Terang saja mereka bertiga jadi gregetan. Cerita lagi seru-serunya malah
di-pause. Rasti hanya tertawa geli melihat mereka bertiga yang
tampaknya sangat mupeng dan penasaran dengan cerita selanjutnya. Tangan
mereka yang dari tadi nyelip di balik celana mengelus barangnya
masing-masing terpaksa dikeluarkan lagi.
Setelah mengambil bayinya, Rasti ternyata kembali duduk di antara
mereka bertiga. Kali ini sambil menyusui. Dia cuek saja membuka bagian
depan dasternya, mengeluarkan buah dadanya yang ranum, lalu menempelkan
ujung buah dadanya ke mulut bayinya yang rewel sambil melirik ke arah
mereka bertiga. Seakan sengaja makin membuat mupeng mereka.
“Iya cayang… laper yah? nih mimik cucu… minum yang banyak” ujar Rasti
pada si kecil Bobi. Ahh… pemandangan yang luar biasa. Mereka memang
tidak pernah bosan dengan pemandangan Rasti yang sedang menyusui, tentu
saja mereka selalu menghayal kalau merekalah yang saat itu sedang
menikmati nikmatnya air susu murni tante Rasti.
“Ta..tante…” panggil Riko.
“Hmm? Apa? kamu juga laper? Makan gih sana… Jangan ngarep deh kalau
minta tante susuin juga” jawab Rasti sambil memeletkan lidah.
“Eh, ng..nggak kok…”
“Terus?”
“I..itu… Lanjutin lagi dong tante ceritanya… nanggung banget tuh…”
“Duh, kalian ini kenapa sih? Gak sabaran banget pengen dengar”
“Iya… habis kita penasaran sih…”
“Iya deh iya… tapi tunggu tante selesai nyusuin Boby dulu yah… Kalau
tante cerita sambil nyusu gini yang ada kalian fokusnya malah ke yang
lain, bukan ke cerita tante, ya kan?” ujar Rasti menggoda mereka. Mereka
hanya cengengesan. Apa yang dikatakan Rasti memang benar adanya, tepat
sasaran! Mereka memang niatnya pengen dengar cerita tante Rasti sambil
melihat adegan menyusui itu. Kalau sudah kepergok duluan begini ya
terpaksa mereka iyakan. Yah… setidaknya mereka masih bisa menatap
puas-puas buah dada Rasti yang sedang deras-derasnya mengalirkan air
susu ke mulut bayinya.
“Gimana? Beneran mau tante lanjutin ceritanya?” tanya Rasti menyadarkan
mereka bertiga dari lamunan setelah selesai menyusui dan meletakkan
bayinya di sebelahnya.
“Eh, I..iya.. Mau tante…” jawab mereka tergagap. Mereka makin dibuat horni dengan adegan menyusui tadi.
“Tuh… kalian kalau nggak fokus gitu mending tante nggak cerita deh…”
“Nggak kok tante… kita pengen banget dengar…” jawab mereka. Rasti tersenyum.
“Ya udah, gini…”
****************************
Meski Rasti merasa bahwa pacarnya ini sangat memamerkan dirinya,
namun dia mulai menyukai hal tersebut. Awalnya memang membuatnya malu,
tapi ternyata ada sensasi tersendiri yang dirasakannya. Dadanya selalu
berdebar-debar setiap menuruti kemauan Agung.
Contohnya saja waktu Agung menyuruh Rasti ke sekolah tanpa mengenakan
dalaman. Rasti yang awalnya terkejut dan menolak namun akhirnya mau juga
menuruti. Ternyata rasanya sungguh luar biasa, sensasi takut ketahuan
membuat vaginanya menjadi becek, bangku tempat duduk Rastipun jadi
berlumuran cairannya. Tak jarang hal itu diketahui teman-teman cowoknya.
Jika sudah begitu mereka pasti akan habis-habisan menggoda Rasti dengan
omongan kotor mereka.
“Gila nih cewek… gak pake dalaman coy! Nakal banget!”
“Sini abang bantu pake kontol, udah gak tahan ya pengen dientot
memeknya?” kata cowok lainnya sambil menyibak rok Rasti, Rasti reflek
memukul tangan cowok itu dengan sebal.
Tapi Rasti bisa sedikit tenang karena mereka tidak berani berbuat
terlalu jauh karena takut pada Agung, walaupun sering cowoknya itu hanya
sekedar melihat dan tertawa saja ketika Rasti digoda dan dicolek
teman-temannya.
Akhirnya cowoknya itulah yang harus dia layani. Agung memang sering
mengajak Rasti ngentot di sekolah baik ketika jam istirahat, setelah
pulang sekolah, bahkan saat jam pelajaran. Rasti jadi harus meminta izin
keluar kelas meninggalkan pelajarannya hanya untuk dientotin cowok itu.
Biasanya mereka berdua akan bersetubuh di toilet cowok, tempat yang
paling kotor dan bau di sekolah itu. Karena memang tidak ada tempat lain
yang lebih aman selain di sana yang bisa dijadikan tempat ngentot,
meskipun resiko ketahuan masih tetap ada.
Kini, di lingkungan tempat tinggal Agungpun, pacarnya ini juga ingin
terus mengekploitasi Rasti. Rasti lagi-lagi diajak menginap oleh
cowoknya. Malam itu, Rasti dan cowoknya jalan-jalan di pantai. Suasana
yang gelap membuat Agung memaksa Rasti menanggalkan semua pakaiannya.
Dia ingin Rasti bugil total di sana.
“Bugil di sini? tapi kan yang…” tanya Rasti sedikit keberatan.
Mengingat suasana malam pinggir pantai di perkampungan nelayan tentu
bukannya sepi, banyak aktifitas di situ, tapi masing-masing orang disana
memang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing dengan penerangan mereka
yang seadanya. Jarak sekitar 100 meter dari mereka saja ada seorang
nelayan yang sedang menganyam jala di perahunya dengan penerangan neon.
Jarak jangkauan cahayanya tentu tidak jauh, hanya sekitar 10 meter.
“Udah… gak apa… cepat bugil” suruh Agung lagi. Rastipun menuruti,
selain ingin memenuhi fantasi Agung, dia memang penasaran bagaimana
rasanya bertelanjang bulat di ruang terbuka. Dengan dada berdebar dia
lepaskan pakaiannya satu persatu sambil celingak-celinguk ke sekitar.
“Tinggalkan aja bajunya di sini, ntar kita pulang kan lewat sini lagi…” suruh cowoknya lagi.
“Hah?” Rasti sedikit kaget, tapi dia juga semakin horni mendengarnya.
Dadanya semakin berdebar, memeknya jadi becek. Jika dia tinggalkan
pakaiannya di sini tentunya dia tidak bisa mengenakan pakaiannya dengan
cepat bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun dia yang
penasaran akan sensasinya akhirnya menuruti juga. Mereka lalu
melanjutkan lagi jalan-jalan malam di tepi pantai, tentu dengan keadaan
Rasti yang telanjang bulat yang bajunya dia tinggalkan begitu saja di
sana.
“Yang, kalau bajuku kebawa ombak gimana?” tanya Rasti.
“Ya kamu pulangnya bugil terus, hehe” jawab Agung enteng.
“Ih, enak aja…” Rasti hanya tertawa kecil sambil mencubit cowoknya.
Selama jalan-jalan malam di sepanjang pantai itu, Rasti selalu
berdebar-debar saat akan melewati nelayan yang sedang sibuk di perahunya
meskipun orang itu tidak bisa melihat mereka karena gelap. Anehnya,
Rasti malah ingin orang itu melihat ke arahnya, dia ingin kalau orang
itu menyadari kalau dia sedang bugil saat ini.
“Kamu berani nggak kalau kita ngentot di sana?” tantang Agung menunjuk sebuah perahu kosong.
“Kenapa? Pengen ngentotin aku di tempat terbuka yah? Siapa takut…”
jawab Rasti setuju. Malah dia terlihat antusias karena berinisiatif
lebih dulu menarik tangan Agung ke sana. Rasti lalu masuk ke dalam
perahu itu dan langsung mengambil posisi menungging, mempersilahkan
cowoknya ini untuk menggenjotnya dari belakang.
Agung yang dibuat horni akhirnya langsung menggenjot Rasti dengan penuh
nafsu. Mereka bersetubuh di ruang terbuka! Di gelap malam di tepian
pantai. Hanya lampu-lampu neon para nelayan di sekitar mereka yang
menemani. Sungguh sensasional! Rasti tidak segan-segan mengerang dan
melenguh kenikmatan karena suaranya bisa diredam oleh suara ombak.
Inilah yang membuat Rasti seringkali mau diajak menginap di rumah
cowoknya itu. Rasti dibuat ketagihan. Siapa sih yang gak suka ngentot di
ruang terbuka dengan aman? Sensainya itu lho, dan romantis banget juga
tentunya. Tidak hanya di atas perahu kosong yang gelap, tapi di banyak
lokasi lain, dan setiap kali semakin berani.
Rasti dan cowoknya semakin lama semakin tidak puas dengan keamanannya
itu. Mereka mulai berani jalan-jalan jauh. Mulai berani mencari
tempat-tempat yang dekat keramaian tapi masih gelap. Mereka pernah
ngentot di depan rumah kosong yang sedang ditinggal melaut. Pernah juga
melakukannya di pinggir jalan yang sepi dibawah lampu penerangan, serta
tempat-tempat lainnya. Pokoknya semakin nekat dan semakin menyerepet
bahaya, semakin bergairah pula mereka bersenggama.
Tak jarang aksi mereka sering ketahuan oleh orang sekitarnya. Biasanya
orang itu akan cuek saja, palingan hanya kena usir. ”Hush! Sana! Jangan
ngentot di sini!” Biasanya orang juga tidak sampai mencoba ngeliat
dengan jelas siapa yang sedang ngentot itu, hanya sekilas-sekilas saja.
Yang ada di benak mereka palingan lonte dan si hidung belang. Anehnya,
makin dipergokin Rasti malah semakin senang.
“Sekarang dimana yang?” tanya Rasti menanti-nanti apa yang akan dilakukan selanjutnya.
“Yuk ke sana” jawab Agung sambil menarik Rasti ke tepi pantai yang
sangat terbuka. Dia ingin menggenjot Rasti di sana, padahal hanya 20
meter di depan mereka ada nelayan yang sedang sibuk di atas perahunya.
Rasti dan cowoknyapun asik bersenggama di tepian pantai, badan mereka
basah terkena ombak. Agung masih mending karena tetap mengenakan baju,
tapi Rasti telanjang bulat. Sungguh menggairahkan keadaan Rasti waktu
itu, seluruh tubuhnya basah oleh air laut serta pasir hitam pantai yang
menempel. Kalau ada orang lain yang menyaksikan dengan seksama siapa
cewek yang sedang dientotin ini, pasti mereka bakal minta ikutan juga.
Siapa yang gak tahan coba dengan kecantikan, kemolekan dan keadaan Rasti
saat itu? Untung saja keadaan gelap.
“Kenapa Rasti? Kok gelisah gitu?’ tanya Agung melihat Rasti tidak tenang.
“Gak enak nih… ngeganjal…”
“Apanya?”
“Mekiku kemasukan pasir…” ujar Rasti manja yang disambut gelak tawa Agung.
“Woooiii! Jangan ngentot di sana!” tiba-tiba terdengar teriak nelayan
di dekat mereka yang akhirnya memergoki. Rasti dan cowoknyapun lari
sambil tertawa cekikikan.
“Tadi baju aku diletakin dimana ya? Di sini bukan?” tanya Rasti bingung. “Tuh kan bener kebawa ombak…” rengeknya.
“Udah biarin aja, malam-malam gini gak bakal ada yang ngelihat kok…”
ujar Agung enteng. Rasti tentu tetap gelisah, perjanan dari sini ke
rumahnya Agung cukup jauh, bahkan harus melewati gang yang banyak lampu
penerangannya. Agung malah seenaknya menyuruh Rasti berjalan duluan di
depan. Rastipun berjalan celingak-celinguk dengan deg-degan, namun dia
menyukai perasaan ini.
Rasti yang semakin ketagihan berdengan sensasi bercinta di tempat
terbuka bahkan pernah mengajak Agung bersetubuh di atas sampan kecil.
Namun kali ini jauh lebih sensasional karena mereka melakukannya di
tengah laut, terlebih waktu itu masih sore. Tetap sama, pakaian Rasti
ditinggalkan begitu saja terlebih dahulu di tepi pantai.
Mereka juga pernah numpang di kapal nelayan yang cukup besar yang
hendak melaut. Pemilik dan awak kapalnya tidak keberatan karena sudah
mengenal Agung. Setelah menemukan sudut yang pas, merekapun bercumbu
dengan bebasnya, peluk-pelukan, cium-ciuman, gerepe-gerepaan sampai
akhirnya ngentot.
Awalnya Rasti risih saat ngentot di depan orang-orang, kalau nanti
mereka jadi nafsu lalu minta ikutan, gimana coba? Masa sepanjang malam
dientotin para nelayan di atas kapal? Tapi Rasti malah semakin
menjadi-jadi menggoda mereka dan mengajak Agung pamer kemesraan. Mereka
cuek saja ngentot di ruang yang tidak ada privasinya. Awak-awak kapal
hanya bisa menatap dengan iri sambil bersiul menggoda, sebagiannya lagi
tetap cuek dengan pekerjaan masing-masing walaupun sesekali mencuri
pandang.
…..
Rasti makin sering menginap di sana, bahkan sampai tinggal di rumah
cowoknya itu berhari-hari. Dia menelantarkan anak-anaknya begitu saja di
rumah, sekolahnyapun mulai tidak beres. Semua karena Rasti keasikan
ngentot. Cowoknya itu telah mengubah Rasti jadi semakin binal dan liar.
Akhirnya terjadilah kejadian yang betul-betul merubah Rasti. Suatu
ketika perkampungan nelayan itu konflik dengan perkampungan nelayan
tetangga. Ternyata di daerah seperti itu konflik antar kampung lazim
terjadi bagaikan ritual rutin. Kadang masalahnya cuma berawal dari satu
dua orang, kemudian merembet ke yang lainnya dengan dalih solidaritas.
Biasanya akan berakhir dengan kerugian yang tidak sedikit bagi kedua
belah pihak, kapal yang habis terbakar bahkan sampai nyawa yang hilang.
Hanya saja kali ini beberapa sesepuh dan tokoh kedua kampung berusaha
dengan kuat untuk meredam konflik supaya tidak terjadi tawuran, berusaha
sejauh mungkin agar ada perdamaian antar kampung itu.
Di sinilah titik balik kehidupan Rasti. Dia jadi tumbal untuk
perdamaian di situ. Kampung tempat tinggal cowok Rasti ditenggarai
memulai konflik terlebih dahulu dan harus menyerahkan Rasti sebagai
itikad baik meminta maaf dan meminta perdamaian. Rasti ternyata sudah
lama dijadikan bahan obrolan, bukan hanya di kampung cowoknya tapi juga
kampung-kampung tetangga. Ya… adanya gadis seelok Rasti yang berkeliaran
di kampung seperti itu tentu dengan cepat diketahui dan dibicarakan,
dan dengan cepat pula cerita menyebar. Rasti selama ini digosipkan
sebagai lonte baru di sana, lonte tercantik tentu saja.
Rasti dan cowoknya ditemui beberapa tokoh dan sesepuh, mereka
menceritakan kejadiannya dan menanyakan kesediaan Rasti. Kalau Rasti
menolak tentu Rasti akan diusir dan tidak diperbolehkan lagi datang ke
situ selamanya.
“Bagaimana nak Rasti, nak Rasti bersedia?” tanya salah satu sesepuh.
“Jadi saya harus tinggal di sana selama dua hari Pak?”
“Benar, nak Rasti juga harus melayani 5 orang tokoh di kampung itu, tidak terlalu berat kan?”
Rasti melirik ke pacarnya. “Udah sayang… terima aja, lagian kan katanya
kamu juga udah pernah tinggal berbulan-bulan sebagai budak seks, jadi
gampang kan?” ujar cowoknya enteng ikut-ikutan memprovokasinya untuk
bersedia, bukannya melindungi Rasti.
Kalau bagi gadis normal tentunya lebih mending diusir, tapi tidak bagi
Rasti. Dia bersedia melakukannya. Ya… demi ingin melindungi kampung
keluarga cowoknya! Cowoknya yang bahkan tidak pernah benar-benar
melindunginya.
“Iya pak, saya mau” jawab Rasti akhirnya bersedia. Hitung-hitung
pengalaman seksnya semakin bertambah, dia juga bisa merasakan hal baru,
pikirnya waktu itu, bahkan ada sedikit rasa rindu dijadikan budak seks
lagi.
Maka Rastipun dibawa ke kampung tetangga.
Namun kenyataannya sungguh berbeda. Rasti berada di sana lebih lama
dari yang dijanjikan. Rasti tak kunjung dijemput, dan pihak kampung
tempat Rasti tinggal sekarang tidak juga berniat mengantarkan Rasti
kembali. Dia sudah berlarut-larut tinggal di kampung itu, sampai
seminggu. Dan ternyata tidak hanya 5 orang saja yang kemudian harus
dilayaninya. Parahnya, Rasti diharuskan melonte di sana, yang mana uang
hasil menjual dirinya mesti diserahkan ke pihak kampung sebagai bentuk
ganti rugi dan upeti dari kampungnya Agung. Rasti benar-benar diperalat.
Rasti terpaksa mengikutinya. Setelah lebih seminggu di sana barulah
Rasti dijemput cowoknya.
Berita tentang Rasti yang melonte di kampung sebelah telah tersebar
sampai ke kampungnya Agung. Jadilah saat Rasti kembali, sudah banyak
pria hidung belang yang menanti Rasti.
“Jadi pacar lu itu sudah jadi lonte sekarang? Jadi bisa dong kita-kita ikut nyicipin dia?” tanya banyak lelaki.
Pria-pria di sana memang sudah lama mengidam-ngidamkan bisa menikmati
moleknya tubuh Rasti, kini akhirnya mereka punya kesempatan. Namun
cowoknya Rasti bukannya menyangkal dan membela, malah bilang,
“terserah….”
“Jadi kamu ngebolehin aku melonte yang??” tanya Rasti terkejut mendengar ucapan Agung.
Dia pikir setidaknya Agung akan menahannya kali ini, dia kan ceweknya,
masa dibiarkan boleh berkali-kali dientotin pria lain? Apa gunanya dia
selama ini berharap perlindungan sama cowok ini? Toh akhirnya sama saja
ternyata.
Kejadian sewaktu harus jadi tumbal perdamaian mungkin bisa dia terima,
begitupun cap ‘murahan’ yang melekat padanya di sekolah karena ulah
Agung juga bisa dia maklumi. Tapi sampai-sampai dia juga dipersilahkan
melonte begini….?
Rasti yang sebal akhirnya benar-benar menunjukkan pada Agung kalau dia
memang pantas dibayar untuk setiap pria yang ingin mencicipi tubuhnya.
Walhasil selama 2 hari lagi Rasti sengaja masih tinggal di rumah
cowoknya sambil menerima tamu. Dia tunjukkan pada cowoknya itu bagaimana
pacarnya yang cantik dan molek ini sedang dientotin pria-pria lain,
dibayar, tidak gratisan seperti yang cowoknya dapatkan selama ini.
Diapun bisa mendapatkan uang 5 juta dari hasil melontenya. Gilanya,
keluarga Agung malah meminta setoran karena sudah menyediakan tempat
untuk Rasti melonte!
“Tuh! Lihat kan kalau aku memang pantas dibayar!” ujar Rasti kesal
sambil melempar uang setoran yang diminta cowoknya, Agung dengan muka
tebal menerima juga uang dari Rasti.
Merekapun putus setelah itu.
…..
Rasti yang kembali ke rumah Pakdenya tidak diterima dengan baik di
sana. Pakdenya naik pitam. Rasti dimarahi habis-habisan karena sudah
menelantarkan bayinya dan juga sekolahnya. Padahal sekolah adalah syarat
bagi Rasti supaya bisa tinggal di rumah itu.
Rasti kembali diberi pilihan, melanjutkan sekolahnya atau pergi.
Awalnya Rasti memilih tinggal dan melanjutkan sekolah. Selama beberapa
minggu Rasti bertahan sampai dia mendapati dirinya….. hamil.
Bisa jadi itu adalah anaknya Agung, mungkin juga itu anaknya para
nelayan dan para hidung belang yang berkali-kali menyemprotkan benihnya
ke rahim Rasti baik di kampung tetangga maupun di kampungnya Agung. Yang
jelas, salah satu di antara mereka adalah bapaknya Cindy.
Ya… Umur 16 tahun, Rastipun hamil untuk ketiga kalinya….
Malu pada Pakdenya, Rastipun kemudian memilih pergi. Dia tinggalkan
rumah pakdenya, sekolahnya. Dia berniat kembali ke tempatnya Agung
meskipun mereka sudah putus. Malangnya nasib Rasti, ternyata Agungpun
menolak ketika mengetahui Rasti sedang hamil. Sekali lagi… sekali lagi
Rasti dicampakkan.
Rasti berusaha tegar. Dengan uang hasil melonte sebelumnya, Rasti lalu
mengontrak rumah dan mulai memutuskan untuk jadi lonte. Dia pikir
uangnya yang cuma beberapa juta dengan cepat akan habis untuk mengontrak
rumah dan biaya hidup. Bagaimana dengan biaya persalinan kelak? Rasti
sama sekali tidak berniat aborsi. Dia justru menanti-nantikan kehadiran
buah hatinya yang ketiga, seraya berjanji tidak akan menelantarkan lagi
anak-anaknya kelak.
Ya… Setelah semua yang dia alami, yang dia sesalkan hanyalah bahwa dia telah menelantarkan Tedi dan Norman.
Sebelum perutnya membuncit, Rasti mulai menjajakan diri. Tak disangka,
wajah cantik serta tubuhnya yang sempurna ditawar begitu tinggi. Kurang
dari sebulan, Rasti kebanjiran pelanggan royal dan berhasil mengumpulkan
tidak kurang dari 50 juta. Rasti mulai mantap berkarir sebagai lonte.
Dengan begitu dia dan anak-anaknya bisa hidup dengan nikmat dan layak.
Setelah melahirkan Cindy, Rasti mulai hunting rumah. Lokasi-lokasi elit
di-surveynya, hingga pilihannya jatuh ke rumah yang dia tinggali
sekarang. Rumah yang saat itu seharga diatas 400 juta. Dengan entengnya
dia menyanggupi cicilan 15 juta perbulan selama 3 tahun. Itupun akhirnya
bisa dia lunasi kurang dari setahun. Benar-benar karir yang
menjanjikan. Dan… Inilah Rasti sekarang.
……
“Jadi gitu ceritanya….” ujar Rasti menyudahi ceritanya yang terasa
sangat panjang bagi teman-teman Tedi. Mereka bertiga terhenyak, tidak
menyangka kalau kisah hidup Rasti sepelik itu.
“Udah kan ceritanya? Yuk, makan dulu… pasti kalian lapar kan?” ajak
Rasti ramah tersenyum manis. Dengan semua yang sudah dialaminya, dia
kini bisa tersenyum. Dengan segala pengorbanannya, kini Rasti menuai
hasilnya. Rasti memang seorang lonte, tapi di luar itu, Rasti adalah
wanita dan ibu yang tangguh.
“Kok bengong sih? Mau makan nggak nih? Hihihi”
“…..I..iya tante…”
***
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar