Aku menutupi tubuhku yang telanjang dengan kedua tanganku. Ibu Boni juga
bertelanjang bulat sama sepertiku, tetapi dari raut wajahnya saja aku
sudah tahu kalau ia sudah terbiasa. Meski aku sering bertelanjang di
depan umum, aku masih sukar menghilangkan rasa malu di pikiranku.
Anakku baru saja pergi untuk berkumpul dengan teman-temannya yang sedang
beristirahat setelah melakukan jalan santai. Ia meninggalkanku dengan
Ibu Boni tanpa selembar pakaian yang menempel di tubuh kami. Aku hanya
bisa pasrah bila ada yang menyelonong masuk ke tempat persembuyian kami
dan mendapati kami sedang bertelanjang bulat. Tidak akan ada yang
menolong dan bersimpati memberikan sesuatu yang bisa kami kenakan,
palingan mereka juga akan menonton kami sama seperti yang lain.
Entah sudah beberapa lama anakku memperlakukanku seperti boneka pameran
berjalan; aku pikir itu sudah dua minggu yang lalu, tetapi rasanya
seperti selamanya.
Ia memang masih tergolong bocah. Namun, tidak ada yang tahu kalau
nafsunya seolah melebihi usianya. Ia cuma mengizinkanku memakai baju
ketika papan-papan kayu penutup warung aku buka. Selain itu, ia juga
tidak membolehkanku memakai celana dalam selama melayani pembeli di
warung makan. Sesekali ia menyibak dasterku ke atas sehingga pantatku
terlihat oleh pengunjung. Tentu saja itu membuat mereka senang. Jumlah
pengunjung warung makan kami menjadi berlipat, tetapi aku selalu malu
bila mengingatnya.
Hampir semua tetangga membicarakanku. Wajah mereka langsung berpaling
setiap kali aku melintas di hadapan mereka. Telingaku cukup tajam untuk
mendengar bisikan-bisikan mereka yang membincangkan tubuhku. Aku refleks
menutupi payudaraku bila mereka menatap payudaraku yang jarang
terbungkus beha.
Aku sering merasa sangat kesepian karena tidak ada yang mau mengobrol
denganku. Pernah pada suatu hari aku sangat ingin mengobrol karena sudah
berhari-hari aku tidak bergaul dengan para tetangga. Anakku mengetahui
gelagatku dan langsung menghentikanku di depan pintu.
“Ada syaratnya kalau mama mau mengobrol bersama mereka,” ujarnya sambil
memperhatikan tubuhku. Kemudian ia melipat dasterku ke atas, lalu
menarik celana dalamku sampai terlepas. Ia memperhatikanku lagi, lalu
melipat dasterku lagi sampai ke atas perutku. Setelah dirasa cukup, ia
memandangiku dengan puas.
“Nah, mama baru boleh mengobrol kalau mama sudah top kayak gini.”
Aku tidak akan pernah lupa wajah para ibu-ibu itu ketika mereka
memandangi perut dan memekku. Sontak saja mereka langsung pergi sambil
bergumam kesal. Setelah itu aku tidak pernah melihat mereka duduk di
depan rumahku lagi.
Kejadian itu jelas bukan yang terburuk.
Dan sekarang ini adalah yang terburuk.
Kusibak semak-semak ilalang agar aku bisa mengintip kegiatan anak-anak
sekolah yang sedang beristirahat. Beberapa guru terlihat sibuk mengawasi
para murid agar tidak berkeliaran terlalu jauh dari area
peristirahatan. Jarak tempatku berada dengan mereka lumayan dekat,
mungkin sekitar lima meter atau lebih. Aku harus tetap waspada mengawasi
sekitar.
“Kau tidak ingin kabur dari sini?” tanya Ibu Boni. Ia menggaruk
pantatnya yang merah karena digigit serangga. “Di sini jelas bukan
tempat untuk dua orang ibu yang tidak memakai baju.”
“Kabur? Dalam keadaan seperti ini?”
“Setidaknya kita bisa kabur dari anakmu yang sinting itu.”
Aku langsung geram mendengar anakku dibilang sinting, tetapi ia ada
benarnya. Anakku pasti memang sinting kalau sampai bisa membuat dua
orang ibu patuh kepadanya.
“Lihat semak-semak itu,” Ibu Boni menunjuk ke hamparan ilalang tebal di
kejauhan. “Mungkin kita akan sedikit gatal-gatal bila melewatinya, tapi
ilalang ini cukup luas terhampar sampai setengah jalan. Kita bisa
mengendap-endap sampai ujung wilayah ini tanpa perlu ketahuan orang
lain.”
Ilalang-ilalang di sekitar kami memang cukup tebal untuk menyembunyikan
kami berdua. Terlebih lagi jalan setapak yang kami lalui tadi hanya
berupa jalan kecil yang jarang dilalui orang. Mendadak aku merasakan
semangat bergelora di tubuhku. Aku menganggukan kepala tanda setuju.
“Kita jangan buang-buang waktu. Anakmu akan sulit menemukan kita bila kita sudah berjalan kira-kira sepuluh meter dari sini.”
“Anakku dan anakmu,” kataku membetulkan. “Anakmu juga sama gilanya.”
“Itu karena ajaran anakmu,” jawabnya tak mau kalah.
Kami segera merangkak di bawah lindungan ilalang dan merayap menuju ke
batas area ilalang yang ditunjuk oleh Ibu Boni. Untung saja tanah di
bawah kami cukup berlumut dan itu membuat kedua lutut kami tidak terluka
karena bergesekan dengan tanah. Ujung daun ilalang yang setajam silet
menggores beberapa bagian tubuhku, tetapi tidak sampai mengeluarkan
darah. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan gatal-gatal di sekujur
tubuhku. Berkali-kali aku harus berhenti karena gatal tak terkira di
punggung dan lenganku.
Srek!
Terdengar ada seseuatu yang bergerak di belakang kami. Ibu Boni menoleh ke belakang. Kedua matanya menyiratkan kekhawatiran.
“Jangan-jangan itu mereka berdua,” bisiknya.
Aku ikut menoleh ke belakang. Beberapa ilalang terlihat bergoyang-goyang seperti ada yang melintas di bawahnya.
“Percepat gerakanmu!” seru Ibu Boni.
Kami langsung merangkak dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli dengan
rasa gatal yang menghujani punggungku. Kedua lututku juga terasa nyeri.
Namun, aku harus bisa mencapai batas ilalang ini dengan segera.
Suara ribut di belakang kami terdengar semakin jelas.
“Lihat! Kita sudah dekat!” seru Ibu Boni.
Aku bisa melihat jalan setapak yang tadi kami lalui. Kami bisa langsung
berlari menuju jalan setapak dan bersembunyi di balik hutan kecil yang
letaknya berseberangan dengan pesawahan.
Baru saja aku hendak bangkit, tahu-tahu ada sesuatu yang menubrukku dari
belakang. Aku langsung ambruk di tanah berlumut. Pandanganku
berputar-putar. Kedua kakiku lemas dan kedua tanganku sulit digerakkan
seperti ada yang mengikatnya.
“Mama mau kabur kemana? Sudah aku bilang diam saja di tempat.”
Aku mengenal suara itu. Suara manusia yang aku lahirkan ke dunia dengan
cinta. Kini manusia itu sedang duduk diatas punggungku dengan tatapan
merah menyala.
Kedua tanganku sama sekali tidak bisa digerakan. Beberapa detik kemudian
aku sadar kalau anakku sudah mengikat kedua tanganku dengan tali yang
kuat. Sejak kapan ia membawa tali?
Aku baru mau membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi ia langsung menyumpal mulutku dengan kain basah.
“Kalau mau berbicara nanti saja ya ma.”
Boni muncul di hadapanku dengan membawa ibunya yang juga sudah terikat
dengan tali di pergelangan tangannya. Ibu Boni memandangku dengan
perasaan menyesal. Boni meremas-remas payudara ibunya dengan penuh
kemenangan.
“Jadi enaknya mereka diapain nih boss?” tanyanya.
“Pastinya mereka akan dihukum. Hukuman yang berat,” kata anakku. Ia
menyelipkan jarinya di antara belahan pantatku. Aku memejamkan mata
menahan rasa geli dan takut yang bercampur jadi satu.
“Ugggh uuuuggghh,” aku berusaha berbicara.
“Hukuman apa yang berat? Diikat di tiang bendera semalaman? Jalan bugil di seharian di desa? Ah, aku bingung,” kata anakku.
Aku bisa merasakan jari telunjuknya yang masuk ke dalam lubang memekku.
“Ah aku tahu! Tapi sementara itu yuk kembali ke jalan. Waktu istirahat sudah selesai.”
Mereka berdua mendorong kami seolah kami adalah hewan ternak. Aku
menundukkan kepala karena malu. Ibu Boni berjalan di depan bersama
anaknya. Mengapa kami bisa kalah dengan kedua bocah ini?
Kami tiba di tempat peristirahatan yang sudah sepi dari anak-anak.
Anakku menyuruh kami untuk duduk di dalam gubuk kecil yang terletak di
tengah-tengah tanah lapang. Aku mematuhinya tanpa banyak melawan. Ia dan
Boni lalu pergi menghilang di balik gubuk.
Firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Sepertinya Ibu Boni juga
merasakan hal yang sama. Kami berdua duduk menunggu nasib yang akan
menimpa kami.
Tak lama kemudian, anakku dan Boni muncul kembali. Kali ini mereka tidak
hanya berdua, melainkan bersama beberapa orang anak yang tubuhnya jauh
lebih besar dari mereka.
Sepuluh orang, aku membatin. Mereka berjumlah sepuluh orang.
Anakku maju ke depan dan berkata ke yang lainnya, “Nah seperti yang aku
janjikan. Hari ini kalian bisa melepas keperjakaan kalian dengan
mengentot kedua pelacur ini sesuka kalian.”
Anak-anak lainnya bersorak-sorai. Mereka langsung mendekati kami berdua dengan wajah penuh nafsu.
“Uuuuugh… uuuuughhh,” Ibu Boni berusaha melepaskan diri saat dua orang anak bertubuh besar berusaha melebarkan selangkangannya.
Detik kemudian pandanganku menjadi gelap.
Ada seseorang yang menutupi mataku dengan kain.
Aku tidak bisa melawan saat tubuhku direbahkan seperti bersujud. Entah
berapa tangan yang meremas-remas payudara dan menarik putingku. Pantatku
dilebarkan dan belasan tepukan menghajar pantatku.
“Uggggh…” aku mendesah seperti Ibu Boni. Ada benda keras yang dimasukkan
ke dalam anusku. Benda itu keluar masuk di lubang anusku, berkedut
sebentar, lalu mengecil. Setelah benda itu keluar, ada benda keras
lainnya yang masuk ke dalam memekku.
Ada banyak cairan kental yang mengalir pelan di punggungku. Seorang anak
membuka paksa mulutku supaya penisnya bisa masuk. Aku ingin muntah
karena mual, tetapi anak lainnya langsung menekan kepalaku sebelum aku
memuntahkan semua yang ada di mulutku.
Gesekan-gesekan di lubang memek dan pantatku tak mau berhenti. Aku tidak
tahu harus merasa malu atau nikmat; di satu sisi aku malu karena
tubuhku dipakai oleh segerombolan anak yang tida aku kenal, dan di sisi
lain sukar untuk tidak menikmatinya. Siapa yang tidak menikmati seks?
“Sudah puas?” aku mendengar suara anakku. Sepertinya mereka sudah selesai. Ibu Boni juga berhenti bersuara.
“Yup,” ujar anak lainnya yang bersuara lebih berat. “Memek ibu kalian legit sekali. Kapan kita bisa mengentotnya lagi?”
“Nanti ada waktunya,” jawab anakku.
Setelah itu aku mendengar suara langkah anak-anak itu pergi.
Kain penutup mataku dibuka. Aku mengerjapkan mata karena silau. Kain itu menutup mataku terlalu kuat.
“Ggggghhhhh!” aku tersentak kaget melihat Ibu Boni tengkurap dalam
keadaan mata ditutup kain dan kedua tangan terikat. Kulitnya yang putih
kini dipenuhi memar-memar akibat tamparan. Air matanya mengalir di
sela-sela kain penutup mata. Aku pikir ia lebih cuek saat digerayangi
anak-anak lainnya. Namun, dugaanku sepertinya salah.
Boni dan anakku pergi ke toilet umum yang letaknya tidak jauh dari
pondok peristrahatan dan kembali lagi dengan membawa dua ember kecil
berisi air. Mereka membasahi kain handuk, lalu menggosok tubuhku dan Ibu
Boni sampai lendir-lendir menjijikkan itu menghilang tanpa bekas.
Setelah mereka berdua yakin tubuh kami bersih, mereka menyuruh kami
berdiri.
Boni melepas kain penutup mata ibunya. Kedua mata Ibu Boni bengkak karena air mata.
“Bagaimana ma? Enak?” Boni menggoda ibunya.
Ibu Boni diam seribu kata.
“Jadi kita lanjut jalan atau tidak nih boss? Jujur saja aku capek banget nih,” kata Boni.
Anakku melihat jam tangannya.
“Sudah terlalu siang. Aku juga capek. Lebih baik kita pulang saja.”
Anakku melepas ikatan mulutku dan juga ikatan mulut Ibu Boni.
“Jalan ke rumah ma,” katanya.
“Tapi masa pulang ke rumah gak pakai baju begini?” aku membayangkan
jalan setapak yang cukup jauh itu. “Siang seperti ini banyak orang di
jalan.”
“Ah cerewet banget sih mama!”
Anakku menarik jembutku dan menyuruhku berjalan. Mau tidak mau aku
menuruti perintahnya. Boni juga menarik jembut ibunya. Kami berdua
seperti hewan ternak yang dituntun.
Berjalan telanjang bulat di wilayah persawahan sambil ditarik jembutnya oleh dua anak kecil?
Aku tidak tahu apa yang lebih buruk dari ini.
Home
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 9
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Mantap abis... Lanjutkan donk ceritanya.
BalasHapus