Cerita Eksibisionis & Incest : Rasti, Ibu Binal 13c

****

Sore itu Tedi sedang ngajarin Cindy main game di tabletnya ketika mendengar suara taksi dan gerbang dibuka. “Mama pulang…” Ucapnya. Tedi menengok jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Tadi siang dia meninggalkan Mamanya di penjara sekitar pukul 11 lebih, atau menjelang tengah hari. ‘Empat jam lebih…’ Pikir Tedi gusar. Dia dan Cindy pun segera menghambur ke pintu depan menyambut Rasti.

Tedi agak surprise menjumpai mamanya pulang mengenakan seragam napi yang kedodoran, tapi hanya atasannya saja, sedang bawahannya tidak mengenakan apa-apa. Karna ukurannya besar, bagian bawah pakaian itu pun menutupi sampai separuh lebih paha atas Rasti. Tedi menatap Mamanya yang tersenyum-senyum itu dengan gemas. Meskipun surprise, tapi Tedi sih tidak heran Mamanya pulang dengan kondisi seperti ini. Pikirannya pun sempat melayang membayangkan apa yang kira-kira terjadi di penjara. "Mama boros baju banget sih? Yang dipake tadi itu kan baju mahal... kalo main jangan kasar-kasar dong..." Gerutu Tedi menyindir Mamanya. Rasti tertawa saja mendengar sindiran putra sulungnya itu. Dipeluk dan dikecupinya pipi Tedi dengan gemas, lalu diangkat dan digendongnya Cindy. “Anak Mama yang paling cantiik… Gak nakal kan hari ini?” Ucap Rasti sambil mengecupinya juga.

“Gak nakal dong… Cindy lagi diajari kak Tedi main game…”
“Iih kok diajari main game sih? Diajarin bikin PR kek…” Sahut Rasti berlagak manyun.

“Mmm… Kalo bikin PR sama Mama aja ah.”
“Oo gitu… Boleh deh. Habis Mama mandi ya…?”
“Emang Mama bisa bantuin Cindy bikin PR? Hi hi hi…” Goda Tedi.

“Iihh menghina kamu… kalo PRnya Cindy aja sih Mama masih bisa, wee…!” Sahut Rasti gemas. Saking gemasnya Rasti kemudian terpikir untuk balas menggoda Tedi. “Pelajaran SMP sampe kelas dua Mama masih bisa… Mama kan doyan ngentotnya baru pas udah SMP…!” Ucapnya vulgar. Benar saja, Tedi langsung geregetan mendengar kalimat terakhir Mamanya itu. Apalagi ketika kemudian ketiganya sudah duduk di sofa, Cindy menimpali kalimat Rasti tadi dengan polosnya, “Kalo udah SMP Cindy mau ngentot juga…” Rasti dan Tedi jelas terperangah dengan ucapan Cindy ini. Entah Cindy sudah mengerti betul apa yang dimaksud ngentot atau tidak, karena sebelum ini biasanya dia menyebut aktivitas Mamanya itu dengan sebutan ‘himpit-himpitan’. Tedi tertawa, sementara Rasti malah salah tingkah. “Eeh ga boleh ya Cindy sayang…” Ujarnya gusar sambil melirik kesal ke Tedi yang malah makin terbahak.

“Lho katanya Mama SMP suka ngentot…?”
“Ii.. Iya sayang, mmm… jaman dulu memang… Duuhh, gimana ya… pokoknya jangan ya Cindy, nanti kalo sudah SMA aja deh boleh kalo mau himpit-himpitan…”
“SMA itu kapan Ma…?”

“Mmm… SMA itu… nih kalo kamu udah kayak kak Tedi, kakak udah mau masuk SMA nih…” Rasti menunjuk ke arah Tedi yang badannya sudah tinggi sedikit melebihinya. Cindy pun mengamati kakaknya itu sambil mengerutkan wajah. Mungkin dia membandingkan tubuhnya yang masih mungil dengan tubuh Tedi. “Masih lama dong sampe Cindy bisa segede kakak.” Gumamnya.

“Iya, bentar lagi kakak udah boleh ngentot karna sudah SMA…” Ucap Tedi tersenyum-senyum penuh arti.

“Ih, emangnya kamu mau ngentot sama siapa? Kamu kan jomblo… belum laku, wee… Makanya cari pacar dong.” Goda Rasti.

“Sama Mama dong… Tedi males pacaran.”
“Emangnya Mama bolehin?” Goda Rasti lagi.
“Kalo ga boleh ya Tedi perkosa…!” Sahut Tedi gemas.

“Ha ha ha… main perkosa aja kamu… Masak Mama sendiri diperkosa? Jangan dong, iya deh nanti Mama bolehin…” Kerling Rasti genit.

“Udah ah, cepetan Mama mandi, trus buang bajunya ini… sebel Tedi ngeliatnya…” Gerutu Tedi sambil menarik bagian bawah pakaian tahanan yang dipakai Rasti sehingga paha Mamanya itu tersingkap. “Aahh kamu nih…” Ucap Rasti manja dan langsung menyingkirkan tangan Tedi. Wajahnya pun tersipu sambil tangannya menutupkan pakaiannya ke pahanya lagi. Ya, sesaat tadi Tedi bisa melihat dan menyadari bahwa Rasti tidak mengenakan apapun lagi di balik pakaian tahanan itu. Tedi langsung panas dingin dibuatnya. Apalagi kemudian Rasti tersenyum-senyum memandangnya. “Jangan dibuang dong, kan nambah koleksi kostum Mama… Lagian seksi kan?” Ucapnya.

“Emang ini baju apa sih Ma? Mama dari mana sih?” Tanya Cindy nimbrung. Saat itu beberapa anak Rasti yang lain yang baru sadar akan kepulangan Mamanya itu langsung ikut mendekat dan menggelayut manja pada Rasti.

“Hi hi hi… ini baju… bajunya penjahat sayang… Mama baru masuk penjara nih. Hi hi hi…” Jawab Rasti sambil mengusap-usap rambut Bram yang memeluknya dari samping. Gemasnya Tedi melihat entengnya Rasti mengucapkan itu seakan itu hal yang biasa saja sebagai bahan bercanda.

“Masuk penjara? Sama abang Norman dong? Abang mana?”
“Abang masih dipenjara sayang. Kalo Mama sudah boleh keluar…”
“Kok bisa?”

“Ya kan soalnya Mama bisa ngalahin para penjaga di sana, jadinya Mama bisa keluar deh. He he he… Eh, tapi nanti mungkin Mama mau masuk lagi deh… Hi hi hi…”

Duh, gemasnya Tedi mendengar celotehan Rasti di depan adik-adiknya itu. Dasar Rasti, ibu binal! Rasti masih tertawa-tawa saja mendengar pertanyaan-pertanyaan anaknya yang lain yang lugu-lugu. Rasti melirik Tedi, dan menyadari putra sulungnya itu manyun.

“Hi hi hi… udah ah sayaang, tanya-tanya terus. Tuh kak Tedi manyun tuh. Mama mau mandi dulu yaa… Eh, kalian juga belum pada mandi ya? Mau mandi sama Mama di kamar mandi Mama?”

“Mauuu…” Jawab adik-adik Tedi kompak.

“He he he, ya udah ayuuk…” Ajak Rasti beranjak dan menggandeng anak-anaknya itu masuk ke kamarnya.

Tedi menghela napas melihat Mamanya berlalu. Pakaian tahanan yang dikenakan Rasti sudah agak berantakan gara-gara ditarik-tarik dan dimain-mainin oleh adik-adiknya tadi. Bagian bawahnya yang tadi cukup menutupi separuh pahanya kini jadi ada yang tertekuk dan terlipat ke atas sehingga lebih mengekspos sebagian besar paha mulusnya. Dari belakang, lenggak-lenggok langkah Rasti jadi lebih indah dipandang, ‘Yah, memang seksi sih…’ Pikir Tedi dengan jantung yang berdegup kencang. ‘Aduh, ngaceng lagi…! sial.’ Gerutunya pada diri sendiri, lalu dia pun ngeloyor masuk ke kamarnya.

‘Percakapan keluarga’ singkat barusan membuat Tedi agak lega. Dia sama sekali tidak kesal atau marah pada Mamanya itu. Kini dia malah merasa senang melihat Mamanya sudah lebih ceria lagi daripada hari-hari sebelumnya. Meskipun keceriaan itu harus didapat dengan kembali menjadi ibu binal yang doyan dientot.

***

Pada akhirnya kegiatan itu berlangsung terus. Setiap beberapa hari sekali Rasti mengunjungi Norman ke penjara, kadang sendiri, tapi lebih sering minta diantar jemput oleh Tedi. Aktivitas Rasti di penjara pun makin hari makin lama. Yang awalnya hanya empat jam itu, kini lebih sering Rasti diantar pagi dan dijemput sore. Pikiran Tedi selama itu terus dibuat gemas dan penasaran. Pernah Tedi berpikir untuk meminta Mamanya merekam aktivitasnya di penjara untuk kemudian ditontonnya di rumah, tapi tentu pemikirannya ini tidak pernah diutarakannya pada Rasti. Ya, dia malu. Tedi sebenarnya memang jarang bisa bicara vulgar dengan Mamanya. Pada dasarnya Tedi memang pemalu. Sekedar minta diceritain pun Tedi enggan, betapapun dia penasaran setengah mati. Tidak seperti teman-temannya yang mesum. Ya, siapa lagi kalau bukan Riko, Romi dan Jaka yang akhir-akhir ini mulai sering main ke rumahnya lagi.

“Jadi Tante sekarang ngelonte di penjara?”
“Kalo ngentot di dalam sel gitu?”
“Dibayar nggak Tante?”
“Tante nggak takut?”
“Digangbang nggak Tante sama tahanan-tahanan di situ?”

Begitulah mereka selalu memberondong Rasti dengan pertanyaan-pertanyaan mesum setiap kali mereka datang. Kini keadaannya memang sudah agak normal sehingga mereka sudah berani ngecengin Rasti lagi di rumahnya.

Pertama kali mereka tahu aktivitas Rasti selama ini, baru mendengar pengakuan Rasti yang bolak-balik penjara demi terus bisa melayani nafsu binatang Norman itu saja langsung membuat mereka ngaceng sejadi-jadinya.

“Duuh tante, kok bisa ya…? Cerita dong…” Ucap Riko ngenes sambil mengelus selangkangannya.

“Tapi belum diceritain aja gue udah ngaceng pol nih ngebayanginnya…” Timpal Jaka.

Rasti tertawa-tawa saja melihat reaksi teman-teman Tedi ini. “Ya kalo sudah ngaceng, ga perlu Tante ceritain dong… langsung coli aja sana… Hi hi hi…” Ucapnya.

“Yaa Tante, tetep diceritain dong…” Tuntut mereka kompak. Dan dari mulut Rasti pun kembali meluncur cerita-cerita mesum pengantar tidur favorit mereka.

Dalam penjara itu, Norman malah menjadi semacam germo yang menjual Rasti pada para napi di sana. Jadi, Rasti memang melonte di penjara dan dibayar seperti biasanya. Hanya saja, harganya memang jauh di bawah standarnya selama ini. Ya, di dalam penjara ini Norman menetapkan tarif flat 300 ribu per-orang sekali ngentot dengan Rasti. Itu pun sudah di luar dugaan Rasti bahwa ternyata banyak juga tahanan remaja yang kaya sehingga bisa membayar harga itu. Bahkan ada beberapa remaja yang menjadi tahanan VIP karna mereka anak dari seorang pejabat, kebanyakan kasusnya adalah peredaran narkoba. Tahanan VIP ini bisa membayar lebih dan mendapatkan waktu extra dan ruangan yang lebih privat bersama Rasti, sebagaimana Norman dan para penjaga. Ya, para penjaga mendapat jatah khusus dan gratis dari Norman sebagai kompensasi kelancaran bisnisnya itu. Sekali-kali Obet pun mendapat jatah, sehingga dengan begitu dia pun menjadi semacam bodyguardnya Norman. Dengan itu kedudukan Norman menjadi terpandang dalam penjara itu dan tidak ada yang berani macam-macam dengannya.

Rasti menjalani semuanya itu dengan senang-senang saja. Kembali melacur seperti sudah menjadi panggilan jiwanya. Dan ada sensasi tersendiri ketika melakukannya di dalam penjara dengan anaknya sendiri yang memanajerinya. Rasti bahkan mencoba lebih bersenang-senang lagi dengan sedikit bertualang di dalam penjara, memuaskan naluri eksibisonisnya.

Berawal dari kejadian saat awal Rasti memasuki lorong Sektor C untuk menuju sel Norman. Para penjaga mendapat ide untuk ngiklanin Rasti. Kondisi sektor-sektor lain di dalam penjara ini kurang lebih sama dengan sektor C, yaitu berupa lorong-lorong yang di kanan-kirinya berderet sel-sel. Seperti yang terjadi di awal datangnya Rasti, lorong Sektor C bagaikan sebuah panggung catwalk yang sempurna untuk beraksi. Para penjaga pun melontarkan ide menyuruh Rasti berjalan berlenggak-lenggok dengan pakaian seksi di lorong semua sektor yang ada. Tentu tidak sekaligus, tapi satu sektor dalam satu waktu, karna Rasti harus memberi pertunjukan yang cukup buat para napi menonton dari dalam selnya. Ide ini disambut antusias Norman dengan syarat dia bisa ikut menonton bersama para penjaga.

