Week end yang menyebalkan, akhir pekan ini aku kembali menjadi supir
buat mama, dan yang membuat tambah dongkol adalah membawa serta tante
Lia, kakak kandung mama yang cerewetnya luar biasa, kira-kira 2 level di
atas mama. Ia gak pernah kehabisan kata-kata untuk mengomentari dan
mengkritisi apapun dan siapapun, lebih dari seorang komentator sepakbola
profesional. Walau ada juga sisi baiknya sih, beliau cukup royal untuk
memberiku tambahan uang saku. Sabtu ini mama mengajakku ke semarang,
menghadiri undangan sepupunya yang akan mantu. Papa berhalangan karena
ada perjanjian dengan relasi bisnis. Dan seperti biasa, akulah yang
mendapat kehormatan, tepatnya barangkali kutukan, untuk menyupiri mama.
Padahal minggu ini pula teman-teman klub motor ngajak touring ke Bogor,
aarrgh...dasar sial. Beginilah nasib jadi anak lelaki satu-satunya,
sementara kakak-kakak perempuanku bisa enak-enakan liburan.
Dan sepanjang jalan, telingaku mendapat siksaan ocehan tante dan mama.
Bahkan suara musik tidak mampu meredam suara mereka. Malam menjelang
ketika kami memasuki wilayah alas roban, kawasan hutan yang melegenda
dengan keangkerannya. Sialnya, aku termasuk penakut untuk hal-hal yang
berkaitan dengan supranatural. Aku teringat kisah sebuah bus yang nyasar
di tengah hutan ini. Untunglah jalanan cukup ramai. Tiba-tiba hujan
turun dengan lebatnya, wiper kuhidupkan dan mencoba mengikuti sebuah
truk di depan. Entah kenapa, aku tak mampu mengejar bayangan lampu truk
tersebut, padahal sudah full gas, sampai kemudian aku sadari tinggal
kami sendiri di jalan. Dan yang membuat aku merinding adalah menyadari
kami tak lagi berada di jalanan aspal, tapi jalanan tanah berbatu yang
membuat mobil kami berguncang-guncang, suasana di kanan kiri gelap
gulita, hanya tampak bayangan batang-batang pohon dan semak belukar.
Penderitaan lengkap sudah ketika ban mobil terperosok di tanah yang
lunak akibat hujan tadi. Dua wanita penumpang setia di dalam jangan
ditanya lagi, omelan mereka sama banyaknya dengan butir-butir tetesan
air hujan yang begitu deras menghujani bumi, membuat kepanikanku kian
bertambah. Mama, Tante Lia dan aku mencoba menghubungi kerabat untuk
minta bantuan, tapi semua jaringan seluler tidak ada sinyal. “Ma, tolong
pegang kemudi, Randy mau keluar dorong mobil”, dengan masih ngomel mama
bertukar posisi di belakang kemudi begitu aku keluar. Hujan segera
membuatku basah kuyub . Sial, harusnya Hi lux papa yang aku bawa, bukan
sedan priyayi ini, gumamku dalam hati. Ban itu begitu dalam terperosok,
membuat setiap usahaku sia-sia selain hanya menghasilkan semburan lumpur
ke celana pendek dan kausku. Kemudian ku sadari, bahwa hanya sekian
meter di belakang mobil adalah sekumpulan pohon-pohon besar, demikian
juga di depan. Berarti jalan yang kami lewati tadi bak hilang di telan
bumi, membuatku mulai merinding.
Tiba-tiba sekelebatan lampu senter menyorot ke arahku. Apa lagi ini,
membuat nyaliku kian menciut, tapi masa sih ada setan bawa senter, akal
sehatku berkata. Dari kegelapan muncul sosok lelaki paruh baya,
bertelanjang dada dan memakai caping lebar. “Ada yang bisa saya bantu,
le ?’’, tanyanya dengan suara yang parau namun cukup nyaring terdengar
di tengah gemuruh hujan dan guntur. “Kami kesasar dan mobil kami
terperosok pak”, jawabku setengah berteriak. Orang tua itu lantas
membantuku mendorong agar mobil itu keluar dari jebakan lubang. Namun
tetap tak berhasil. Kini bahkan akibat kikisan tanah, seluruh ban mobil
itu terperosok. “Sebaiknya tunggu besok pagi saja, le..., kampung
terdekat juga jaraknya 15 kilo lebih. Kalau sampeyan mau, malam ini
nginap digubuk saya saja”, ujarnya dengan datar namun sepertinya tulus,
daripada aku tinggal di mobil dan tiba-tiba kaca diketuk kuntilanak atau
gendruwo lebih baik aku turuti beliau. Namun tentu saja, aku harus
minta persetujuan dua makhluk menyebalkan di dalam mobil, setelah
terjadi percekcokan, akhirnya mereka mau juga. Segera ku sambar ranselku
sementara mama dan tante Lia hanya membawa tas tangan masing-masing.
Dengan berpayung mereka mengikuti langkahku di belakang bapak tua tadi.
Jalan setapak yang becek di tengah hutan itu membuat mama dan tante
berkali-kali terpleset, membuatku berkali-kali harus memapah mereka,
tentu saja setelah terlebih dahulu dihadiahi sumpah serapah mereka.
Payung yang mereka bawa jadi percuma, tak mampu mencegah mereka menjadi
basah kuyub dan terciprat lumpur. Ternyata jarak menuju rumah si bapak
lumayan jauh juga, kira-kira 15 menit kami berjalan baru nampak temaram
cahaya sebuah rumah. “monggo, silahkan masuk”, ujar si bapak. Rumah itu
tampak sederhana, pantas si lelaki misterius itu menyebutnya gubuk.
Sebuah rumah limas khas jawa dengan empat tiang kayu di bagian tengah,
beratap genteng tanpa plafon, berdinding anyaman bambu dan berlantai
tanah. Di dalamnya hanya meja kursi tua, dua dipan sederhana dan dua
lemari reyot menempel di dinding. Dua lampu teplok yang kacanya telah
menghitam menjadi alat penerang rumah tersebut, dan satu-satunya alat
hiburan adalah radio transistor tua yang memperdengarkan suara
pertunjukan wayang kulit mengiringi gemuruh hujan di luar, menambah
suasana magis malam itu.
Tampak sepasang perempuan di atas dipan tengah tertidur, terdiri dari
wanita separuh baya dan satu lagi seorang gadis yang kira-kira seusiaku.
“ayuh..dang tangi, ono tamu, dang gawekno wedhang”, (ayo cepat bangun,
ada tamu, cepat bikinkan minum), ujar si bapak membangunkan isteri dan
anaknya, kira-kira begitu menurut perkiraanku, walau tak bisa bahasa
jawa tapi sedikit banyak aku bisa memahaminya karena mama kebetulan
orang jawa dan sering menggunakan bahasa jawa jika bertemu kerabatnya.
Dengan segera mereka beranjak bangun meninggalkan dipan yang hanya
beralaskan tikar dan selimut kumal itu. Untuk ukuran kota sekalipun, si
gadis berwajah cukup manis walau dengan pakaian t shirt dan bersarung
batik yang tampak lusuh, sementara ibunya sedikit lebih besar dengan
wajah biasa saja, memakai kebaya dan kain yang dililitkan sebatas dada
yang sama lusuhnya, namun menampakan belahan dadanya yang kupikir cukup
besar, menjadi pemandangan paling baik selama di rumah ini. Dalam hati
timbul rasa iba di hatiku melihat bagaimana miskinnya mereka, sekaligus
juga bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tinggal di tengah hutan dan
terpencil seperti ini.
“kalian basah kuyub semua, sebaiknya ganti pakaian daripada masuk angin,
silahkan ke belakang saja, kalau mau buang air dan bersih-bersih juga
ada sumur ”, ujar si bapak. Aku segera menyambar ransel, tapi mama dan
tante Lia saling bertatapan bingung, tentu saja, mereka meninggalkan tas
pakaian mereka di bagasi mobil. Sial, nampaknya aku lagi yang harus
mengambilnya. Namun sebelum perintah mereka keluar, si lelaki itu
berkata, “kalau mau biar pakai pakaian anak dan isteri saya, maaf kalau
kurang berkenan,”..aku menatap mereka dengan wajah memelas...mereka
mengangguk,”maaf lho pak kalau ngerepotin”, ujar mama. Dari dalam lemari
reot, si bapak mengeluarkan dua lembar kain dan dua kaus yang walau
lusuh tapi terlipat rapi. “mama dan tante duluan”, ujar mama bergegas
sambil menggamit tangan tante lia ke bagian belakang rumah yang dibatasi
oleh dinding papan. Aku menunggu dengan duduk di kursi tua itu , sang
lelaki paruh baya itu juga duduk di hadapanku sambil melinting tembakau
dengan kertasnya dan menyalakan rokok. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi
namun sorotan matanya sangat tajam dan berwibawa. Tubuhnya yang
bertelanjang dada itu juga tampak kekar menggambarkan isa sebagai lelaki
yang ulet. “Maaf, kalau boleh tahu, nama bapak siapa?,” tanyaku mencoba
basa basi. “Panggil saja pak Simo”, jawabnya sambil menghembuskan asap
rokok lintingan yang beraroma aneh itu. “enngh...bapak udah lama
tinggal di sini?’’, tanyaku lagi. “lebih tiga puluh tahun”, jawabnya
singkat.”ini satu-satunya tanah warisan bapak saya dulu, pekerjaan saya
buruh tani dan sesekali ngobati orang”, ujarnya lagi seolah-olah sudah
tahu pertanyaanku berikutnya, walau aku sedikit tertegun dengan
perkataan ngobati orang, tapi untuk tak menyinggung urung aku tanyakan.
“saya terimakasih banyak lho pak atas bantuannya”, ujarku setelah hening
sekian lama. Ia hanya menghembuskan asap rokok, lalu berkata...”kalian
harusnya hati-hati melewati hutan ini, harus kulo nuwun,’’ ujarnya
dengan nada sedikit tegas.
Namun sebelum aku bertanya lebih jauh, mama dan tante sudah kembali ke
ruang tengah, agak geli melihat penampilan mereka, dari wanita bergaya
modis, kini ala wanita kampung, berkaus kumal yang ada lubang di sana
sini dan bersarung kain batik lusuh. “mama?”, ujarku sambil tersenyum,
tapi pandangan ketus keduannya memudarkan senyumanku, namun yang
membuatku jengah adalah menyadari bahwa kaus itu terlalu sempit untuk
mereka berdua dan....puting payudara keduanya tampak jelas menonjol
walaupun di tengah cahaya temaram lampu teplok. “Kamu jangan ke belakang
dulu,” ujar mama. Ia kembali ke belakang, dan kembali dengan kaus di
lepas....kini kain batiknya diikat sebatas dada menjadi kemben, tante
pun menyusul melakukan hal yang sama. Aku bersiul dua kali menyaksikan
bahu putih keduanya terekspose yang tentu saja berujung dengan dampratan
mereka, membuatku bergegas ke belakang. Ternyata sebuah dapur sederhana
yang cukup besar dengan sebuah dipan dan tungku tanah dengan kayu bakar
yang masih menyala, di atasnya sebuah panci hitam. Di atas dipan sang
ibu dan anak tengah menyiapkan minuman, “maaf bu, kamar mandinya di
mana?” tanyaku, dan mereka menunjuk pada sebuah pintu di bagian belakang
dapur tersebut, yang disebut kamar mandi itu hanyalah sebuah sumur tua
beratap ilalang yang di pinggirnya berlantaikan batu-batu kali. Sebuah
lampu sentir meneranginya. Usai buang air kecil dan membersihkan badan,
segera aku berganti pakaian dari ransel yang kubawa.
Mama dan tante tengah bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah ketika
aku tiba. Aku segera bergabung. Pak Simo meladeni ocehan mereka dengan
datar dan singkat. Matanya tajam menatap mama dan tante, membuat mereka
tampak rikuh dan mengurangi intensitas omongan mereka.Tak lama kemudian
sang isteri dan anak gadisnya tiba mengantarkan minuman dan sepiring
singkong rebus di hadapan kami.
“monggo silahkan diminum, maaf cuma ini yang kami punya”, ujar pak Simo,
sementara isteri dan anaknya kembali ke dipan untuk tidur. Hanya teh
tanpa gula yang bisa mereka suguhkan, namun ditambah singkong rebus
cukup menghangatkan tubuh kami di tengah rintik hujan yang entah kapan
akan reda. Malam makin larut ketika mama dan tante Lia pamit untuk
tidur, di dipan yang berhadapan dengan dipan di mana isteri pak Simo dan
anaknya tidur. Aku sendiri belum mengantuk mencoba menelpon seseorang,
sama saja, tidak ada sinyal.
“kalian gak munkin bisa keluar dari hutan ini”, ujar pak Simo
mengagetkanku.”maksud bapak?”, tanyaku penasaran. “Kamu pasti sadar
kan...kendaraan kalian ada di tengah hutan, bukan di atas jalan”,
jawabnya dengan suara parau dan datar. Aku mulai bergidik.”ada kekuatan
gaib yang membawa kalian ke sini, makanya saya bilang kalian harus
kulonuwun melewati hutan ini”,ujarnya lagi membuatku kian memucat.
“terus kami harus bagaimana pak?”, tanyaku setengah bergetar. “kalian
saat ini berada 15 kilo dari jalan, mau lewat jalan kaki pun butuh
seharian, itupun kalau kalian tidak kesasar”, ujarnya lagi. “Terus,
kenapa bapak bisa tinggal di sini?’’, tanyaku. “Hmm...ceritanya panjang,
tapi katakanlah ini hal turun temurun yang harus kami lakukan dan
katakanlah musuh kami banyak sehingga harus tinggal di sini”, jawabnya
sambil menghisap lintingan tembakau dalam-dalam. “terus bapak bisa bantu
kami keluar dari sini?’’, tanyaku setelah terdiam beberapa saat.
“Dengan syarat”, jawabnya. “itupun jika kamu mau”, lanjutnya
lagi.”....mmm...asal gak memberatkan saya mau pak, kami juga bawa uang
yang cukup lho pak”, ujarku terbata-bata. “Kami biasa hidup tanpa uang
nak, kami ora butuh uang kalian”, ujarnya dengan mimik misterius. “Terus
saya harus bagaimana pak?”, tanyaku setengah mengharap.”Hmmm....dari
tadi saya perhatikan kamu selalu menatap anak saya”, ujarnya.Wah, berabe
juga kalau aku harus mengawini anaknya walau memang kuakui dia cukup
manis dengan potongan tubuh aduhai. “sampeyan suka dia?”, tanyanya.”Ya
suka sih pak, tapi....”, “saya gak meminta kamu menikahi anak saya”
jawabnya seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan.”Terus bagaimana pak?”,
tanyaku lagi. “sampeyan mau meniduri Asih?”,tanyanya membuatku seolah
terloncat dari kursi reot itu. Dalam hati sebenarnya di usia SMA yang
sarat hormon ini, aku ingin sekali mencoba merasakan kenikmatan tubuh
seorang wanita, tidak hanya sekedar bermasturbasi menyaksikan adegan
film porno, atau hanya bisa berliur mendengarkan kisah teman-teman yang
telah merasakannya. Pacar pun aku belum punya. Pucuk di cinta ulam tiba
pikirku, “tapi pak, bagaimana dengan mama dan tante saya? Bagaimana
kalau mereka tahu?”, ujarku. “Nah, dua wanita cerewet itu syarat
berikutnya”, jawabnya tegas. “Maksudnya pak?”, tanyaku penasaran.
“Sebagai sesama lelaki....”, ia menghisap dalam rokoknya lalu menoleh ke
arah dipan di mana mama dan tante Lia tidur.”Mereka cantik dan montok,
apakah sampeyan keberatan kalau saya tiduri mereka?’’, pertanyaannya
bagaikan guntur yang tengah menyambar-nyambar di luar.”aa,,,”, ucapanku
terpotong, ”ya kalau sampeyan keberatan, silahkan cari jalan keluar
sendiri,’’ tukasnya. Aku dihadapkan buah simalakama, walau di dalam hati
jujur saja penasaran juga bagaimana tubuh telanjang mama dan tante Lia.
Dan terlepas dari soal kecerewetan, mereka berdua memang wanita matang
yang cukup cantik dengan potongan tubuh yang bisa menjadi bahan onani
lelaki manapun, tapi mereka adalah keluargaku. Shit...apa yang harus
kulakukan? Pak Simo seolah-olah menunjukan siapa yang tengah berkuasa
dengan santai terus menghisap rokoknya . Setelah pertarungan sisi baik
versus sisi buruk, akhirnya aku mengangguk setuju. “Dengan syarat, bapak
tidak akan menyakiti mama dan tante saya kan?, lanjutku. Pak Simo tak
berkata apapun tapi langsung bangkit menuju dipan di mana anak dan
isterinya tidur dan membangunkan mereka,”ayo nyambut gawe, kamu layani
mas mu, kowe ngalih, bantu kulo”, ujar pak Simo.
Pak Simo lantas menyuruhku mendekat ke dipan, Asih...anak gadisnya
segera mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi, melepaskan pakaianku,
lalu menurunkan celana pendek dan celana dalamku. Aku sedikit jengah
karena pak Simo dan isterinya masih berada di dekat kami, pak Simo
mengangguk dan bersama isterinya menuju kursi tempat kami duduk tadi.
Kontolku sudah mengeras semenjak tadi dan segera dielus-elus pelan oleh
Asih sebelum akhirnya ia berdiri dan melepaskan kaus kumal dan kain
batik lusuhnya, tak ada pakaian dalam dibaliknya. Mataku berpesta pora
menyaksikan payudaranya yang ranum dan berukuran lumayan itu, lalu terus
ke bawah ke bagian pinggulnya yang membulat hingga bagian delta di
antara dua pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Baru kali ini
kulihat secara nyata tubuh telanjang seorang wanita. Asih mengarahkan
tanganku agar hinggap di atas gunung kembarnya yang kenyal dan tanpa
komando segera kuremas-remas dan kupilin-pilin putingnya. Sementara Asih
dengan wajah setengah tertunduk menatap ke arah selangkanganku yang
berada dalam genggaman tangannya. Rasanya aku bisa orgasme saat itu
pula. Wajahnya kemudian mendekat ke arahku dan ia mulai melumat bibirku,
dengan segera balas kulumat bibirnya yang agak tebal namun sexy itu,
dan memeluknya erat hingga payudara kenyal itu merapat di dadaku.
Selintas kulirik mama dan tante yang masih terlelap nyenyak, dada mereka
yang penuh itu naik turun seiring tarikan nafas. Aku tak peduli jika
seandainya mereka terbangun, nafsu ini sudah berada diubun-ubun. Asih
mendorong tubuhku berbaring di atas dipan. Dengan sabar ia telentangkan
aku, lalu merangkap di atas tubuhku, kembali melumat bibirku, menciumi
leher,dada, perut.....dan aku mengejang ketika batang penisku kini
dikulum,dihisap dan dilumat pelan mulutnya, ia tampak berpengalaman
sementara aku bisa dikatakan teramat lugu dan bodoh dalam urusan
kenikmatan biologis ini. Untaian rambut panjangnya mengusap-usap perut
dan selangkanganku, rasanya geli-geli nikmat. Ia kemudian bangkit
berdiri, berjalan ke arah wajahku lalu dengan perlahan berjongkok di
atasnya, ia mengangguk seolah-olah menyuruhku menikmati liang
senggamanya yang merekah merah, aroma asing namun membangkitkan gairah
berahi memenuhi hidungku, dan tanpa sadar aku mulai menjilati permukaan
vaginanya dengan rakus. Matanya hanya terpejam menikmati ulahku. Tapi
sebuah keanehan terjadi, kembali batang kontolku seperti dikulum
seseorang, aku mencoba bangkit untuk melihat apa yang terjadi, Asih
dengan pengertian berlutut sebentar...terkejut bukan kepalang mendapati
isteri pak Simo alias ibunya Asih tengah mengulum dan mengunyah
kontolku, kebayanya telah lepas dan kain kembennya melorot sebatas
perut, payudaranya yang jauh lebih besar dari milik anaknya berayun-ayun
dengan putingnya yang keras menyapu kedua pahaku. Aku tak pernah
membayangkan pengalaman seks pertamaku bisa sedahsyat ini, dipuasi
sekaligus ibu dan anak.
Ku lirik ke arah pak Simo, yang dengan santai terus menghisap rokoknya
menyaksikan kami. Ia tak nampak sama sekali keberatan. Aku kembali
menjilati memek Asih sementara di bagian bawah tubuhku, ibunya sibuk
menghisap,menjilat batang kemaluan dan biji pelirku. Pak Simo kemudian
bangkit mendekati kami lalu berkata kepada isterinya, “wis, ben Asih
sing urus, ono gawe liyo”(sudah,biar Asih yang urus, ada pekerjaan
lain). Isteri pak Simo bangkit mengikuti pak Simo yang berjalan ke arah
belakang rumah. Asih merangkak mundur , setengah jongkok memegang batang
senjata biologisku dan mengarahkan ke arah vaginanya, aku menyaksikan
dengan antusias bahwa keperjakaanku akhirnya pecah malam ini...you
know...dalam artian bukan hanya sekedar masturbasi. Dan bless...secara
tersendat akhirnya ambles ditelan liang kewanitaan gadis remaja bernama
Asih. Perasaan nikmat diremas rongga yang hangat , basah dan sempit
menjalari sekujur tonggak kemaluanku dan sinyal-sinyalnya dikirim ke
seluruh tubuhku. Asih dengan lincah memaju mundurkan pinggulnya,
payudaranya berguncang keras mengundangku untuk menangkap dan
meremas-remasnya. Ia merintih-rintih pelan menikmati masuknya benda
asing di dalam vaginanya. Entah keluarga macam apa mereka, aku tak
peduli lagi. Bulir-bulir keringat mulai muncul di permukaan kulit kami
berdua, suasana dingin malam itu menjadi hangat. Asih merebah di atas
tubuhku, memelukku erat kemudian berusah menggulingkan tubuhku dan
segera kuturuti sehingga kini aku berada di atas tubuhnya, kembali tubuh
sintalnya kupompa keras sehingga dipan itu berderit-derit.
Tiba-tiba pak Simo kembali masuk diikuti isterinya, seolah tak
mempedulikanku, ia mendekati dipan di depan kami, membawa sebuah tungku
dan kendil kecil, sontak ruangan gubuk itu dipenuhi aroa kemenyan. Ia
duduk bersimpuh di sisi mama, meniupkan asap kemenyan ke wajah mama dan
tante Lia kemudian memercikan sedikit air di sekujur tubuh mereka
berdua. Semua tak lepas dari pandanganku yang sibuk memacu kenikmatan
menggarap tubuh anak gadisnya yang terus merintih-rintih. Lagi pula ,
jarak antar dipan itu tak lebih sekitar 2 meter saja. Usai melakukan
ritual, perlengkapannya kemudian dibawa istri pak Simo ke belakang. Dan
inilah saat yang aku tunggu, dengan perlahan pak Simo melepaskan ikatan
kemben di dada Mama, lalu menurunkannya ke bawah. Perlahan payudara mama
tersingkap, terus hingga perut, lalu bayangan hitam tumpukan rambut di
pangkal pahanya. Mataku nanar memperhatikan betapa tubuh mama demikian
indah, bahkan di usianya yang 43 tahun. Payudaranya membusung besar
dengan puting coklat muda, perutnya yang putih mulus naik turun seiring
tarikan nafas, dan yang kian aku memacu gerakan menyetubuhi Asih adalah
gundukan vagina mama yang menyembul dan ditumbuhi rambut kemaluan yang
lebat. Padahal dari situlah aku lahir. Tapi itu bukan satu-satunya
pemandangan indah yang kusaksikan. Setelah menelanjangi mama, pak Simo
berjalan ke sisi dipan berikutnya, dengan segera ia lepaskan kain kemben
yang dipakai tante Lia, kembali mataku berpesta pora menyaksikan tubuh
wanita separuh baya yang juga tak kalah indah dengan tubuh mama, sekujur
tubuhnya putih mulus meski sedikit gemuk, bahkan payudaranya sedikit
lebih besar dari punya mama. Pak Simo dengan kasar meremas-remas kedua
bukit kembar tante dan membetot ringan, lalu mengusap-usap perutnya yang
putih dan mulus terus ke bawah pusar di mana semak belukar hitam tumbuh
lebat, kemudian dia beringsut ke ujung dipan, melebarkan kedua paha
tante Lia, lalu merunduk tepat di ujung segitiga hitam selangkangan
tante, dan mulai mengecap dan menjilati organ kewanitaanya. Sampai
kemudian tante kelihatan mulai bergerak gelisah, meski mata masih
terpejam, dan mulutnya mulai mengelarkan suara rintihan...yang mulanya
lirih namun semakin keras erangannya ketika pak Simo mulai
mengorek-ngorek memek tante dengan jemarinya. Membuatku makin semangat
mengayunkan pantat menggali dalam-dalam lubang senggama Asih dengan
kontolku...suasana erotic bercampur magis memenuhi seantero rumah gubug
itu, suara rintik hujan dipadu erangan rintihan dan kecipak beradunya
kelamin dan sayup-sayup suara dalang wayang kulit dari radio butut bagai
orkestra yang memacu berahi.
Puas bermain-main dengan tubuh tante Lia, pak Simo bangkit berdiri
berjalan memutar menuju di mana mama tidur, kini giliran ibu kandungku
akan menerima tindakan cabul lelaki asing, di depan anaknya pula. Pak
Simo mulai meremas-remas payudara mama, dan juga memilin-milin
putingnya, lalu ia merunduk...menghisap dan menggigit-gigit ringan
mutiara kecoklatan di puncak gunung itu, wajah mama kelihatan
mengernyit. Tangan mama direntangkan ke atas kepala, lalu ia hirup
ketiak putih mama dengan dalam. Setelah puas, kembali tangan-tangan
kekar pak Simo merayapi sekujur tubuh bugil mama, dan berakhir hinggap
di rerumputan hitam di bawah pusar mama, menyisiri bulu-bulu kemaluan
lebat itu sebelum jari-jemarinya mulai menggali dalam-dalam lubang di
mana aku lahir 17 tahun lalu. Dan itu memacu ledakan orgasmeku,
kurangkul Asih erat-erat lalu semburan demi semburan cairan hangat
memenuhi setiap milimeter rongga vagina anak gadis dari lelaki tua yang
tengah sibuk menghancurkan kehormatan ibu kandungku. Sensasi nikmat itu
terus berlanjut sampai kurasakan tak ada lagi tetesan sperma yang
mengalir keluar, lalu aku bangkit meninggalkan tubuh Asih dan seolah tak
mempedulikannya, aku terduduk asyik menyaksikan adegan bagaimana tubuh
telanjang mama digarap pak Simo. Sama seperti tante lia tadi, kini mama
mulai merintih-rintih dan tubuhnya bak cacing kepanasan bergerak kesana
kemari, sementara matanya juga masih terpejam seolah-olah masih berada
di alam mimpi. Asih turun dari dipan dan berlutut di hadapanku...dan
hap...ia menjilati sekujur penisku yang masih diselaputi lendir dan
sperma seolah-olah ingin membersihkannya, aku hanya bisa termangu
menikmatinya sampai kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan ke bagian
belakang rumah.
Pak Simo kini mengangkat betis mama dan ditumpangkan di pundaknya,
sehingga pinggul mama terdongak ke atas, lalu ia beringsut ke depan dan
makin tinggi mengangkat bagian bawah tubuh mama hingga vagina mama tepat
di depan mulutnya, dan dengan rakus ia jilati liang senggama ibu
kandungku itu, mama yang seperti orang kayang itu mulai menceracau
ribut. Pemandangan sensual itu membuat senjata biologisku yang tadinya
layu mulai bangkit kembali secara perlahan. Dan malam itu kejutan belum
berakhir, ibunya Asih muncul dari belakang rumah mendekatiku, dan
sebleum ia duduk menemaniku, ia tanggalkan satu-satunya alat penutup
tubuhnya, kain batik lusuh itu jatuh pelan ke permukaan lantai, yang
segera ia pungut untuk di letakan di atas bantal. Mataku nanar
menyaksikan tubuh semok berbalut kulit sawomatang itu dengan payudara
besar duduk mendekat disampingku, dan tanpa tedeng aling-aling langsung
meraup batang penisku dan mengusap-usapnya pelan. Dan aku pun mulai
berani juga mulai meremas-remas payudara montok yang jauh lebih besar
dari milik anak gadisnya, munkin sebesar punya mama, lalu menjamah
memeknya dan mengutil-ngutil klitorisnya, membuat matanya merem melek
dan nafasnya mulai mendengus.
Pak Simo lalu menurunkan tubuh mama, lalu bangkit berdiri melepaskan
celana sontog yang mirip celana pakaian silat, batang kontolnya yang
besar yang melebihi ukuran milikku itu telah mengacung berdiri dengan
gagahnya. Ia menaiki dipan lalu mengangkangi dada mama, dengan menjambak
rambut mama, ia arahkan kepala mama hingga ujung kepala penisnya
menyundul bibir mama...mata mama membelalak, seperti orang
bingung...”ayo nduk, emuten!!”, perintah pak Simo dengan wibawa, mama
yang dalam matanya seperti ada penolakan namun seperti terhipnotis mulai
mengulum kontol lelaki asing itu, ia melirikku dan matanya seperti
terkejut menyaksikanku duduk telanjang didampingi isteri pak Simo yang
juga dalam keadaan bugil dan sibuk mengocok-ngocok batang kemaluan
puteranya. Dan hal itu membuat mama terbatuk-batuk, lalu melepaskan
paksa kontol Pak Simo...”Randy? kamu ngapain? Apa-apaan
ini...to...mmff’’, ucapannya terhenti ketika pak Simo dengan paksa
menyumpalkan kembali batang kemaluannya ke mulut mama, membuat mama
kembali tersedak dan terbatuk-batuk....kembali ia berontak melepaskan
diri...ia melirik ke arah tante Lia...”Kak Lia...tolo...mmfff”, kembali
pak Simo memaksa mama mengoral kemaluannya, air mata mama sampai
menetes, tetapi pak Simo dengan kasar terus mendesak-desakan kontol
besarnya ke rongga mulut mama, bagai menikmati kekuasaan mencabuli
seorang wanita di depan anak kandungnya, tampak kemudian mulutnya
seperti merapal suatu mantra dan membuat mama tak lagi berontak.
Perasaanku sendiri tak karu-karuan, antara kasihan dan nafsu, namun
agaknya yang terakhirlah yang dominan, apalagi melihat kini seolah-olah
mama lah yang rakus menghisap-hisap kontol pak Simo.
Puas mengobrak-abrik mulut mama, pak Simo merangkak mundur, membuka
lebar-lebar kedua paha ibu kandungku yang kini dengan pasrah menanti
dieksekusi. Lalu dengan posisi setengah duduk ia paksa mendesakkan
kontol besar itu ke mulut memek mama, dan karena sangat besar membuat
proses penetrasi berjalan lambat, mama sampai membelalakan mata dan
mengerang seperti mengejan sampai akhirnya benda keras itu tertelan
sepenuhnya.Agak lama pria tua membiarkan kelaminnya berdiam dalam
genggaman vagina mama, sepertinya ia menikmati betul hal itu, sampai
kemudian mulai menariknya ke belakang pelan,lalu dimasukkan kembali.
Setiap gerakan membuat mama merintih dan meringis dan mulai menggigiti
jemarinya, sementara pak Simo kian aktif mengayunkan pantatnya maju
mundur seaktif tangan-tangannya yang dengan kasar meremasi tetek montok
mama, dan kulihat batang kontolnya berkilauan basah tanda telah
diselaputi lendir vagina ibu kandungku. Membuatku merasa iri melihat
pria tua itu menikmati tubuh indah perempuan yang telah melahirkanku,
dan membuatku menjadi seperti dendam sehingga kemudian isterinya yang
berada disampingku kurebahkan, kubuka lebar selangkangannya dan tanpa ba
bi bu kutusukkan batang kontolku ke lubang senggamanya yang ternyata
telah basah. Rumah gubuk itu kembali diramaikan simfoni
sensual...erangan mama dan isteri pak Simo sahut menyahut mengiringi
suara eranganku dan pria paruh baya itu. Keringat mulai membanjiri
tubuh-tubuh yang terlibat persetubuhan terlarang malam itu.
“ssssh...ampuun pak, ohhh...puaskan aku pak...terusss..nnnggh”, rintihan
mama mulai nakal.
Sekian menit kemudian, pak Simo mencabut kontolnya, menimbulkan seperti
suara angin keluar dari vagina mama, kemudian memutar tubuh mama dan
menarik pinggangnya hingga menungging, lalu kembali liang senggama mama
mendapat tusukan dahsyat alat kelamin pria bukan suaminya itu. Kepalanya
terdongak karena rambut ikalnya dijambak dan mulutnya kembali
merintih-rintih ribut setengah menjerit. Aku pun kemudian melakukan hal
yang sama, memaksa bu Simo menungging, pantatnya yang bahenol itu
kugigiti hingga puas, ia hanya cekikikan ringan, lalu...jlebbb...kembali
vagina tembemnya kugali dengan batang penisku. Kembali suara kecipak
kelamin beradu memenuhi seantero ruangan. Tetek bu Simo segera kutangkap
dan kuremas-remas sekeras-kerasnya. Tiba-tiba mama mengejang dan
menjerit panjang, dan pak Simo pun seolah memberi jeda waktu
menghentikan hentakannya membiarkan mama menikmati orgasmenya. Mama
terus menggeram hingga kemudian tubuhnya kembali rileks dan kembali
terguncang-guncang dahsyat akibat dientot dari belakang. Menyaksikan
bagaimana ibu kandungku mengalami orgasme di depan mata ku sendiri,
menimbulkan sensasi dahsyat dan membuatku tak mampu mencegah
menyemprotkan air mani di dalam remasan memek bu Simo. Lama kunikmati
ejakulasi itu sampai akhirnya aku terduduk lemas meninggalkan pantat bu
Simo yang seperti anaknya tadi, membersihkan seluruh batang kontolku
dengan hisapan mulut dan jilatan lidahnya hingga ke lubang anusku. Ia
kemudian beranjak ke belakang meninggalkan aku sendirian menyaksikan
adegan dahsyat persetubuhan terlarang ibuku dan pak Simo.
Tubuh mama berkilauan cahaya temaram lampu akibat basah oleh
keringat.”ooouch...teruss pak, puaskan aku lagi ...ahhhss”, rintihnya.
“hmmm...aku tahu sampean ra tahu dipuasi suami sampean toh?...”, gumam
pak Simo diantara dengusan nafasnya. Mama melirik ke arah belakang
dengan mata sendu dan mengangguk. “sampean minta dipuasi nduk?’’, tanya
pak Simo sambil terus mengayunkan pinggulnya. Mama kembali mengangguk
dan merintih...nnnggh...puasi aku pak...ooohh”, aku tak tahu mama dalam
keadaan sadar atau tidak atau tengah terkena mantra hipnotis pak Simo,
tetap saja membuat senjata biologisku kembali mengacung tegak, lelaki
normal manapun siapa yang tak akan terangsang melihat tubuh bugil wanita
sexy usia 43 tahun itu, tak terkecuali anak kandungnya...aku. Sekian
menit kemudian kembali mama mengejang dan berteriak genit ketika
orgasmenya datang kembali. Kembali pak Simo terdiam sekian detik hingga
orgasme mama reda. Namun kemudian ia mencabut batang kontolnya dari
mama, dan kembali suara seperti kentut keluar dari memek mama yang
kemudian rebah terbaring tengkurap dengan nafas masih terengah-engah.
“Sekarang, giliran kakakmu yang cerewet itu minta dipuasi”, ujar pak
Simo sambil beringsut ke sebelah mama dimana tante Lia masih tertidur.
Ia menekuk lutut tante dan melebarkan pahanya, setengah terduduk kembali
ia desakan kepala kontolnya kepada wanita bukan isterinya itu...tante
Lia. Sama seperti mama tadi, benda keras itu agak tersendat masuk pusat
kewanitaan tante, membuat tante Lia pun terbangun dengan wajah meringis.
Ia agak bingung sesaat dan sama seperti mama tadi, ia mulai panik dan
mengutuk-ngutuk...”apa-apaan ini, jangan kurang ajar,
pergiii...tolo...mmmff”, suaranya terputus karena mulutnya dibekap
tangan pak Simo...”sssst tenang nduk, tenang,’’ ajaib, setelah tangan
pak Simo dilepas, kini hanya rintihan keenakan keluar dari mulut tante.
Tangan pak Simo segera mampir dan meremas-remas kuat tetek tante yang
lebih besar dari punya mama itu. Kembali ayunan pinggul pria tua itu
menghentak-hentak dahsyat menghasilkan suara becek gesekan kelamin.
“ooouch...teruss pak...aahss..puaskan aku pak....jangan
berhenti...aahs”, rintih tante Lia dengan suara manja bak gadis remaja.
Pak tua itu dengan ganas menyutubuhi tante, kali ini ia letakan betis
tante di dadanya membuat pantat tante setengah terdongak.
Persetubuhan haram nan dahsyat membawa efek berantai bergoyang-goyangnya
dipan tua itu beserta penghuni di atasnya, mama yang masih mabuk dalam
kepuasan seksualnya, dan tetek tante berguncang bagai gempa bumi dengan
skala tertinggi. Ingin aku mendekat dan meremas-remasnya, tapi aku masih
sungkan, sadar posisiku sebagai anak dan keponakan dari dua wanita
matang yang cantik dan sensual itu. “ahhhss....ahhh...ahh”, tiba-tiba
tante berteriak dan kakinya mengejang tanda tengah mengalami orgasme.
Pak Simo hanya perlahan mengayun-ayun pinggulnya hingga orgasme tante
Lia reda. Lalu memutar tubuh tante dan menarik pinggulnya ke belakang,
kembali wanita kerabatku itu disetubuhi dari belakang oleh pria tua
asing yang sepertinya mempunyai kekuatan seksual luar biasa, lebih dari
satu setengah jam ia belum juga mencapai orgasme padahal telah
menyetubuhi dua wanita cantik kakak beradik itu. Kembali mulut sensual
tante mengerang dan merintih-rintih ribut. Beberapa menit kemudian, pak
Simo menepuk pantat bahenol mama, yang tanpa instruksi lebih lanjut
langsung kembali menungging. Tangan pak Simo segera kelayapan
mengelus-elus vagina mama lalu mulai memasukan dua jarinya, kini rumah
itu diributkan suara desahan, rintihan sepasang wanita kakak beradik
yang tengah dicabuli pria yang bukan haknya. Aku menyaksikan hal itu
dengan mulut ternganga, jika ada kapas jatuh mengenai batang kontolku
yang mengeras munkin saat itu pula aku bisa orgasme. Dan sekian menit
kemudian, dua wanita kakak beradik itu kembali mengeluarkan teriakan
pelampiasan rasa puas luar biasa. Aku menduga-duga, apakah mereka seliar
itu jika dengan suami masing-masing? Aku kira tidak...mengingat selama
ini aku mengenal mereka sebagai wanita yang cukup konservatif.
Pertunjukan belum berakhir, ketika dua wanita itu masih dalam keadaan
setengah sadar dengan orgasme masing-masing, pak Simo meninggalkan tubuh
menungging tante Lia, bergeser mendekati mama...dan bleess...kontol
yang diselimuti lendir vagina tante Lia itu ganti kembali menghuni memek
mama, yang segera bak orang kepedasan mendesah-desah manja dan liar.
Tapi tentu saja, vagina tante tidak lama menganggur, jemari-jemari pak
Simo segera menggantikan tugas kontolnya tadi. Aroma seks memenuhi
setiap sudut gubug berdinding bambu itu.”kalian mau pejuhku,
nduk?”...dengus pak Simo, “mau pakk... aahhss’’, desis mama. Pak Simo
kian brutal menggasak mama dari belakang hingga kembali suara jeritan
puas keluar dari bibir merekah mama. Dan kembali pak Simo memindahkan
penis besarnya ke memek tante Lia, sama dengan yang dilakukan pada mama,
ia menghajar buas tante Lia sehingga tak sampai 5 menit kembali
menceracau dan mengejang karena orgasme. “sekarang...masing-masing
kalian kuberi pejuhku...ahhh....”dengus pak Simo sambil menjambak rambut
tante lalu menghujamkan dalam-dalam organ kelelakiannya dalam rongga
vagina tante hingga lima menit berlalu, kemudian berpindah ke memek
mama, dan kembali ia hujamkan dalam-dalam kontol besarnya hingga mama
setengah berteriak, juga kurang lebih hingga 5 menitan. Padahal aku
sendiri paling lama orgasme sekitar setengah menit. Pak Simo bangkit
meninggalkan mama lalu berjalan memutari dipan ke arah kepala tante
yang masih setia menungging..”kamu, wanita cerewet...bersihkan
kontolku”, dan dengan rakus tante Lia menghisap-hisap kontol besar itu
hingga tak tersisa lagi lelehan lendir dan sperma selain air liur tante
yang menyelimuti penis pak Simo. “Kamu juga..bersihkan!!”, perintah pak
Simo pada mama yang juga sama rakusnya dengan tante, menjilati habis
hingga buah pelir pak Simo yang wajahnya meringis keenakan. Si bajingan
yang beruntung, pikirku. Pak Simo lama menatap mereka berdua dengan
wajah puas tanpa mempedulikanku yang kini menderita dengan kontol tegang
tanpa pelampiasan. Ia mengenakan kembali celananya, berjalan menuju
kursi tamu dan kembali melinting tembakau, lalu kembali beranjak dan
duduk di sampingku sambil mengisap rokok.
“Tinggal satu syarat lagi”, ujarnya. Aku diam mendengarkan sambil tetap
menyaksikan pemandangan indah di depan.”kamu harus menyetubuhi dua
perempuan di depan”, ujarnya lagi membuatku terkejut. “Ttt tapi gak
munkin pak, mereka ibu dan tante saya”, jawabku . ”hmmm...tapi kenapa
kontolmu bisa ngaceng seperti itu? Saya tahu, sampeyan juga terangsang
kan melihat tubuh ibu dan bude sampeyan? Hmmm...saya tahu sampeyan
takut. Jangan khawatir, mereka akan aku bikin tidak sadar, mereka pikir
kamu adalah aku”. Lalu ia menghembuskan asap rokok ke arah mama dan
tante. “Sekarang lakukan”, perintahnya .”b..benar neh pak?”, tanyaku
masih ragu. Ia mengangguk meyakinkanku. Dengan gemetar aku berjalan ke
arah dipan dimana mama dan tante kini terbaring telentang menengadah.
Tubuh bugil mereka masih bermandikan keringat, dan nafas mereka teratur
naik turun membawa serta dua gunung kembar masing-masing. Mata mereka
terpejam dengan bibir tersungging senyum. Mataku nanar menyaksikan memek
mama yang masih setengah terbuka akibat masuknya benda oversize ke situ
tadi, juga demikian halnya dengan memek tante Lia. Kini sadarlah aku
apa yang menyebabkan ejakulasi berlangsung begitu lama...dari
masing-masing organ kewanitaan mereka, masih mengalir keluar lelehan
sperma yang luar biasa banyaknya, genangannya di atas tikar bahkan
selebar dua piring makan. Bahkan belum berhenti mengalir ketika kuelap
dengan kain kemben yang dipakai mama sampai beberapa kali usapan. Ku
tatap pak Simo, ia kembali mengangguk. Aku gemetar menyentuh vagina mama
dan tante Lia bergantian, bingung menentukan mana yang harus kusetubuhi
lebih dulu. Setelah menimbang sekian detik, kuputuskan untuk lebih dulu
ngentot mama, aku penasaran ingin mencicipi liang dimana aku dulu
lahir. Dengan segera aku jongkok di antara dua paha mama, mengarahkan
kepala jamur ungu merapat bibir memek mama...lalu bless...perlahan tapi
pastiaku memasuki lubang setelah 17 tahun aku keluar dari situ.
“ooohh...puaskan aku lagi pak...ahhs..”, desis mama. Tadinya aku
terkejut, tapi melihat tatapan matanya yang kosong seolah tak melihat
diriku membuatku sedikit tenang, dan mulai mengayun-ayunkan pantatku.
Sensasinya sungguh sulit digambarkan kata-kata. Tanganku mulai menjamah
payudara mama, bahkan masih sekeras milik Asih pikirku. Aku kemudian
rebah di atas tubuh mama, menciumi ketiaknya, menghirup dalam-dalam
aroma parfum bercampur keringat bau khas wanita..pheromone, demikian
istilah yang aku tahu dari Discovery Channel, aroma khas buat penarik
pasangan. Mama terus merintih-rintih lewat bibirnya yang setengah
terbuka, membuatku gemas ingin segera melumatnya. Kini lidah kami saling
membelit, tapi tanganku seperti punya kreatifitas sendiri kini
meremas-remas payudara tante Lia yang terbaring di sisi mama. Dan
akhirnya ganti kulumat bibirnya sambil terus menusuk-nusukan batang
kontolku dalam memek mama. Ruangan itu diramaikan kembali rintihan manja
dua wanita kakak beradik yang aku cabuli. Hmm...kini aku punya banyak
cerita soal pengalaman seks dibanding kawan-kawan SMA ku. Puas mencicipi
rongga kelamin tempat aku lahir, aku beringsut ganti mencoba mencicipi
liang di mana 2 orang sepupuku lahir dari situ. Tante kembali ribut
merintih. Dan seperti tadi, bergantian aku lumat bibir tante dan mama,
demikian juga payudara montok masing-masing, bergantian aku jamah. Aku
yang tengah mabuk dalam kekuasaan kini menginginkan mencicipi tubuh sexy
mereka dari belakang, “ayo nunging”,bisikku pada tante dan mama.
Bagai kerbau dicucuk hidung, mereka dengan gemulai mulain ambil posisi
nungging. Keindahan pantat-pantat menonjol mereka luar biasa, membuatku
tak menahan diri untuk meremas-remasnya dan mengigitinya hingga mereka
meringis. Anus-anus mereka juga begitu mengoda untuk digarap, namun
rekahan bibir vagina jauh lebih menarik, pikirku. Dan kali ini secara
bergantian ku entot ibu kandung dan tanteku dari belakang. Jika kontolku
berganti sasaran, maka segera digantikan jemariku, persis seperti yang
dilakukan pak Simo terhadap keduanya tadi. Keringat kami kembali
berceceran. Entah karena sudah dua kali orgasme, kali ini aku cukup lama
bertahan hingga mampu menghasilkan kembali jeritan kepuasan dari mulut
mama dan tante. Dan setelah sekian menit kemudian kurasakan biji pelirku
mulai kaku, tanda sesaat lagi aku akan orgasme, agak sedikit bingung
memutuskan di memek siapa aku harus ejakulasi, namun tepat ketika
giliran mama yang kusetubuhi aku tak mampu lagi
menahan...dan...ssrrt...srrrt..srrt. Semburan spermaku membanjiri mulut
rahim dimana 9 bulan aku pernah bersemayam di dalamnya. “mamaaaa...”,
desisku tanpa sadar memanggilnya. Untunglah ia masih dalam pengaruh pak
Simo. Ingin aku berlama-lama mendekam dalam lubang memek mama, tapi
penisku telah mengerut, hingga akhirnya kucabut dan kutinggalkan tubuh
mama yang segera rebah tengkurap. Aku duduk lemas di dipan tempatku
tadi. “bagaimana pak? Tanyaku tanpa mengalihkan mata dari dua wanita
telanjang yang terkapar di depan. “Bagus...tapi kalau kamu mau, masih
ada satu permainan menarik..”, jawabnya santai sembari menghembuskan
asap rokok. Aku yang masih lemas tak bergairah bertanya lebih lanjut,
tetapi di dalam hati aku ingin kembali menggarap dua wanita di depanku.
“Bune, Asih..dang rene”, panggil pak Simo kepada isteri dan anaknya yang
sama misterius dengan bapaknya. Asih dan ibunya masuk....dalam keadaan
bugil. Mereka berdua segera mendekatiku, menciumi wajahku dan
mengelus-elus penisku bergantian dengan jari jemari masing-masing serta
mengarahkan tanganku hinggap di tetek mereka. Ibunda Asih kemudian
merunduk, sudah bisa ditebak kalau sasarannya adalah penisku yang
setengah layu itu. Kulumannya membuat darah kembali berkumpul di organ
kejantananku itu, sampai sekian lama kurasakan kembali siap tempur. Pak
Simo bangkit berdiri, mendekati mama dan tante yang masih setengah
sadar. Ia melorotkan kembali celana yang ia pakai. Meremas-remas keras
pantat indah mereka masing-masing dan menyuruh mereka kembali menungging
kali ini menyamping mengikuti lebar dipan, lalu dengan isyarat ia
menyuruh Asih dan isterinya juga menungging di dipan yang sama ,
sehingga ada empat wanita telanjang di satu dipan.”Kali ini, kita akan
menggilir empat perempuan ini, saya di depan sampeyan di belakang terus
muter, paham?”, ujarnya. Aku mengangguk. “Silahkan yang mana dulu yang
sampeyan pilih”, ujarnya lagi. Aku memilih Asih yang posisinya paling
pinggir kiri dari arahku. Dari belakang kusetubuhi anak gadis pak Simo
itu, dan bapaknya didepan dengan setengah paksa memasukkan kontolnya ke
mulut tante Lia yang posisinya di pinggir kanan. Sekira 3 menit aku
berpindah ke bu Simo, pak Simo pun berpindah dioral mama. Dan kini
kembali ku setubuhi mama dari belakang, sementara isteri pak Simo
mengulum kontol suaminya. Bergeser lagi aku setubuhi tante Lia, kini
kemaluan pak Simo dilumat Asih, aku menjadi tak yakin tentang status
hubungan mereka, benarkan antara ayah dan anak? Peduli setan. Yang jelas
permainan ini sangat nikmat. Kini ganti aku dioral tante Lia dengan
rakus, sementara pak Simo mengauli Asih dari belakang. Terus kami
berputar sampai barangkali masing-masing perempuan mengalami 20 puluhan
kali dioral dan dientot dari belakang, sampai akhirnya aku tak mampu
menahan laju orgasmeku lagi, kali ini wanita beruntung yang menampung
spermaku adalah tante Lia, sementara pak Simo...sekali lagi dengan
pabrik spermanya, menyirami wajah empat wanita sensual penuh nafsu itu
dengan semburan air mani yang banyak sekali. Malam itu terasa amat
panjang. Asih dan bu Simo telah tertidur di atas dipan, masih dalam
keadaan telanjang walau berselimutkan kain batik lusuh sementara pak
Simo keluar rumah entah kemana. Hujan telah reda. Tapi berahiku belum
mereda, aku kini berbaring menerawang di antara mama dan tante Lia yang
tengah mendengkur halus. Entah setan dari mana, kembali kusetubuhi mama
dan tante yang tertidur lelap itu sampai habis spermaku. Baru kemudian
aku tertidur.
Sinar matahari pagi menyilaukan mataku. Perlahan aku mulai mengerdipkan
mata, serentak mama dan tante di kanan dan kiriku juga mulai terbangun
dengan mata menyipit akibat sisa ngantuk dan silau, suara burung
berkicauan ramai di luar. Juga deru kendaraan lalu lalang dan klakson.
Kami saling bertatapan bingung, tante, mama dan aku nyaris menjerit
mendapati tubuh kami telanjang bulat , dengan reflek aku menutupi
penisku, sedang mama dan tante mendekap payudaranya dan mencoba menutupi
vaginanya. Lebih aneh lagi, kami tidak berada di rumah gubug, tapi di
kursi belakang mobil yang menghadap hanya sekitar 20 meter dari jalan
raya, kami berada di atas jalan masuk hutan yang lebih tinggi dari jalan
besar. “kamu ambil baju mama dan tante..cepat”, perintah mama. Aku
bangun melewati tubuh mama, dengan setengah merunduk aku berjalan ke
bagasi mobil, khawatir di lihat orang. Membuka bagasi dan mengambil tas
koper mama, lalu aku mengambil ranselku dan berjalan ke balik pohon
mengenakan pakaian. Dan kegaduhan di dalam mobil berakhir ketika dua
wanita yang telah berpakaian itu keluar lalu buang air kecil di balik
pepohonan. Sekilas aku dengar gumaman mereka seperti mengeluh dan
menanyakan sesuatu. Lalu masih dengan wajah pucat kembali ke dalam
mobil.
Dan kami segera berangkat. “Kita balik ke jakarta aja, Ren”, ujar mama
sesaat sebelum memasuki jalan raya. Aku yang juga bingung hanya menuruti
perintah mama. “Dan kamu jangan cerita-cerita ke papa”, ujarnya lagi,
“dan juga om mu”, timpal tante Lia. Hp mama berdering dan mama
terbata-bata meminta maaf karena batal menghadiri acara di Semarang.
Wajahnya kian memucat ketika suara di telepon mengatakan sudah menunggu 2
hari....berarti sudah 2 hari kami berada di hutan itu padahal kami
merasakan hanya semalam. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Baru
beberapa hari kemudian kami ketahui, 30 tahun lalu pernah ada seorang
dukun yang kedapatan meniduri anaknya hingga hamil. Ia kemudian diusir
penduduk kampung bahkan desas-desusnya dibunuh di tengah hutan.
Sementara si anak juga diasingkan dan akhirnya menghilang. Mama dan
tante kini menjadi sedikit pendiam, sementara aku kini makin gairah
menikmati hidup. Tapi persoalan lain mulai mendera....mama dan tante
mulai muntah-muntah,,,, mereka positif hamil. Dari yang aku baca...hantu
tak munkin menghamili manusia, berarti........
T A M A T
Home
Cerita Eksibisionis
Mama dan Tante Lia
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Mama Dan Tante Lia : Paranormal Activity
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar