Ingat janji kemarin bukan? kataku ke Ibu Deni. Ibu Deni menganggukan 
kepalanya tanpa berkomentar. Boni merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan
 dua buah walkie talkie. Satu walkie talkie diserahkan ke Ibu Deni, 
sementara satunya lagi ia pegang sendiri. Boni kemudian menekan tombol 
ON di walkie talkie miliknya. Bzzzzzz! Terdengar suara echo dari walkie 
talkie di tangannya dan di tangan Ibu Deni.
Bagus, komentarnya. Walkie talkie mainan ini bisa menangkap sinyal 
dalam radius hingga lima meter. Jadi kita tidak perlu berdekatan.
Nah, sahutku puas. Sekarang bibi harus berjalan melewati gang ini, 
terus saja, dan bibi harus melakukan apa saja yang kami katakana lewat 
walkie talkie ini. Bila tidak
 yah bibi tahu sendiri kan tentang video 
kemarin.
Ibu Deni memandang kami geram. Sudah lakukan saja sekarang! Semakin cepat semakin baik!
Oke oke, aku dan Boni tertawa.  Kami akan mengawasi dari belakang. 
Bibi dilarang menoleh ke belakang. Anggap saja kami tidak ada. Baiklah 
ayo kita mulai!
Ibu Deni segera berjalan menuju ke arah gang sempit yang dikelilingi 
oleh pagar beton milik rumah warga. Aku dan Boni mengikuti dari belakang
 dengan hati-hati. Oke, bibi silakan gulung kaos bibi sampai di atas 
pusar lalu ikat di samping, kataku melalui walkie talkie. Ibu Deni 
mengangguk tanda mengerti. Ia menggulung bagian bawah kaosnya ke atas. 
Setelah dirasa melewati pusarnya, ia mengikat gulungan kaosnya di 
samping kiri. Aku dan Boni bisa melihat punggung bawahnya yang mulus tak
 bercela dari belakang.
Dari arah berlawanan, terlihat dua bocah laki-laki sedang asik bermain 
kelereng di pinggiran jalan gang. Aku meraih walkie talkie. Ada dua 
bocah di depan, bibi harus bisa merayu mereka untuk memegang perut 
bibi, kataku. 
Ibu Deni memasukan kembali walkie talkie-nya ke dalam saku celana. Ia 
memandang kedua bocah itu dengan gugup.  Ia berjalan perlahan-lahan 
mendekati kedua bocah yang asik melempar bola-bola kelerengnya. Setelah 
cukup dekat dengan kedua bocah tersebut, Ibu Deni menepuk pundak salah 
satu dari mereka. Wah ada apa ya bi? tanya salah satu bocah itu. Ia 
menjatuhkan kelerengnya karena terpana dengan penampakan di depannya. 
Bibi seksi betul! pujinya seraya menelan ludah.
Jadi
 ngg
 begini
 kata Ibu Deni gugup. Bibi mau minta tolong kalian berdua.
Minta tolong apa bi? tanya mereka serempak.
Bisa tolong elus perut bibi? pinta Ibu Deni sambil mengusap perutnya 
yang tak tertutup pakaian. Kedua bocah itu saling berpandangan dengan 
ragu. Tentu saja bisa! sahut mereka. Kedua tangan mereka mulai 
bergerak mengusap perut Ibu Deni yang terlihat kencang. Tubuh Ibu Deni 
menggigil geli. Ketika salah satu tangan bocah itu menyentuh pusarnya, 
ia spontan mendesah. Aaaah
 erangnya. 
Tangan-tangan kedua bocah itu semakin menggerilya; tidak hanya mengusap 
perut Ibu Deni, mereka juga memasukan tangan mereka di sela-sela celana 
pendek Ibu Deni. Aku bisa melihat salah satu tangan bocah itu masuk di 
antara belahan pantat Ibu Deni. Setelah dua puluh menit berselang, aku 
menyalakan walkie talkie dan menyuruhnya berhenti. Sudah cukup, kata 
Ibu Deni terengah-engah. Ia membetulkan letak celananya yang sedikit 
turun akibat tingkah kedua bocah tersebut. Bibi harus melanjutkan 
perjalanan lagi, kalian lanjutkan permainan kalian, katanya sembari 
beranjak pergi. Kedua bocah itu tampak tak puas. Mereka memandang Ibu 
Deni sambil bergumam tak jelas.
Aku dan Boni menyelinap di antara tumpukan kardus bekas sambil terus 
mengawasi Ibu Deni dari belakang. Jalan di gang ini cukup panjang dengan
 tembok beton yang tingginya hampir setinggi orang dewasa. Lagipula di 
ujung jalan ini agak tertutup oleh tikungan tajam sehingga hanya warga 
sekitar sini saja yang mengetahui jalan ini. Tempat yang cocok untuk 
mengadakan pameran berjalan.
Sekarang, ayo turunkan bagian belakang celana bibi sampai di bawah 
pantat, perintahku. Sempaknya juga? ia sedikit ragu. Jelas saja iya,
 turunkan sampai aku benar-benar bisa melihat pantat  bibi, kataku. Ibu
 Deni melihat ke sekelilingnya. Suasana sangat sepi padahal ini 
menjelang sore. ia kemudian membuka resleting celana pendeknya lalu 
menurunkan bagian belakang celananya termasuk sempaknya. Setelah kedua 
bongkahan pantatnya benar-benar menyembul seutuhnya, ia mengancingkan 
kembali kancing celananya. 
Baru saja ia mengancingkan celananya, tiba-tiba terdengar dentingan 
suara sendok yang dipukulkan ke mangkok. Teng teng teng! Suara dentingan
 itu semakin mendekat. Dari kejauhan muncul sebuah gerobak bakso yang 
mendekati Ibu Deni dengan kecepatan cukup tinggi. Rupanya sebuah gerobak
 bakso yang dilengkapi dengan sepeda. Ibu Deni reflek menaikan kembali 
celananya. JANGAN! teriakku dari walkie talkie. Ia mengurungkan 
niatnya dan tetap berdiri di tempatnya.
Gerobak bakso itu ternyata berhenti sekitar beberapa meter dari tempat 
Ibu Deni. Tukang bakso itu turun dari gerobaknya dan memasang payung 
besar yang dibentangkan di atas gerobaknya agar tidak kepanasan.  
Rupanya ia sedang menunggu pembeli. 
Sekarang bibi harus menggoda tukang bakso itu, kataku lagi. Bibi 
cukup bilang  mas pantatku gatal nih, minta tolong garukin dong
Gila kalian, seru Ibu Deni kesal. 
Eits menghina kami? Berarti bibi harus menungging saat tukang bakso itu
 menggaruk pantat bibi. Bibi juga harus melebarkan belahan pantat bibi 
sampai anusnya kelihatan.
Tapi
Gak ada tapi. Cepat lakukan.
Aku menutup walkie talkie dan mengamati Ibu Deni. Ia terlihat sangat 
gelisah. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati tukang bakso yang 
sedang mengelap mangkok-mangkoknya. Mas
 sahut Ibu Deni malu-malu. 
Mau beli baksonya mbak? tanya si tukang bakso datar. Rupanya ia belum 
menyadari bagian belakang Ibu Deni. Ah gini mas, aku mau minta tolong 
sama masnya, ujar Ibu Deni. Wah minta tolong apa ya mbak? tanya si 
tukang bakso bingung. Ibu Deni menarik napas dalam-dalam lalu berujar: 
Bisa tolong garukin pantatku?
Ibu Deni memutar tubuhnya dan menunggingkan pantatnya. Ia juga 
melebarkan belahan pantatnya dengan kedua tangannya sampai anusnya yang 
kecokelatan terlihat menganga. Tukang bakso itu begitu kagetnya dengan 
kelakuan Ibu Deni sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari tempatnya 
berdiri. 
Ap
apa yang mbak lakukan? ia memandang pantat Ibu Deni tanpa berkedip.
Cepat mas garukin, kata Ibu Deni dengan wajah memerah.
Si tukang bakso tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia segera meraih 
bongkahan pantat Ibu Deni lalu meremasnya. Celakanya, saat tukang bakso 
itu berusaha meremas, celana Ibu Deni meluncur turun hingga ia 
benar-benar tidak memakai celana. Kyaaaa! teriak Ibu Deni sambil 
menutupi memeknya. Karena tangannya gantian menutupi memeknya, belahan 
pantat Ibu Deni menutup kembali. Tukang bakso itu menahan pantat Ibu 
Deni lalu membuka lebar-lebar lubang pantatnya sampai lebih lebar dari 
sebelumnya.
Yang
 yang mana yang gatal mbak? tanya si tukang bakso penuh nafsu. 
Yang mana saja, jawab Ibu Deni sambil memejamkan matanya menahan malu. 
Bukannya menggaruk, tukang bakso itu malah membenamkan jari telunjuknya 
ke dalam anus dan jari tengahnya ke memek Ibu Deni. Tubuh Ibu Deni 
mengejang kesakitan. Tukang bakso itu menggerakan jari jemarinya keluar 
masuk. Tangan lainnya ia gunakan untuk tetap memperlebar belahan pantat 
Ibu Deni. Tak lama kemudian, cairan bening mengalir dari memeknya dan 
turun perlahan-lahan di kedua kaki Ibu Deni. Ia mengejang lagi, lalu ia 
mendesah agak keras, Ough
Tubuh Ibu Deni mulai melemah. Sepertinya ia sudah orgasme. Aku 
menyalakan tombol ON di walkie talkie dua kali tanda berhenti. Ibu Deni 
segera meraih tangan si tukang bakso. Lepaskan, katanya. Tukang bakso 
itu menurut dan mencabut jari-jarinya dari dalam lubang pantat dan memek
 Ibu Deni.
Lain kali ngentot yuk, kata si tukang bakso dengan penuh harap.
Tidak. Terima kash, ujar Ibu Deni sambil mengenakan kembali celana 
pendeknya. Ia menyibak rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya yang 
tirus. Tukang bakso itu terus menatap Ibu Deni dengan kagum. Berapa 
nomor teleponmu? tukang bakso itu masih saja bertanya.
Itu rahasia, jawab Ibu Deni. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang 
berada di atas gerobak bakso lalu mengelap kedua kakinya yang jenjang 
agar tidak ada cairan yang menempel. Setelah dirasa beres, Ibu Deni 
meninggalkan si tukang bakso yang masih memandangi bokong Ibu Deni yang 
kini tertutupi celana.
Aku dan Boni hampir saja tertawa terbahak-bahak kalau saja aku tidak 
segera menyadarinya. Kami nyaris saja ketinggalan jauh dari Ibu Deni. 
Aku dan Boni langsung bergegas mengikuti sambil memasang wajah pura-pura
 tidak tahu saat melewati si tukang bakso yang masih tersenyum-senyum 
sendiri. 
Akhirnya kami tiba di ujung jalan gang. Jalannya sekarang terasa lebih 
longgar dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap saja sepi. Di ujung jalan 
ini adalah jalan raya, kami bisa mendengar suara kendaraan yang saling 
melintas. 
Astaga! Itu Deni! kata Boni sambil menunjuk ke depan. Aku memicingkan 
mata. Benar. Deni tampak sedang berjalan kaki bersama ketiga temannya. 
Mereka sepertinya baru saja selesai bermain sepak bola, itu bisa dilihat
 dari pakaian mereka yang kotor oleh lumpur. Ibu Deni terpaku melihat 
anaknya. Untungnya Deni masih belum menyadari kehadiran ibunya.
Ini tugas terakhir, kataku. Lalu aku mengatakan ke Ibu Deni lewat walkie talkie.
Be
 betulkah aku harus begitu
 suara Ibu Deni terdengar gemetar saat 
mendengar perintahku. Aku mengiyakan. Tugas terakhir untuk hari ini. 
Tapi bukan yang benar-benar terakhir. Setelah ini bibi bisa 
beristirahat, kataku kalem.
Ibu Deni menaruh walkie takie-nya ke atas drum kosong di sampingnya. 
Lantas, ia melepas celana pendeknya sekaligus sempaknya lalu menaruhnya 
di atas drum itu juga. Kemudian ia menggulung kaosnya lebih tinggi lagi 
hingga melewati teteknya yang masih terbungkus beha berwarna ungu. 
Dengan sekali gerakan, ia melepas kait behanya dan kedua teteknya yang 
tadinya tertahan oleh beha kini jatuh menggantung di dadanya. Kedua 
putingnya sudah bulat sempurna seakan-akan siap dihisap.
Ia benar-benar hampir telanjang bulat. Pakaian yang menempel di tubuhnya
 cuma kaosnya yang tergulung sampai di atas teteknya, sementara tetek 
dan memeknya yang tanpa jembut terlihat polos tanpa penutup. Ibu Deni 
menarik napas panjang lagi dan melangkah maju mendekati anaknya.
Wwwooowww
 coba lihat ke depan, kata salah satu teman Deni sambil 
menganga tak percaya. Deni dan ketiga temannya langsung berhenti dan 
mengamati sesosok wanita setengah telanjang yang mendekati mereka.
Loh ma
 mama ngapain kok telanjang kayak gitu?! seru Deni kaget saat 
menyadari bahwa wanita itu ternyata ibunya. Ibu Deni menundukkan 
kepalanya karena malu. Mama mau menjemput kamu nak. Ayo kita pulang, 
kata Ibu Deni dengan suara nyaris terisak.
Tapi
 tapi pakaian mama
 kata Deni terbata-bata. Ketiga temannya 
menatap Ibu Deni dengan wajah mupeng. Hehehe, bibi keterlaluan 
beraninya, kata mereka.
Tidak ada tapi tapi, ayo pulang, kata Ibu Deni. Oh ya, untuk 
teman-temannya Deni, bibi mau menunjukkan sesuatu sebagai tanda 
terimakasih karena sudah menjadi teman Deni selama ini.
Ibu Deni segera membalikan badan dan mengarahkan pantatnya ke arah Deni 
dan ketiga temannya lalu membuka lebar lubang pantatnya dengan 
menggunakan kedua tangannya. Deni dan ketiga temannya terpana 
melihatnya.
Nah silakan dilihat sepuasnya, kata Ibu Deni sambil menangis.
MAMA! teriak Deni.
Melihat itu, aku dan Boni saling bersalaman dan tertawa cekikikan. Misi hari ini selesai dengan sangat sempurna.
                                        Home
                                      
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 6
Langganan:
Posting Komentar
                            (
                            Atom
                            )
                          
0 komentar:
Posting Komentar