"Ini kok tukang sayur belum datang-datang ya?" kata mama cemas. Jam
sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, dan memang
biasanya tukang sayur langganan mama seharusnya sudah datang setengah
jam yang lalu.
Aku masih menonton film kartun kesukaanku di ruang tamu. Di hari libur
panjang seperti ini tidak banyak kegiatan yang berarti selain membantu
mama berjualan. Para pelanggan mama juga hanya sedikit yang datang,
kebanyakan mereka pasti pulang ke kampungnya masing-masing.
"Kalau begitu mama ke pasar saja," aku memberi usul.
"Mau sih tapi..." mama memandangku curiga. "Pasti kamu mau melakukan yang aneh-aneh ke mama. Mama gak mau."
"Oke sudah diputuskan," aku berdiri. "Ayo kita ke pasar sebelum warung ini buka."
"Tapi kamu jangan aneh-aneh ya," kata mama berharap.
"Mama gimana sih, ya sudah pasti aneh-aneh dong," aku tertawa.
Kami pun bersiap-siap pergi ke pasar. Mama memakai dasternya yang
berwarna hijau muda dan rambutnya yang panjang diikat ke belakang agar
tidak terlalu mengganggu. Aku mengambil sebuah gunting besar dari laci
meja dan aku memanggil mama masuk ke kamar.
"Ada apa?" tanya mama.
"Hmm... aku mau memodifikasi daster mama sejenak," kataku sambil mengamati tubuh mama dari kaki sampai ke kepala. "Aha ini dia!"
Aku naik ke atas bangku. Kuraba-raba payudara mama sebentar, lalu dengan penuh keyakinan, aku
menggunting daster mama tepat di bawah payudaranya. Srek srek srek, satu
persatu potongan kain daster mama berjatuhan ke lantai. Sekarang daster
mama hanya menutupi sebatas di teteknya saja, itu pun teteknya masih
terlihat menggembung di bawah potongan daster. Untuk kali ini mama aku
ijinkan memakai beha. Tidak ada sehelai kain pun yang menutupi bagian
perutnya yang sedikit buncit, sementara memeknya tersembunyi rapi di
dalam sempaknya yang berwarna ungu.
"Tega kamu nak memperlakukan mama seperti ini," kata mama terisak.
"Lebih tega lagi kalau aku menyuruh mama bertelanjang bulat ke pasar,"
kataku sambil mengelus pahanya yang masih beraroma sabun mandi. "Tunggu
apa lagi, aku sudah siap berangkat."
kami berdiri di depan rumah, menunggu angkot lewat. Jarak dari rumah ke
pasar sekitar enam kilometer dan kami belum punya kendaraan. Langit
masih terlihat kelabu dan matahari baru saja mengintip di ufuk timur.
Kesunyian pagi itu diusik oleh suara mama yang tak henti-hentinya
memintaku untuk mengijinkannya berganti baju.
"Nak mama mohon dengan sangat, kali ini ijinkan mama berganti baju,"
kata mama sembari menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Mama malu sekali kalau ke pasar dengan pakaian seperti ini."
Aku acuh tak acuh. Di kejauhan terdengar suara mobil yang semakin
mendekatke arah kami berdua. Mama menutupi perutnya yang telanjang
dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menutupi memeknya.
"Mama tidak perlu menutupi memek mama seperti itu," kataku. "Kan mama pakai sempak."
"Tapi..."
Belum selesai mama menjawab, sebuah mobil angkot berwarna hijau tua
berhenti di depan kami. Supirnya yang merupakan seorang pria berumur
kira-kira limapuluhan, melihat mama dengan tatapan tidak percaya.
"M...mau kemana mbak?" sopir itu bertanya.
"Ke pasar dekat sini," jawab mama tanpa berani menatap sopir angkot itu.
"Silakan naik," kata sopir itu mempersilahkan.
Ketika mama hendak menaikkan kakinya ke dalam angkot, aku mencegahnya.
"Mama duduk di depan saja ya, biar aku yang duduk di belakang," kataku.
Mama membisu tetapi patuh. Ia membuka pintu depan mobil angkot tersebut
dan duduk di sebelah sopir. Sopir itu memandangi wanita setengah bugil
yang duduk di sebelahnya. "Mimpi apa aku semalam," katanya pelan. Ia
mengelap keringat dingin yang menetes di keningnya.
Sopir itu menyalakan mesin, lalu mobil itu pun bergerak maju.
Baru kali ini aku merasakan perjalanan angkot yang luar biasa lambatnya.
Sopir itu pasti sengaja melambatkan laju kendaraannya. Aku sampai
terkantuk-kantuk di kursi penumpang. Cuaca dingin di pagi hari memang
bikin ngantuk.
"Eh maaf ya mbak," celetuk si sopir saat tangannya tak sengaja (atau
disengaja?) menyentuh perut mama. "Mbak jangan terlalu duduk dekat tuas
gigi, nanti perutnya mbak bisa kepegang sama saya."
Mama diam saja. Ia menggeser duduknya semakin menempel ke pintu angkot.
Mata sopir itu jelas tidak fokus melihat ke depan, ia lebih memilih
melihat mama ketimbang melihat jalan. Untung saja jalanan masih sepi
dari hilir mudik kendaraan, palingan hanya ada satu atau dua mobil yang
melintas.
"Jangan pegang-pegang!" seru mama. Rupanya sopir itu baru saja mencoba
menyentuh sempak mama. Sopir itu tersenyum usil. "Kalau gak mau
dipegang, terus kenapa mbaknya berpakaian seperti itu," komentarnya.
Dua puluh menit kemudian, angkot itu tiba di pasar. Aku turun duluan,
disusul oleh mama. Ketika mama mau membayar, sopir itu menolak. "Sudah
dibayar dengan tubuh mbak tadi," ujarnya sambil berlalu.
Di depan kami berdiri gedung kumuh dua tingkat yang disebut pasar
tradisional di daerah ini. Di halaman depan gedung belum ada orang,
kecuali beberapa gerobak sayur yang ditaruh sembarangan oleh pemiliknya
dan tumpukan kardus bekas. Mungkin sudah banyak orang di dalam gedung.
Mama terlihat gugup saat aku mendorong pintu masuk pasar. "Ma, ayo lah
jangan diam aja," kataku.
Pintu pasar terbuka lebar. Aku dan mama melangkah masuk ke dalam. Benar
saja, di dalam gedung ternyata sudah cukup banyak orang yang sedang
menaruh barang dagangannya ke atas hamparan terpal. Orang-orang di dalam
gedung langsung berhenti beraktifitas saat melihat aku dan mama
melangkah masuh ke dalam pasar. Seorang pemarut kelapa
terbengong-bengong melihat mama sampai kelapa yang dipegangnya jatuh ke
lantai. Tukang-tukang pendorong gerobak pun menghentikan gerobak mereka
untuk menikmati sajian di depan mereka. Ibu-ibu penjual sayur saling
menggunjingi mama. "Wanita macam apa itu yang berani berpakaian seperti
itu," bisik mereka.
Mama merasa bingung mau menutupi wajahnya yang merah menahan malu atau
menutupi perut dan sempaknya yang tidak tertutupi pakaian. Seorang
pedagang mengabadikan kejadian itu dengan ponselnya. "Pantat yang
bagus," komentarnya.
"Teruskan berjalan ma," kataku memecah keheningan. "Mama mau cari apa?"
"Mau... cari ikan," jawab mama pelan.
"Kalau begitu lewat sini," kataku mengarahkan jalan. Aku pernah beberapa
kali mengunjungi tempat ini dan aku masih hapal tempat-tempat
berjualannya. Pasar itu kumuh dan bau, lantainya terbuat dari ubin yang
licin karena terkena tetesan air yang entah darimana datangnya.
Beberapa anak yang seumuran denganku berjalan mengikuti mama. Mereka
memandangi pantat mama yang hanya terbalutkan sempak ungu. "Baru kali
ini aku lihat pantat cewek secara langsung," kata salah satu mereka.
"Pantat bibi itu lebih bagus daripada pantat mamaku."
Anak-anak itu terus mengikuti kami memasuki lorong gedung yang sempit.
Tercium bau amis yang menyengat di udara. Tidak salah lagi lorong ini
pasti mengarah ke tempat penjualan ikan. Mama masih saja menutupi
pantatnya dengan kedua tangannya.
"Perlihatkan saja ma," dengusku kesal. "Mama jadi aneh kalau jalan sambil menutup kayak gitu."
Mama meletakan kedua tangannya ke samping tubuhnya. Aku menepuk-nepuk pantatnya dengan puas. "Begitu dong ma," aku memujinya.
Tempat penjualan ikan ternyata sepi pedagang. barangkali sebagian dari
mereka juga pulang kampung karena libur panjang. Cuma ada seorang
pedagang ikan saja yang duduk di pojok ruangan sambil membalurkan
ikan-ikan dagangannya dengan potongan-potongan es. Pedagang itu langsung
berdiri tegak saat melihat kami berjalan mendekatinya. Ia terperangah
melihat mama.
"Aa...ada yang bisa aku bantu?" ujarnya gagap.
"Tolong... ikan tongkolnya tiga kilo," kata mama berusaha untuk tidak gugup.
"Baik bu," kata si penjual ikan. Ia menaruh beberapa ikan tongkol ke
atas timbangan, dan memastikan beratnya tidak kurang dan tidak lebih.
Kemudian ia mengambil sebuah kantong plastik dan menaruh ikan-ikannya ke
dalam kantong tersebut lalu menyerahkannya ke mama. "Semuanya Rp
30.000," ujarnya sambil terus menatap ke arah sempak mama.
Mama mengeluarkan dompet yang dikepitnya di ketiak, mengambil tiga
lembar uang sepuluh ribuan dan memberikannya ke si penjual ikan. Setelah
mendapatkan yang kami mau, kami pun pergi meninggalkan si penjual ikan
yang hanya bisa menelan ludah sambil melihat pantat mama.
Kali ini mama hendak membeli sayur kangkung dan bumbu masak lainnya.
Kami masuk ke area yang sedikit lebih luas dari lorong penjual ikan tadi
dan dipenuhi oleh ibu-ibu yang sedang merapikan berbagai macam sayuran
ke tatakan. Kami mendekati seorang ibu penjual sayur yang dari tadi
memandang mama dengan penuh tanda tanya.
"Bu sayur kangkungnya lima ikat," kata mama. "Sama jahe dan kunyit."
Ibu penjual sayur mengambil sayuran dan bumbu yang diminta mama dan
memasukannya ke dalam kantong plastik tanpa banyak tanya. Ketika mama
hendak membayar, ibu itu berkomentar, "Kalau mau jadi lonte, jangan ke
tempat ini."
Mama membayar ibu itu tanpa menanggapinya. Urusan kami sudah selesai.
Aku menawarkan diri untuk membawa semua kantong belanjaan mama.
Bocah-bocah pasar itu masih saja mengikuti kami. Sekarang saatnya
bersenang-senang.
Ketika kami berjalan di lorong alternatif menuju jalan keluar gedung,
Aku menghentikan mama. Anak-anak di belakang kami juga berhenti.
"Kalian mau lihat memek mamaku tidak?" tanyaku kepada mereka.
Anak-anak itu berteriak serempak: "Maaauuu!"
Aku menoleh ke mama. "Nah mama dengar mereka kan? Ayo buka sempak mama."
"Masih kurang kah ini nak?" wajah mama sembab lagi.
"Lho buka dong ma, kasihan mereka," kataku.
Sambil menahan tangis, mama menurunkan sempaknya di depan anak-anak itu.
Memek mama yang ditumbuhi jembut lembat perlahan-lahan menyembul dari
sempaknya yang kian turun ke kakinya. Mata anak-anak itu terbelalak
mengikuti arah turunnya sempak mama. Mereka semua diam memperhatikan.
"Kalian kenapa jauh-jauh?" kataku. "Sini mendekat."
Mula-mula mereka ragu untuk mendekat, tetapi akhirnya mereka
memberanikan diri untuk melihat memek mama dari dekat. "Jangan takut,
sentuh saja jembutnya," kataku.
Tangan-tangan kecil mereka mulai menyentuh jembut mama. Mereka tertawa
kecil saat beberapa helai jembut mama menempel di tangan mereka.
"Rasanya hangat," komentar mereka. Mereka memilin-milin bulu jembut mama
seakan-akan itu mainan.
"Ma, lebarkan memekmu ma," pintaku.
"Ini sudah cukup nak," mama mulai menangis.
"Ma, kasihan mereka. Nanti mereka bisa penasaran."
Dengan menggunakan kedua tangannya, mama membuka lubang memeknya sampai
klitorisnya mengintip dari dalam. Anak-anak itu memandang dengan takjub.
"Hebat!" seru mereka.
"Silakan jilat," kataku.
"Eh tunggu dulu!" seru mama. Tetapi terlambat. Seorang anak yang berdiri
paling depan langsung memeluk pinggang mama dan menjilat memek mama
yang terbuka. "Aaaaah...." desah mama. Anak itu terus menjilat memek
mama sampai ia puas. "Sedikit asin dan bau amis," komentarnya.
Anak-anak itu saling bergantian menjilati memek mama. "Aaaah...
aaaaah..." desah mama. Ia sampai harus menutup mulutnya dengan telapak
tangan agar suaranya tidak terdengar jelas. Tubuh mama sampai tersender
di dinding lorong karena dorongan anak-anak itu. Mama memejamkan
matanya. Sepertinya ia menikmatinya.
Sepuluh menit kemudian, anak-anak itu selesai menjilati memek mama. Mama
tersender lemas di dinding. Ia berusaha berdiri tegak kembali.
Anak-anak itu menyeka bibir mereka yang terlumuri oleh cairan bening
dari mama.
"Nih kenang-kenangan buat kalian," kataku sambil melempar sempak mama ke
anak-anak itu. Mereka semua berebutan mengambil sempak mama.
"Terimakasih!" seru mereka sambil berlari-lari mengejar teman mereka
yang berhasil membawa sempak mama.
"Jadi mama pulang bagaimana ini nak," kata mama yang masih lelah akibat anak-anak itu.
"Ya mama kayak gitu aja," kataku anteng. "Sudah siang nih ma. Pulang yuk."
Kami keluar dari gedung. Di luar gedung pasar, sudah ada sebuah mobil
angkot yang parkir di depan. Sopirnya seorang bapak-bapak yang sedang
merokok di dalam mobilnya. Ia belum menyadari kehadiran mama dan aku
saat kami mau masuk ke mobilnya.
"Bang ke kampung dekat sini bisa kan?" tanyaku.
"Eh bisa... ya ampun bu kok gak pakai celana kayak gitu?!" seru bapak
sopir kaget. Bara api rokoknya sampai terjatuh mengenai tangannya. Ia
segera mengibaskan tangannya agar tidak terbakar.
"Ke kampung ya pak," kata mama pelan. Kali ini aku menyuruh mama duduk
di belakang bersamaku. Kami duduk saling berhadapan. Mama di sebelah
kiri dan aku di sebelah kanan. Sopir itu memutar kunci mobil dan
menjalankan mobilnya.
Aku menatap memek mama yang terpampang di depanku. Kulebarkan kedua kaki
mama sampai memeknya ikut melebar. "Mau apa kamu nak?" tanya mama
kaget. Aku tidak menjawabnya. Sebelum mama menyadari yang aku lakukan,
aku benamkan jari tengahku ke dalam memeknya yang masih basah. "Ah jahat
kamu nak sama mama kamu sendiri," raung mama. Dengan cepat kugerakan
tanganku maju mundur di dalam memek mama. Mama memegang kepalaku dengan
kuat.
Cret. Cret.
Memek mama mengeluarkan cairan bening yang lebih banyak dari sebelumnya.
Bangku yang didudukinya sampai tergenang oleh cairan dari memeknya. Aku
semakin mempercepat tanganku. "Aaaaaaah jahat kamu nak!" seru mama. Tak
lama kemudian memek mama menyemburkan cairan keluar. Perut mama
mengejang sebentar, kemudia lemas lagi.
"Apa yang kalian berdua lakukan?!" seru pak sopir sambil menatap kami di kaca spion.
Aku mengelap tanganku yang basah di daster yang menutupi tetek mama.
Kupandangi pohon-pohon yang kami lewati. Mama masih memejamkan matanya.
Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan mama saat ini.
"Kami hanya bermain," jawabku ke pak sopir.
Home
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 4
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar