Perjalanan masih cukup jauh. Kami meninggalkan Ibu Boni yang terkapar di
bawah pohon. Boni sudah berpesan kepada ibunya untuk menyusul kami bila
ia sudah cukup tenaga untuk bangkit. Sekarang tinggal aku, Boni dan
mama. kami bertiga berjalan melintasi pematang sawah yang dikelilingi
oleh wilayah perbukitan kecil. Tujuan kami adalah sebuah lapangan kecil
yang biasa dijadikan tempat peristirahatan para peserta jalan santai.
"Tidak apa-apa meninggalkan mamaku seperti itu?" tanya Boni khawatir. "Bagaimana kalau orang-orang melihatnya?"
"Malah bagus," jawabku yakin. "Kita berjalan pelan-pelan saja. Kalau ibu kamu cukup kuat berjalan, ia pasti bisa menyusul."
Benar saja, tak lama kemudian Ibu Boni berjalan tertatih-tatih di
belakang kami tanpa mengenakan celana. Pahanya sedikit lecet akibat
terkena ranting-ranting pohon saat ia terduduk tadi. Ia menatap kami
dengan pandangan penuh rasa kesal. "Tunggu aku," katanya.
Mama memandang Ibu Boni dengan kasihan. "Nak sudahlah. Berikan dia
pakaian, mama gak tega melihat kulitnya penuh luka kayak gitu."
"Wah mama kasihan sama Ibu Boni? Tumben," aku sedikit kaget melihat
reaksi mama. "Omong-omong mama sesak gak pakai kaos ketat? Kalau ketat
ya dibuka saja ma."
Wajah mama mendadak berubah drastis.
"Jangan-jangan mama masih malu? Lha hampir semua orang sudah pernah
melihat mama telanjang, gak usah sungkan-sungkan buka baju ma," aku
memanasi. "Lagi pula mama kasihan sama Ibu Boni kan? Nah berikan baju
mama ke Ibu Boni sekarang. Ayo mama jongkok dulu."
Mama menuruti perintahku. Ia berjongkok di depanku sampai tingginya
hampir setara denganku. Aku meraih bagian bawah kaosnya lalu menariknya
ke atas. Boni membantuku dengan memegangi tubuh mama dari belakang.
Sesekali tangannya menyelip masuk di celana mama. Aku menarik kaos mama
sampai melewati kedua tangannya. Agak sulit karena tubuh mama
berkeringat dan kaos itu sangat ketat. Namun setelah sedikit bersusah
payah, akhirnya kaos ketat itu terlepas dari tubuh mama.
Aku memandangi tubuh mama yang sedikit gemuk dan berkeringat terkena
panasnya sinar matahari. Mama menutupi kedua teteknya yang menggantung
di atas perutnya. Ia menunduk malu. "Ma, gak usah ditutupi. Buka dong
tangan mama," pintaku. Aku menarik kedua tangan mama sampai benar-benar
terbuka. Kedua tetek mama yang gemuk berisi langsung bergoncang hebat
ketika kedua tangannya tak lagi menahan. Aku memilin-milinkan kedua
putingnya sebentar sampai mengeras.
"Bon, sudah main-mainnya. Jangan sampai kita ketinggalan terlalu jauh,"
kataku ke Boni yang masih asik mengusap-ngusap telapak tangannya ke
selangkangan mama. "Oh oke boss," kata Boni. Telapak tangan kananya
terlihat berlendir saat ia mencabutnya dari dalam celana mama.
Aku melempar kaos ketat mama ke Ibu Boni. "Pakai itu," kataku. Ibu Boni
buru-buru mengenakannya. Karena ukuran tubuh mama dan Ibu Boni hampir
sama, kaos itu juga terlihat sangat ketat ketika dikenakan oleh Ibu
Boni. Kedua putingnya terlihat nyemplak di depan kaos. Tapi aku yakin
itu cukup untuk menutupi kedua teteknya.
"Mama begini aja terus sampai pulang nanti yah," kataku menggoda sambil
menyuruh mama berdiri. Mama membersihkan tanah yang mengotori kakinya.
Wajahnya tidak lagi menunjukkan rasa malu seperti saat aku pertama kali
meyuruhnya bugil di tempat umum. Mungkin mama sudah terbiasa.
Kamu bergegas melanjutkan perjalanan.
Tiga puluh menit kemudian kami sudah hampir mendekati area
peristirahatan. Aku bisa menduganya karena aku mendengar suara-suara
ribut teman-temanku dan teriakan guru-guru yang menertibkan
murid-muridnya. Mengetahui itu, mama menutupi kedua teteknya lebih erat.
Suara keramaian itu jelas menghantuinya. Tidak hanya mama yang takut,
Ibu Boni juga menutupi teteknya dengan kedua tangannya meski ia sudah
mengenakan kaos.
"Ayo ikut aku," seruku sambil menyibak semak belukan di samping jalan.
"Kita tidak mungkin bertemu mereka dalam keadaan seperti ini. Resikonya
terlalu besar."
"Kamu punya rasa khawatir juga ya," sahut Ibu Boni sedikit mengejek.
Aku tidak menjawab. Kami pun masuk ke wilayah semak belukar yang
tingginya hampir melebihi kepalaku. Beberapa ekor belalang berterbangan
ketika tanganku berusaha membuka jalan dengan cara mendorong semak-semak
ilalang ke samping. Aku menyuruh mama dan Ibu Boni merangkak di antara
semak belukar agar tidak ketahuan oleh pihak sekolah. Boni aku suruh
untuk berbaur dengan murid-murid lainnya sementara aku melaksanakan
rencanaku.
Sebisa mungkin aku berjalan mendekati area peristirahatan tanpa terlihat
oleh guru-guru yang berdiri mengawasi para muridnya. Untungnya di
sekeliling kami terdapat banyak pohon kecil yang tumbuh liar sehingga
cukup menyembunyikan keberadaan kami. Tampaknya mama dan Ibu Boni
sedikit kesulitan melewati ilalang karena tubuh mereka yang sedikit
gempal harus bersempit-sempitan dengan pohon-pohon liar yang tumbuh
merapat.
Kami berjalan memutari area peristirahatan. Di belakang area
peristirahatan terdapat semak-semak belukar yang tumbuh lebih tinggi dan
lebih tebal dibandingkan dengan yang lain. walau demikian, tempat itu
sangat dekat dengan area peristirahatan. Aku mempersilahkan mama dan Ibu
Boni untuk maju duluan.
"Ayo ma ke tempat itu," bisikku sambil menunjukkan tempat yang harus
dituju. Mama dan Ibu Boni menganggukan kepala. Aku memukul-mukul pantat
mama dan pantat Ibu Boni supaya maju lebih cepat.
Setelah bersusah payah, akhirnya kami tiba di tempat yang aku maksud.
Aku menyuruh mama dan Ibu Boni berbaring terlentang di atas rumput
ilalang yang tebal. Mama dan Ibu Boni langsung berbaring terlentang
tanpa banyak tanya. Setelah keduanya berbaring, aku berdiri dan membuka
celanaku.
"Mau apa kamu nak?" tanya mama khawatir.
"Mau ngentot mama dan Ibu Boni lah ma," kataku santai. Aku menurunkan
celana dalamku dan mengocok batang kontolku di depan wajah mama.
"Tapi kalau ketahuan bagaimana?" Ibu Boni juga khawatir.
"Ya jangan sampai ketahuan," jawabku lagi.
Aku menurunkan sempak mama lalu menggantungnya ke dahan pohon liar
terdekat. Mama tersentak kaget ketika jari-jariku masuk ke dalam
sela-sela memeknya. Ibu Boni memandang kami dengan jijik. Aku menciumi
leher mama yang sedikit basah oleh keringat. Napas mama mulai memburu.
"Nak bahaya di sini. Gimana nanti kalau mama mendesah," kata mama.
"Tutup mulut mama kalau mama mau mendesah," jawabku sambil terus
menciumi lehernya. Tanganku mulai masuk semakin dalam ke lubang memeknya
yang basah. Mama refleks mendekap tubuhku erat. Kucabut tanganku dari
lubang memeknya lalu aku arahkan kontolku yang sudah tegak berdiri ke
dalam memeknya yang sudah menunggu untuk dimasuki.
"Aaaah..." desahku saat kepala kontolku mulai masuk ke memek mama yang
hangat. Memek mama berkedut-kedut di batang kontolku seakan-akan sedang
memijat. Aku berusaha lepas dari pelukan mama. Aku remas kedua bongkahan
tetek mama lalu aku tarik-tarik kedua putingnya. Setiap kali aku
memompa tubuhku, mama selalu menutup matanya. Ia menggigit bibirnya agar
tidak mendesah.
Aku elus-elus pusar mama dengan jari telunjukku. Bulir-bulir keringat
kami saling bertemu di perutnya yang sedikit berlemak namun masih
kencang. Aku terus memompa memek mama sampai aku merasa ada sebuah
dorongan yang sangat besar dari batang kontolku.
"Oooh mama..." desahku sembari menyemprotkan sperma ke dalam memeknya.
Mama terus mencengkram rumput ilalang di kiri dan kanannya. Dari
wajahnya saja aku sudah menebak kalau ia berusaha mati-matian untuk
tidak mendesah. Aku biarkan kontolku menunaikan tugasnya terlebih dahulu
sebelum aku mencabutnya dari lubang memek mama. Setelah benar-benar
selesai, aku mengurut batang kontolku supaya sperma yang tersisa bisa
keluar. Aku usap sperma sisa ke perut mama dan satu olesan ke bibirnya.
"Ah memek mama memang yang terbaik," pujiku sambil menepuk-nepuk memeknya yang tembem. "Nah Ibu Boni kemari dong."
Ibu Boni yang dari tadi hanya diam memperhatikan, merangkak mendekati kami berdua. "Ya kenapa?" tanyanya.
"Bersihkan memek mamaku dong," kataku sambil menunjuk ke lubang memek mama yang berlumuran cairan putih.
"Hah?" ia kurang mengerti.
"Ayo jangan hah heh hah heh doang," kataku. Lalu dengan sedikit tenaga,
aku mendorong kepala Ibu Boni ke arah memek mama. Mungkin karena
tenagaku yang berlebihan, Ibu Boni sampai terdorong dan kepalanya
terjerembab di antara selangkangan mama. Mama sampai terhenyak kaget.
"Jilatin memeknya!" aku setengah berteriak.
Ibu Boni memandang memek mama dengan ragu. Tetapi kemudian ia
menjulurkan lidahnya ke memek mama yang masih diselimuti sperma.
"Sssssssh..." mama mendesis ketika ujung lidah Ibu Boni menyentuh
memeknya. Ia mencengkram rumput ilalang di sampingnya lebih erat lagi.
Ibu Boni menjilati seluruh memek mama sampai sisa-sisa spermaku
berpindah ke lidahnya. Ia memegangi kedua paha mama agar mama tidak
terlalu banyak bergerak.
"Sekarang susuin tetek mama," pintaku lagi. "Tapi jilatin dulu perut mama sampai ke teteknya."
Ibu Boni menurut saja. Ia meluncurkan ujung lidahnya ke perut mama yang
masih berkeringat. Tubuh mama sontak menggelinjang geli. Sambil terus
menahan kedua paha mama, Ibu Boni terus menjilati setiap permukaan kulit
perut mama sampai perut mama terlihat mengkilap karena air liur Ibu
Boni.
"Oh jangan..." erang mama saat lidah Ibu Boni mengenai gumpalan
putingnya. Ibu Boni acuh tak acuh. Ia melahap puting mama seperti bayi
kelaparan. Agar lehernya tidak pegal, Ibu Boni memeluk mama sambil terus
menyedot putingnya.
"Wow!" aku berseru kegirangan. Pemandangan ini sangat langka terjadi.
"Siapa itu!" tahu-tahu terdengar suara berat dari balik dinding ilalang
di belakang kami. Kami spontan terdiam. Aku menahan napasku. Ibu Boni
menghentikan jilatanya sambil memeluk mama. Mama sepertinya sangat
terangsang sampai-sampai ia harus menutup mulutnya dengan kedua telapak
tangannya agar tidak bersuara.
Tiga menit itu rasanya seperti tiga tahun. Aku sangat mengenal pemilik
suara itu. Ya, itu adalah suara milik salah satu guru di sekolahku.
Kepalaku terasa pening karena tegang. Kalau sampai guru itu tahu apa
yang sedang kami lakukan di sini maka habislah sudah. Aku bisa melihat
mama dan Ibu Boni juga merasakan hal yang sama denganku. Wajah mereka
gugup bukan main.
Rumput ilalang di belakang kami bergoyang seperti ada yang sedang
menyibaknya. Aku yakin guru itu pasti sedang memeriksa keadaan. Lokasi
tempat kami berada memang sangat dekat dengan area peristirahatan, namun
lokasi ni justru lokasi paling tersembunyi di antara tempat lain.
Detik demi detik berlalu, rumput-rumput ilalang di belakang kami
berhenti bergoyang. Aku bisa mendengar suara batuk laki-laki yang
menjauh dari tempat kami berada. Begitu tahu bahaya sudah lewat, aku
segera merebahkan tubuhku ke atas rumput tebal. Aku menghembuskan napas
lega. Tadi itu bahayanya bukan main tetapi aku sangat suka!
Ibu Boni juga melepaskan pelukannya ke mama. Ia dan mama berbaring di
atas rumput karena kehabisan tenaga. Sekujur tubuh mereka berdua
dipenuhi oleh keringat. Mata mereka berdua tertutup sembari menikmati
angin semilir yang berhembus di antara pepohonan dan rumput liar.
"Sungguh aku tidak mau lagi seperti ini," keluh mama.
"Ah itu tadi bukan apa-apa," kataku sambil mengenakan kembali pakaianku.
Aku melempar kembali sempak ke arah mama yang langsung dikenakannya
dengan terburu-buru.
"Tapi acara jalan santai ini belum berakhir bukan?"
Home
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 8
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar