“Seminggu lagi kak?”
“Iya, seminggu lagi, masak kamu lupa sih?”
“Eh, ng..nggak kok, masak nikahan kakak sendiri aku lupa, ya nggak lah, nggak lupa kok… hehe”
Seminggu lagi? Sial, aku benar-benar lupa. Ternyata waktu berlalu sangat cepat. Ya, seminggu lagi, seminggu lagi mungkin aku sudah tidak tinggal berdua dengan kakakku lagi. Dia akan menikah.
Ini saja persiapannya sudah dimulai. Keluarga kami sudah mulai sibuk-sibuk. Kak Ochi juga sudah berhenti berkerja. Acara nikahannya tentu bukan di rumah kontrakan ini, tapi di tempat keluarga besar kami di kota S. Tapi aku selalu saja lupa kalau dia akan menikah. Mungkin aku lupa bukan karena aku benar-benar lupa, tapi karena aku memang tidak ingin hal itu benar-benar terjadi. Aku ingin dia tetap di sini. Terus bersamaku di sini.
Si brengsek, maksudku calon suaminya itulah yang akhirnya mengambil kak Ochi dariku. Tentunya kak Ochi menemukan cowok itu tidak sekali jadi. Aku ingat pacarnya yang sebelum ini orangnya cupu banget, tapi dia baik sih, namun akhirnya mereka putus juga setelah cukup lama LDR. Pacarnya yang sebelumnya lagi, aku pernah hampir berantam sama tuh orang. Soalnya aku melihatnya sedang jalan sama cewek, padahal dia kan lagi pacaran sama kakakku waktu itu. Kalau tidak karena di-stop kak Ochi mungkin saat itu kami sudah berantam. Sampai akhirnya dia bertemu juga dengan calon suaminya yang sekarang, mas Bram, itupun sebenarnya pernah berkali-kali putus nyambung juga. Tapi sepertinya itulah yang membuat hubungan mereka menjadi lebih baik.
Yaah… Ku rasa calon suaminya ini cocoklah untuknya, dia baik sama kak Ochi. Tapi aku iri, seharusnya aku dong yang jadi suaminya kak Ochi! Mungkin nanti aku tiru saja adegan seperti di sinetron, yang tiba-tiba nyerobot masuk ketika akan akad nikah, menarik tangan kak Ochi lalu membawanya pergi. Tapi ya gak mungkin lha… gila aja kalau benar-benar aku lakukan, hehe.
“Dek, kamu kapan nyusul?”
“Nyusul?”
“Iya, nyusul kawin”
“Eh, i..itu ntar deh, kuliah aja belum tamat”
Aku memang sudah punya pacar sekarang. Tapi tetap sosok kak Ochi terus ada di pikiranku. Selama ini aku memang hanya memikirkan kak Ochi saja. Rasanya susah banget melepaskan bayang-bayang kakakku itu. Dia berkali-kali nyuruh aku nyari cewek sebelumnya, tapi aku gak bisa. Bukan karena aku gak mau, tapi aku sudah benar-benar jatuh cinta sama kakakku sendiri. Dulu mungkin aku hanya sekedar bernafsu saja melihat ulah, penampilan, serta omongan nakalnya yang selalu menggodaku. Tapi sekarang aku merasakan hal berbeda, lebih dari hanya sekedar nafsu belaka.
Makanya, walaupun calon suaminya ini memang sungguh baik pada kak Ochi, aku tetap saja dongkol. Cowoknya itu tidak sampai 1 tahun kenal kak Ochi, sedangkan aku sudah bertahun-tahun hidup bersama dengan kakakku. Seenaknya saja dia mau ngambil kak Ochi dariku. Tapi tentunya aku harus tetap support hubungan kak Ochi. Karena mau bagaimanapun, dia adalah kakakku. Aku harus mendukung yang terbaik untuknya. Walaupun tentunya itu menyakitkan dan tidak mudah.
“Adeeeeeek! Kamu melamun lagi?”
“Eh, ng..ngak kok kak”
“Ya udah, buruan dong dihabisin serapannya, mie rebusnya ntar dingin…”
“Iya iya, cerewet” gerutuku, kak Ochi membalas memelekan lidah. Tapi aku suka dicerewetin olehnya. Dicerewetin terus menerus juga gak masalah. Namun… sepertinya mulai minggu depan aku gak bakal mendengar cerewetannya itu lagi.
Setelah aku menghabiskan sarapanku, akupun berangkat kuliah. Aku memang kuliah di tempat yang sama dengan kampus kak Ochi dulu. Sengaja aku tidak memilih tempat kuliah yang jauh dan yang lebih bagus, aku memang ingin terus bisa tinggal berdua dengan kakakku di kota ini, di rumah kontrakan ini.
Di kampus, tetap saja pikiranku tidak tenang. Aku selalu kepikiran bagaimana membosankannya hariku nanti bila aku hanya tinggal sendiri di sini. Pastinya betul-betul ada yang kurang kalau tidak ada kak Ochi, juga gak ada yang bikin aku hangat di rumah lagi pastinya. Setelah selesai ngampus, aku memutuskan untuk langsung pulang. Aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan kak Ochi sebanyak mungkin.
Setibanya di rumah, aku langsung disambut oleh penampilan kak Ochi yang membuat nafasku jadi berat. Meskipun aku sudah sering melihatnya berpakaian minim, tapi tetap saja aku selalu berdebar-debar melihat sosok kakak perempuanku ini. Wajahnya yang cantik bening, kulitnya yang putih mulus serta cara berpakaiannya yang selalu mengumbar aurat, sungguh selalu bikin aku ngaceng berat. Seperti sekarang ini, dia memakai baju kaos biru muda dan celana legging hitam pendek, tapi baju kaos itu cukup dalam sampai menutupi celananya sehingga terlihat seakan kak Ochi tidak memakai celana. Selain itu aku juga yakin kalau kak Ochi tidak memakai dalaman apapun. Duh, kakakku ini…. menggoda banget sih pakaiannya? Melihat pemandangan ini aku jadi pengen dionanikan lagi.
“Kak…” panggilku.
“Hmm? Apa dek?” sahutnya dengan senyum manis.
“Itu… anu…” Aku tadi niatnya pengen ‘manja-manjaan’ lagi sama kakakku ini. Sudah cukup lama juga kami tidak melakukannya. Terakhir kali ku ingat, aku minta dicoliin kak Ochi hampir 3 minggu yang lalu. Namun melihat wajahnya itu aku tiba-tiba tersadar kalau sebentar lagi dia mau nikah. Haruskah aku tetap meminta hal begituan padanya di saat-saat seperti ini?
“Napa sih dek?” tanyanya lagi terlihat bingung.
“Anu… Nggak jadi deh kak” kataku akhirnya masuk ke dalam kamar.
Fiuhh… entah kenapa akhir-akhir ini suasananya jadi seperti ini. Keadaannya sudah tidak sama lagi. Ah, aku ingin terus bisa berduaan dengan kak Ochiiiiii.
Aku lalu merebahkan badan di tempat tidur. Tanpa terasa akupun tertidur.
Sorenya aku terbangun setelah dibangunkan kak Ochi. Dia nyuruh aku makan karena aku belum makan siang. Ternyata dia juga belum makan siang karena nungguin aku. Kak ochi, kamu kok baik banget sih? Itu yang membuatku makin suka kamu tahu nggak! T.T
“Tadi kamu mau ngomong apa sih dek?” tanyanya saat kami asik makan.
“Yang mana kak?” tanyaku balik pura-pura amnesia.
“Itu, yang tadi siang, yang tiba-tiba gak jadi itu… kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?” tanyanya lagi.
“Gak ada apa-apa kok…”
“Beneran?”
“Beneran”
“Yakin?” tanyanya lagi yang seakan tahu kalau aku berbohong.
“Yakin kak…” jawabku.
Ku lihat kak Ochi menghela nafas mendengarkan jawabanku.
“Kalau ada yang mau diomongin, ngomong aja dek… Ntar nyesal lho…”ujarnya, dia kemudian menyelesaikan makannya lalu pergi ke dapur menaruh piring. Aku hanya diam sambil terus melanjutkan makanku. Bukan karena apa-apa aku gak mau meminta hal itu pada kak Ochi, tapi aku harus sadar diri. Meskipun aku kesal dia akan menikah, tapi aku ini tetaplah adeknya.
Akhirnya sisa hari itupun berakhir seperti biasanya, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang hanya tersisa 6 hari lagi waktuku bersama kak Ochi.
…………
Besoknya hari minggu, aku sengaja bermalas-malasan tiduran di kamar. Aku yang tiba-tiba ‘kepengen’ akhirnya hanya beronani sendiri pagi itu sambil menatap foto-foto nakal kak Ochi yang pernah aku ambil dulu. Ya, kak Ochi masih tetap menjadi objek onani terbaikku sampai sekarang. Aku masih saja susah membuang ketertarikan dengan kakak kandungku sendiri.
“Adeeek…” panggilnya tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Bisa ditebak deh apa yang akan terjadi selanjutnya, ya… aku kedapatan sedang onani olehnya.
“Eh, i..iya kak? Napa kak?” tanyaku grogi salah tingkah.
“Kamu ngapain sih !?? Gak pengen serapan?? Malah asik onani!” ujarnya ketus.
“I..iya kak, bentar lagi”
“Gak usah serapan! Onani saja terus sana!”
BRAAAK! Pintu kamarku dibantingnya dengan kencang. Dia ini kenapa sih? Lagi datang bulan? Tiba-tiba saja jadi marah gak karuan gitu….
Aku yang tidak mood lagi beronani akhirnya keluar kamar untuk sarapan. Ku lihat dia lagi sarapan di depan tv. Setelah aku mengambil piringku yang memang sudah disediakan kak Ochi, akupun ikut duduk bersamanya sarapan di depan tv. Selama makan, dia berkali-kali melirik padaku, lalu membuang mukanya. Apa sih maksudnya? Aku bingung. Namun akhirnya aku tetap diam, takut salah ngomong yang mungkin membuatnya makin marah. Dia pasti beneran lagi datang bulan nih…
“Dek, ntar mas Bram mau datang ke sini” katanya setelah kami selesai makan.
“Heh? Dia mau ke sini kak?” sahutku malas.
“Iya, mas Bram mau main ke sini, boleh kan dek?” tanyanya melirik tajam padaku, seakan memaksaku untuk mengatakan boleh, padahal dia tahu kalau aku tidak terlalu suka kalau mas Bram main ke sini meskipun pria itu adalah calon suaminya sendiri. Tapi dia tampaknya tidak peduli, dan apa dayaku, aku tidak punya hak melarang-larangnya.
“Iya, boleh aja kok” jawabku mengiyakan. Ku lihat dia menghela nafas lagi.
Siangnya, mas Bram sampai di rumah kami. Dia langsung disambut kak Ochi dengan mesranya. Mereka ngobrol dengan asiknya di ruang tamu, penuh canda tawa. Lagi-lagi aku merasa tidak nyaman melihat kemesraan mereka itu.
Setelah makan siang bersama. Kami bertiga duduk di sofa depan tv. Kami berbincang-bincang biasa, tapi tetap kak Ochi selalu pamer kemesraan dengan pacarnya itu di depanku. Peluk-pelukan, sayang-sayangan, bahkan berciuman di sebelahku. Melihat mereka bermesraan begitu tentu saja membuatku cemburu luar biasa. Sialan.
Akupun mencoba untuk terus fokus memandang layar tv, tapi tetap saja hatiku rasanya terbakar. Terlebih Kak Ochi saat berciuman dengan calon suaminya itu selalu melirik padaku, bikin aku tambah panas saja. Lirikan matanya itu seakan-akan sedang berkata padaku, “Lihat nih dek… kakakmu tersayang sedang bermesraan sama cowok lain. Bibir kakak yang biasa kamu emut sedang diemut cowok lain” Duh, sakitnya tuh di ‘sini’. Aku yang tidak tahan akhirnya beranjak dari sana dan masuk ke kamarku. Aku betul-betul kesal. Apa sih maksudnya kak Ochi bikin aku cemburu seperti itu !?
Setelah mas Bram pulang, barulah aku keluar kamar. Ku lihat kak Ochi tersenyum sejenak padaku seakan menunggu aku untuk berkomentar tentang aksinya dengan mas Bram tadi, tapi aku tetap diam karena memang kesal dengan ulahnya itu. Melihatku hanya diam, diapun memalingkan muka dan langsung masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu. Aku betul-betul tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya! Yang ada hanya kiriman sms darinya tidak lama kemudian yang masuk ke hapeku. Aku tentu bingung kenapa dia ngirimin sms segala, padahal kan dalam satu rumah, tinggal ngomong saja. Aku yang penasaran akhirnya membuka isi smsnya itu.
Adek bodoh! Idiot! Pornooooo!
…………
Aku betul-betul merasa tidak nyaman. Selain waktu bersama dengan kakakku yang semakin tinggal sedikit, sifat kakakku yang menjadi seperti itu juga menggangguku.
“Kak… kak Ochi” panggilku dari balik pintu kamarnya pagi hari itu.
“Ya dek bentar…” sahutnya. Tidak lama kemudian pintu kamarnyapun terbuka. Wew, seperti biasa, aku selalu mupeng berat melihat kakakku ini. Dia pagi ini mengenakan daster tidur model baby doll. Sungguh seksi dan membuat si otong berontak. Aku yakin dia tidak mengenakan apa-apa lagi dibaliknya, itu jelas terlihat dari putingnya yang menyetak. Lagi-lagi aku jadi kepengen dionanikan lagi olehnya. Eh, tapi gak boleh, lagian dia pasti juga bakal nolak.
“Hmm? Napa dek?” tanyanya.
“Serapan kak…”
“Oh… kamu perlu serapan juga toh?”
“Ya iyalah…”
“Kirain, ya udah bentar…” katanya sambil mengikat rambut lalu menuju dapur. Dia tampaknya sudah tidak marah lagi. Tuh, buktinya dia senyum-senyum manis padaku sambil memasak serapan.
“Kak, udah selesai datang bulannya?” tanyaku iseng.
“Hah? Kakak gak lagi datang bulan kok…”
“Lha, terus kenapa dari kemarin kakak kayak gitu terus?”
“Kayak gitu? Kayak gitu gimana?”
“Iya, marah-marah gitu…”
“Siapa yang marah?”
“Terus yang kemarin itu apa?” tanyaku lagi yang masih bingung. Dia hanya melirik panjang padaku lalu mendengus kencang.
“Kamu pikirin aja sendiri!” katanya ketus sambil menaruh serapanku di atas meja lalu masuk ke dalam kamarnya. Kak Ochi ini kenapa sih?? Lagian, masak serapannya mie rebus lagi sih?? Tapi tetap ku makan juga karena lapar.
Dasar adek bodoh!
Sambil makan aku terus berpikir kira-kira apa salahku padanya, namun sepertinya tidak ada. Terus kenapa dia jadi seperti itu? Bentar lagi mau nikah malah marah-marah gak jelas padaku. Seharusnya yang marah itu kan aku, dia seenaknya mau ninggalin aku sendiri di sini dan pergi sama calon suaminya itu. Bukannya baik-baik padaku malah marah-marah. Sepertinya kak Ochi betul-betul udah gak sabar pengen nikah dan ninggalin aku!
Duh, mana bikin mie rebusnya pedas banget gini lagi! Awas ntar aku balas tuh kak Ochi!
Aku yang benar-benar kesal sama kak Ochi akhirnya masuk masuk ke kamarnya waktu dia sedang mandi. Aku ingin berantakin isi kamarnya. Ku lihat BB kak Ochi yang tergeletak di atas kasur. Oke, dimulai dengan ngebajak BBM kak Ochi!
Segera ku ambil BBnya, tapi…. apa ini???
Yang jadi wallpaper BBnya…
terus yang jadi Display Picture BBnya…
…..Foto aku dan kak Ochi??
DEGGGHHHH!
Bodoh! Aku sungguh bodoh! Kenapa aku baru sadar?? Kenapa aku berpikir kalau aku sendiri yang tidak suka kami bakal berpisah? Kenapa aku berpikir kalau kak Ochi akan senang-senang saja berpisah denganku? Kenapa aku berpikir dia benar-benar sedang marah padaku? Dia pasti… dia pasti juga tidak ingin kami berpisah bukan?? Aku sungguh bodoh….
Aku yakin itulah yang membuatnya jadi marah-marah padaku. Itulah kenapa dia sengaja membuat aku cemburu kemarin, dan… ah... aku sungguh bodoh tidak menyadarinya. Ku terus pandangi foto itu, ada editan berupa tulisan di sana : ‘Aku dan adekkku sayang yang nakal’
Kak Ochi….
“Adeeeekkkk! Kamu ngapain di kamar kakak??” tiba-tiba terdengar suara kak Ochi mengagetkanku. Rupanya dia sudah selesai mandi. Kakakku hanya mengenakan handuk yang membelit tubuh basahnya.
“Ng..nggak kok kak… gak lagi ngapa-ngapain” jawabku sambil mengucek mataku.
“Kamu kenapa dek? Nangis? Masa cowok nangis sih?” sindirnya.
“Enak aja nangis, ini kelilipan, kamar kakak berdebu sih…” kataku ngasal.
“Sembarangan! Awas sana, kakak mau ganti baju…” ujarnya mengusirku. Tapi tidak kali ini, aku tidak ingin membuang waktu untuk bisa bersama kakakku lagi. Waktu berduaan kami tinggal sedikit, aku ingin menggunakannya sebaik mungkin.
“Nggak mau ah” tolakku sambil berjalan mendekati kakakku dengan seringai mesum, ekspresi kak Ochi jadi cemas-cemas gitu. Sungguh imut menggemaskan.
“Eh, eh, mau ngapain kamu dek? Sanah keluar… Jangan bilang kamu pengen liatin kakak ganti baju??” katanya melempar bantal ke mukaku sambil terus berjalan mundur menjauhiku, tapi aku terus berjalan mendekatinya.
“Iya… boleh yah kak… hehe… udah lama aku nggak lihat kakak telanjang bulat lagi, udah 3 minggu…”
“Enggak! Dasar mesum! Porno! Sana…” tolaknya dengan ekspresi cemas, tapi kemudian aku melihatnya tersenyum kecil, lalu tertawa sambil menutup mulutnya.
“Napa kak ketawa?” tanyaku bingung.
“Kamu tu lucu tahu nggak…. Hihihi”
“Lucu? Enak aja… emangnya aku badut!”
“Hahahaha” ketawanya semakin keras, aku yang melihat dia tertawa juga jadi ikut tertawa. Dia tahu, dia tahu kalau aku sudah tahu dimana kesalahanku. Ya.. Kali ini aku tidak mau membuang-buang waktu bersama dengan kak Ochi lagi.
“Kak…”
“Hmm? Apa dek?”
“Pengen…”
“Pengen? Pengen apa sih?” tanyanya pura-pura tidak tahu. Ku lihat matanya, jelas tampak kalau dia sangat berharap agar aku minta ‘bermanja-manjaan’ lagi padanya. Dan kali ini, aku tidak boleh melakukan kesalahan lagi. Aku betul-betul ingin berduaan sama kakakku. Menghabiskan waktu bersama dengan kakakku yang cantik ini.
“Pengen cium-cium kakak, pengen meluk kakak, pengen sayang-sayangan sama kakak” jawabku tegas.
“Ohhh…”
“Lha, kok cuma ooh sih kak? Gak boleh?”
“Hmm… boleh nggak yah?” tanyanya pura-pura mikir. Aku yang gemas dengan tingkahnya akhirnya langsung memeluknya.
“Adeeek! Main peluk aja… Lepasin! Jatuh ntar handuk kakak” ujarnya sambil berusaha melepaskan diri dariku.
“Ya bagus dong… pokoknya aku nggak mau lepasin kak Ochi lagi”
“Huuu… dasar adek porno, manja banget sih kamu…”
“Biarin…”
Kak Ochi akhirnya membiarkan aku untuk terus memeluknya. Akupun terus memeluk tubuhnya yang masih lembab dan harum karena habis mandi. Kepalaku ku sandarkan ke pundaknya. Sungguh nyaman dan… sungguh bikin aku konak.
“Dek… burungmu nekan-nekan tuh”
“Habis… kakak seksi banget sih…” kataku sambil makin mengeratkan lingkaran tanganku pada pinggangnya.
“Dasar…. Emang kamu gak kuliah hari ini dek?”
“Gak ah, malas… hari ini pengen sama kakak terus”
“Hihihi, dasar…” katanya sambil mencubit pinggangku. Akupun terus memeluknya dari belakang. Bibirku kini mencium-cium pundaknya yang melengkung indah, leher jenjangnya, serta wajah cantik kakakku ini. Cukup lama kami dalam posisi ini.
“Dek… udah dong… kakak mau pake baju nih…” pinta kak Ochi menatap wajahku dari cermin. Tanpa sadar ternyata selama peluk-pelukan tadi kami berjalan sedikit demi sedikit hingga sampai ke depan lemari bajunya.
“Gak usah ah kak…”
“Hmm… emangnya kamu gak pengen milhin kakak baju lagi?” tawarnya yang membuat aku tergoda.
“Pengeeeeen… eh, tapi ntar aja deh. Pake handuk gini aja udah seksi banget kok, hehe…”
“Dasar adek mesum… nih tanganmu kenapa nih?” katanya mencubit pelan punggung tanganku yang meraba-raba buah dadanya dari balik handuk. Untung saja dia berbaik hati membiarkan aksi nakal tanganku. Akupun bisa dengan leluasa meraba dan meremas pelan buah dadanya.
Tapi tiba-tiba BB kakakku berbunyi, ada panggilan masuk. Siapa sih? Mengganggu kemesraan pasangan adek-kakak saja. Ternyata dari si brengsek, eh, maksudku mas Bram, calon suaminya. Aku tentu saja tidak mengizinkan kakakku menerima telepon, sempat miss call satu kali, namun ternyata Mas Bram menelepon lagi.
“Please dek… boleh yah kakak angkat teleponnya?” mohon kak Ochi padaku.
“Ya udah, cepetan… tapi aku tetap sambil meluk kakak yah” jawabku akhirnya membolehkan yang disambut senyuman manisnya.
Mas Bram hanya menanyakan kabar seperti biasa, lalu sedikit bercanda-bercanda vulgar juga yang membuat kakakku tertawa cekikikan.
“Apa yang? Udah gak tahan?” tanya kak Ochi pada mas Bram, tapi sambil melirik padaku dari cermin.
“Tenang aja… gak sampai seminggu lagi kok, hihihi” kata kak Ochi lagi.
“Iya, seminggu lagi. Seminggu lagi kita bisa gitu-gituan, bebas deh kita pengen ngapain aja” kata kak Ochi yang terus saja melirik padaku. Duh, kak Ochi ini lagi-lagi sengaja bikin aku cemburu. Aku yang kesal akhirnya menarik handuk kak Ochi sampai terlepas dari tubuhnya.
“Awwwhhhh!” teriaknya manja sambil melotot padaku. Dia reflek menutup tubuh telanjangnya dengan tangannya.
“Eh, apa Mas? Nggak kenapa-kenapa kok… itu tadi si adek nakal” kata kak Ochi sambil berusaha mengambil handuknya kembali dari tanganku, tapi aku menghindar menjauh. Setelah beberapa kali mencoba mengejarku akhirnya kak Ochi kecepekan. Dia pasrah saja akhirnya menelepon calon suaminya itu sambil telanjang bulat! Entah apa jadinya kalau mas Bram tahu kalau kak Ochi sedang teleponan dengannya sambil telanjang bulat, bugil polos di depan adek laki-laki calon istrinya ini. Ugh… kakakku ini sangat menggemaskan.
Aku buang handuk itu jauh-jauh lalu ku peluk dia lagi dari belakang. Kak Ochi terkejut melihat aku yang tiba-tiba memeluknya. Dia berusaha melepaskan diri, mungkin risih karena harus menerima pelukanku saat dia sedang teleponan sama calon suaminya, mana sambil telanjang bulat pula. Tapi aku terus memeluk dengan erat, akhirnya dia membiarkan juga aksiku dan melanjutkan obrolan di telepon.
Kak Ochi juga membiarkan aku yang terus meraba-raba tubuhnya, meremas buah dadanya, serta mencium-cium pundak, leher dan wajah cantiknya itu. Sesekali aku juga memaju mundurkan pinggulku, menggesek-gesekkan penisku yang masih tertutup celana ke belahan pantat kak Ochi yang bulat menggoda.
“Gila kamu dek! Kalau ketahuan gimana coba?? Seenaknya ngambil handuk kakak!” ujar kak Ochi setelah selesai teleponan. Dia mengambil handuknya tadi lalu mengenakannya kembali. Gak masalah deh, dia telanjang ataupun cuma pake handuk tetap saja nafsuin.
“Biarin, habisnya dia ngambil kakak dari aku sih…” balasku.
“Kamu marah dek? Cemburu ya?” tanyanya kemudian.
“Ya iyalah…” jawabku jujur yang dibalasnya dengan mencubit pelan hidungku.
“Adek sayang… kamu pikir kakak tenang-tenang aja ninggalin kamu sendiri di sini? Kakak terus mikir tahu! Gimana kamu makan, siapa yang bangunin kamu tiap pagi. Memangnya bisa apa kamu tanpa kakak?” katanya menatap dalam-dalam ke mataku. Benar, bisa apa aku tanpa ada kak Ochi di sini?
“Maaf ya dek… kakak gak bisa terus sama kamu di sini” katanya lagi mengecup keningku.
“Iya kak, aku ngerti kok…” Aku memang tidak ingin kak Ochi pergi dari sini. Aku tidak ingin dia menikah. Aku mau terus tinggal berdua bersama kakakku yang paling cantik ini. Tapi… aku harus merelakannya.
“Maaf juga ya dek… Mungkin ini yang terakhir kita manja-manjaan begini” kali ini dia mengecup bibirku. Terasa manis.
“Iya kak, gak apa kok…”
Dia tersenyum lagi, kali ini senyuman nakal.
“Hmm… Kalau kamu mau, selama sisa hari ini kamu boleh minta apapun lagi ke kakak. Kamu mau nyuruh kakak ngapain aja bakal kakak turutin deh…” katanya melirik padaku sambil tersenyum manis.
“Beneran kak?”
“Iya… tapi tetap gak boleh-“
“Gak boleh gitu-gituan, iya…” potongku.
“Hihihi.. pinteeer….” Dia tertawa, akupun juga jadi ikut tertawa.
“Tapi sayang banget ya dek…” lanjutnya lagi.
“Sayang? Sayang kenapa kak?”
“Iya, sayang banget kita itu sodara kandung. Kalau nggak, mungkin kakak bakal nikah sama kamu aja tuh”
“Hehe, iya sayang banget”
“Kalau nggak, kamu bebas deh ngentotin kakak sepuasmu, mau kamu apakan aja kakak bakalan pasrah kok…”
“Hehehe, iya dong… pasti aku bakal puas-puasin ngentotin kakak”
“Kalau pengen hamilin kakak juga boleh…” katanya lagi.
“Iya, pengen banget bisa hamilin kakak, bikin anak yang banyak sama kak Ochi, hehe”
“Huuu… dasar mesum!”
“Tapi biar aja kak walaupun kita saudara kandung, kan gak ada yang tahu kalau kita gitu-gituan. Yuk kak… ngentot yuk… Aku mau ngentotin kakak… Aku mau hamilin kakak” ujarku blak-blakan. Dia langsung mencubit keras hidungku.
“Hush! Masak kakak kandung sendiri dibikin hamil sih?? Dasar, adek kakak ini emang porno banget… Sama kakak sendiri nafsu! Hihihi” ucapnya menolak sambil cekikikan.
“Kakak juga, adek sendiri digodain”
“Kamu sih…”
“Kakak tuh…”
“Hahahaha” kami tertawa bersama. Mendengar tawa renyah kakakku ini betul-betul membuat aku senang. Aku ingin terus bisa tertawa bersamanya.
“Kak, aku telanjang yah…”
“Kenapa dek? Udah gak tahan ya? Tersiksa yah burungnya?”
“Iya, kakak seksi banget… gak tahan lihatnya”
“Huuu… Yang mana sih yang bikin kamu nggak tahan?” tanyanya menggodaku.
“Itu… paha kakak yang putih, belahan dada kakak, terus wajah kakak yang cantik, pokoknya semuanya deh…”
“Hmm… Ya udah… keluarin deh burungnya, kasihan tuh…” Mendengar dia setuju akupun segera membuka baju, celana, serta kolorku, ku lempar semuanya sembarangan di lantai kamarnya. Dia tertawa saja melihat aku yang sangat bersemangat. Akhirnya aku telanjang bulat di depan kakakku. Kak Ochi sendiri masih memakai handuk. Suasana yang sangat cabul.
“Ih ih, kok yang di selangkangan kamu udah naik turun aja? Pengen yah dek?” tanyanya dengan senyum nakal menggoda.
“I..iya kak, pengen… Kakak juga buka lagi dong….” pintaku deg degan.
“Buka handuk?”
“Iya… apalagi emangnya”
“Hmm… buka nggak yah… pengen banget yah dek lihat kakak telanjang?”
“Pengen kak…”
“Kakak ini kakak kandungmu lho…”
“Emang…”
“Masak kita sama-sama telanjang sih? Ntar kalau ada yang lihat gimana coba? Terus kita masuk berita… ‘Seorang kakak dan adeknya ditemukan telanjang bulat berdua di dalam kamar’ hihihi” ujarnya sambil cekikikan.
“Garing ah kak… Cepetan dong kak buka handuknya… lama banget” pintaku lagi mulai memaksa. Candaan kakakku tidak bisa mengalahkan nafsuku. Tapi dia malah sengaja berlama-lama, bikin aku makin mupeng saja.
“Takut ah… kamunya nafsunya tinggi gitu…”
“Yaaahhh… katanya semua yang aku mau bakal kakak turutin”
“Hmm… Sana, hadap sana dulu bentar dek…” suruh kak Ochi.
“Lho kok?”
“Ngadap sana dulu…” suruhnya lagi memutar tubuhku. Duh, ngapain sih kak Ochi? Aku yang bingung akhirnya nurut-nurut saja apa yang disuruhnya. Akupun membalikkan badan, hanya terdengar suara kresek-kresek. Aku tidak tahu apa yang sedang dibuatnya. Sekitar 1 menit kemudian barulah dia menyuruh aku membalikkan badan lagi.
“Kalau kayak gini gak apa kan dek?” tanyanya dengan senyum manis, lalu membuka handuknya dengan gaya nakal.
Wow, dadaku berdebar kencang. Aku terpana melihat sosok indah di depanku ini. Ku kira dibalik handuk itu kak Ochi tidak memakai apa-apa lagi, ternyata dia tadi menempelkan plester pada kedua putting susunya, vaginanya juga diplester dari bagian klirotis sampai batas bawah vaginanya. Seluruh tubuhnya terekspos bebas, hanya di bagian vagina dan putting susunya saja yang ditutupi. Seksi abisss! Kakakku ini memang sangat pandai menggoda dan bikin panas dingin orang.
“Napa dek? Mupeng gitu sih mukanya? Hihihi… Gak apa kan kakak kayak gini aja? Sekalian jaga-jaga takut kamu khilaf biar burungmu gak nyelip masuk…”
“I..iya kak gak apa” jawabku. Duh, aku horni berat melihat pemandangan di depanku ini. Aku spontan mengocok penisku di depannya.
“Enak ya dek? Ngocok sambil lihat kakak kayak gini?” tanyanya sambil berpose imut menggerai rambutnya.
“I..iya kak… enak”
“Hayo… ngebayangin apa sih kamu?”
“Eh, Nge..ngebayangin… ngebayangin apa yah… ngebayangin kakak keluar rumah cuma pake ginian, kakak berenang di pantai nggak pake bikini, tapi cuma ditutup pake plester kayak gini, hehe”
“Huuu…. Emang kamu sanggup lihat kalau kakak beneran berenang cuma pake beginian? Pasti banyak cowok-cowok yang mupeng lihatin kakak dong… kamu mau kakak dilihatin mereka rame-rame? Kalau kakak kandungmu ini diapa-apaain sama mereka rame-rame gimana coba? Kamu sanggup lihat?” ujar kak Ochi yang memberondongku dengan pertanyaan yang malah membuatku menghayal yang tidak-tidak. Penisku jadi semakin tegang saja.
“Itu… Gak sanggup kayaknya,hehe…” jawabku, kalau beneran terjadi kan gila juga. Kak Ochi hanya tertawa cekikikan.
“Kak…” panggilku.
“Hmm? Apa dek?”
“Itu…”
“Mau lihat kakak beres-beres rumah?” tanyanya memotong. Asli canggih nih kak Ochi, hebat benar menebak pikiran orang.
“Iya kak, hehe… mau kan kak?” tanyaku.
“Tapi kakak udah nyapu tuh tadi pagi…” Kakakku ini memang rajin banget, tapi kecewa juga sih, aku kan pengen lihat dia bersih-bersih.
“Hmm… tapi demi kamu kakak sapu lagi deh… Tuh, tempat sampahnya kamu obrak-abrik aja lagi dek, biar nanti kakak sapuin lagi semuanya khusus buat kamu, hihihi” katanya kemudian. Ugh… kak Ochi memang yang paling baik deh.
“Hehehe, kakak baik banget…”
“Kan udah kakak bilang kamu boleh minta apapun… Ya udah yuk dek keluar kamar, silahkan tontonin kakakmu ini sepuas-puasnya” jawabnya dengan nada menggoda. Ah, senangnya punya kakak kayak dia.
Kami berdua lalu keluar kamar. Seperti yang kak Ochi bilang tadi, akupun mengambil tempat sampah yang ada di dapur, di kamarnya serta yang di kamarku lalu menyerakkan isinya sembarangan ke lantai. Jadilah lantai rumah kami berantakan oleh sampah. Kak Ochi yang melihat ulahku yang jadi tertawa-tawa sambil geleng-geleng kepala, mungkin karena melihat sampah-sampah dari kamarku yang kebanyakan tisu semua, hehe.
Dimulai dengan senyum-senyum manis sambil berpose imut di depanku, dia lalu mulai bersih-bersih. Menyapu sampah-sampah itu dengan keadaan dirinya yang nyaris telanjang bulat. Dia menyapu rumah dari halaman belakang sampai ke teras depan. Aku sempat deg-degan saat dia membuka pintu depan lebar-lebar, lalu keluar dengan santainya menyapu teras depan. Dianya hanya tersenyum manis saja padaku. Sungguh nakal banget nih kak Ochi. Untung saja pagar rumah kami cukup tinggi, kalau tidak mungkin saja bakal kelihatan oleh orang-orang di luar yang kelihatannya sedang rame. Entah apa jadinya kalau para tetangga kami melihat kak Ochi dengan keadaan seperti sekarang ini. Kakakku yang biasanya dikenal sopan dan memakai jilbab bila keluar, kini nyaris telanjang bulat sambil beres-beres rumah. Ughh… kak Ochi. Aku jadi mengocok penisku makin cepat saja. Rasanya gimana gitu… melihat wanita cantik seperti kakakku tersayang ini beres-beres rumah dengan keadaan nyaris telanjang bulat begitu. Hmm, mungkin ini sih udah bisa dikatakan telanjang kali ya? Vagina dan putingnya cuma ditutup plester gitu, hehe. Tapi kayakya aku keterlaluan juga menyerakkan sampah sebanyak itu, tuh ku lihat kak Ochi sampai berkeringat karena ngebersihinnya.
Selesai menyapu, kak Ochi lanjut mencuci piring. Dia masih sering melirik padaku sambil senyum-senyum manis, senyumannya itu betul-betul bikin aku gak tahan. Indah banget dipandang. Mana dia keringatan pula. Seksi deh pokoknya. Tapi kami terkejut saat kemudian ada yang mengetuk pintu depan. Hufh… untung saja pintu sempat ditutup dan dikunci, kalau tidak gak tahu deh apa yang akan terjadi bila orang itu melihat kami berdua, kakak beradik kandung yang sama-sama dalam keadaan telanjang begini, terlebih melihat tubuh kak Ochi. Mana ternyata orang itu adalah Pak Sarmin, tetangga kami yang punya warung di ujung jalan.
“Iya pak bentar…” sahut kak Ochi pada bapak itu.
“Dek… lihat nih, kamu ngocok terus yah…” kata kak Ochi mengedipkan mata nakal. Dia lalu melangkah menuju pintu depan. Dadaku berdebar-debar, apa yang akan dilakukan kakakku dengan kondisi seperti itu. Sebelum membuka pintu kak Ochi lagi-lagi menoleh ke belakang ke arahku lalu tersenyum manis memiringkan kepalanya. Sungguh imut.
Kak Ochi kemudian membuka pintu sedikit, untung saja dia hanya mengeluarkan kepalanya. Tubuh telanjangnya dia sembunyikan di balik pintu, tapi tetap saja aku dibuat panas dingin oleh tingkahnya itu. Ughh… kak Ochi nakal, gumamku sambil terus mengocok penisku menyaksikan ulah kakakku.
“Ya Pak…?”
“Ini non, ayam pesanan non Ochi kemarin”
“Ohh… makasih Pak” ucap kak Ochi menerima bungkusan ayam potong itu. “Uangnya sudah kan pak?”
“Iya, sudah kok non kemarin…” jawab pak Sarmin. Aku dapat melihat ekspresi bingung bapak itu, mungkin dia heran kenapa kakakku hanya mengeluarkan kepalanya saja. Aku rasa mungkin pak Sarmin jadi berpikir yang aneh-aneh, mungkin dia berpikir kalau kakakku sedang menyembunyikan tubuh telanjangnya di balik pintu, dan itu memang benar. Kalau saja pintu didorong sedikit oleh bapak itu, pasti dia akan dapat melihat ketelanjangan kakakku. Kakakku yang biasanya selalu berpakaian rapi, sopan dan tertutup bila ke warungnya akan bisa dia lihat semua aurat-auratnya indahnya.
Untung saja itu tidak terjadi, dia tidak berlama-lama. Pak Sarmin akhirnya permisi pamit. Pintupun ditutup dan dikunci lagi oleh kak Ochi. Hufh… lega, jantungku rasanya mau copot, tapi pejuhku hampir nyembur tadi.
“Gila banget kak… kalau ketahuan gimana tuh tadi?” tanyaku padanya.
“Hihihi… tapi kok burungmu tetap ngaceng sih?”
“Kakak sih nakal banget…” dia hanya tertawa sambil menutup mulut.
“Terus kalau kakak nakal, kamu pengen apain kakak dek?” tanyanya menantangku kemudian. Duh, kak Ochi ini malah nantangin aku. Ekspresi wajahnya juga diimut-imutkan yang membuat aku semakin bernafsu. Aku yang tidak kuat akhirnya menyeret kak Ochi ke sofa. Segera ku tindih tubuhnya, ku peluk, ku raba-raba serta ku cium-cium kakakku yang cantik putih bening ini. Kak Ochi yang menerima serangan bertubi-tubi dariku hanya tertawa-tawa geli dibuatnya.
“Mmmh… adek… sshh… nafsu banget sih? Sama kakak sendiri nafsu… shhh” erang kak Ochi menerima cumbuanku. Aku terus menjamah tubuh kakakku. Gayanya yang seperti menolak-nolak itu malah bikin aku tambah gemas. Kami bergumul sampai terjatuh dari sofa, dia sempat tertawa, tapi aku segera mencium mulutnya dan menjamah dia lagi di atas karpet ruang tamu.
“Dek… bentar… kakak mau ngomong nih…” kata kak Ochi mendorong wajahku. Mau ngomong apaan sih? Orang lagi horni berat gini disuruh stop. Namun aku hentikan juga sejenak aksiku.
“Kamu tahu kan kalau ini mungkin manja-manjaan kita yang terakhir?” tanya kak Ochi sambil memegang kepalaku.
“Iya kak, aku tahu…”
“Hmm… kamu gak pengen merekamnya dek?” tanyanya dengan senyum menggoda.
“Hah? Direkam kak?”
“Iya… kita bikin film bokep, hihihi”
“Hah?” Duh.. kak Ochi ini. Bikin Jantungku berdebar saja mendengarnya.
“Hahaha, gimana dek? Mau enggak?”
“Mau dong kak… untuk kenang-kenangan”
“Iya, untuk kenang-kenangan biar kamu gak kangen kakak terus nanti” katanya lalu membalikkan badan, mengecup bibirku sebentar lalu bangkit berdiri.
“Yuk dek ke kamar kakak… rekam pake handycam aja yah…” katanya lalu menuju ke kamarnya, aku juga segera bangkit menyusulnya dengan penuh semangat. Si otong juga udah gak sabar untuk nyelip-nyelip di tubuh kakakku lagi.
“Yang rekam siapa kak?”
“Napa? Mau nyuruh pak Sarmin yang ngerekam? Atau mau minta tolong sama teman-temanmu yang ngerekamin?” tanyanya balik dengan lirikan menggoda.
“Eh… jangan lah…” gila aja malah nyuruh mereka yang merekam, bisa kacau ntar urusannya.
“Hahaha, taruh aja dek di atas lemari atau dimana kek gitu… biar direkam dari jauh, jadi kesannya ntar kayak kamu beneran ngentotin kakak, gimana?” ujarnya. Duh… kakakku ini. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Tapi aku senang banget, hehe.
“Iya deh kak cepetan…” kataku tak sabar. Aku segera meletakkan handycam ke atas lemari lalu kembali ke arah kakakku yang sudah… membuka plester pada kedua putingnya !?? Ugh… aku yang tidak tahan langsung menerkam kakakku dan menghimpitnya di atas ranjang, dia menjerit manja. Ku cium-cium, peluk dan ku gerepe tubuhnya lagi. Puting buah dadanya juga aku ku jilati dan ku kenyot, sayang gak ada air susunya.
“Kak… kalau kakak udah punya bayi, boleh nggak aku nyusu lagi, pasti udah ada air susunya kan waktu itu, hehe” ujarku iseng cengengesan mesum, namun yang ku dapat malah jitakan darinya.
“Gelo lu dek! Air susu kakak ya cuma buat anak kakak aja, mungkin suami kakak juga, hihi. Masak kamu pake ikut-ikutan juga sih?? enak aja…” ujarnya diiringi jitakannya sekali lagi di keningku “Jtak!” Aku hanya tertawa sambil menahan sakit karena jitakannya, diapun juga jadi ikutan tertawa. Hmm... mungkinkah kak Ochi tidak benar-benar menolak permintaanku itu?
Aku lalu melanjutkan lagi aksi menggerepe-gerepe kakakku. Ku cium dia dengan buas sampai wajah dan buah dadanya basah oleh air liurku. Dia juga membalas ciumanku, kamipun saling membelit lidah dan bertukar liur. Cukup lama kami melakukannya, selama itu kak Ochi terus-terusan mendesah yang membuat aku semakin bernafsu. Aku yang tidak tahan akhirnya melebarkan paha kakakku. Ku arahkan dan ku tempel kepala penisku di belahan vaginanya yang masih ditutupi plester itu. Plester itu sudah basah, becek oleh cairan kak Ochi. Kakakku juga sedang dilanda nafsu. Wajahnya memerah dan berkeringat. Membuat dirinya makin terlihatmenggoda.
Aku lalu menatap matanya, dia mengerti kalau aku sedang meminta persetujuannya, Kak Ochipun tersenyum dan mengangguk.
“Hati-hati dek… ntar plesternya lepas kalau kamu terlalu heboh…” ujar kak Ochi dengan nafas berat mengingatkanku.
“Iya kak… bagus dong kalau lepas, hehe”
“Dasar… enggak mau”
“Iya iya…”
Aku kemudian menggesek-gesekkan penisku di sana. Meskipun diplester, tapi tidak mengurangi sensasi nikmatnya sama sekali. Sesekali aku juga mencoba menekan masuk kepala penisku, sengaja berharap agar plester itu sobek ataupun terlepas, tapi ternyata tidak bisa, plester itu menahan penisku untuk bisa masuk ke dalam vagina kakakku. Kak Ochi yang melihat usaha sia-siaku malah tertawa cekikikan.
“Untung aja kakak plesterin, hihihi”
“Curang…” gumamku. Aku lalu mengangkat pahanya, menjepit penisku dengan paha putih mulusnya itu. Lalu ku goyangkan pinggulku sekencang-kencangnya seakan-akan sedang menggenjot kakakku.
“Deeeekk…. Pelan-pelan… ssshhhh” erangnya sambil menatap ke arah kamera yang merekam. Tapi aku tetap mengocok penisku di sana dengan kencang, sungguh luar biasa rasanya ketika batang penisku dijepit oleh kedua pahanya. Kulit pahanya itu sungguh mulus luar biasa, bikin aku gak tahan.
“Duuhhh…. Kakak lagi dientotin adek sendiri….” Ujarnya lagi sambil tetap menengok ke arah kamera. Pandai banget nih kak Ochi akting. Kakakku berusaha sebaik mungkin agar yang terekam oleh kamera betul-betul seperti dia sedang disetubuhi olehku. Aku juga jadi merasa sedang benar-benar ngentot dengan kak Ochi.
“Kak…”
“Shh… terus dek… entotin kakak kandungmu…. Nakal banget sih kamu… kakak sendiri dientotin” racau kak Ochi. Ugh…kak… omongannya membuat aku tidak kuat.
“Ughh… kak Ochi… kakakku…” erangku yang semakin mempercepat goyangan pinggulku.
“Napa dek? Nghh… Pengen muncrat? Sshh… Keluarin aja dek… siram rahim kakak dengan sperma kamu… hamilin kakak dek…” racau kak Ochi yang semakin membuat aku tidak tahan. Walaupun ini semua hanya akting tapi sensasinya sungguh luar biasa. Aku akhirnya tidak tahan untuk menahan laju spermaku.
“Kak Ochi… aku keluar….”
“Croooottt.. croooottt” Spermaku muncrat-muncrat berhampuran di sana, di sela-sela pahanya, tepat di sekitaran vaginanya. Sangat banyak. Rasanya sungguh sangat nikmat.
Aku langsung merebahkan tubuhku ke atas badannya, lemas.
“Enak dek?”
“Enak banget kak… makasih yah kak”
“Iya adekku…”
“Nanti lagi ya kak?”
“Dasar… iya iya…”
Tentunya tidak sekali itu saja aku mengeluarkan spermaku di sekitaran vaginanya. Setelah kak Ochi memasak makan siang dan kita makan bersama, akupun meminta ronde kedua. Tentunya dengan kamera tetap merekam. Kami mencoba beberapa gaya, yang paling ku suka adalah gaya doggy. Rasanya sungguh luar biasa menyelipkan penisku di sela paha mulus kakakku dengan posisi itu. Pantat bulatnya sungguh membuatku bernafsu. Hari itu selangkangan kakakku betul-betul penuh becek oleh sperma kental putihku. Total ada 4 kali aku ngecrot! Kamar kakakku juga jadi beraroma sperma karenanya.
Kak Ochi selalu memakai plester itu untuk jaga-jaga kalau aku khilaf. Baik ketika makan, nonton tv, bahkan saat teleponan dengan mas Bram, kak Ochi tetap dengan keadaan telanjang yang hanya ada plester yang menutupi vaginanya, sungguh sangat seksi bukan?? Hanya dengan meliha saja sudah bikin penisku ingin meledak. Kak Ochi hanya mau melepaskan plester itu ketika buang air saja.
Malamnya kami tidur bersama, kami tidur di kamarku. Soalnya di atas ranjangnya penuh ceceran spermaku sih, hehe. Aku minta dia untuk melepaskan selotip yang ada di vaginanya, janji burungku gak bakal nyelonong masuk, tapi dia tetap tegas tidak mau. Ya sudah, aku juga tidak ingin memaksa.
“Dek..” panggilnya ketika aku sudah hampir tertidur.
“Ya, kak?”
“Boleh peluk?” tanyanya.
“Hahaha, biasanya kan aku yang minta begituan, omonganku jangan diambil dong kak…” jawabku yang dibalas dengan cubitannya.
“Hihihi, biarin. Jadi boleh gak nih?” tanyanya lagi.
“Ya boleh lha… masak kakak gak boleh meluk adek sendiri, hehe” jawabku yang betul-betul membalikkan semua kata-katanya dulu.
“Makasih adekku sayang...”
“Iya kakakku yang cantik..”
****
Paginya aku terbangun. Tidak ku temukan kak Ochi di sampingku. Segera aku melangkah keluar, masih dengan bertelanjang bulat tentunya. Ternyata dia sedang memasak. Langsung ku hampiri dirinya dan… ku peluk :v
“Adeeek! Kamu ini main peluk-peluk aja! Dan lihat tuh, kok masih gak pakai baju sih?”
“Biarin aja kak, kan cuma kita berdua di rumah. Kakak juga buka aja dong bajunya…” suruhku padanya. Kak Ochi sendiri saat itu memang cuma hanya mengenakan kaos oblong, tanpa celana dan tanpa dalaman sama sekali, tapi masih ada plester yang menutupi vaginanya.
“Huu… maunya! Emang kenapa? Kamu pengen keluarin peju ke kakak lagi?”
“Nggak kok kak, tapi mungkin nanti iya sih… hehe”
“Dasar, iya deh iya…” kata kak Ochi setuju dengan senyum manis. Diapun menyuruhku melepaskan pelukannya. Kak Ochi lalu melepaskan baju kaosnya itu sehingga kami sama-sama telanjang lagi sekarang.
“Oke deh, selama sisa hari ini, kalau cuma ada kita berdua di rumah, kamu bebas ngatur-ngatur busana kakak, termasuk ngatur kakak boleh pakai baju atau nggak. Puas? Tapi kalau plester tetap gak boleh dilepas yah dek… takut ntar burungmu masuk nyodok-nyodokin kakak, hihihi” ujarnya dengan senyum nakal. Ugh, mana tahaaaan. Aku peluk lagi dia.
“Kakak memang baik, aku sayang banget”
“Hihihi… Cuma sayang aja?” tanyanya sambil mengusap kepalaku.
“Cinta juga”
“Cintanya gak pake nafsu kan?”
“Pake sedikit, hehe…”
“Dasar! Udah dulu ya dek , kakak mau masak nih” katanya berusaha melepaskan pelukanku, tapi aku tahan. Rasanya aku ingin memeluknya terus. Aku tidak ingin melepaskannya. Tidak banyak lagi waktu berdua yang bisa kami habiskan.
“Kalau mau masak, masak aja kak…” suruhku.
“Tapi kan repot kalau kamu meluk terus gini, meluknya kencang lagi”
“Yah kak, please… aku pengen meluk kakak terus nih…” kataku teguh menatapnya.
“Hmm… iya deh” jawabnya tersenyum. Diapun melanjutkan lagi memasaknya. Selagi dia memasak, aku terus saja memeluknya dari belakang. Penisku menyelip lagi di antara pahanya. Sesekali sengaja ku goyangkan pinggulku maju mundur menggesek-gesekkan penisku di sana. Kak Ochi tetap lanjut memasak, hanya merintih geli tanpa memprotes.
“Dek, habis ini mau kakak kocokin?” tanyanya.
“Mau kak mau…” jawabku semangat.
“Hihihi… tunggu yah… sabar… kakak siapain dulu masaknya”
Rasanya senang banget, kakakku ini sungguh pengertian. Setelah kak Ochi selesai masak, peniskupun dapat service tangannya. Sungguh lembut, mana bisa tahan lama coba… Akupun muncrat-muncrat gak karuan ke arah wajah cantik beningnya. Tidak hanya servis tangannya yang ku dapat hari itu, tapi juga titfuck, tapi sayang dia tidak mau ngasih blowjob. Ya sudah.
Kami betul-betul menghabiskan waktu berduaan terus selama sisa-sisa hari kami bersama di rumah itu. Tiga hari yang tersisa ini aku gunakan untuk bermanja-manja ria bersama kak Ochi. Tidur berdua, mandi berdua, makan juga berdua saling suap-suapan. Waktu itu aku hampir kesal karena lagi-lagi hanya dibuatkan mie rebus yang sangat pedas untuk serapan, tapi kesalku langsung hilang saat kak Ochi mengajakku suap-suapan dari mulut ke mulut. Mie rebus yang panas dan pedas serta suasana yang erotis membuat tubuh kami jadi bermandikan peluh. Rasanya sensasional banget.
Kak Ochi juga tetap dengan gaya nakalnya selalu bikin aku panas dingin dengan seringnya keluyuran tanpa busana sampai ke teras depan, bahkan pernah sampai di depan pagar. Tak jarang setelah melihat aksi nakalnya itu, aku akan langsung menyeret kak Ochi ke dalam kamar, atau bahkan langsung ngepejuin kakakku di sana.
Namun…
Akhirnya hari itu datang juga. Hari-hari bersama antara aku dan kakakku tersayang sudah selesai dan tidak akan ada lagi. Kamipun meninggalkan rumah kontrakan ini, rumah yang bertahun-tahun kita tinggali berdua, yang menjaga rahasia hubungan mesum antara aku dan kakakku. Rumah yang mana nantinya hanya aku sendiri yang akan kembali ke sini, tanpa ada kakakku lagi.
Pada akhirnya aku memang tidak memperawani kakakku, tapi aku bersyukur. Kalau tidak, mungkin dia tidak akan sebahagia ini. Kalau tidak, mungkin aku akan menyesal seumur hidupku. Karena cobalah tengok di sana, di pelaminan, kakakku tertawa dengan riangnya bersanding bersama suaminya. Aku pikir aku akan benar-benar kesal melihatnya diambil orang lain, tapi ternyata aku salah, aku ikut merasa senang karena dia senang, dan aku berdoa agar kakakku bahagia. Coba saja kalau si brengsek itu bikin kakakku menangis, akan ku hajar dia.
…….
.……
Malam itu…
Kak Ochi sedang apa ya sekarang? Lagi gitu-gituan kah? Jadi penasaran, telepon ah…
“Halo kak…”
“Adek? Ngapain sih nelpon malam-malam gini?”
“Ih, jutek amat sih kak? Mentang-mentang nih kakak udah ada yang kelonin, hehe”
“Hihihi… iya dong…”
“Kak, aku mau ikutan dong…”
“Hah? Ikutan ngapain dek?”
“Ikut gitu-gituan, boleh yah? Aku nyelonong ke kamar kakak ya nanti? Hehe”
“Gelo lu dek… hihihi”
“Hehe.. Gak boleh yah kak?”
“Ya nggak lha…”
“Kalau cuma nonton, boleh?”
“Hahaha… apaan sih kamu? Udah ah, ntar mas Bramnya balik lagi, tuh dia sedang mandi”
“Ih, kakak pelit, sekedar lihat aja nggak boleh…”
“Dasar! Masak kamu nontonin kakak sendiri ngen-tot sih? Hmm… Segitu pengennya ya dek?”
“Iya kak…”
“Hmm… Gimana kalau besok kakak rekamin deh buat kamu… Kamu mau request gaya apa dek? hihihi”
“Be..beneran kak?”
“Ya nggak lha… kayak gak ada kerjaan aja”
Duh, kakakku ini. Memang selaluuuu saja menggodaku dengan omongan nakalnya.
Kak… Moga bahagia yah di sana.
****
0 komentar:
Posting Komentar