Saat Rasti menceritakan ini, wajah Riko, Romi dan Jaka benar-benar sudah seperti kepiting rebus saking ngacengnya. Mereka sudah berada dalam puncak konaknya hanya dengan membayangkan cerita itu. Rasti tertawa geli melihat ekspresi mereka. “Aduuh, sana dibuang dulu… ntar meledak lho kontolnya… Hi hi hi…”

“Trus Tante mau?”
“Tante nggak malu? Nggak takut…?”
Begitu mereka menghiraukan saran Rasti, dan langsung nyerocos dengan pertanyaan-pertanyaan. Lagi-lagi Rasti tertawa geli, “Yakin mau dilanjut ceritanya…?”

“Yakin Tanteee…!” Jawab mereka kompak.

Rasti memang awalnya menolak ide itu, saat Norman dan para penjaga menyampaikannya. Dengan membayangkannya saja dia sudah merasa malu dan grogi. Entah kenapa, Norman yang biasa memaksakan kehendaknya, kali ini dia membiarkan saja penolakan Rasti. Para penjaga pun kasak kusuk kecewa, dan Rasti pun merasa lega. Tapi diam-diam saat Rasti sudah pulang, Norman mengatakan pada para penjaga bahwa dia yakin Mamanya akan berubah pikiran dan meminta sendiri untuk merealisasikan ide itu.

Benar saja, di rumah malah Rasti terus kepikiran akan ide itu. Panas dingin dia membayangkan dirinya jika harus melakukan hal itu. Duh, kenapa ditolak? Ya jelas karena malu dong! Tapi lonte masa malu-malu? Kalo gitu diterima aja? Tapi lebih malu lagi kalo gitu, karena udah terlanjur menolak! Halah, masa lonte gengsi? Begitulah seperti biasa Rasti seperti berdialog dengan dirinya sendiri, dan berakhir dengan keputusan bahwa dia akan melakukannya!

“Mm.. Mama mau coba, tapi di satu sektor dulu ya…? Kalo Mama ga suka, ga usah dilanjut…” Ucap Rasti dengan wajah memerah di hadapan Norman dan beberapa penjaga. Menggemaskan sekali paras Rasti saat itu. Tak tahan, Rasti pun digilir sebelum ide itu direalisasikan.

“Duuh digilir ya…?” Gumam Romi gemas memotong cerita Rasti.
“Iya, Tante digilir dulu sama para penjaga. Tapi setelah digilir malah jadi enak kok, hi hi hi… Maksudnya Tante jadi rileks… Lega. Sebelumnya kan Tante tegang banget tuh…?”

“Habis digilir, langsung pertunjukannya?”
“Hi hi, ya nggak dong, mandi dulu, dandan lagi… Biar cantik.”
“Ih... Iya, maksudnya setelah itu…”

Ya, akhirnya pertunjukan pun dimulai. Dimulai dari sektor paling akhir, yaitu Sektor G. Di sektor ini hanya ada enam sel, berderet tiga-tiga di kanan kirinya. Jadi, lorong sektor yang berisi tahanan-tahanan dewasa ini tidak terlalu panjang. Tidak seperti di awal dulu, kali ini karena sudah dalam perencanaan, dan memang tujuannya adalah ‘iklan lonte’, salah seorang penjaga memberi pengaantar sebelum Rasti beraksi. Penjaga itu masuk dan berteriak minta perhatian, lalu dia mengumumkan dengan gaya bahasanya yang khas, berlagak seperti presenter sebuah acara tapi penuh kata-kata kotor dan kasar. Rasti agak geli melihat tingkah penjaga ini.

“Ayo beri tepuk tangannya yang meriah buat lonte kita… Ha ha ha… Si seksi Rasti! Ha ha ha… Siapa yang tahan ga coli gue kasih hadiah rokok selinting. Ha ha ha…! Buruan masuk non…!”

Meski tadinya sudah agak rileks, tiba-tiba rasa grogi itu muncul kembali. Tapi Rasti melawannya. “Ah Demam panggung biasa,” pikirnya sambil melangkah masuk bersamaan dengan keluarnya si penjaga yang memberi pengantar tadi. Saat itu Rasti lagi-lagi memakai seragam tahanan sama seperti ketika ia pulang di hari pertamanya di penjara ini. Seragam yang dia pakai sama kedodoran dan hanya atasannya saja, sama persis seperti waktu itu. Hanya saja, bedanya kali ini dia mengenakan dalaman bra dan celana dalam hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih. Saat ini dalamannya tidak terlihat, karna Rasti mengancingkan semua kancing seragam tahanan itu dengan rapat dari atas sampai bawah. Tepuk tangan langsung bergemuruh, siul-siulan dan seruan-seruan cabul bersahut-sahutan keras menyambutnya. Rasti pun mulai menebar senyum dan pesonanya sambil berjalan pelan menyusuri lorong yang tidak panjang itu, sampai dia berbalik, berjalan lagi dan berhenti di tengah lorong. Rasti berputar-putar di situ dengan gerakan pelan memandangi sekelilingnya dengan ekspresi seperti perawan yang terjebak di sarang penyamun. Menggemaskan sekali. Para penjaga di luar lorong pun tepuk tangan dan berteriak menyemangatinya. “Ayoo non, digoyang…! Ha ha ha…!” Lalu mereka pun menyetel musik dangdut koplo.

Rasti tersenyum kecut mendengar iringan musik norak yang tidak dia duga itu. “Iih inisiatif siapa sih?” Pikir Rasti gemas. Biar lonte begitu, selera musik Rasti cukup tinggi. Bahkan selama ini dia sangat suka ngentot di kamarnya dengan diiringi Beethoven. Tapi Rasti tak bisa protes. Tak urung, walau kagok, dia pun mulai menggoyangkan badannya mencoba mengikuti irama yang tidak dia nikmati itu. Suara sorak sorai yang meneriakinya pun makin menjadi.

“Goyang non…!”
“Buka dong…?”
Dengan satu provokasi itu, sejurus kemudian teriakan para tahanan itu pun menjadi kompak. Mereka satu suara.

“Iyaa! Ayoo dibuka…!”

“Buka…! Buka…! Buka…! Buka…! Buka…!” Teriak mereka sambil memukuli teralis sel masing-masing. Gaduh sekali. Rasti pun pura-pura bimbang. Dia berputar dan memandangi sekelilingnya dengan mata sayu. Dengan tangannya dia memegang kerah baju yang dia pakai. Tanpa mengucap sepatah kata pun. dengan bahasa tubuh, tatapan mata dan ekspresinya, Rasti seolah bertanya “Apanya yang dibuka bang? Baju ini?”

“Iyaaa… ituu, dibuka dong…” Sahut para tahanan yang bisa membaca bahasa tubuh Rasti. Masih dengan bahasa tubuhnya, Rasti menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi manja yang sangat menggemaskan. Tangannya didekapkan di dadanya berlagak ketakutan.

“Anjiing… lontee, ayo dibuka…?”
“Buka…! Buka…!”

Beberapa tahanan sudah tidak tahan dan tanpa malu-malu mengeluarkan penis dari balik celananya masing-masing dan mengocoknya. Bahkan satu dua orang malah mengacung-ngacungkan penisnya keluar dari teralis selnya. “Emut non…!” serunya cabul. Rasti pura-pura terkesiap melihat kontol-kontol besar berurat itu. Ya, meski besar, tapi bukan yang terbesar yang pernah dijumpai Rasti. Sudah sering Rasti melihat yang segitu, tapi demi menyenangkan mereka, dengan ekspresi super imutnya, Rasti pun pura-pura takut dengan kontol itu.

“Ha ha ha… Jangan takut non… Ini udah jinak, nggak nggigit!” Sahut si pemilik penis girang dan kege-eran. Kini makin bertambah tahanan yang melakukan hal serupa. Rasti pun kembali berjalan pelan menyusuri lorong itu dan mulai berani mendekat dengan hati-hati. Dia merunduk dan mengulurkan tangannya mencoba memegang salah satu penis berukuran besar yang mengacung keluar. Tapi Rasti tidak menggenggamnya melain hanya menyentuhnya sedikit lalu dengan cepat menarik tangannya dan ditempelkan ke pipinya. Ekspresinya sungguh imut. Seperti anak kecil yang sedang memainkan binatang peliharaan, satu sisi gemas ingin memegangnya tapi di sisi lain takut digigit. Itulah gaya yang sedang dimainkan Rasti sekarang. Siapa yang tidak gemas dengan tingkah Rasti ini? Ya semuanya gemas bukan kepalang, bahkan kini hampir tidak ada penis yang tidak keluar dari sarangnya. Rasti melakukan itu di penis-penis lain, sehingga semua tahanan itu pun belingsatan berebut mengacungkan penisnya keluar dari teralis sel mereka.

Setelah beberapa penis diperlakukan begitu, Rasti sedikit menaikkan levelnya. Dengan jari telunjuknya, dia menyentul-nyentul salah satu kepala penis sehingga penis itu mengangguk-angguk, dan Rasti pun mendongakkan wajahnya dengan tertawa-tawa antusias memandang si pemilik penis yang mupeng berat. Rasti melakukannya beberapa kali di penis-penis yang berbeda. Desahan-desahan gemas pun bersahut-sahutan, mereka menuntut Rasti segera memuaskan penis mereka. Tapi tentu Rasti hanya berniat menggoda. Rasti kini malah berdiri menjauh lagi sambil tersenyum-senyum menggoda. Desahan kecewa dan merasa kentang spontan dilontar-lontarkan padanya dengan bahasa yang kotor. Rasti tersenyum geli, lalu dengan imut Rasti menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi isyarat seperti seorang guru yang menyuruh murid-muridnya diam dan tenang. Tentu bukannya tenang, para napi itu malah semakin ribut. Masih berlagak seperti seorang guru yang kewalahan menangani murid-muridnya yang terus gaduh, Rasti pura-pura menggeleng-geleng dengan wajah kesal, lalu bergaya seperti orang yang sedang berpikir dan kemudian mendapatkan ide.

Sambil melirik-lirik sekitarnya dengan binal, Rasti mulai menyentuhkan jari-jari tangannya ke kancing bajunya yang paling atas, dan meloloskannya. Trik ini agaknya berhasil, karna spontan suara gaduh itu hilang. Para napi itu terdiam, menelan ludah dan menahan napasnya. Dengan gerak lambat Rasti tangan Rasti turun meloloskan kancing kedua dan ketiganya. Dengan tiga kancing atas yang terbuka, itu sudah cukup untuk memperlihatkan belahan dada Rasti dan bra hitam yang dikenakannya. Walhasil, tenangnya para napi itu hanya bertahan sampai di sini saja, karena mulut-mulut mereka mulai mengoceh ribut lagi. Bukannya mencoba menenangkan mereka lagi, Rasti malah tertawa senang. Tangan kanannya menggenggam dan digerak-gerakkan seperti sedang onani dengan cepat. Ya, Rasti malah memberi isyarat mereka untuk mengocok penisnya lebih kencang lagi. Bagaikan robot yang sudah terprogram, itulah yang langsung dilakukan para napi itu. Mereka seakan berlomba mengocok penisnya masing-masing sambil melenguh-lenguh keras dan terus melontarkan kata-kata kotor. Rasti tertawa senang, dan seolah memberi hadiah karena perintahnya telah dipatuhi, Rasti pun menggoyang-goyangkan badannya dan menari dengan erotis. Ia tidak peduli apakah gerakannya sesuai dengan irama musik atau tidak.

Rasti memberi suguhan tari striptease pada mereka. Pelan tapi pasti, satu-persatu sisa kancing bajunya dilolosi hingga terbuka semuanya. Sorak sorai dan tepuk tangan pun langsung membahana meski Rasti tidak langsung melepas bajunya itu. Bahkan Rasti menggoda dengan membuka tutupkan baju itu di tubuhnya. Hal itu dilakukannya berkali-kali sambil terus bergoyang menari. Benar-benar panas pertunjukan yang ditampilkannya. Rasti melakukannya dengan spontan. DIa membiarkannya mengalir alami, tanpa tahu sejauh mana dia akan melakukan adegan ini. Begitu menggairahkannya aksi Rasti sampai-sampai beberapa napi sudah ada yang mencapai orgasmenya di titik ini. Mereka melenguh keras sambil mengecrotkan spermanya keluar dari teralis sel mereka. Ada satu yang menyembur cukup kuat sampai-sampai mendarat di kaki Rasti dan meleleh membasahinya. Si pemilik peju pun tertawa kegirangan, puas dan bangga. “Terima tuh peju gua buat DP… Ha ha ha… Lonte, gue mau ngentotin lo abis ini…!” Serunya. “Kyaa..” Rasti memekik kecil dan menggeliat manja merasakan kaki nya disembur dengan sperma. Para napi pun menyorakinya gemas. Berlagak kesal, sambil memasang wajah ngambek nan imut, Rasti membuka bajunya, benar-benar melepaskan baju itu dari tubuhnya yang kini hanya berbalut bra dan celana dalam hitam yang mini dan sangat seksi. Sorak sorai pun makin membahana, ditambah dengan siulan-siulan dan suara teralis besi yang dipukul-pukul berisik. Semua itu sungguh membuat dada Rasti berdebar-debar merasakan sensasi yang luar biasa dari aksi eksibisionisnya ini. Rasti lalu menggunakan bajunya itu untuk membersihkan kakinya yang dibasahi peju tadi. “Ha ha ha… body lotion neng… biar makin kinclong kulitnya!” Seru seorang napi menertawai tingkah Rasti.

Setelah kakinya bersih, Rasti melirik binal pada para napi di dalam sel yang berada tepat di depannya. Lirikan Rasti itu sukses membuat mereka blingsatan, apalagi kemudian Rasti melangkah mendekat. “Hayo, siapa tadi yang udah mejuhin Rasti?” Ucapnya genit sambil mengacungkan bajunya. Salah seorang napi menyambut baju itu dan menciuminya tanpa jijik. Memang hanya sedikit peju yang dilap dengan baju itu. Lebih banyak bau harum tubuh Rasti yang melekat di situ, sehingga baju itu pun diperebutkan di dalam sel. Rasti tertawa geli melihatnya. “Janji ya mau ngentotin Rasti nanti?” Ucapnya binal.

“Hua ha ha… pasti non, lo bakal gue entotin sampai dengkul gue keropos! Ha ha ha…”
“Janji?” Ucap Rasti lagi sambil dengan seksinya dia menungging membelakangi sel itu. Rasti menyodorkan pantatnya pada napi-napi beruntung itu.

‘Plaak…!’
“Aahhh….” Desah Rasti pelan merasakan pantatnya ditabok dengan gemas oleh salah seorang napi. Bukannya menjauh, Rasti terus berada dalam posisinya ini memberi kesempatan pada napi lain untuk melakukan hal yang sama.

‘Plaak… plak… plaaak…’ Dengan gemas para napi beruntung itu pun berebut menampar-nampar bongkahan mulus pantat Rasti yang membulat sempurna itu. Tiap tamparan yang mendarat di pantatnya, Rasti memekik-mekik dan mendesah pelan, membuat para napi itu tambah gemas. Setelah dirasa cukup, Rasti pun melangkah menjauh lagi ke tengah-tengah lorong sambil tersenyum-senyum ditengah sorak sorai dan seruan-seruan dari para napi di sel lain yang memintanya mendekati sel mereka juga. Dengan genit Rasti tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya menggoda mereka. Sorakan mereka makin jadi. Tapi di sinilah Rasti merasa pertunjukannya harus diakhiri. Ya, jelas. Rasti sadar, aksinya ini memang ibarat ‘iklan’ dan cuma teaser. Artinya dia tidak boleh terlalu jauh memberi pertunjukan. Meskipun begitu, Rasti berbaik hati memberi aksi terakhir. Kedua tangannya bergerak ke belakang punggungnya. Bisa ditebak apa yang akan dilakukan Rasti sehingga para napi itu pun terdiam menunggu dengan antusias. Ya, Rasti melepas branya dengan pelan. Dengan gerakan nakal, Rasti meyilangkan satu tangan di atas kedua payudaranya, sementara tangan satunya melolosi bra itu dari tubuhnya. Walhasil meski kemudian bra itu telah lepas dari tubuhnya, tak satu pasang mata pun dari para napi itu yang bisa melihat putting susu Rasti. Rasti cukup lihai melakukan gerakan ini sehingga para napi itu pun menyorakinya gemas.

Sungguh aksi Rasti ini sangat menggoda dan memancing nafsu. Sampai akhirnya Rasti hanya menyerahkan branya itu ke salah satu sel dengan tangannya enggan berpindah dari atas dadanya.

“Duuh itu tangannya yag satu nakal banget sih! Pengen gue cubit!”
“Anjriitt non.. please itu tangannya suruh minggir…! Asuu…”

“Hi hi hi… Dadaah abang… Rasti tunggu yaa…?” Ucap Rasti geli sambil melambaikan satu tangannya sambil berlalu pergi dengan langkah pelan dan melenggak-lenggokkan pantatnya.

“Huuuuu….!” Suara koor protes memenuhi seluruh sektor itu mengiringi kepergian Rasti.

Sambil tersenyum-senyum senang merasa aksinya sukses, Rasti melangkah keluar dari lorong sektor itu. Ternyata bukan hanya para napi yang panas dingin dan blingsatan tidak karuan menyaksikan aksi Rasti barusan. Para penjaga dan Norman pun terangsang berat dan sudah menunggu-nunggu Rasti dengan tidak sabar untuk segera mengentotinya lagi.

“Hi hi hi… idiih… kok malah kalian yang jadi nafsu begitu? Hayoo… pedagang gak boleh makan dagangannya sendiri ya? He he he…” Seloroh Rasti ketika mendapati seluruh penjaga yang mupeng menungguinya.

“Anjriit aksi lo tadi mantap abisss… Gue ngaceng berat!”
“Pokoknya kita mau ngentotin lo dulu lagi, baru ntar kita terima orderan dari mereka!”
“Iih kok gitu…?” Sahut Rasti cemberut dan melirik ke arah Norman.

“Eiit, sekarang gue yang mau ngentot! Habis itu baru kalian, terus baru nerima order!” Sahut Norman yang merasa paling berkuasa. Lemaslah Rasti mendengar omongan Norman itu. Memang keliru besar jika Rasti mengharap Norman membuat keputusan bijak. Yang ada malah dia selalu mengikuti hawa nafsunya. Terbayang sudah kerja keras yang harus dilakukannya kali ini. Harus melayani Norman, ditambah melayani para penjaga lagi untuk kedua kalinya sebelum terakhir melayani ‘orderan’ dari para napi. Bisa-bisa sampai malam Rasti baru bisa pulang.

Saat itu juga seorang penjaga mendata siapa saja dari para napi itu yang mau mengorder pelayanan Rasti. Dari total 29 napi di Sektor G, ada 8 orang yang saat itu juga mempunyai uang untuk membayar pelayanan Rasti.

“Ha ha ha… dua juta lebih dalam sehari coy…! Enak bener lo ya cantik, jadi lonte duitnya moncer…!” Ujar seorang penjaga sambil mengipas-ngipaskan uang yang barusan dikumpulkannya. Rasti tersenyum kecut mendengarnya. ‘Capek tahu…!’ Gerutunya dalam hati. Lagipula nilai itu memang tidak seberapa dengan yang biasa diperolehnya selama ini. Sudah begitu, uang itu masih harus dipotong 30% untuk dibagikan kepada para penjaga. Tapi sudahlah, Rasti tidak mau mengeluhkan lebih lanjut konsekuensi dari pilihan yang sudah dibuatnya sendiri.

***********

“He he he… Iiihh… kalian ini udah crot aja yaah…? Jorok Iih…!” Ucap Rasti gemas melihat Riko, Romi dan Jaka yang sudah terduduk lemas menyandar dengan penis yang mulai terkulai dan peju bercecer di mana-mana. Memang mereka tadi tanpa malu-malu ngocok sepanjang Rasti bercerita. “Kenapa gak ke kamar mandi siih… Jadi kotor deh semuanya… Dasar!” Tukas Rasti sambil mengacak-acak rambut Riko yang duduk di sampingnya.

“Maaf Tante… nanti kami bersihin… Ga kuat sih Tante…” Jawab Jaka sambil cengar-cengir.
“Janji ya? Ayo dibersihin sekarang. Duh padahal ceritanya belum selesai lho… Masih ada yang lebih seru lagi. Hi hi hi…”
“Ampuun Tantee… Kami nyerah dulu, besok dilanjut lagi ya Tanteee??” Ucap Jaka ngenes.
“Hi hi hi… gak janji yee…” Cibir Rasti genit sambil ngeloyor pergi.
“Yaaah Tantee… besok yaa…?”
Rasti hanya tertawa kecil sambil terus berlalu tanpa menjawab permintaan itu.

***********

Malam itu Rasti memilih tidur di kamar anak-anaknya yang masih kecil. Di kamarnya sendiri Tedi sudah tertidur pulas sejak tadi. Sudah beberapa hari ini memang Tedi tidur bareng Rasti di kamarnya. Apalagi kalau ketiga temannya itu sedang main ke rumah. Karna mereka menempati kamarnya Tedi, maka Tedi tidur di kamar Rasti. Sebenarnya kamar Tedi cukp besar dan sangat cukup untuk mereka berempat. Tapi kalau teman-temannya itu sudah mulai minta ‘didongengin’ oleh Mamanya, Tedi memang selalu memilih untuk tidak ikut mendengarkan dan menyendiri di kamar Mamanya atau menemani adik-adiknya.

Kamar adik-adiknya Tedi yang lain juga cukup besar. Bahkan kamar yang paling besar karena mereka semua tidur di satu kamar itu. Memang baru Tedi dan Norman yang sudah punya kamar sendiri. Rasti merebahkan diri di kasur Cindy yang sudah pulas juga seperti yang lain. Di samping Cindy ada Kiki, sementara Bram dan Dion tidur di kasur yang berbeda, dan si kecil Bobi anteng di dalam bed set khususnya. Rasti memandangi satu-persatu wajah anaknya dengan mata teduh khas seorang ibu. Dikecupnya Cindy, dan dibelainya rambut Kiki. Sejujurnya ada sedikit kegalauan di dada Rasti tentang kehidupannya yang dijalaninya selama ini. Tapi Rasti bukanlah perenung yang baik. Tiap kali dia merenung, renungannya itu seringkali berlalu begitu saja tanpa dipikirkan terlalu dalam apalagi disertai tindakan lebih lanjut. Seperti kali ini, Rasti hanya menghela napas panjang. Dia memilih mengosongkan pikirannya saja dan terus memandangi para buah hatinya dengan kepala yang sudah bebas dari beban pikiran apapun. Memang tidak ada bosan-bosannya memandangi wajah-wajah polos yang tengah tertidur pulas itu. Wajah-wajah polos yang dibesarkan tanpa seorang ayah. ‘Duh, kok jadi mikirin lagi sih..’ keluh Rasti dalam hati.

Rasti mulai merebahkan diri lagi sambil menerawang. Memang apa yang dikatakan Rasti pada teman-temannya tadi itu benar. Bahwa masih ada cerita yang lebih seru lagi. Tapi sebenarnya, makin seru cerita Rasti, makin capek Rasti saat menjalani apa yang terjadi di dalam cerita itu. Cerita-cerita itu selalu dijadikan bahan fantasi dan coli teman-teman Tedi, tanpa mereka tahu sesungguhnya bagaimana berat Rasti saat melaluinya. Tapi anehnya, Rasti sendiri sangat senang menceritakannya pada mereka. Ya, Rasti tidak pernah merasa terpaksa saat bercerita. Makanya dalam hati saat ini Rasti agak menyesal juga karena tidak sempat menceritakan kejadian yang lebih seru itu tadi. “Iih kalian sih ngecrotnya kecepetan…! Dasar ejakulasi dini…” Rasti menggerutu sendiri di dalam hati. Padahal Riko, Romi dan Jaka yang digerutuinya itu sekarang sudah pulas di kamar Tedi.

Ceritanya sama, yaitu tentang Rasti yang terus dipergilirkan oleh para penjaga untuk tampil ‘mengiklankan’ diri di dalam lorong tiap sektor tanpa kecuali. Ada tujuh sektor, dan Rasti mulai dari sektor G seperti yang diceritakannya tadi. Selanjutnya sektor F, E, dan seterusnya. Tiap kali beraksi, Rasti terus menaikkan levelnya. Seperti di sektor F, Rasti sudah telanjang dada di tengah-tengah tariannya tanpa merasa perlu repot menutup-nutupinya lagi dengan tangan. Di Sektor E, bukan hanya telanjang dada, Rasti bahkan sudah berani mendekat dan membiarkan payudaranya digerayangi oleh tangan-tangan lapar para napi di sana. Rasti memulai ketelanjangan total di Sektor D yang paling besar. Ada 12 sel di sektor itu, dan Rasti melucuti seluruh pakaiannya tanpa kecuali, hingga sepanjang pertunjukan Rasti berlenggak-lenggok menyusuri lorong Sektor D tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Aksi itu terus berlanjut sampai berakhir di Sektor A yang tanpa Rasti sadari, para penjaga telah merencanakan sesuatu yang lain di Sektor A.

Para penjaga itu sebenarnya makin gemas dengan aksi Rasti yang levelnya selalu naik lebih tinggi dibanding aksi sebelumnya. Mereka pun kasak-kusuk dengan Norman juga untuk mengendalikan level aksi Rasti di Sektor A sebagai sektor terakhir. Mengendalikan level bukan berarti menurunkan level, tapi justru menaikkan level sampai titik tertinggi. Tapi, tanpa diketahui para penjaga, diam-diam Norman membocorkan sedikit informasi tentang rencana para penjaga itu kepada Mamanya. Norman sebenarnya sangat menyetujui rencana para penjaga itu, namun ia tidak sampai hati jika harus dengan menjebak Mamanya. ‘Lagian ngapain dijebak? Diberitahu aja Mama pasti mau kok!’ Begitu awalnya keyakinan Norman. Namun pada akhirnya toh Norman ragu juga. Dia khawatir Mamanya akan menolak mengingat rencana itu cukup gila. Norman pun memutuskan untuk sekedar memperingati saja Mamanya akan adanya kejutan tanpa memberi informasi lebih jelas tentang apa yang akan terjadi dalam kejutan itu. Dan benar saja, meski was-was Rasti memutuskan untuk tetap beraksi di Sektor A.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Tiap pintu sel di penjara ini sebenarnya memiliki sistem mekanisme yang sebenarnya sederhana tapi cukup canggih untuk ukuran penjara itu. Ya, sistem itu membuat pintu-pintu itu bisa dibuka dan dikunci secara otomatis dengan menekan suatu tombol di luar lorong tiap sektor. Ini sebenarnya tombol darurat yang hanya boleh ditekan jika ada kejadian khusus yang tidak diinginkan, seperti kebakaran, atau bencana yang lainnya.

Saat Rasti sedang beraksi di dalam lorong Sektor A yang hanya terdiri dari delapan sel ini, diam-diam para penjaga mengunci pintu lorong itu secara manual. Rasti sendiri sudah waspada dan berdebar-debar menunggu kejutan yang dimaksud Norman. Hal itu membuat Rasti agak canggung dalam tarian stripteasenya. Rasti pun tidak ingin berlama-lama seperti sebelumnya karna dia sendiri sudah tidak sabar. Dengan cepat Rasti melucuti satu persatu pakaiannya diiringi sorak sorai para napi dari dalam selnya. Begitu Rasti mencopot celana dalam sebagai penutup tubuh terakhirnya, terdengar suara yang sudah familiar di telinganya. Rasti pun langsung berdebar membayangkan apa yang akan terjadi jika dugaannya benar. Ya, suara yang terdengar bersamaan tadi adalah suara kunci pintu sel yang terbuka. Pintu sel yang mana? Pikir Rasti panik. Suasana mendadak menjadi hening mencekam. Saat itu memang tidak ada napi yang langsung keluar dari selnya. Ternyata mereka pun juga ragu dan bertanya-tanya soal bunyi tadi. Mereka tahu itu bunyi kunci sel mereka yang terbuka, tapi mereka seakan tidak percaya.

Tentu suasana hening itu tidak berlangsung lama. Begitu satu orang napi mencoba mendorong pintu selnya dan mendapati bahwa pintu itu benar-benar telah terbuka kuncinya, napi-napi lain bersorak-sorak di selnya masing-masing sambil mencoba membuka pintu sel mereka juga. Jadi pintu sel mana yang terbuka kuncinya? Ternyata semuanya! Rasti menelan ludah berkali-kali demi membasahi tenggorokannya yang mendadak kerontang. Dadanya berdebar kencang sekali melihat satu demi satu pintu sel yang ada di sektor itu terbuka dan satu demi satu napi di dalamnya melangkah keluar sambil terkekeh-kekeh dan bersorak kegirangan. Sejurus kemudian lorong itu sudah dipenuhi 37 orang napi ‘kelaparan’ yang mengelilingi Rasti dan siap memangsanya dengan buas. Rasti bergidik ngeri. ooh Inikah kejutan yang dimaksud Norman? “Duh, Norman anakku yang paling bandel… tega banget sih kamu sama Mama…? Nakal!” Pikiran Rasti berkecamuk, namun sebagai lonte professional dia harus cepat mengendalikan diri, dan tidak sulit memang bagi dia untuk melakukannya. Pada dasarnya Rasti tidak benar-benar ketakutan, karna di sisi lain antusiasmenya juga sangat besar membayangkan apa yang akan segera dia alami. Rasti cuma khawatir mempertimbangkan cukup tidaknya kemampuannya untuk bertahan.

Digangbang 37 orang jelas merupakan level paling tinggi sejauh karir dia sebagai lonte dan ibu binal. Paling banyak dia digangbang hanya oleh belasan orang, dan itu pun sudah lama sekali. Namun bagaimanapun juga, yang akan terjadi tidaklah bisa Rasti elakkan. Rasti pasrah dan bahkan berpikir untuk memanfaatkan momen ini untuk mengukur sejauh mana ‘kehebatan’ dia sebagai seorang lonte!

Siang itu Rasti dikunci di dalam Sektor A selama 3 jam lebih. Selama itu pula dirinya bergulat dahsyat melawan 37 orang yang semuanya benar-benar berebut untuk menyetubuhinya tanpa kecuali. Tidak satupun yang merasa puas jika hanya dengan melakukan onani. Memek Rasti serasa diaduk-aduk tanpa jeda. Dari kejadian itu Rasti pun bisa mengukur sejauh mana kemampuan dirinya karena baru saat itulah dia harus mengerahkan semua kekuatan dan jurus-jurusnya. Rasti sangat menikmati persetubuhan yang mungkin bahkan lebih liar dari yang bisa dilakukan binatang sekalipun. Rasti orgasme berkali-kali sampai tak terhitung lagi, tapi ternyata dia tidak ‘sesakti’ itu. Rasti sudah kehabisan tenaga di putaran ketiga. Saat itu dia sudah sangat lemas dan mulai merasakan sedikit sakit di vaginanya. Rasti pun K.O di tengah-tengah putaran ketiga itu. Untunglah putaran ketiga itu juga merupakan putaran terakhir bagi mereka semua. Ya, para napi itu pun juga bukan pejantan-pejantan yang sangat tangguh. Mereka bisa mengalahkan Rasti karena mereka mengeroyoknya habis-habisan. Setelah mereka mencapai orgasme masing-masing di akhir putaran itu mereka pun ambruk satu demi satu kecapaian. Benar-benar gila apa yang sudah terjadi di lorong yang kini menjadi begitu pengap oleh bau keringat. Para penjaga segera masuk ke dalam dan salah satunya keluar menggendong Rasti, sementara yang lainnya sibuk menggelandang para napi yang kepayahan itu untuk masuk kembali ke selnya masing-masing. Sungguh beruntung para napi di Sektor A itu. Tidak ada keistimewaan apapun pada diri mereka yang membuat mereka mendapat keberuntungan ini. Yah, mereka hanya sekedar beruntung karna kebetulan saja mereka ditahan di Sektor A. Itu saja.

Rasti kini mengenang-ngenang bagaimana kemudian dia dimandikan dengan air hangat oleh dua orang penjaga. Dia dibaringkan di bathub berisikan air sabun yang hangat. Sungguh sangat nyaman saat itu dia rasakan. Ah sayang sekali semua itu tidak sempat dia ceritakan pada teman-teman Tedi tadi. Rasti kembali gusar memikirkan hal itu. Sebenarnya apa yang membuat Rasti begitu gusar dengan hal itu? Bukankah masih ada esok hari? Masihkah? Kegusaran Rasti ada hubungannya dengan sejumlah angka 12 digit yang muncul di layar HPnya ketika dia sedang menggunakan layanan SMS Banking sore tadi sebelum dia bercerita pada teman-teman Tedi. Tapi rasa kantuk yang mulai menyergapnya membuat kegusaran itu lenyap dengan sendirinya seiring dengan terpejamnya mata Rasti.


Keesokan paginya Riko, Romi dan Jaka pamit pulang dari rumah Tedi saat Rasti masih pulas tidur bersama anak-anaknya. Mereka memang pergi pagi-pagi sekali karena hari itu bukanlah hari minggu dimana sekolah mereka libur.

Seminggu kemudian mereka kembali main ke rumah Tedi setelah bermain basket di sekolah. Saat itu hari sudah sore dan mereka mendapati Tedi sedang memanaskan mobilnya bersiap hendak pergi.

“Yuk ikut aja…” Tedi malah mengajak mereka.
“Kemana Ted?”
“Jemput Mama…”
“Jemput ke… penjara??”
“Iya… ayo cepetan. Mau ikut nggak?”
“Iya iya mau, kita ikut kok” jawab mereka setuju menerima ajakan Tedi.

Sampai di penjara, yang biasanya Tedi hanya menunggu sebentar saja, kini ternyata harus menunggu lama, bahkan sampai malam. Untung ada teman-temannya sehingga Tedi tidak bosan. Tapi selama menunggu tentu mereka panas dingin membayangkan bagaimana keadaan Rasti di dalam sana. Apalagi beberapa petugas lapas mengajak ngobrol Tedi, ngobrol tentang Rasti dengan penuh kata-kata yang merendahkan dan melecehkan. Kemudian para petugas itu juga saling ngobrol satu sama lain mengenai pengalaman mereka dengan Rasti, semua di depan Tedi dan teman-temannya.

“Kemarin gue dapat bo’olnya, wuih mantap!”
“Anjrit… sama gue kok gak mau ya? Dasar lonte pilih-pilih kontol!”
“Ha ha ha, bukan gitu coy! Itu kan gue maksa, dia nolak juga, ternyata bo’olnya emang masih perawan! Sempit abis! Wakakaka… Kesian juga sih, sempat nangis tu lonte… Jadi lo maklum aja coy, waktu giliran lo masih perih tu kayaknya. Ha ha ha!”


“Tapi gue gak puas aja sih kalo harus pake kondom!”
“Iya, anjing tu lonte… gak mau kalo gak pake kondom! Dia pikir gue penyakitan apa!?” Ujar mereka menggunjingkan Rasti yang membuat miris Tedi dan teman-temannya mendengarnya, tapi tentu… ngaceng juga!

Hampir jam 9 malam, akhirnya barulah Rasti keluar. Penampilannya agak berantakan tapi tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. Hanya perlu dirapikan sedikit saja Rastipun terlihat sempurna lagi.


“Sayang… nunggu lama ya? Maaf ya… Eh ada anak-anak”

“Iya nih Tante… lama banget di dalam, ngapain aja?”

“Hi hi hi… bukan ngapain aja, tapi diapain aja…” jawab Rasti sambil mengerlingkan matanya. Dasar Rasti, sudah dikerjain habis-habisan, sempat-sempatnya dia menggoda teman-teman Tedi.

“Cerita dong Tante…”
“Iihh kalian ini minta didongengin terus kaya anak kecil!”

“Iya.. soalnya tadi ada petugas yang bisik-bisik katanya Tante nyuruh mereka semua pake kondom ya? Kenapa sih Tante…? Takut hamil ya?”

“He he he ya nggak dong, Tante masih pingin hamil terus kok…”

“Terus?”
“Oo aku tahu… Tante gak pingin anaknya keturunan penjahat!”

“Hhmmm… nggak juga sih, tapi Tante memang sudah merencanakan yang spesial. Udah ya? Jangan nanya-nanya terus dong, Tante capek nih… Ted, kita cari makan dulu, terus anter temen-temenmu pulang ya?”

“Duuh kita masih pingin main ke rumah Tante kok…”

“Kalian pulang dulu ya malam ini sayang… Besok-besok main lagi, maaf ya… Tante capek nih… Kalian ngerti kan?” Ucap Rasti sambil memandangi Riko, Romi dan Jaka satu satu meminta pengertian mereka. Ketiga teman Tedi itupun menangkap raut wajah Rasti yang berbeda dari biasanya. Capek, jelas. Sedih…? Hmmm, nggak juga, tapi setelah semua yang dilaluinya belakangan ini, mestinya Rasti memang belum sepenuhnya bebas dari berbagai tekanan dan beban yang menderanya. Mungkin itulah yang nampak dari raut wajahnya saat ini. Bagaimanapun juga, Rasti tetap terlihat tegar dan masih menebar senyum. Cantik? Pasti. Kecantikannya tetap melekat tak memudar sedikitpun. Hanya nampak secuil keprihatinan yang membuat teman-teman Tedi empati.

“I.. Iya Tante… Maaf...” Gumam mereka serempak. Ya, seharusnya bukan Rasti yang meminta maaf.

Setelah makan di sebuah restoran, Tedi mengantar ketiga temannya satu persatu ke rumah mereka masing-masing. Tiap mereka juga mendapat kecupan selamat malam spesial dari Rasti. “Maaf ya, Tante belum bisa nemenin kalian lagi untuk saat ini… Selamat tidur, belajar yang rajin ya, jangan mikirin Tante terus lho… He he he...” Ucap Rasti kepada mereka semua. Ada firasat aneh menghinggapi kepala mereka, yang sukses membuat mereka semua gelisah sulit tidur pada malam itu.

Keesokan harinya, di sekolah mereka bertiga saling bercerita dan mendapati bahwa ternyata mereka merasakan firasat yang sama semalam. Terlebih, hari itu Tedi tidak masuk sekolah. Meski bertanya-tanya mereka sepakat untuk tidak menghubungi atau mengunjungi Tedi dulu hari itu. Tapi keesokan hari, dan keesokan harinya lagi Tedi masih saja tidak masuk sekolah.

“Wah, udah tiga hari nih… gue rasa kita perlu ke rumahnya nanti sepulang sekolah!” Ucap Jaka pada saat jam istirahat.
“Gue juga penasaran banget sih, mana sms gue ga dibales lagi!” timpal Riko.
“Tapi… apa sudah boleh ya kita ke rumahnya lagi sekarang… baru tiga hari juga”
“Emang kita pernah dilarang ke rumahnya? Main aja kan gapapa?”

“Udah deh, pokoknya gue siang ini mau ngedatengin rumahnya Tedi… Terserah lo berdua mau ikut apa nggak, gue tetep berangkat!” Tegas Jaka.

“Yaa, gue ikut juga lah!” sahut Romi cepat.
“Gue juga!” Riko juga mantap.

Begitulah tiga sekawan sahabat setia Tedi itu bergegas naik angkot menuju rumah Tedi begitu sekolah usai. Selain penasaran kenapa sahabatnya itu tidak masuk sekolah beberapa hari ini, tentunya juga karena mereka sudah kangen dengan Rasti. Mereka sangat ingin bertemu dengannya lagi. Tapi…...

Alangkah kecewa dan hancurnya hati mereka, ketika mereka sampai di sana, mereka mendapati orang tidak dikenal di rumah Tedi siang itu. Rumah itu ternyata bukan milik Rasti lagi. Selama ini ternyata Rasti diam-diam memasang iklan menjual rumahnya di sebuah website penjualan property. Tedi sekeluarga sudah pindah entah kemana! Tak ada secuilpun pemberitahuan dari Tedi kepada mereka.

Mereka bertiga diam terhenyak. Ternyata firasat mereka malam itu benar adanya. Yang mereka takutkan ternyata benar-benar terjadi. Rasti dan Tedi ternyata pergi meninggalkan mereka. Bingung, kecewa, kesal, sedih, itulah yang mereka rasakan saat ini. Tidak akan adakah lagi senyum manis Rasti? Tidak akan adakah lagi canda dan dongeng dari Rasti? Apakah mereka tidak akan pernah bertemu Rasti lagi?
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar