Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 7 | Scandal

Beberapa hari ini, aku menghindari Om Bondan; yang juga kebetulan memang sedang mesra dengan istrinya. Even I smell something fishy—aku curiga ini hanya taktiknya untuk menutupi hubungan gelapnya dengan Safira yang hampir ketahuan kemarin, aku juga punya alasan khusus untuk menjaga jarak. Kita berdua sama-sama tahu, dan sama-sama sadar dengan sisi lain aku dan om-om gendut itu. Entah, aku hanya merasa ini tak benar. Ada sesuatu yang aku tak nyaman, tapi belum tahu apa.

Tapi, aku kadang suka iri melihat kemesraan yang mereka tunjukkan akhir-akhir ini. Andaikan aku ada di posisi Tante Indy, pasti rasanya bahagia sekali. But wait, aku cemburu? Seriously? For real? Cemburu ke Om-om tua gendut banyak uban itu? Ewh, aku ternyata sudah sebegini menyedihkan.

“Teh, Teteh! Ngemalun mulu, mikirin apa sih?!”

“Hah-eh? Oh, apa Din?”

Dinda tampak cemberut, lalu memalingkan wajahnya dariku. Aku bingung apa salahku, atau memang daritadi aku tidak mendengarkan dia ngomong apa saja karena asyik melamun? Apapun itu, kini Dinda memunggungiku—bagai pacar yang merajuk ke pasangannya. Lucu, membuatku ingin menggodanya.

“Dinda sayaaang, ngambek mulu ah. Cium nih,” kataku, manja.

Tapi Dinda masih saja memunggungiku, dan ini membuatku bertambah gemas. Maka, aku merapatkan tubuhku padanya, lalu menciumi tengkuknya secara perlahan. Awalnya Dinda tak bergeming, tapi seiring kecupanku yang semakin intens, disertai usapan pada perut dan dadanya, membuat pertahanan Dinda luluh juga. Tanganku kini menyusup dibalik kausnya, dan langsung menjamah kedua putingnya yang sudah tegak, membuat Dinda menggelinjang dan mendesah kecil.

“Masih mau diterusin ngambeknya?” godaku padanya.

Dinda menggeleng pelan, lalu menengok ke belakang. Dia membuka bibirnya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku, dan langsung kusambut bibirnya dengan sapuan lidahku. Kami saling berciuman dengan panas sambil aku terus meraba kedua buah dadanya. Kuyakin nafsu Dinda semakin memuncak, dan saat tanganku beranjak menyelusup dibalik celana pendeknya, Dinda malah membuka pahanya agar aku semakin mudah mengakses selangkangannya. Jari-jariku yang terampil langsung membuka lipatan bibir kemaluannya, mencari-cari daging kecil serupa kacang itu untuk kujadikan mainan jemariku. Dan ketemu, langsung saja kupilin, kugesek-gesek, dan sesekali kutekan-tekan sambil kuputar searah jarum jam.

“Aahh... Teteh... geli Teh... mmhh...”

“Dinda udah basah yaaa?”

“Udah... basah banget... malah... sshh... Teteh... udah ah, geli...”

“Oke, kalo gitu. Teteh udahan ya, mau mandi dulu.”

Aku buru-buru menarik tanganku dari selangkangan dan dadanya, lalu berdiri dan mengambil handuk kemudian berjalan menuju kamar mandi. Aku sekilas melirik ke Dinda, yang terbengong-bengong sambil memandangiku. Kulihat wajahnya, ada raut kekecewaan disana. Hihi, dia pasti kentang. Lagipula, dari awal aku hanya berniat menggodanya kok.

Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung menanggalkan seluruh pakaianku di depan Dinda. Malah dengan sengaja aku membelakangi Dinda, lalu menungging dan membuka celana serta celana dalamku di depannya. Kuyakin Dinda sekarang sedang menelan ludah melihat pantatku yang sekal ini, dan hati kecilku sedikit berharap ada spontanitas darinya kepadaku. Jadi, setelah aku telanjang bulat, aku langsung melilitkan handuk ke badan lalu masuk ke kamar mandi, tanpa menguncinya. Aku menunggu dengan berdebar, berharap Dinda masuk kesini dan menggarapku.

Dan yep, seseorang memelukku dari belakang sambil kedua tangannya bermain di buah dadaku. Aku melirik ke belakang, dan dibelakangku Dinda sekarang sedang menciumi bahu dan leherku. Nafasnya memburu, matanya sayu, tanda bahwa nafsunya sudah sangat memuncak. Aku ingin menggodanya sedikit lagi, jadi aku memutuskan untuk melepaskan diri dari pelukannya lalu memutar badan dan merapatkan diri ke dinding. Sekarang kami berdiri berhadap-hadapan, lalu aku menyalakan tuas shower; air langsung mengucur lembut ke bawah dari shower yang tersemat, membasahi seluruh tubuhku. Aku kemudian membuka selangkangan lebar-lebar sambil tetap memandangi Dinda, dan seakan mengerti maksudku, Dinda membuka seluruh pakaiannya lalu berjongkok tepat di depan selangkanganku. Kami tak saling mengungkapkan kata, hanya mengumbar isyarat. Tapi itu cukup bagi kami berdua.

Dinda kini mulai menciumi kemaluanku. Kuyakin ini pertama kalinya dia melakukan ini, terlihat dari sikapnya yang masih kaku. Apalagi ketika dia menjilati kemaluanku, meski nikmat tapi aku masih merasa ada yang kurang. Tapi kudiamkan saja, dan setelah beberapa lama Dinda bisa beradaptasi, bahkan berimprovisasi. Dia mulai berani menjulurkan lidahnya masuk ke dalam liang kemaluanku, sambil tak henti-hentinya menatapku dan kedua tangannya terus meremas pantatku. Aku membalas tatapannya dengan menggigit jari sambil menikmati jilatan lidahnya pada kemaluanku, membuat Dinda semakin gemas padaku dan semakin liar di selangkanganku.

Sepertinya, aku mulai menyukai ini.


===

Setelah aku menyelimuti Dinda yang tertidur di ranjangku, aku beranjak dari ranjang lalu mengambil handuk yang tergeletak di lantai, lalu melilitkannya di tubuhku. Uh... rasanya aku ingin kembali membilas tubuhku saja. Rasanya lengket dan risih, membuatku tak nyaman. Ini gara-gara Dinda yang dari kamar mandi tadi tak henti-hentinya mencumbuku, bahkan setelah aku menyerah meminta ampun, Dinda tak juga berhenti. Aku sendiri tak tahu sudah berapa kali dibuatnya orgasme, tapi rasanya berkali-kali sampai lututku lemas tak sanggup menapak.

Aku melirik sekali lagi ke Dinda, dan bergidik ngeri karenanya. Gadis ini benar-benar maniak, dia tak akan berhenti sebelum merasa puas. Aku harus berhati-hati mulai sekarang kalau ingin memancing birahinya, kecuali sudah siap dicumbu sampai lemas.

“Bentar deh,” aku melirik jam dinding, lalu spontan menepuk kening, “Gosh... padahal ada janji ngerjain tugas bareng temen... mati deh gue dimarahin ini sih.”

Buru-buru aku melongok hape-ku, dan mendesah berat ketika mendapati ada delapan belas panggilan tak terjawab di log ponsel. Segera kulempar ponselku ke kasur, lalu aku kembali membasuh diri. Setelah selesai, aku buru-buru memakai pakaian seadanya dan tanpa make up, aku langsung berangkat pergi. Yang penting sampe dulu, make up bisa sambil otw.

Aku memutuskan untuk naik ojek guna mempersingkat waktu. Maka, aku setengah berlari menuju pangkalan ojek yang tak jauh dari rumah, lalu setelah tawar menawar harga, aku pun diantar oleh si Kang ojek. Selama dijalan, aku menyuruhnya untuk mengebut, dan hal ini agak-membuatku-ngeri juga, sampai aku memeluk pinggang tukang ojekku. Dan juga, beberapa kali dia mengerem mendadak, membuat buah dadaku terpaksa menempel di punggungnya. Agaknya tukang ojek ini sengaja, tapi aku tak ambil pusing, anggap saja rejeki dia.

For crying out loud, kalau ada yang harus kusalahkan atas semua pelecehan bermodus kondisi dalam bertransportasi ini, tugas-tugaskulah pelakunya. Seriously, sehabis libur panjang dua bulan, lalu diberondong tugas setumpuk? Sedikit lagi, aku akan mati—dengan amat mengenaskan: otak dan dada pecah karena tak kuasa dianiaya paper-paper sialan.

“Akhirnya! Oh, halo? Iya bentar, ini udah sampe, tungguin!” Aku mengapit ponselku diantara bahu dan pipiku, sambil menyerahkan selembar uang warna biru kepada si tukang ojek. “Makasih ya Kang, lain kali jangan suka ngerem gitu, menang banyak. Eh, halo? Iya bawel! Tungguin, riweuh amat sih!”

Aku menyusuri jalur khusus pejalan kaki memasuki pelataran Margo City yang luas. Memang salahku, mengajak kerja kelompok untuk mengerjakan tugas di tempat yang kutentukan, tapi aku yang paling terakhir datang. Tapi semua pasti selesai jika kukeluarkan kalimat saktiku: tenang, gue yang traktir.

“Ehehehe, maap ya telat. Bangun kesiangan gue,” sapaku ketika tiba di outdoor area Starbucks. Di salah satu meja, duduk tiga orang –satu cowok dan dua cewek– lengkap dengan ekspresi ga santai mereka.

“Gilaaaa...! Kebo juga lu, Pa’ul!” cetus salah satu teman kuliahku, Rara. Namanya sih Tiara, tapi karena yang lain biasa memanggilnya Rara, jadi aku juga ikut-ikutan. Dia ini hijabers yang gaul abis dan modis, tiap hari punya kreasi yang berbeda dalam memadu-padankan hijab dan busananya. Cantik sih, tapi kalo ngomong suka menusuk sampai ke hati.

“Pa’ul? Idih, apaan tuh coba?!”

“Pa’ul, Pauline. Elu terlalu keren dipanggil Olin, jadi gue manggilnya Pa’ul aja.”

“Engga mau! Sekali lagi lo ngatain gue itu, hubungan kita selesai!”

“Olin, udah ah. Gitu aja dipermasalahin, ish. Terus ini tugasnya gimana? Bagian ini kan cuma kamu yang bisa. Kita mah apasih kalo dibanding kamu; cuma remah rengginang yang ada di dalem kaleng goodtime,” Hani, temanku yang lain, menyambar.

Hani ini anaknya lucu, agak-agak gemesin gitu deh. Tipikal lolita, karena punya bentuk tubuh yang mungil dan wajah baby face. Tapi cerewetnya, ampun deh. Nah, Hani ini yang dari tadi meneleponku terus-menerus selama dijalan.

“Jirr, rengginang di kaleng goodtime. Udah naek pangkat apa? Biasanya juga di kaleng khong guan kan,” Raka ikutan menyambar.

Raka ini satu-satunya cowok dalam kelompok kami, juga yang paling tampan dan atletis. Iyalah, cowok sendiri! Tapi serius, meski tampangnya agak tolol gini, tapi harus kuakui bahwa Raka punya wajah manis. Dia juga tinggi, langsing, bisa dibilang badannya bagus. Pernah kutanya apa dia nge-gym, tapi dia menggeleng. Dia bilang, ini karena sudah enam tahun belakangan ini dia menjalani latihan khusus: dikejar anjing komplek. Tiap Raka pulang sekolah, pasti dia dikejar anjing galak yang menjaga salah satu rumah di kompleknya, dan lama kelamaan ini menjadi kebiasaan. Kegiatannya baru berhenti ketika anjing yang jadi musuhnya disuntik mati karena rabies. Tiap kali Raka menceritakan ini, aku tak bisa berhenti tertawa dibuatnya. Oh iya, Raka juga humoris, kadang sok cool, tapi ramahnya luar biasa. Sayang, dia sudah punya pacar. Meski dia tak pernah mengenalkan pacarnya pada kami.

“Udah jangan bawel deh, gue traktir nanti makan!” timpalku, menengahi.

Serentak, ada binar keceriaan diwajah ketiga temanku. Benar kan, kalimat saktiku benar-benar ampuh.

Halo, otak mesumku, sebentar ya. Ada tugas yang harus kukerjakan dulu, uh... beberapa paper sialan yang lupa kugarap.

===

Pada akhirnya, kami mengerjakan tugasnya di kost Rara. Ini karena kami terlalu banyak mengobrol dan bercanda, malah jalan-jalan dan melupakan tugasnya. Dan ketika tugas sialan ini selesai, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Akhirnya, aku memutuskan untuk menginap saja, bareng dengan Hani dan Raka. Tentu saja, Raka tidur di luar. Soalnya, rumah kost Rara lebih mirip kontrakan satu kamar yang dibangun seperti rumah susun dengan tiga lantai. Kamar Rara ada di lantai dua, dan kebetulan paling pojok, jadi Raka bisa rebahan di terasnya tanpa harus risih karena orang-orang yang lalu-lalang.

Tapi karena agak khawatir dengan keadaan Raka, maka setelah Hani dan Rara tidur, aku keluar untuk menemani Raka. Disanalah dia, sedang merokok sambil menyeruput kopi. Ketika melihatku, Raka hanya tersenyum kecil.

“Eh, lo ngerokok, Ka?” tanyaku, kaget. Aku tak pernah tahu sebelumnya kalau dia merokok. Tampangnya seperti anak baik-baik, sih.

“Udah lama kok. Tapi ya, kalo nongkrong sama kalian gue ga pernah ngerokok. Ga enaklah, nanti kalian jadi perokok pasif lagi,” katanya.

Tuh kan, dia baik kan?

“Tidur dalem yuk, disini kan dingin. Selimut doang sih nembus Ka.”

“Engga deh, cewek semua di dalem. Gue ga enak, Lin.”

Aku merunduk di sampingnya, lalu berkata, “Udah gausah jaim sih, nanti lo kalo sakit kita juga yang repot!”

Raka, melihatku sekilas lalu memalingkan muka. Aku bingung ada apa dengannya, tapi setelah aku menengok ke bawah, aku baru menyadarinya. Ternyata belahan dadaku terlihat jelas, karena aku merunduk, dan juga karena aku hanya memakai tanktop. Aku pun tertawa, tak kusangka cowok ini begitu menarik. Hah, Raka... Raka. Putuskan saja pacarmu, dan jadian denganku.

“Yaudah kalo ga mau tidur di dalem, gue nemenin lo disini aja,” kataku lagi.

Raka hanya melongo, tapi sebelum dia sempat melarangku, aku sudah duduk disampingnya, lalu menarik selimut yang dipakainya untuk menyelimuti tubuhku juga.

“Ngapain sih Lin nyempil aja disini? Emang di dalem ga muat ya?”

“Iya ga muat, toket gue ga muat Ka. Kegedean abisnya, jadi makan tempat di dalem.”

Mendengarnya, Raka hanya tertawa. Lalu dia menepuk keningku, dan bilang kalau apapun kondisi fisikku, aku harus menerimanya. Aku mengiyakan saja, dan candaan kami mengalir menjadi obrolan. Mulai dari hal-hal ringan, sampai ke hal berat seperti jodoh dan pernikahan. Raka bilang, siapapun yang jadi suamiku kelak, pasti bahagia lahir batin. “Terutama lahirnya Lin,” katanya.

Aku pun meninju lengannya, karena paham sekali apa maksud cowok ini. Obrolan pun berlanjut, dan terus mengalir menjadi sesi curhat. Entah siapa yang memulai, kami saling bertukar cerita dan mengutarakan mimpi masing-masing. Raka juga cerita tentang pacarnya yang cerewet dan posesif—dan baru kutahu mereka sudah pacaran sejak kelas 1 SMP. Ucet, anak kelas 1 SMP pacaran? Eerrr...

“Giliran lo dong Lin cerita, masa gue mulu? Curang amat!”

Jariku menepuk-nepuk bibir, tanda sedang memikirkan kata-kata Raka. “Cerita apaan? Gue sih ga ada yang bisa diceritain, hidup gue sempurna sih. Apa yang gue mau semuanya dapet kok, makanya gue bingung apa yang kurang.”

“Mungkin, karena terlalu sempurna... makanya jadi bosen.”

Mungkin. Secara materi, aku tak kurang satupun. Tapi kenapa tiap kali nafsuku terpuaskan, yang ada setelahnya hanya rasa hampa? Apa itu definisi sebenarnya dari bosan?

“Gue ngantuk Ka, tidur duluan ya. Minjem bahu lo sampe pagi, ‘kay?

Raka mengangguk, lalu aku menyandarkan kepalaku pada bahunya. Rasanya nyaman, dan entah kenapa aku berharap pagi jangan cepat datang. Tetap seperti ini, sampai aku terlelap nanti.


Aku berangkat kuliah dari kost Rara, bersama dengan Raka, Hani dan tentu saja Rara juga. Dan setelah kuliah pagi, aku memutuskan untuk pulang kerumah Om Bondan untuk mengganti baju. Kulihat jam tangan, pukul sepuluh. Aman, Dinda pasti sedang sekolah sekarang.

“Non Olin, abis dari mana?” tanya Bunga, yang baru saja dari arah dapur.

“Eh, Bunga. Dari kost temen nih, abis ngerjain tugas kelompok.” Aku lalu melihat sekeliling, dan merasakan bahwa rumah ini sepi sekali. “Yang lain pada kemana? Kok sepi?”

“Non Dinda sekolah, Den Cecil lagi di kamarnya. Kalau Tuan Bondan berangkat kerja, Nyonya Indy lagi arisan. Emm, Non... Bunga mau izin belanja dulu ke supermarket. Tadi disuruh sama Bi Nirah sebelum pergi.”

“Lah, Bi Nirah kemana emang?”

“Katanya mau hanimun dua hari ke Anyer sama Pak Moko, Non. Tadi udah izin sih sama Nyonya.”

Jirr, pembantu aja pake honeymoon. Mana dua hari, ke Anyer pula. Leh uga.

“Yaudah, biar aku yang jaga rumah. Bunga belanja aja dulu. Oh iya, Asep sama Mbak Retno kemana?”

Bunga spontan menunjuk dapur, lalu berlalu sambil menunduk. Aku memperhatikan gelagatnya yang mencurigakan, lalu memutuskan untuk diam-diam menuju dapur. Tapi tak kudapati Asep maupun Mbak Retno disini, padahal tadi kata Bunga ada di dapur. Lalu aku memutuskan melihat ke kamar pembantu saja. Kamar pembantu di rumah ini ada di paviliun belakang, setelah kolam renang. Memang, kata Om Bondan pembantu sengaja ditempatkan disana agar merasa punya rumah sendiri.

Setelah melewati kolam renang, aku samar-samar mendengar suara desahan yang lirih. Naluriku yang terasah untuk hal macam begini, membuatku ingin mencari tahu dan berjalan mengendap-endap. Maka, aku pelan-pelan membuka pintu lalu masuk ke dalam paviliun. Aku beranjak menuju kamar, lalu membuka pintu sedikit untuk mengintip. Lewat kedua mataku, aku melihat dua orang dengan jenis kelamin berbeda sedang bergumul di atas ranjang. Si wanita telungkup di atas tubuh si pria, dengan penis si pria yang menancap di kemaluan si wanita yang sudah basah. Aku melotot ketika memandangi penisnya... panjang, begitu kekar... urat-uratnya tergurat kokoh di seluruh batang penisnya. Diameternya juga kukira pas, tapi panjangnya itu... mengingatkanku akan dildo favoritku milik Tante Indy.

Dalam sekejap, selangkanganku basah karena membayangkan penis itu mengaduk-aduk kemaluanku. Ah, aku horny seketika! Aku ingin merasakan penis kekar itu di dalam kemaluanku!

Aku kembali mengintip. Kini, si pria, Asep, merubah posisi. Asep berdiri dengan kedua lututnya, sementara si wanita, Mbak Retno, menungging membelakangi Asep. Lalu Asep memasukkan penisnya ke dalam kemaluan Mbak Retno, menggenjotnya cepat. Aw, dari mimik muka Mbak Retno benar-benar menunjukkan kenikmatan yang sulit diungkap kata.

Aku menggigit bibirku. Rasanya aku rindu dengan sensasi penis Asep tertancap di kemaluanku. Tapi rasanya ga mungkin, gengsi ishhh. Jadi... hush-hush! Aku mesti mengusir pikiran-pikiran mesum dari kepalaku ini! Bubar, bubar! Putar haluan, kembali ke kamar.

Setelah menaiki tangga, dari kejauhan aku melihat pintu kamarku sedikit terbuka. Bukannya kemarin aku meninggalkannya terkunci, dan kuncinya kupegang? Aku segera merogoh kantung jeans-ku, dan memang kuncinya ada di saku. Nah loh, siapa yang buka pintu?

Karena panik, aku buru-buru menuju kamarku, lalu membuka pintu dengan keras. Setelah pintu terbuka, aku justru terpaku, melongo, bengong. Kulihat Cecil berdiri di tepi ranjangku, sambil memegangi penisnya, yang terarah ke celana dalamku yang diletakkan di atas ranjang. Cecil yang kaget, juga melihatku sambil terpaku, dia bahkan tak sempat memasukkan kembali penis kecilnya ke balik celana.

“Duh, Cecil... itu celana dalem Teteh diapain?” tanyaku, lemas. Ampun deh, Ayah-Anak sama mesum kelakuannya.

Cecil hanya diam, menunduk tak berani menatapku. Penis imutnya yang tadi tegak, spontan menciut. Loh, bentuknya jadi lucu begitu, mirip keran air. Eh-eh, nanti dulu, fokus Olin! Terjawab sudah kenapa beberapa minggu terakhir ini aku selalu menemukan celana dalamku tergeletak di lantai kamarku, dengan bercak cairan putih kental di seluruh bagiannya. Dan itu hampir terjadi setiap hari! Aku diam saja, karena ingin memergoki siapa yang berani kurang ajar terhadap dalamanku, dan terjawab sudah. Padahal kukira tadinya pelakunya adalah Pak Moko atau Asep, tapi ternyata... Cecil?

“Cecil gimana bisa masuk ke kamar Teteh? Kan kamar Teteh dikunci, pasti Cecil punya kunci cadangannya ya?”

Cecil masih diam. Dia kini menutupi penisnya dengan kedua tangan, masih tertunduk malu. Seharusnya sih aku marah karena merasa dilecehkan begini, tapi aku begitu beradaptasi dengan kelakuan mesum para penghuni rumah ini. Jadi kupikir tak ada lagi yang benar-benar bisa membuatku kaget lagi. Ini membantuku mengontrol emosi, apalagi sekarang lawan bicaraku anak umur 12 tahun. Mesti diajak bicara baik-baik, seharusnya.

“Gini deh, Teteh ga marah kok sama Cecil, dan Teteh ga akan bilang Mama Cecil, asal...”

Cecil spontan menatapku. “Asal apa Teh?” tanyanya, malu-malu.

“Jangan diulangin lagi ya, terus... serahin kunci cadangannya ke Teteh. Kok Cecil bisa-bisanya sih punya kunci cadangan. Ngambil dimana hayooo?”

“Ce-Cecil... ambil dari kamarnya Mbak Mala, Teh.”

“Yaudah sini kuncinya,” kataku, dan setelah Cecil menyerahkannya, aku kembali berkata ke Cecil, “Sekarang Cecil ke kamar sana, Teteh mau tidur dulu. Inget, jangan lagi-lagi ya.”

“Teteh marah ya sama Cecil?”

“Engga koook, udah ah Teteh mau tidur dulu.” Aku kemudian mendorong Cecil keluar dari kamarku, lalu kukunci pintu. Aku kemudian melompat ke ranjangku, lalu mengambil celana dalam yang tadi jadi bahan masturbasi Cecil.

“Hampir aja, ini kan celana dalem kesayangan Om Bondan.”

Aku menggenggam celana dalamku erat-erat, karena terlalu malas menaruhnya lagi ke tempatnya. Dan karena aku sudah ngantuk berat, maka proses tidur kali ini begitu mudah.


===

Gila! Besoknya saat aku mengambil jemuranku dari atap, aku menemukan lagi salah satu celana dalamku terdapat bercak cairan putih—yang kuyakin itu sperma. Aku menggeram kesal, dan kuyakin ini perbuatan Cecil. Maka, aku memutuskan untuk mencuci semua celana dalamku lalu menjemurnya lagi. Aku membuat rencana, bahwa besoknya aku akan mengikuti Cecil. Ya, tepat ketika jemuranku sudah kering.

Besoknya, aku pura-pura nonton televisi di ruang tamu, sambil sesekali melirik ke kamar Cecil. Lalu ketika anak itu keluar dari kamarnya, aku memutuskan untuk mengikutinya. Cecil diam-diam menuju ke atap, dan ketika dia kembali, aku pura-pura masuk ke kamarku. Cecil melewati depan kamarku sambil menunduk malu, lalu menuju kamarnya. Nah, ini saatnya.

Aku menunggu selama beberapa menit, lalu segera menuju kamar Cecil. Dan...

“Hayooo, celana dalem Teteh diapain?”

Seruanku mengagetkan Cecil yang sedang... uuuhh, menggunakan celana dalamku sebagai bahan masturbasi. Kali ini g-string milikku, warna hitam, salah satu koleksi kesukaanku. Cecil buru-buru memasukkan penisnya ke balik celananya, tapi aku sudah melihat semuanya. Maka, kututup pintu kamar Cecil, lalu aku duduk di tepi ranjang. Cecil kupanggil agar berdiri di hadapanku, lalu sambil melipat tangan di dada, aku pura-pura marah kepadanya.

“Kan Teteh udah bilang, jangan diulangin lagi. Kamu susah dibilangin ya? Emang kenapa sih, kamu bisa tega gini sama Teteh? Udah, pokoknya Teteh mau lapor ke Mama kamu!”

‘Teh, Teh! Jangan!” Cecil memegangi tanganku, memohon-mohon supaya aku tidak bilang. “Iya, iya, Cecil kapok Teh. I’m promise, ga diulangin lagi!”

Really?

Cecil mengangguk-angguk ketakutan. Maka, aku memutuskan untuk mengampuninya lagi kali ini. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana untuk membuatnya tak mengulangi lagi perbuatannya. Gimanapun juga, anak kecil harus didekati dengan pendekatan yang tepat dan hati-hati. Salah pendekatan, dan dia akan semakin menjadi-jadi.

“Gini deh, biar Cecil puas... sekarang coba itu diulangin lagi kocok-kocoknya, tapi di depan Teteh ya. Tapi abis itu janji, jangan diulangin lagi. Ayo janji kelingking!”

Aku memaksa Cecil melakukan janji kelingking; itu tuh, janji dengan saling mengaitkan kelingking satu sama lain. Menurut tradisi Jepang, janji kelingking mempunyai makna yang dalam. Kalau ingkar janji, maka kelingkingnya harus dipotong. Tentu saja, di negeri ini hal tersebut terlalu sadis. Balik lagi, Cecil mulanya ragu-ragu. Tapi aku memaksa, sehingga akhirnya dia mau berjanji padaku.

Sambil tersenyum, aku menyuruhnya untuk membuka celananya. Awalnya, Cecil tak mau, tapi karena kuancam akan kuberi tahu tentang kelakuannya pada ibunya, Cecil tak punya pilihan. Anak ini memelorotkan celana serta celana dalamnya ke lantai. Lalu, terlihatlah penis imut miliknya yang setengah berdiri itu.

“Nah, sekarang terusin tadi ngapain coba. Teteh mau liat,” kataku, menggodanya.

Cecil ragu-ragu mulai mengocok penisnya sambil menunduk, tak berani menatapku. Tapi penis yang setengah ereksi itu tak akan bisa mencapai klimaksnya. Maka, aku mulai menggodanya lebih nakal.

“Emang Cecil kalo lagi ngocok gini, bayangin apa sih?” tanyaku, pura-pura polos.

“Ba-bayangin Teteh...”

“Bayanginnya gimana? Cerita dong ke Teteh.”

Cecil awalnya diam saja, tapi kulihat penisnya mulai tegak sempurna. Itu artinya, dia sedang berimajinasi dengan aku sebagai objeknya di pikirannya. Aku memaksa Cecil untuk cerita, dan akhirnya dia mau bercerita padaku.

“Cecil... bayangin Teteh lagi tiduran... terus Cecil pegang-pegang tetenya Teteh...”

“Hmmm, terus?”

“Abis itu... Cecil masukin titit Cecil... ke ‘anu’ Teteh... hhh... Teh...”

Aku meliriknya, kini kocokan tangan Cecil pada penisnya makin cepat. Aku penasaran juga, apa jadinya jika aku ‘main’ dengan anak ini. Ah, sial... celana dalamku jadi basah.

“Kalo Teteh kasih... Cecil mau ga?” tanyaku lagi, dengan nada menggoda.

“Kasih... hhaahh... apa Teh?”

“Teteh horny, nih. Teteh mau dong dimasukin tititnya Cecil, terus tetenya Teteh diremes-remes... Cecil juga boleh nete sama Teteh... pokoknya Teteh pasrah deh, Cecil apain aja... makanya... Cecil cepetan dong ngocoknya... ayo keluarin... tuh celana dalem Teteh nungguin tau...”

“Beneran Teh? Cecil boleh...”

Aku mengangguk, malah menggodanya dengan meremas-remas kedua payudaraku dari luar. “Liat nih, tetenya gede kan? Tangan Teteh aja ga muat masa...”

“Aahh... ahh... Teteh... Teteh...!”

Hihi, Cecil orgasme. Penisnya memuntahkan semburan sperma beberapa kali ke celana dalamku, dan Cecil terus mengocok penisnya sampai seluruh spermanya telah dimuntahkan. Anak itu jatuh terduduk di lantai dengan nafas tersengal, tapi matanya tak bisa lepas dari tubuhku.

“Tadi beneran Teh...?” tanyanya, disela nafas yang memburu.

Aku mengambil celana dalamku yang berlumuran sperma, lalu buru-buru beranjak pergi dari kamarnya. Lalu, setelah membuka pintu, aku menengok ke arahnya. Kujulurkan lidah pada Cecil, lalu berkata, “Teteh tadi cuma mau godain kamu doang kok. Woooo, dasar mesum! Udah ya, bye Cecil...!”

===

Damn Cecil. Anak ini memang ga ada kapoknya.

Siang ini, aku menuju kamarnya lagi. Kali ini, kupergoki Cecil sedang mengocok penisnya, terarah ke bra ku. Oke, memang bukan celana dalam, tapi kenapa sekarang bra ku yang jadi sasaran? Lagipula kenapa milikku? Kenapa bukan milik ibunya? Kakak perempuannya? Bi Nirah? Mbak Retno? Bunga? Mbak Mala? KENAPA-MESTI-GUE?!

“Kan yang penting bukan celana dalem Teteh lagi!” protes Cecil. Anak ini udah mulai ngotot loh sekarang.

“Iya tapi maksudnya jangan punya Teteh jugaaa...!”

Aku yang kesal, langsung menyambar bra ku dan pergi ke kamarku. Masa bodo kalau Cecil merasa kentang, masalahnya aku capek kalau harus mencuci dalamanku setiap hari. Belum lagi kalau dicuci tiap hari, pakaian akan cepat rusak. Masa iya aku harus memakai jasa laundry agar dalamanku terselamatkan dari kelakuan mesum Cecil? Bisa tekor kalau tiap hari begitu, astaga...

Besoknya, dan besoknya lagi, juga besok lusa, atau hari-hari selanjutnya, Cecil makin berani beronani di depanku. Tiap kali kami hanya berdua, atau saat dia sedang main ke kamarku, Cecil selalu mengeluarkan penisnya dan onani sambil melihatku. Aku rasa otaknya sudah tak waras, ckckck. Lagipula, aku sudah capek mencerewetinya. Berkali-kali sudah kubilang supaya menghentikan kelakuannya itu, tapi cuma masuk kuping kanan keluar kuping kanan lagi.

“Gini deh... kita bikin kesepakatan aja, gimana?” tawarku pada Cecil, suatu hari.

“Kesepakatan apa Teh?”

“Kalo kamu bisa juara kelas, minimal ranking 3 deh, Teteh turutin kelakuan mesum kamu.”

Cecil memang bisa dibilang berotak pas-pasan. Dibandingkan Nathan yang jenius, atau Dinda yang cerdas, intelejensi Cecil bagai ampas dari keduanya. Selain kurang pintar –atau sebut saja bego– Cecil juga malas dan nakal. Berkali-kali Tante Indy mendatangkan guru les privat, tapi Cecil tak bisa diajari. Kadang, Tante Indy membujukku untuk menjadi guru privat anaknya yang satu itu, tapi aku selalu menolak. You know what, Auntie? Mengajarkan anakmu itu hasilnya cuma makan hati.

“Ah, nanti Teteh bohong lagi kayak dulu. Engga ah, ga mau.”

“Yeee, ini serius. Teteh capek ngadepin kamu, jadi mending kita sekalian aja. Kamu bisa ga dapet ranking bagus akhir semester ini?”

“Bisa kok! Tapi Teteh juga jangan ingkar janji lagi ya?”

Aku mengacungkan dua jari ke atas. “Suer deh, engga bakal. Tapi kamu tahan dulu tuh, jangan suka ngocok-ngocok di depan Teteh ya, risih tau! Kalo kamu sampe kumat lagi kelakuannya, berarti kesepakatan kita batal. Deal?

“Terus kalo Cecil ga bisa dapet ranking gimana?”

“Berarti Teteh aduin kelakuan Cecil ke Mama. Gampang kan? Jadinya deal ga nih?”

Kami saling berjabat tangan, dan sama-sama saling melempar senyum licik. Lagipula bisa apa bocah kelas 5 SD yang malas dan nakal ini? Ini sudah jalan setengah semester lebih, dan satu bulan lagi ambil raport. Mana mungkin dia bisa mengejar ketinggalan dan melejit ke posisi tiga teratas? NO-FUCKING-WAY.

===

Ini adalah hari penentuan. Setelah satu bulan berlalu, tiba saatnya pembagian raport pertengahan tahun ajaran di sekolah Cecil. Dan untuk melihat anak ini putus asa, aku menawarkan diri kepada Tante Indy untuk mewakilinya mengambil raport Cecil. Setelah menerima kunci mobil dari Tante Indy, aku dan Cecil lalu menuju ke sekolah. Sepanjang jalan, sesekali kulirik wajah Cecil yang tegang. Tiap kali melihat wajahnya itu, aku ingin tersenyum puas. Kemenanganku sudah di depan mata.

Setengah jam kemudian, kami tiba di sekolahnya. Setelah memarkir mobil, aku menuntun Cecil sambil meminta anak ini menunjukkan dimana kelasnya. Lalu, aku bersalaman dengan wali kelas Cecil, dan setelah rapat wali murid, tibalah saatnya pembagian raport. Satu persatu orangtua murid dipanggil, dan kini giliranku.

“Loh, Ibunya kemana, Cecil?”

“Ibunya lagi sibuk, Pak. Makanya saya wakilkan, iya... saya kakak sepupunya Cecil,” kataku sambil tertawa dibuat-buat, mirip seperti ibu-ibu arisan.

“Oh begitu. Jadi begini...”

“Pauline, Pak.”

“Ya, Dik Pauline... saya benar-benar terkejut dengan raport Cecil,” kata wali kelasnya. Aku bisa melihat adanya rasa tidak percaya dari raut wajahnya. Yaiyalah, bapak pikir anak ini pintar? Namanya doang bagus, Cecil. Wah pak... kalau tahu kelakuannya dirumah, dijamin bikin kesal.

“Oh, raportnya jelek ya, Pak? Tuh kan, astaga Cecil... kan kamu makanya kalo dibilang suruh belajar, dengerin!” kataku pada Cecil yang duduk disampingku.

“Bukan... justru kebalikannya. Maksud saya...”

“Hah? Kebalikannya gimana Pak?”


“Perkembangannya drastis sekali anak ini. Awal semester saya perhatikan, memang Cecil malas. Beberapa kali kena teguran pun dia masih tak gubris. Tapi dua bulan terakhir, sikap Cecil semakin baik. Dia jadi disiplin, dan nilai-nilai tugas serta ulangannya bagus-bagus. Saya bingung, apa memang dia sebenarnya pintar tapi malas atau bagaimana...”

Aku dan Cecil saling berpandangan. Kali ini dia tersenyum amat lebar padaku.

“Jadi Cecil peringkat berapa Pak?”

“Peringkat tiga. Saran saya, Cecil tolong lebih diperhatikan, anak ini pintar sekali. Saya saja yang gurunya kagum sama Cecil.”

Dan senyum Cecil mengembang makin lebar. Mampus, gue bakal di grepe sama bocah.

Dengan nada lemas, aku mohon pamit, lalu kembali ke mobil dengan Cecil yang mengekor di belakang. Setelah keluar dari area parkir, aku melirik ke Cecil yang tak berhenti senyum-senyum daritadi.

“Kamu sengaja pura-pura panik ya?” tanyaku, ketus.

Tapi Cecil cuma angkat bahu. Dia lalu menagih kesepakatan yang sudah kubuat dengannya. Kesepakatan yang kubuat awalnya hanya sebagai tindakan preventif dari kelakuan mesum Cecil, kini menjadi bumerang buatku.

“Teh, Cecil boleh ngapain aja kan Teh? Teteh ga akan ingkar janji lagi kan?”

Dengan lemas, aku menjawab, “Iya... iya... terserah kamu aja kalo gitu.”

Cecil begitu gembira mendengarnya, sampai melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Lalu anak kecil mesum ini mulai menggerayangi payudara sebelah kiriku. Memang dasarnya masih belum pengalaman, Cecil meremas kasar payudaraku. Aku sendiri hanya bisa diam ketika tangannya semakin kurang ajar pada bagian sensitif tubuhku ini.

“Teh, pelan-pelan deh... Cecil mau pindah ke belakang.”

“Mau ngapain emang?”

“Biar gampang remesnya Teh, hehe.”

Cecil melangkahi tuas perseneling, lalu duduk di belakangku. Kemudian tanpa kuduga, kedua tangannya sudah mendarat di payudaraku. Cecil meremas-remas dengan kasar, dan kadang dia memuji betapa besarnya payudaraku. Lalu dia berkata ingin meremas buah dadaku dari balik kaus, yang tak kuijinkan, tentu saja.

“Repot Cecil, udah dari luar aja,” kataku, ketus.

“Ya lepas aja seat belt-nya Teh, kan biar gampang.”

“Ngaco! Nanti ditilang polisi tau!”

Tapi Cecil terus merengek padaku, dan akhirnya aku menuruti keinginannya. Aku segera melambatkan laju kendaraan dan menepi, lalu berhenti sekilas untuk melepas seat belt yang kusematkan. Kedua tangan Cecil langsung bergerilya masuk kedalam bajuku, dan mendarat di buah dadaku yang empuk. Dia berkali-kali melonjak kegirangan karena berhasil memegang buah dadaku yang katanya sudah diimpi-impikan dari dulu. Aku sempat kagum mendengarnya, kadang masih tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari anak berumur 12 tahun.

“Teh... Teh... nanti sampe rumah Cecil mau nete yaaa... anggap aja hadiah buat Cecil yang ranking 2 kan...”

“Tau deh yang ranking tiga, wooo! Tapi kamu ternyata pinter juga ya ternyata, bisa—eh, Cecil ngapain?! Aduh... jangan disitu!”

Gawat, tangan Cecil menyelinap dibalik bra ku. Jadi sekarang dia mendapat akses penuh untuk meremas payudaraku, dan menyentuh seluruh bagiannya. Aku mendesah kecil ketika telapak tangannya berkali-kali menggesek putingku, karena disitulah letak salah satu titik rangsanganku. Cecil masih belum menyadari ini, terus saja meremas payudaraku sesukanya. Lama-lama aku menjadi terangsang juga, dan mulai gelisah.

“Cecil, udah dulu! Udah sampe rumah nih!”

Mobil yang kukendarai masuk ke garasi, tapi Cecil masih saja meremasi payudaraku. Maka, aku membujuknya untuk melanjutkan di kamar nanti. Untungnya, Cecil menyetujuinya. Jadinya, aku merapikan bajuku, lalu bersama Cecil kami turun dari mobil. Kedatangan kami disambut Tante Indy yang langsung menanyakan bagaimana raport Cecil.

“Masa?! Kamu ranking tiga?! Serius?! WAAAAAHHH, CONGRATS SAYAAAANG!”

Tante Indy langsung memeluk Cecil erat-erat, dan menanyakan bagaimana bisa anak bungsunya itu mendapat peringkat bagus. Cecil menjawab bahwa ini berkat bantuanku, dan Tante Indy mengira aku mengajarkannya pelajaran-pelajaran sehingga Cecil mudah menguasai materi. Aku hanya mengiyakan sambil tertawa memaksa, dan tanpa kuduga, Tante Indy mengatakan bahwa dia akan menanggung semua biaya kuliahku jika bisa membantu Cecil mempertahankan peringkatnya. Malah kalau bisa naik.

Jadi Ayah ga usah repot-repot cari duit biayain gue lagi. Mungkin, ini adalah kesempatan yang diberikan padaku untuk berbakti ke orangtua. Iya, kasihan Ayah. Kalau biaya kuliahku ditanggung Tante Indy, maka Ayah bisa menyimpan uangnya untuk hal-hal lain. Oke kalau begitu! Ga apa-apa deh jadi ‘mainan’ keluarga ini, asal Ayah ga kesusahan lagi.

“Tuh denger ga kata Mama tadi? Enak kan bantuin Cecil, Teh?”

“Iya Cecil, iyaaa... makasih ya~”

Kini kami berdua sudah berada di kamar Cecil. Untungnya, Tante Indy baru saja pergi arisan. Om Bondan sedang keluar negeri—biasa, urusan bisnis. Dinda sendiri sedang pergi ke toko buku, tapi sudah mem-booking*-ku sore ini di kamarnya. Hanya siang ini waktu yang kupunya untuk melobi anak kecil ini.

“Teh, Cecil mau nenen Teh... boleh kan?” tanyanya, sambil meremasi buah dadaku.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya. “Kamu sekarang mesum banget sih! Sebentar, sabar dong!” Aku lalu membuka kaus yang kupakai, kemudian bra menyusul. Maka terpampanglah kedua buah dadaku yang besar dan padat, menggantung indah di hadapan Cecil. Anak ini langsung saja melahap puting payudara kiriku, segera dihisapnya kuat-kuat, membuatku menggelinjang.

Aku lalu membimbing Cecil untuk berbaring di ranjang. Aku sendiri berbaring dengan posisi menyamping dan bertumpu pada siku. Kubiarkan Cecil menikmati payudaraku sepuasnya, bagai ibu yang sedang memberi ASI pada buah hati kecilnya. Melihatnya begitu lahap menikmati payudaraku membuatku terangsang hebat. Apalagi saat dia menghisap-hisap putingku.

“Ssshhh... Cecil pinter... terus... mmhh... jilat dong... putingnya tuh... aahh...”

Cecil terlihat masih kikuk memainkan payudaraku, mungkin karena ini pengalaman baru baginya. Maka aku pun membimbing si bungsu, anggap saja les privat, hihi.

“Tetenya Teteh yang satunya didiemin sih? Diremes dong... hihi...”

Cecil menuruti perintahku. Tangan kirinya langsung mendarat di payudara kananku, dan segera diremasnya kuat-kuat. Aku langsung meringis ngilu karena remasannya, ah mungkin dia terlalu bersemangat.

“Cecil... pelan... pelan... auuhh, sakit atuh...”

Karena kaget, Cecil menarik tangannya, dan sejenak melepaskan kulumannya pada putingku, lalu berkata, “Sakit ya Teh? Maaf...”

“Iya ga apa-apa, sini Teteh ajarin. Mau ga?”

Si bungsu mengangguk polos, lalu kembali menyusu padaku. Hisapannya pada putingku semakin menjadi-jadi, namun kali ini dia juga memainkan lidahnya menyapu putingku, sehingga aku hanya bisa menggelinjang keenakan. Lalu tanganku menangkap lengannya, mengarahkan tangan Cecil untuk kembali meremas payudara kananku.

“Kali ini pelan... pelan... ya? Mmhh... iyaahh... sambil nenen... gitu...”

Ternyata Cecil adalah anak yang cepat belajar. Dia mulai bisa mengontrol kekuatan remasannya, sambil matanya tak pernah lepas menatap wajahku. Aku selalu mendesah dan melenguh-lenguh tiap kali dia meremas pelan payudaraku, dan tersentak serta merintih ketika dia meremasnya dengan kuat. Mungkin karena tertarik dengan ekspresi yang kutunjukkan, Cecil mengkombinasikan sendiri tekanan remasannya di payudaraku, dan hal ini malah membuatku semakin terangsang hebat! Remasan tangannya menimbulkan sensasi nikmat tersendiri yang belum pernah kurasakan selama ini, dan aku langsung ketagihan. Jadilah aku semakin menjadi-jadi, mendesah-desah serta merintih menggoda di depannya; membuat Cecil semakin bersemangat mengerjai kedua payudaraku.

“Ngghh... teruss... Cecil... Cecil... auuhh, oohh... oohh ahh.. hnngghh... sshhh... teruss... Cecil... aahh... suka nenen sama Teteh? Hihii... pinter ihh, Teteh jadi... mmhhh... keenakan giniii... ayo nenen terusshh... diremes... tetenyahh... ini punya Cecil, terserah mau... diapain... aahhnngg... aa... ajaa...”

Cecil jadi makin liar menggarap toket gede ini, bergantian antara yang kiri dan kanan. Ketika Cecil menghisap puting kananku, dia dengan lihainya meremas-remas payudara kiriku seperti yang dilakukannya pada payudara kananku. Aku semakin menggelinjang dan mendesah-desah liar dibuatnya, apalagi rasa gatal mengumpul hebat di kemaluanku. Rasanya ingin digaruk sekarang juga!

Dan ketika rasa gatal itu semakin mengumpul dan menjadi-jadi, aku tak tahan lagi. Rasanya terlalu nikmat untuk ditahan, maka aku memutuskan untuk membiarkannya. Tapi entah kenapa aku langsung ingin pipis, terasa mendesak-desak tak karuan dibawah sini. Oh, oh, apa aku akan orgasme hanya lewat stimulasi di buah dadaku?

“Cecil, Cecil, Cecil! Teteh mau pipis...! Pipis...! Iyaahh, oohh... ahh ahh ahh... hyaaaahhh... nngghhh.....hhnn.... gilaaaaa...!”

Fffuuuuccckkk, i’m cumming! Terasa cairan deras keluar dari sela bibir kemaluanku, mengalir deras sampai membasahi celana dalamku ini. Aku pun memeluk Cecil erat-erat, sambil merapatkan paha menikmati jenis orgasme yang baru pertama kali kurasakan ini. Gila, aku klimaks hanya dengan dirangsang payudaranya saja!

Aku begitu lemas, seakan-akan tulang-tulangku lolos dari persendiannya. Aku pun merebahkan diri, namun Cecil masih terus saja menyusu padaku. Ishh, rasanya geli...

“Cecil... berenti dulu... stop... hahh.. haahh... Teteh lemes nihh...”

Cecil pun menuruti kataku. Dia kini bangun, lalu duduk bersila diatas ranjang. Cecil menatapku dengan wajah kebingungan, mungkin dia heran ada apa denganku. Sekilas, aku melirik ke celananya, dan mataku menangkap ada tonjolan di tengah selangkangannya. Kasihan, aku terlalu asyik dengan kepuasanku sendiri sampai melupakan si bungsu.

“Cecil buka celananya deh, cepetan,” kataku, setelah mengatur nafas.

“Emang mau ngapain Teh?”

“Udah, buka aja celananya. Mau yang enak-enak ga?”

Setelah Cecil membuka celana dan celana dalamnya, maka terpampanglah penis imutnya yang telah ereksi maksimal. Meski tergolong kecil untuk standarku, tapi kutaksir itu cukup besar untuk ukuran anak seumurannya. Yang membuatnya tambah lucu, adalah kulup yang masih menutupi kepala penisnya. Ahahaha, anak ini belum disunat sih.

“Sini, kamu naik di atas perut Teteh. Tapi jangan ditindih ya.”

Cecil bisa jadi anak penurut juga, ternyata. Dia benar-benar menjalani semua kata-kataku, kini Cecil naik diatasku, dengan bertumpu pada kedua lututnya. Lalu aku menyuruhnya memposisikan penisnya diantara kedua buah dadaku. Terakhir, aku menekan sisi luar payudaraku ke dalam, sehingga daging kenyal ini menjepit penis Cecil.

“Terus gimana Teh?” tanyanya, polos banget.

“Nah sekarang maju-mundurin pantat kamu, pelan-pelan aja dulu.”

Cecil pun mulai memaju-mundurkan pantatnya, sehingga penisnya bergerak maju-mundur sementara aku terus menjepitnya. Mulanya pelan, tapi kulihat ada ekspresi nikmat yang dirasakan anak ini, sehingga dia menggenjot payudaraku lebih cepat.

“Teehh... kok enakk? Cecil ngerasa geli masa...”

“Terusin aja... hhh... yang cepet... nanti juga ngerasa... enak...”

“Iyaahh... Teh... Cecil... cepetin deh... aahh... Tetehh... ini enak banget, sumpah!”

Cecil semakin gila memaju-mundurkan pantatnya, sambil meracau tak jelas. Aku hanya tertawa geli melihat tingkahnya yang norak itu, maklum sih... dia belum berpengalaman. Untuk mengimbangi Cecil, aku juga merangsang diriku dengan menjepit penis Cecil sambil meremasi payudaraku, juga sesekali memilin-milin putingnya. Efeknya, payudaraku kembali mengencang, dan karena sodokan Cecil membuat payudaraku ikut bergerak-gerak dengan indahnya.

“Teteh... Teteh... Cecil mau... aahhh... aahh aahh pipis Teehh... kayak mau pipisss.... aduuhhh Teehh... gelii eennaaakk....!”

“Hmmpphh... keluarinn ajaa... jangannhh... di.. ditahhaann... ga apa-apaa...”

“TETEH! TETEH! TETEEEHHH!”


Satu sodokan kuat menghantarkan Cecil pada orgasmenya. Tubuh kecilnya bergetar-getar tiap kali spermanya menyemprot keluar. Uuhh, banyak juga semprotannya yang mengenai leher, dagu, serta pipiku, sementara sisanya tertampung di belahan payudaraku. Spermanya berwarna putih kental, berlumuran di sepanjang muka dan payudara ini. Aku buru-buru menyuruh Cecil untuk minggir, dan dia merebahkan diri disampingku. Sementara aku meratakan spermanya di buah dadaku, Cecil merebah pasrah dengan nafas tersengal. Tapi dari yang kutangkap pada wajahnya, ada ekspresi kepuasan.

“Besok-besok lagi deh ya, sekarang kan Cecil capek tuh, tidur deh. Oke?”

Cecil hanya mengangguk, tanpa bisa berkata-kata. Mungkin bersuara menjadi begitu sulit baginya, karena efek capek yang dia rasakan. Lalu anak itu memejamkan mata, dan untuk mengantarnya pada mimpi indah siang ini, aku mengusap-usap rambutnya. Terus begitu, sampai dia tertidur.

Kini, entah kenapa aku melihat Cecil bukan lagi sebagai adik sepupuku. Tapi sebagai salah satu asetku yang berharga. Yang harus kujaga, apapun caranya. Sejenak, aku memejamkan mata. Entah, dalam gelap... aku mengenal rasa sakit ini. Ada getir yang berbisik di hati. Secuil harga diri yang menangis sesenggukan di relung hati paling dalam, yang tak terima disejajarkan nilai tukarnya dengan nafsu dan uang.

Aku tersenyum kecut, meresapi perih. Maaf, habis... mau bagaimana lagi? Semua demi Ayah.

=TO.BE.CONTINUE=
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar