original stories (by anonymous)
Rok abu-abu yang dipakai Dinda memanglah rok yang panjang. Namun meski
panjang, model rok tersebut adalah model yang lumayan ketat pada area
pinggul dan pahanya. Aku yakin, jika Dinda memakai celana dalam,
pastilah garis celana dalamnya akan tercetak dengan jelas pada roknya.
Namun sekarang ini Dinda tidak lagi memakai celana dalam, dan reseleting
roknya dalam kondisi terbuka. Karena posisi duduknya, roknya mengetat
sehingga menarik kedua sisi resleting sehingga membuat celah yang cukup
lebar. Untung saja Dinda masih memakai ikat pinggang, kalau tidak, bisa
saja kancing roknya ikut lepas sehingga seluruh area pantatnya akan
terlihat.
Namun yang jadi pertanyaan, kapan Dinda menurunkan reseleting roknya
tersebut? Pada saat Dinda kencing dan melepas bajunya, Dinda hanya
menaikkan roknya. Tidak terlihat Dinda menurunkan resletingnya. Apakah
resletingnya turun sendiri? Ataukah resletingnya sudah terbuka sejak
Dinda datang tadi?
Aku yang berdiri di belakangnya tentu saja dilanda dilema. Apakah aku
harus memberitahunya? Ataukah sengaja membiarkannya dan menikmatinya
begitu saja? Jika aku memberitahunya, Dinda akan tahu jika aku telah
melihat bagian tubuhnya yang seharusnya tertutup tersebut, serta pasti
akan merasa malu jika ternyata aku tahu kalau dia tidak memakai celana
dalam. Tentu aku takut jika Dinda marah seperti Naya. Di sisi lain aku
juga menikmati pemandangan tersebut. Namun jika aku tidak
memberitahunya, tentu celah lebar tersebut akan jadi tontonan orang di
sepanjang jalan. Ah mungkin lebih baik aku biarkan saja. Lagipula hari
sudah mulai malam, mungkin tidak akan ada orang yang menyadarinya.
Hingga akhirnya hujan mulai reda ketika hari sudah malam.
"Udah reda nih... Yuk sebelum kemaleman..." kataku pada Dinda.
"Iya kak.... eh, kak chandra jadi ke rumahku?" tanyanya.
"Jadi.. Sambil nememin kamu juga, daripada sendirian..." jawabku.
"Aku udah biasa pulang malem kok kak... kakak mau mampir ke rumah kakak dulu atau langsung?"
"Langsung aja deh din, ntar malah lama lagi..."
"Oke.."
Kami pun menuju motor kami masing-masing. Kulihat Dinda mengenakan tas
ranselnya di depan. Padahal jika dia memakainya dipunggungnya, tas
tersebut bisa menutupi celah di roknya.
"Kok tasnya dipakai didepan din?" tanyaku.
"Biar anget kak... biar badan gak kena angin malam.... emang kenapa?" jawabnya.
"Oh gakpapa din, cuma nanya aja... eh, kamu depan ya... aku ngikutin dari belakang.." jawabku.
"Oke kak..." Dinda segera memacu motornya dan aku mengikuti di belakangnya.
Aku mengikuti laju motornya sambil sesekali mengawasi apakah ada yang
memperhatikan celah rok Dinda tersebut. Dari lalu lalang kendaraan yang
menyalip kami, sepertinya memang tidak ada yang menyadari adanya
pemandangan tersebut. Namun keadaan berbeda ketika kami harus berhenti
di sebuah lampu merah, yang kebetulan Dinda berada di barisan terdepan.
Aku sengaja mengambil posisi tepat di belakang Dinda meski sebenarnya
barisan depan masih muat untuk beberapa motor.
Sebuah motor berhenti di samping motor Dinda. Dari gerak-geriknya, aku
tahu jika dia menyadari ada penampakan tersebut. Dia terlihat terus
menatapnya.Aku sempat menduga jika pengendara motor tersebut akan terus
menikmati tontonan tersebut, namun apa yang akan dilakukannya
benar-benar di luar dugaanku.
Pengendara motor tersebut menepuk pundak Dinda, sehingga Dinda menoleh.
Aku tidak dapat mendengar apa yang diucapkan oleh pengendara tersebut,
namun dari gerak tangannya, dia sepertinya memberi tahu Dinda jika
resletingnya terbuka. Tentu aku sangat terkejut dengan apa yang
dilakukan pengendara motor tersebut. Apakah dia terlalu polos atau
terlalu jujur, yang jelas dia tidak sungkan mengatakan hal tersebut ke
Dinda.
Dan lebih parahnya lagi, Dinda merespon dengan langsung mencoba
menaikkan resletingnya tersebut. Dia agak kesulitan menaikkan
resletingnya karena mungkin agak macet. Gerak geriknya tersebut kini
malah menarik perhatian para pengendara motor yang berada di
belakangnya. Sehingga kini mereka tahu jika resleting rok Dinda terbuka.
Banyak dari meraka yang tertawa, saling berbisik, ada juga yang
pura-pura tidak melihatnya. Tapi intinya mereka sadar dengan adanya
pemandangan tersebut.
Mungkin hal ini tidak terlalu parah jika saja Dinda memakai pakaian
dalam. Namun karena perbuatannya tersebut, kulit pantatnya dapat
dinikmati oleh banyak orang. Entah apakah Dinda sadar akan hal itu atau
tidak.
Hingga lampu menjadi hijau, Dinda belum berhasil menutup resletingnya.
Seperti pengendara motor lain, Dinda tetap menjalankan motornya meski
resletingnya belum tertutup. Namun tidak lama kemudian Dinda menepikan
motornya. Sambil berpura-pura tidak tahu, aku pun menanyainya.
"Kenapa din?" tanyaku.
"Eeee... gapapa kak... cuma... resleting rok Dinda kebuka...." jawabnya.
"Kok bisa kebuka?" tanyaku.
"Gak tau kak... tiba-tiba aja tadi ada orang yang ngasih tau ke dinda kalo resletingnya kebuka..." jawabnya.
"Syukur deh ada yang ngasih tau... kalo gak kan bisa jadi tontonan banyak orang tuh..." kataku sambil mencoba bercanda.
"Tapi...." katanya.
"Tapi kenapa?"
"Resletingnya macet kak..."
"Iya kah? Mau coba aku bantuin?" tawarku.
"Eee.. gausah kak... biarin aja deh..." jawabnya. Dia pasti tidak mau
aku bantu karena dia takut jika nanti aku tahu kalau dia tidak memakai
celana dalam.
"Mmm.. yaudah... tasmu dipakai dibelakang aja din... biar ketutupan.." kataku.
Dinda menuruti saranku, dan kami pun melanjutkan perjalanan lagi.
****
Tidak lama kemudian, kami sudah tiba di rumah Dinda. Dinda turun dari motornya untuk membuka gerbang.
"Kamu tinggal sama siapa aja disini?" tanyaku sambil melihatnya mendorong gerbang besi rumahnya.
"Sama kak naya." jawabnya.
"Nggak, maksudnya....."
"Hehe becanda kak.... sama papa mama kak..." jawabnya.
"Kakak? Adek?" tanyaku.
"Gak punya kak..." jawabnya.
"Oh... anak tunggal ya..." kataku.
Perkataanku terpotong karena sekarang aku melihat Naya berdiri dibalik
gerbang. Dia nampak terkejut dengan kehadiranku. Dia memakai kaos lengan
panjang dan sebuah legging ketat. Aku yakin pakain tersebut adalah
punya Dinda karena terlihat kekecilan di badan Naya. Sedangkan pakaian
dalamnya? Aku tidak dapat memastikannya karena jarak kami masih terlalu
jauh. Namun dugaan awalku adalah Naya tidak memakai pakaian dalam
seperti kebiasaanya.
Aku terpaku di hadapannya bingung harus berbuat apa. Aku merasa seperti
baru bertemu dengannya dan tidak berani menyapanya. Ini tidak lain
karena aku merasa bersalah dengannya akibat kejadian malam itu.
"Chan? Ngapain disini?" tanya Naya. Aku tidak menyangka jika Naya akan menyapa terlebih dulu.
"Eeee... kebetulan tadi aku ketemu Dinda di jalan... terus..." kataku yang tiba-tiba disela oleh Dinda.
"terus minta ikut aku ke rumah kak.. katanya kangen sama kak naya.." celetuk Dinda.
"Apa sih din" kataku.
"Hehehe... aku masuk dulu ya kak..." kata Dinda sambil berlalu meninggalkan kami berdua.
Sial. Padahal ketika Naya menyapa lebih dulu tadi sebenarnya telah
memecahkan kecanggunganku. Namun ketika Dinda berkata seperti itu,
membuatku lebih canggung dari sebelumnya.
"Mmmm... mau masuk chan?" ucap Naya.
Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Naya menuju ke dalam rumah Dinda.
"Duduk dulu chan... mau minum apa?" tawarnya.
"Ee.. susu... kalo ada..." tiba-tiba saja aku keceplosan berkata susu,
karena aku melihat tonjolan puting Naya dari balik kaosnya. Iya,
sekarang aku dapat melihat dengan jelas kalau Naya tidak memakai bra.
"Mau panas apa es?" tawarnya lagi.
"Anget aja deh..." jawabku.
Aneh. Tidak terlihat tanda-tanda jika Naya masih marah kepadaku. Apakah
dia sudah memaafkanku? Atau dia cuma pura-pura baik dan akan
menumpahkannya minuman yang dibawanya ke mukaku? Ah aku mulai
membayangkan apa yang akan selanjutnya terjadi.
Tak lama kemudian Naya kembali dengan 2 gelas di tangannya. Setelah menaruhnya di meja, lantas Naya duduk di sebelahku.
"Nay, aku pengen ngomong sesuatu..."
"Udah kumaafin chan..." jawabnya tiba-tiba. Padahal aku belum mengatakan apa yang ingin kukatakan.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Kamu mau minta maaf kan? Udah kumaafin kok..." jawabnya.
"Kamu serius? Tapi..." kataku.
"Iya aku serius... lagian itu salahku kok..." katanya.
"Kok kamu yang salah? Kamu salah apa?" tanyaku.
"Dari awal aku sudah salah.... harusnya aku gak nunjukin kebiasaan burukku ke kamu..."
"Maksud kamu apa sih?" tanyaku.
"Kamu nyadar gak sih dari awal aku nginep di kontrakanmu, ada sesuatu yang aneh dari aku?"
"Ini soal kamu eksib itu?"
"Iya... kalo aja kemaren aku gak bugil di depan kamu... mungkin kamu gak bakal ngomong kayak gitu..." katanya.
"Iya... itu yang mau aku omongin... waktu itu otakku udah gak bisa mikir
jernih... makanya...." kataku yang segera dipotong oleh Naya.
"Yaudah makanya gausah diterusin... aku udah maafin... kamu gausah minta maaf lagi..."
"Kamu serius?"
"Iya chandra...."
"Oke kalo gitu... aku juga janji gak bakal ngomong kayak gitu lagi.... tapi ada satu hal lagi yang pengen aku tanyain..."
"Apa?"
"Kemaren sebelum kamu pergi... kamu... " ucapku.
"Nyium kamu." lanjutnya.
"Iya... kenapa?" tanyaku.
Naya terdiam dan tidak menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba Dinda datang menhampiri kami. Ah sial, Dinda mengganggu percakapan kami.
Kali ini Dinda sudah berganti baju. Dinda terlihat lebih seksi dengan
kaos lengan panjang serta celana panjang kain. Meskipun tidak ketat,
namun bentuk tubuhnya lebih terlihat daripada dia mengenakan seragam
sekolah. Namun yang membuatnya terlihat lebih seksi adalah karena kali
ini dia tidak mengenakan jilbabnya. Rambut panjangnya terlihat basah,
seprtinya dia baru keramas.
"Kak chandra kalo mau pake kamar mandi, pake yang di kamar Dinda aja ya... yang dibawah lagi gak bisa dipake..." kata Dinda.
"Ii..iiyaa din" jawabku.
****
Malam harinya, aku memutuskan untuk menginap di rumah Dinda. Setelah
diberi bantal dan selimut, aku disuruh tidur di ruang tengah. Sedangkan
Dinda dan Naya tidur sekamar di kamar Dinda.
Setelah mematikan lampu, aku mencoba tidur diatas sofa di ruang tengah.
Dinda dan Naya sudah masuk kamar dari tadi. Karena posisi tidurku yang
kurang nyaman, aku tidak dapat untuk tidur. Bahkan hampir sejam aku
tidak bisa tidur.
Ketika mencoba memejamkan mata, aku kaget karena tiba-tiba aku sekilas
melihat sesosok bayangan hitam di depanku. Karena suasana sangat seram,
kucoba pejamkan mataku, dan kugunakan selimut untuk menutupi kepalaku.
Dan... tiba-tiba ada sentuhan di pundakku.
"Chan? Udah tidur?" terdengar suara yang tidak asing bagiku. Aku pun langsung membuka selimutku.
"Naya? Ngagetin aja sih kamu... Aku kira setan tadi..." kataku.
"Hehehe... maaf-maaf...." katanya.
Dengan penerangan yang sedikit, kulihat Naya menggunakan selimut untuk
menyelimuti tubuhnya, berdiri di depanku. Suasananya memang sedang
dingin, wajar jika Naya sampai-sampai membawa selimutnya ketika menuju
kesini.
Naya lantas menyalakan televisi yang ada di ruang tengah agar dapat
sedikit menerangi kami. Volume suara tv pun dikecilkan agar tidak
membangunkan Dinda.
"Kamu ngapain disini?" tanyaku.
"Pengen ngobrol sama kamu... geser dong...." jawabnya. Aku bangkit dari posisi tidurku dan membiarkan Naya duduk di sebelahku.
Sesaat kemudian, kami malah terdiam. Hanya suara televisi yang terdengar di ruangan itu. Aku pun mencoba memecah kesunyian.
"Ngomong-ngomong... yang tadi belum kamu jawab..." kataku.
Naya tersenyum.
"Itu yang mau aku omongin chan..." katanya.
"Jadi..?" tanyaku.
"Menurutmu apa sih arti sebuah ciuman itu?" tanyanya.
"Hmmm.... kasih sayang? cinta?" jawabku.
"Trus kenapa kamu masih nanya kenapa aku nyium kamu?" katanya.
"Jadi... maksud kamu....?" aku terkejut mendengar jawaban Naya tersebut. Apakah ini berarti Naya menyukaiku?
"Haruskah aku nyium terus-terusan chan?" katanya sambil matanya menatap mataku dengan tajam.
"Ka..kaamu gak bercanda kan nay?"
Tiba-tiba Naya mendekatkan mukanya ke mukaku. Sesaat kemudian sebuah
ciuman mendarat di bibirku. Dapat kurasakan kelembutan bibir mungil Naya
di mulutku ketika bibr kami saling berpagutan.
"Menurutmu barusan aku bercanda?" tanyanya setelah melepaskan ciumannya.
Aku hanya menggeleng.
"Hmmm... boleh aku nyium kamu lagi?" tanyaku.
"Kenapa?"
"Buat ungkapan perasaanku..." kataku.
Naya tersenyum dan mendekatkan bibrnya lagi. Sehingga kami akhirnya kami berpagutan lagi.
"Udah ah chan... nanti kelewatan..." katanya sambil melepas ciumannya.
"Maaf..." jawabku.
Naya lanjut menyenderkan kepalanya di pundakku.
"Nay..."
"Ya?" jawabnya.
"Jadi... sekarang kita pacaran?" tanyaku.
"Haha... asalkan status pacar tidak merubah batasan-batasan antara kita... aku rasa sih gak masalah... hehe" jawabnya.
"Maksud kamu?" tanyaku.
"Chan... kamu udah ngeliat hal paling rahasia punyaku.... kamu udah tahu
kebiasaan anehku... kamu udah ngeliat segalanya.... aku pungen status
pacar bukan berarti kamu bisa berbuat lebih... aku pengen
batasan-batasan itu masih tetap ada..." jelas Naya.
"Aku paham nay.... aku janj..."
"Udah.. gausah janji-janji.... aku percaya kamu kok..." katanya setelah menyela perkataanku.
"Tapi nay... aku masih boleh..... ngeliat?" tanyaku bermaksud menanyakan apakah aku masih bisa melihat tubuh telanjangnya.
"Hahaha... chan... kamu gak minta aja pasti aku kasih kok.... kamu kan tahu kebiasaanku...." jawabnya.
"Hehehe... ngomong-ngomong kebiasaan.... biasanya kamu kalo tidur kan...." kataku.
"Aku kalo tidur kenapa?" tanyanya sambil perlahan membuka slimut yang
menutupi tubuhnya. Ya, dia tidak memakai apa-apa lagi di balik
selimutnya.
"Gapapa hehe...." jawabku sambil menatap tubuh bugilnya.
"Tuh kan aku kasih.... hehehe padahal kamu gak minta.... haha" katanya.
"Iya, makasih nay.... ngomong-ngomong aku juga boleh liat itunya? Kok
itunya gak ditutupin kayak kemaren?" tanyaku sambil menunjuk ke
kemaluannya.
"Ngapain aku tutupin, lama-lama kamu juga bakal ngeliat.... Liatin aja sepuasmu chan hehehe" katanya sambil membuka kakinya.
"Hmmmm.... aku boleh....." kataku sambil mengisyaratkan untuk mengeluarkan penisku.
"Keluarin aja, dari pada sakit chan... haha" jawabnya.
Dengan cekatan aku pun melepas celana jeans beserta celana dalamku
sekaligus. Terlihatlah penisku yang tegak sempurna. Setelah itu tanganku
pun mulai menunaikan tugasnya.
"Tapi nanti kalo Dinda kesini gimana?" tanyaku.
"Tenang... dia kalo udah tidur, susah bangunnya kok..." jawab Naya.
"Ngomong-ngomong soal Dinda...." kataku.
"Kenapa?"
"Kamu tidur bareng dia kan?" tanyaku.
"Oh... aku tahu maksud pertanyaanmu.... Iya chan, aku bugil..." jawabnya.
"Dindanya tahu kalo kamu tidurnya gak pake baju?" tanyaku.
"Ya tahu lah... sebelum tidur aku kan udah buka baju duluan...."
"Yang kemarebn di rumahku itu?" tanyaku.
"Hehe... itu aku boong... itu aku udah bugil sebelum Dinda tidur..." jawabnya.
"Apa kalian gak risih?"
"Gak chan.... Dinda udah tahu lama kok kalo aku punya kebiasaan
begitu... kita juga udah sering tidur bareng... jadi ya... biasa aja
gitu.." terangnya.
"Tapi Dindanya gak ikutan.... bugil kan?" tanyaku.
"Hmmmm.... yang itu rahasia chan... hahaha" jawabnya.
Aneh, jika Naya menjawab seperti itu, ada kemungkinan jika Dinda juga
ikutan telanjang. Karena jika tidak, dia cukup menjawab tidak.
"Hayo! Kamu ngebayangin Dinda gak pake baju ya? Dia masih pake baju kok chan... hahaha" celetuk Naya.
"Ah gak-gak.... ngapain.... lagian disini aku bisa liat yang sungguhan... ngapain bayangin yang lain...?" jawabku.
"Haha... jangan mikir yang aneh-aneh sama Dinda ya... kasian dia masih kecil..." katanya.
"Iya nay..." jawabku.
"Tapi dia tu gak sepolos yang kamu kira lho chan..." katanya.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Hahaha... rahasia..."
"Kamu ngelarang aku buat mikir yang aneh-aneh... tapi kamu bikin aku penasaran gitu..."
"Lama-lama mungkin kamu juga bakal tahu kok chan...." jawabnya.
Apakah maksud Naya adalah kalo Dinda suka masturbasi seperti yang
kulihat tadi sore? Apa Dinda juga punya kebiasaan eksibisionis seperti
Naya juga?
"Chan..."
"Ya...?"
"Soal kebiasaanku itu..." katanya.
"Kenapa?"
"Aku pengen kamu ngejaga aku..." katanya.
"Ngejaga kamu biar gak ngelakuin lagi?"
"Bukan... aku mungkin bakal sering ngelakuin hal-hal aneh itu.... aku
cuma pengen... kamu ngejaga aku kalo ada sesuatu hal yang terjadi
gara-gara aksiku ini...." terangnya.
"Aksi apa?"
"Ya kebiasaan 'pamer'ku ini chan..." jawabnya.
"Emang kamu mau ngapain? Mau bugil di mall? haha"
"Hahaha... ya siapa tahu chan... ahaha" jawabnya
Tak lama kemudian, aku pun mengalami ejakulasi. Sehingga pejuhku tercecer di lantai.
"Kamu bersihin sendiri lho lantainya..." kata Naya.
"Iya nay.."
"Udah kan? Aku balik ke kamar ya chan..." kata Naya.
"Eh nay, aku boleh pake kamar mandinya gak? Mau bersihin ini... sekalian pipis..." kataku.
"Kamu gak nyari alesan buat bisa liat Dinda tidur kan?"
"Gak nay... serius..."
"Yaudah ayok... pake celananya nanti aja... ahaha" katanya sambil berjalan menuju kamar Dinda di lantai 2.
Aku pun berjalan mengikuti tubuh telanjangnya. Sesuai perkataannya, aku tidak belum memakai celanaku lagi.
Sesampainya di depan kamar Dinda...
"Lho kamu gak pake celana beneran?" bisik Naya.
"Kan kata kamu..."
"Aku kan cuma becanda chan.... yaudah ayo masuk... jangan berisik ya... nanti dia bangun..." bisik Naya.
"Oke..: kataku pelan.
Kami pun masuk ke kamar Dinda. Akhirnya aku dapat melihat sosok Dinda ketika tidur. Kebetulan dia sedang tidak memakai selimut.
"Tuh kan... dia masih pake baju...." kata Naya.
Iya, Dinda masih pakai baju. Tapi baju tersebut hanyalah sebuah tanktop
kuning dan sebuah celana dalam putih! Posisi tidurnya membalakangi kami
sambil memeluk guling.
"Iya sih pake baju... tapi....." kataku.
"Sssst.. udah... jangan diliatin terus... sana kalo mau pipis.... "
bisik Naya sambil mendorongku ke arah kamar mandi yang ada di dalam
kamar Dinda.
Setelah kencing, Naya masih berdiri menungguku di depan kamar mandi.
"Udah?" tanya Naya.
"Udah nay..."
"Yaudah sana tidur...." katanya.
Aku pun beranjak keluar kamar.
"Eh bentar chan..." kata Naya sambil menarikku, san mencium bibirku.
Secara tidak sengaja, penisku menyentuh kulit pahanya.
"Oops... sorry.... gak sengaja" kataku setelah melepaskan ciuman.
"Haha... gakpapa... itumu emang nakal..." katanya.
"Yaudah... selamat malam sayang..." kataku.
"Malam juga sayang.... terima kasih ya...." jawabnya.
Home
Cerita Eksibisionis
Naya
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Naya : 10 The End Is The New Beginning
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
[g̲̅u̲̅e̲̅] suka critanya...Sru jg X ya...pnya pcr kyk sich naya...itu kisah nyata/fiktif
BalasHapus