Deni meninju perutku keras-keras. Tubuhku sampai terdorong ke dinding 
kelas. Aku bisa merasakan cairan asam lambung yang naik ke 
tenggorokanku. Aku jatuh tersungkur di lantai. Tidak ada yang menolong, 
tidak ada yang menonton. Hanya tanaman-tanaman hias di kebun halaman 
belakang sekolah saja yang terus menyaksikan kami dengan membisu.
Ingat ya bangsat! seru Deni sambil menarik kerah bajuku. Lain kali 
kalau aku minta uang, ya berarti kamu harus serahkan semua uang yang 
kamu punya! Bodo amat kamu mati kelaparan atau tidak!
Aku terus saja diam. Aku yakin aku bakal mati hari ini, tetapi bayangan 
gelap di wajah Deni tahu-tahu sudah hilang dan tergantikan dengan sinar 
matahari siang yang mengintip dari rimbunan daun pohon nangka.
Rupanya aku pingsan.
Sambil memegangi perutku yang mual, aku berusaha berjalan menuju ruang 
kelas. Halaman belakang sekolah terlihat sepi karena memang tidak ada 
yang menarik untuk dilihat kecuali kamu adalah penggemar berat tanaman 
hias. Jam digital berbentuk wajah Mickey Mouse di tanganku menunjukkan 
pukul 12.45 pm, berarti aku pingsan sekitar sepuluh menit. Lima belas 
menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Aku harus masuk kelas sebelum 
terlambat. 
Kau baik-baik saja? tanya Boni khawatir. Aku berusaha kuat sambil 
menahan sakit di perutku yang kini sudah agak berkurang. Tidak apa-apa.
 Ada sedikit masalah dengan Deni tadi, jawabku.
Astaga! Kau berkelahi dengannya? seru Boni tak percaya. Siapa pun 
yang berkelahi dengannya pasti langsung tidak masuk sekolah seminggu! 
Kau baiknya tidak cari masalah dengan anak kelas lima itu.
Setiap laki-laki pasti berkelahi, kataku. Aku berpikir sejenak. Hei bukankah Deni tetanggamu? Bagaiamana penampilan ibunya?
Boni menatap ke atas seraya berpikir. Ibu Deni lumayan menarik. 
Rambutnya dipotong pendek dibawah lehernya, agak gemuk, tetapi ukuran 
dada dan pantatnya cukup membuat siapa saja menoleh. Kalau kau tahu 
maksudku.
Aku mengangguk-anggukan kepala. Kemudian aku membisikan sesuatu ke Boni.
 Boni melotot ke arahku, tetapi kemudian ia juga mengangguk-anggukan 
kepala. Oke, sepulang sekolah ini kita akan ke rumahnya. Deni juga 
selalu bermain sepak bola setiap pulang sekolah dan pulang ketika sore. 
Aku akan membawa ponsel ibuku nanti.
Begitu bel waktu pulang sekolah berbunyi, kami langsung berlari-lari 
kecil menuju ke rumah Deni. Rumah Deni cukup besar dan halamannya cukup 
luas dengan sebuah kolam ikan hias kecil di tengahnya. Aku duduk di 
dekat pagar sembari menunggu Boni yang mampir dulu ke rumahnya untuk 
mengambil ponsel ibunya. Tak lama kemudian Boni pun muncul dari balik 
pagar sembari mengayun-ayunkan ponsel ibunya. Kami lalu bergegas masuk 
ke halaman rumah Deni melalui pintu pagar di halaman belakang.
Kami tidak perlu khawatir ada yang melihat kami menyelinap masuk ke 
halaman rumah Deni karena pagar halaman rumahnya cukup melindungi kami 
dari pandangan luar. Aku mengintip ke dalam rumah Deni lewat sebuah 
jendela yang terbuka sedikit. Tidak ada siapa-siapa.
Aman, kataku.
Boni menggerak-gerakan ganggang pintu yang sepertinya merupakan jalan 
masuk ke dapur. Dikunci dari dalam, bisiknya. Aku mengintip di lubang 
kunci yang berukuran besar tersebut. Sepertinya batang kuncinya 
dibiarkan masuk ke dalam lubang kunci. Aku buka tas ranselku dan 
mengambil beberapa kertas dari buku gambar yang berukuran lebar lalu 
menaruhnya di celah bawah pintu. Kemudian aku memasukkan pensil ke 
lubang kunci dan mendorongnya.
Pluk! Terdengar suara batang kunci yang jatuh. Aku cepat-cepat menarik 
kertas di bawah celah pintu dan kunci itu pun aku dapatkan. Cerdas! 
seru Boni tertahan. Aku menaikkan dagu dengan sombong. Dengan kunci itu,
 kami bisa membuka pintu dapur dan kami buru-buru masuk ke dalam.
Suasana dapur itu sedikit menyeramkan karena lampu-lampunya dimatikan 
dan hanya ada seberkas cahaya matahari saja yang merembet masuk ke dalam
 melalui celah ventilasi udara. Kami merangkak masuk menuju ke ruang 
tamu. Dari kejuhan terdengar suara televisi yang menyala dan suara 
dengkuran seseorang. Karena Boni sudah pernah berada di rumah ini 
sebelumnya, aku cukup mengikutinya dari belakang.
Itu ibunya, bisik Boni. Sesuai dugaan, ini adalah jam tidur siangnya.
Aku menatap tubuh seorang wanita berambut pendek seleher yang sedang 
tertidur pulas di sofa dengan hanya mengenakan celana hotpants ketat 
berwarna hitam dan tanktop merah muda. Wajahnya cantik juga; hidungnya 
mancung dan bibirnya tertutup walau sesekali mendengkur. Ibu Deni jelas 
seorang yang pandai merawat dirinya. Aku bisa melihat dari kulit 
wajahnya yang tanpa kerutan dan masih terlihat kencang.
Oke siapkan ponselmu, aku memberi aba-aba. Aku membuka baju seragam 
sekolahku dan menggulungnya kecil-kecil hingga menyerupai seutas tali. 
Dengan sangat perlahan, aku mengangkat tangan kanan Ibu Deni yang 
tersampir di pinggangnya. Untung saja ia tidur dalam keadaan miring ke 
kiri, jadi aku bisa melakukannya dengan mudah. 
Yang sulit justru menarik tangan kirinya yang tertindih oleh tubuhnya 
sendiri agar bisa berada di belakang bersama dengan tangan kanannya. 
Boni membantuku dengan mengangkat tubuh Ibu Deni sampai pinggangnya 
terangkat beberapa senti dari sofa. Aku langsung menarik tangan kirinya 
secepat yang aku bisa. Hmmmm
 gumam Ibu Deni. Aku dan Boni menarik 
nafas. Misi ini bisa gagal total bila ia terbangun. Tapi kemudian Ibu 
Deni menarik nafas teratur kembali, aku dan boni menjadi lega. Kedua 
tangannya kini sudah berada di belakang tubuhnya. Aku mengikat kedua 
tangannya dengan menggunakan gulungan baju seragamku. Aku mengangguk 
puas.
Aku masukkan tanganku ke dalam tanktop Ibu Deni dan mencari-cari 
pentilnya. Teteknya cukup besar juga dan masih terbungkus beha, jadi 
agak sulit untuk meraba masuk ke dalam. Aha ini dia! kataku. Aku 
segera memencet gumpalan daging kenyal di antara jari jempol dan jari 
telunjukku. Ibu Deni sontak terbangun.
Ad
 ada apa ini? Eh kalian temannya Deni bukan? apa yang kalian lakukan
 di sini? ia terperangah. Ketika ia sadar kalau kedua tangannya 
terikat, ia langsung berusaha melepaskan diri. Kenapa aku diikat? 
Tolong!
Ibu jangan berteriak begitu, kataku tenang. Kalau ibu masih berniat 
berteriak, Boni akan meng-upload semua kejadian ini ke dunia maya.
Aku menunjuk ke arah Boni yang sedang memantau kami dengan kamera 
ponselnya yang menyala. Boni melihat balik ke arah kami berdua. Say 
hello! katanya terkekeh.
Ibu Deni akhirnya diam. Ia menatapku dan berkata, Jadi apa yang kalian malu?
Kami tidak mau apa-apa, jawabku. Kami hanya ingin Ibu Deni yang 
cantik ini bisa menuruti keinginan kami berdua. Apa pun keinginan itu.
Jelas saja aku tidak mau!
Ibu tidak punya pilihan apa-apa selain mau, kataku. Hanya dengan 
sekali tekan, maka video ini akan streaming ke seluruh dunia.
AKU TIDAK MAU!
Oke, Bon tekan tombolnya, kataku tajam.
Baik boss, tanggap Boni. Ia membuat gerakkan seakan-akan hendak menekan tombol ponselnya.
Tunggu! seru Ibu Deni. Wajahnya pucat pasi. Baiklah, akan aku turuti 
semua keinginan kalian. Ja
 jangan pernah tekan tombol streaming itu.
Apa saja? aku mencoba meyakinkan. Termasuk bugil di tempat umum?
Ibu Deni menghela nafas. Iya, selama itu masih wajar, jawabnya memelas.
Oke, deal! seruku sambil meremas-remas payudaranya. Sebenarnya tidak 
ada kata wajar di kepalaku. Kita akan bersenang-senang dengan sangat 
tidak wajar.
Aku raba-raba bagian memek Ibu Deni yang masih tertutupi celana 
hotpants. Saat jariku tepat mengenai belahan memeknya, aku segera 
menggesek-geseknya. Hhnngh
 desah Ibu Deni. Aku terus menggeseknya 
sampai celananya terasa lembap. Setelah dirasa cukup, kupelorotkan 
celananya sampai betis dan ah, Ibu Deni ternyata tidak memakai sempak.
Terus merekam, kataku ke Boni. Boni mengacungkan jempolnya sambil terus memfokuskan pandangan ke layar ponselnya. 
Berbeda dengan mama dan Ibu Boni, memek Ibu Deni dicukur habis hingga 
benar-benar bersih. Lubang memeknya terlihat menutup dan meneteskan 
sedikit cairan bening. Aku meraih ranselku dan mengambil sebuah timun 
yang ukurannya melebihi pergelangan tanganku. Aku memetiknya di kebun 
halaman belakang sekolah tadi saat jam pulang sekolah.
Aku duduki perut Ibu Deni dengan menghadap ke arah memeknya. Celananya 
sudah aku lepas dari kakinya sehingga kakinya bisa direnggangkan. Ia 
bisa saja menendang kami berdua, tapi ia tetap pasrah saat kedua kakinya
 aku perlebar sampai lubang memeknya ikut melebar. Ia pasti ingat 
ancamanku tidak main-main.
Aa... apa yang kamu lakukan? tanya Ibu Deni cemas saat melihatku 
mengarahkan ujung timun ke memeknya. Nah silakan menikmati produk 
sekolah kami, jawabku sambil menghujamkan timun itu ke dalam memeknya.
Aduh! erang Ibu Deni. Timun itu masuk sampai setengahnya dan memek Ibu
 Deni semakin melebar. Aku gesek-gesek timun tersebut sambil menjilati 
pinggiran memeknya yang kasar karena ada beberapa bulu kecil yang baru 
tumbuh. Aaaah
 jangan terlalu dalam, erangnya lagi. 
Aku biarkan timun itu berada di dalam memeknya. Kuputar tubuhku dan 
kutatap mata Ibu Deni yang memelas. Kaos tanktopnya aku sibak ke atas 
sampai ke atas payudaranya sampai teteknya menyembul keluar. Sebuah kait
 berwarna putih terletak di antara kedua pembungkus payudaranya. Kulepas
 kait itu dan
 Tak! Behanya otomatis terbuka dan kini tidak ada yang 
melindungi kedua tetek Ibu Deni yang bulat. Pentilnya seperti tenggelam 
di aerolanya. Jelas ia jarang dihisap. Aku tutul pentil kanannya dan Ibu
 Deni mengejang karena geli. 
Sayang sekali tetek sebagus ini jarang digunakan, kataku. Dengan 
lahap, kumasukkan pentil Ibu Deni ke dalam mulutku lalu kuhisap 
kuat-kuat. Sssss
hhhhh
 pelan-pelan, kata Ibu Deni sambil menutup 
salah satu matanya. Sembari menghisap, tanganku menarik-narik pentil 
lainnya. Pentilnya begitu kenyal dan lunak, aku harus berhati-hati agar 
jangan sampai menggigitnya terlalu keras.
Plop! Pentil Ibu Deni menyembul keluar ketika aku melepas mulutku. 
Pentilnya merekah dari dalam aerolanya dan sekarang terlihat merah 
kecokelatan. Aku berdiri sebentar dan menurunkan celanaku. Ibu Deni 
menatapku tak percaya. Oh tidak, jangan masukan kontol ke dalam 
memekku.
Siapa yang mau mengentot ibu? kataku sambil mengarahkan batang 
kontolku yang sudah mengeras ke mulutnya. Ibu Deni menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Ia terus menutup mulutnya saat ujung kontolku bersentuhan 
dengan bibirnya. Ayo bu buka mulutnya, kataku dengan sabar. Ia masih 
saja menutup mulutnya. Aku oles bibirnya dengan ujung kontolku. Kalau 
tidak mau, Boni akan.... aaaah
Mendadak Ibu Deni membuka mulutnya dan melahap batang kontolku. Lidahnya
 yang basah bermain-main di bagian bawah kontolku dan itu membuatku 
sampai menutup mata keenakan. Aku pompa pinggangku agar kontolku bisa 
keluar masuk di mulutnya. Semakin lama mulutnya semakin basah. Aku 
semakin mempercepat gerakanku.
Huuaah
 Ibu Deni melepas hisapannya dan meludahkan cairan spermaku 
dari mulutnya. Aku mengocok kontolku dan menumpahkan sisa sperma tepat 
di wajahnya. Spermaku mengalir dari pipinya yang tirus menuju ke 
bibirnya yang merah seperti bekas lipstick. Aku mengusap-ngusap 
pentilnya yang masih mengacung. Setelah puas, aku memakai kembali 
celanaku.
Boni merekam adegan itu sambil menganga. Aku menepuk pundaknya, ia 
terkejut dari lamunannya lalu mengacungkan jempol. Hebat bosku, 
katanya. 
Tak lama kemudian terdengar suara pintu pagar terbuka. Boni mengintip 
dari balik jendela. Deni sudah pulang! Ayo kita balik! serunya. Aku 
cepat-cepat merapikan bajuku. Setelah selesai, kami bergegas pergi.
Eh tunggu dulu! seru Ibu Deni. Lepaskan dulu ikatan ini, nanti anakku bisa kaget kalau melihatku seperti ini!
Aku tertawa mendengarnya. Lha memang itu tujuan kami kemari, kataku 
sembari berjalan menuju dapur. Aku dan Boni segera keluar melalui pintu 
dapur dan menunggu sebentar.
1
 2
 3
 Aku memberi aba-aba.
Lho i
 ibu sedang apa? kok ada timun di itunya ibu?! seru Deni dari 
dalam ruang tamu. Aku dan Boni tertawa cekikan. Boni memasukan kembali 
ponselnya ke dalam saku celananya. Sebenarnya kami berbohong soal akan 
men-streaming-kan adegan saat mencabuli Ibu Deni, tetapi dia tetap 
percaya pada kami. Tetapi Boni benar-benar merekam adegan itu. Dan 
kini, kita bisa memakai ibunya sebagai mainan baru. Enaknya besok kita 
apain yah? tanyaku. Boni berpikir sebentar.
Aha aku tahu!
      
     
     
                                        Home
                                      
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 5
Langganan:
Posting Komentar
                            (
                            Atom
                            )
                          
0 komentar:
Posting Komentar