupi bukit kembar milik Dinda.

Dinda terlihat kesulitan untuk meloloskan bajunya dari tangannya. Mungkin dikarenakan bajunya yang basah, menempel dengan kulitnya. Namun akhirnya bajunya lepas juga dari badannya. Sehingga terlihatlah tubuh seorang cewek SMA yang ramping, putih, dan hanya tertutup bra, sedangkan jilbab dan rok panjangnya masih dia pakai.

Tiba-tiba ada suara motor yang mendekat. Dengan panik, Dinda langsung berjongkok dan menyembunyikan tubuh telanjang dadanya semampunya. Untung saja motor tersebut hanya lewat. Kalau misal motor berhenti disini, apa yang bakal dipikirkan pengendara motor tersebut setalah melihat kondisi Dinda saat ini?

Merasa kembali aman, Dinda kembali berdiri. Namun bukannya mengambil jaketku, dia malah berusaha meraih kait branya. Iya, dia berusaha melepas branya! Kenapa dia lepas branya? Apakah branya juga ikut basah? Dan tanpa kesulitan bra tersebut terlepas dengan mudahnya. Memperlihatkan salah satu spot keindahan tubuh milik Dinda yang lain, apalagi kalau bukan dua buah gundukan daging yang menempel di tubuhnya tersebut, yang dihiasi oleh dua buah puting kecil berwarna coklat muda di ujungnya. Ukurannya tidak sebesar punya Naya, tapi terlihat sangat padat, dan pas dalam genggaman. Ah sial aku makin tidak kuat. Ingin rasanya aku segera memainkan penisku yang telah mengeras sempurna ini sekarang juga.

Sungguh pemandangan yang sangat tidak lazim, dimana ada seorang cewek SMA berjilbab,  bertelanjang dada, namun tetap mengenakan jilbab dan rok panjangnya, dan berada di tempat terbuka.

Dinda mulai mengambil jaketku dan mengenakannya. Jaket parasit tersebut terlalu besar untuk ukurannya, sehingga bentuk tubuhnya kini tidak lagi terlihat dari luar. Jika ada orang yang melihat, mereka pasti tidak menyangka jika Dinda tidak mengenakan apa-apa lagi di balik jaket tersebut.

"Kak..." ucap Dinda tiba-tiba.

"Ya din? Udah selesai?" jawabku.

"Belum kak... jangan noleh dulu..." katanya.

"Emang ada apa din?"

"Ini resleting jaketnya rusak ya?" kata Dinda.

"Gak kok.... cuma emang rada macet resletingnya..." jawabku.

"Susah kak... gak mau nutup...."

"Bisa kok... mau aku bantuin?" tawarku.

"Hmmmm..... bentar kak...."

Kutunggu beberapa saat. Sepertinya Dinda berusaha merapikan pakaian yang telah dilepasnya, terutama pakaian dalamnya. Mungkin agar aku tidak tahu jika Dinda sudah melepas pakaian dalamnya. Namun usahanya tersebut sia-sia, karena aku sudah melihat semuanya.

"Udah kak..." katanya.

"Udah nutup?"

"Belum... maksudnya kak chandra udah boleh kesini..."

"Oke... "

 Aku membalikkan badan dan berjalan mendekati Dinda. Langkahku sedikit aneh, karena ada sesuatu yang keras mengganjal di selangkanganku. jantungku juga main berdegup kencang ketika melihat Dinda dengan polosnya berdiri sambil tangannya mendekap dada memegangi jaket agar dapat menutupi tubuhnya meski resletingnya tidak menutup.

"Gakpapa nih din?" tanyaku ketika akan mengambil alih resleting jaket tersebut.

"Iya kak, gak papa"

"Oke, maaf ya..." kataku sambil berusaha menaikkan resleting jaket tersebut.

Kulihat kulit perutnya mengintip dari sela-sela jaket. Bahkan mataku juga dapat menangkap penampakan pusar miliknya. Jariku tidak sengaja menyentuh kulit perutnya ketika berusaha menaikkan resleting yang macet. Satu-dua kali jariku tidak sengaja menyentuhnya, Dinda tidak bereaksi apa-apa.

"Maaf din... gak sengaja..." kataku ketika jariku tidak sengaja menyentuh kulit perutnya.

"Iya, gak papa kak..." jawabnya.

Akhirnya reseltingnya sudah bisa naik mendekati area dibawah dadanya. Di bagian ini cuku sulit, sehingga aku mengeluarkan tenaga ekstra untuk menariknya. Ketika aku menarik resleting ke atas dengan sekuat tenaga, tiba-tiba resletingnya berhasil naik. Namun karena aku menariknya terlalu kuat, tanganku sampai-sampai tidak sengaja menyentuh payudara Dinda! Bahkan tidak hanya menyentuh, saking kuatnya aku mala terkesan menampar/meninju payudaranya.

"Duh, maaf-maaf din... aku gak sengaja..." kataku.

"Gak papa kak..."

"Serius gak papa?" tanyaku meyakinkan.

"Iya kak..."

"Tapi sakit gak?" kataku.

"Gak kok kak..."

"Maaf ya din... aku gak sengaja... aku cuma mau narik resleting aja tadi, eh malah jadi nyentuh 'itu'mu..." jelasku.

"Iya gak papa kok kak.... yang penting resletingnya udah bisa naik... makasih ya..." katanya.

Sialnya, kecelakaan barusan malah membuatku semakin tidak tahan lagi. Mau tidak mau, harus dituntaskan sekarang juga.

"Eh din, boleh gantian gak? Kamu kesana dulu..." kataku.

"Kakak mau ganti baju juga?"

"Gak din... aku mau pipis... udah kebelet..."

"Ooh... yaudah.. aku barusan juga pipis disitu kok.." katanya.

"Kamu barusan kencing?" tanyaku.

"Iya kak... hehe"

"Pantes lama... udah, kamu sana dulu ya... jangan ngintip..." kataku.

Dinda pun berjalan menuju motornya, dan duduk membelakangiku. Setelah aku pastikan spion motornya tidak mengarah ke arahku, segera kukeluarkan penisku. Bukan untuk kencing seperti yang kubilang ke Dinda, tapi untuk mengocoknya. Sengaja kuarahkan penisku ke arah Dinda yang membelakangiku. Dan tak membutuhkan waktu lama, aku telah mencapai ejakulasi. Beberapa semprotan pejuhku tersembur ke arah Dinda, namun kupastikan agar tidak mengenainya. Setelah keluar semuanya, aku melihat baju seragam Dinda masih tergeletak di kursi. Dan benar saja, dia menyembunyikan pakaian dalamnya di bawah baju seragamnya tersebut. Langsung saja kuambil celana dalamnya,an seperti biasa, kucoba menghipur aroma darinya. Memang tercium bau pesing dari celana dalamnya. Hingga akhirnya kugunakan celana dalam Dinda untuk membersihkan sisa pejuh yang masih menempel di penisku. Dinda tidak akan curiga dengan cairan pejuhku yang ada di celana dalamnya, karena dari awal memang celana dalam tersebut sudah basah. Baik basah karena air hujan, maupun basah karena air kencingnya.

Puas rasanya dapat onani di depan Dinda, serta dapat menyentuh, menyium, bahkan menggunakan celana dalamnya untuk memberihkan pejuhku. Setelah kukembalikan celana dalamnya seperti semula, aku pun menghampiri Dinda. Ketika kudekati Dinda dari belakang, aku melihat ada sesuatu yang aneh pada belakang pinggulnya. Resleting roknya ternyata terbuka! Karena tidak tidak memakai apa-apa lagi di balik roknya, tentu saja aku dapat melihat kulit bahkan belahan pantatnya! Ah sial, penisku kembali berdiri rupanya.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar