****
Sore itu Tedi sedang ngajarin Cindy main game di tabletnya ketika
mendengar suara taksi dan gerbang dibuka. “Mama pulang…” Ucapnya. Tedi
menengok jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Tadi siang dia
meninggalkan Mamanya di penjara sekitar pukul 11 lebih, atau menjelang
tengah hari. ‘Empat jam lebih…’ Pikir Tedi gusar. Dia dan Cindy pun
segera menghambur ke pintu depan menyambut Rasti.
Tedi agak surprise menjumpai mamanya pulang mengenakan seragam napi yang
kedodoran, tapi hanya atasannya saja, sedang bawahannya tidak
mengenakan apa-apa. Karna ukurannya besar, bagian bawah pakaian itu pun
menutupi sampai separuh lebih paha atas Rasti. Tedi menatap Mamanya yang
tersenyum-senyum itu dengan gemas. Meskipun surprise, tapi Tedi sih
tidak heran Mamanya pulang dengan kondisi seperti ini. Pikirannya pun
sempat melayang membayangkan apa yang kira-kira terjadi di penjara.
"Mama boros baju banget sih? Yang dipake tadi itu kan baju mahal... kalo
main jangan kasar-kasar dong..." Gerutu Tedi menyindir Mamanya. Rasti
tertawa saja mendengar sindiran putra sulungnya itu. Dipeluk dan
dikecupinya pipi Tedi dengan gemas, lalu diangkat dan digendongnya
Cindy. “Anak Mama yang paling cantiik… Gak nakal kan hari ini?” Ucap
Rasti sambil mengecupinya juga.
“Gak nakal dong… Cindy lagi diajari kak Tedi main game…”
“Iih kok diajari main game sih? Diajarin bikin PR kek…” Sahut Rasti berlagak manyun.
“Mmm… Kalo bikin PR sama Mama aja ah.”
“Oo gitu… Boleh deh. Habis Mama mandi ya…?”
“Emang Mama bisa bantuin Cindy bikin PR? Hi hi hi…” Goda Tedi.
“Iihh menghina kamu… kalo PRnya Cindy aja sih Mama masih bisa, wee…!”
Sahut Rasti gemas. Saking gemasnya Rasti kemudian terpikir untuk balas
menggoda Tedi. “Pelajaran SMP sampe kelas dua Mama masih bisa… Mama kan
doyan ngentotnya baru pas udah SMP…!” Ucapnya vulgar. Benar saja, Tedi
langsung geregetan mendengar kalimat terakhir Mamanya itu. Apalagi
ketika kemudian ketiganya sudah duduk di sofa, Cindy menimpali kalimat
Rasti tadi dengan polosnya, “Kalo udah SMP Cindy mau ngentot juga…”
Rasti dan Tedi jelas terperangah dengan ucapan Cindy ini. Entah Cindy
sudah mengerti betul apa yang dimaksud ngentot atau tidak, karena
sebelum ini biasanya dia menyebut aktivitas Mamanya itu dengan sebutan
‘himpit-himpitan’. Tedi tertawa, sementara Rasti malah salah tingkah.
“Eeh ga boleh ya Cindy sayang…” Ujarnya gusar sambil melirik kesal ke
Tedi yang malah makin terbahak.
“Lho katanya Mama SMP suka ngentot…?”
“Ii.. Iya sayang, mmm… jaman dulu memang… Duuhh, gimana ya… pokoknya
jangan ya Cindy, nanti kalo sudah SMA aja deh boleh kalo mau
himpit-himpitan…”
“SMA itu kapan Ma…?”
“Mmm… SMA itu… nih kalo kamu udah kayak kak Tedi, kakak udah mau masuk
SMA nih…” Rasti menunjuk ke arah Tedi yang badannya sudah tinggi sedikit
melebihinya. Cindy pun mengamati kakaknya itu sambil mengerutkan wajah.
Mungkin dia membandingkan tubuhnya yang masih mungil dengan tubuh Tedi.
“Masih lama dong sampe Cindy bisa segede kakak.” Gumamnya.
“Iya, bentar lagi kakak udah boleh ngentot karna sudah SMA…” Ucap Tedi tersenyum-senyum penuh arti.
“Ih, emangnya kamu mau ngentot sama siapa? Kamu kan jomblo… belum laku, wee… Makanya cari pacar dong.” Goda Rasti.
“Sama Mama dong… Tedi males pacaran.”
“Emangnya Mama bolehin?” Goda Rasti lagi.
“Kalo ga boleh ya Tedi perkosa…!” Sahut Tedi gemas.
“Ha ha ha… main perkosa aja kamu… Masak Mama sendiri diperkosa? Jangan dong, iya deh nanti Mama bolehin…” Kerling Rasti genit.
“Udah ah, cepetan Mama mandi, trus buang bajunya ini… sebel Tedi
ngeliatnya…” Gerutu Tedi sambil menarik bagian bawah pakaian tahanan
yang dipakai Rasti sehingga paha Mamanya itu tersingkap. “Aahh kamu
nih…” Ucap Rasti manja dan langsung menyingkirkan tangan Tedi. Wajahnya
pun tersipu sambil tangannya menutupkan pakaiannya ke pahanya lagi. Ya,
sesaat tadi Tedi bisa melihat dan menyadari bahwa Rasti tidak mengenakan
apapun lagi di balik pakaian tahanan itu. Tedi langsung panas dingin
dibuatnya. Apalagi kemudian Rasti tersenyum-senyum memandangnya. “Jangan
dibuang dong, kan nambah koleksi kostum Mama… Lagian seksi kan?”
Ucapnya.
“Emang ini baju apa sih Ma? Mama dari mana sih?” Tanya Cindy nimbrung.
Saat itu beberapa anak Rasti yang lain yang baru sadar akan kepulangan
Mamanya itu langsung ikut mendekat dan menggelayut manja pada Rasti.
“Hi hi hi… ini baju… bajunya penjahat sayang… Mama baru masuk penjara
nih. Hi hi hi…” Jawab Rasti sambil mengusap-usap rambut Bram yang
memeluknya dari samping. Gemasnya Tedi melihat entengnya Rasti
mengucapkan itu seakan itu hal yang biasa saja sebagai bahan bercanda.
“Masuk penjara? Sama abang Norman dong? Abang mana?”
“Abang masih dipenjara sayang. Kalo Mama sudah boleh keluar…”
“Kok bisa?”
“Ya kan soalnya Mama bisa ngalahin para penjaga di sana, jadinya Mama
bisa keluar deh. He he he… Eh, tapi nanti mungkin Mama mau masuk lagi
deh… Hi hi hi…”
Duh, gemasnya Tedi mendengar celotehan Rasti di depan adik-adiknya itu.
Dasar Rasti, ibu binal! Rasti masih tertawa-tawa saja mendengar
pertanyaan-pertanyaan anaknya yang lain yang lugu-lugu. Rasti melirik
Tedi, dan menyadari putra sulungnya itu manyun.
“Hi hi hi… udah ah sayaang, tanya-tanya terus. Tuh kak Tedi manyun tuh.
Mama mau mandi dulu yaa… Eh, kalian juga belum pada mandi ya? Mau mandi
sama Mama di kamar mandi Mama?”
“Mauuu…” Jawab adik-adik Tedi kompak.
“He he he, ya udah ayuuk…” Ajak Rasti beranjak dan menggandeng anak-anaknya itu masuk ke kamarnya.
Tedi menghela napas melihat Mamanya berlalu. Pakaian tahanan yang
dikenakan Rasti sudah agak berantakan gara-gara ditarik-tarik dan
dimain-mainin oleh adik-adiknya tadi. Bagian bawahnya yang tadi cukup
menutupi separuh pahanya kini jadi ada yang tertekuk dan terlipat ke
atas sehingga lebih mengekspos sebagian besar paha mulusnya. Dari
belakang, lenggak-lenggok langkah Rasti jadi lebih indah dipandang,
‘Yah, memang seksi sih…’ Pikir Tedi dengan jantung yang berdegup
kencang. ‘Aduh, ngaceng lagi…! sial.’ Gerutunya pada diri sendiri, lalu
dia pun ngeloyor masuk ke kamarnya.
‘Percakapan keluarga’ singkat barusan membuat Tedi agak lega. Dia sama
sekali tidak kesal atau marah pada Mamanya itu. Kini dia malah merasa
senang melihat Mamanya sudah lebih ceria lagi daripada hari-hari
sebelumnya. Meskipun keceriaan itu harus didapat dengan kembali menjadi
ibu binal yang doyan dientot.
***
Pada akhirnya kegiatan itu berlangsung terus. Setiap beberapa hari
sekali Rasti mengunjungi Norman ke penjara, kadang sendiri, tapi lebih
sering minta diantar jemput oleh Tedi. Aktivitas Rasti di penjara pun
makin hari makin lama. Yang awalnya hanya empat jam itu, kini lebih
sering Rasti diantar pagi dan dijemput sore. Pikiran Tedi selama itu
terus dibuat gemas dan penasaran. Pernah Tedi berpikir untuk meminta
Mamanya merekam aktivitasnya di penjara untuk kemudian ditontonnya di
rumah, tapi tentu pemikirannya ini tidak pernah diutarakannya pada
Rasti. Ya, dia malu. Tedi sebenarnya memang jarang bisa bicara vulgar
dengan Mamanya. Pada dasarnya Tedi memang pemalu. Sekedar minta
diceritain pun Tedi enggan, betapapun dia penasaran setengah mati. Tidak
seperti teman-temannya yang mesum. Ya, siapa lagi kalau bukan Riko,
Romi dan Jaka yang akhir-akhir ini mulai sering main ke rumahnya lagi.
“Jadi Tante sekarang ngelonte di penjara?”
“Kalo ngentot di dalam sel gitu?”
“Dibayar nggak Tante?”
“Tante nggak takut?”
“Digangbang nggak Tante sama tahanan-tahanan di situ?”
Begitulah mereka selalu memberondong Rasti dengan pertanyaan-pertanyaan
mesum setiap kali mereka datang. Kini keadaannya memang sudah agak
normal sehingga mereka sudah berani ngecengin Rasti lagi di rumahnya.
Pertama kali mereka tahu aktivitas Rasti selama ini, baru mendengar
pengakuan Rasti yang bolak-balik penjara demi terus bisa melayani nafsu
binatang Norman itu saja langsung membuat mereka ngaceng sejadi-jadinya.
“Duuh tante, kok bisa ya…? Cerita dong…” Ucap Riko ngenes sambil mengelus selangkangannya.
“Tapi belum diceritain aja gue udah ngaceng pol nih ngebayanginnya…” Timpal Jaka.
Rasti tertawa-tawa saja melihat reaksi teman-teman Tedi ini. “Ya kalo
sudah ngaceng, ga perlu Tante ceritain dong… langsung coli aja sana… Hi
hi hi…” Ucapnya.
“Yaa Tante, tetep diceritain dong…” Tuntut mereka kompak. Dan dari
mulut Rasti pun kembali meluncur cerita-cerita mesum pengantar tidur
favorit mereka.
Dalam penjara itu, Norman malah menjadi semacam germo yang menjual Rasti
pada para napi di sana. Jadi, Rasti memang melonte di penjara dan
dibayar seperti biasanya. Hanya saja, harganya memang jauh di bawah
standarnya selama ini. Ya, di dalam penjara ini Norman menetapkan tarif
flat 300 ribu per-orang sekali ngentot dengan Rasti. Itu pun sudah di
luar dugaan Rasti bahwa ternyata banyak juga tahanan remaja yang kaya
sehingga bisa membayar harga itu. Bahkan ada beberapa remaja yang
menjadi tahanan VIP karna mereka anak dari seorang pejabat, kebanyakan
kasusnya adalah peredaran narkoba. Tahanan VIP ini bisa membayar lebih
dan mendapatkan waktu extra dan ruangan yang lebih privat bersama
Rasti, sebagaimana Norman dan para penjaga. Ya, para penjaga mendapat
jatah khusus dan gratis dari Norman sebagai kompensasi kelancaran
bisnisnya itu. Sekali-kali Obet pun mendapat jatah, sehingga dengan
begitu dia pun menjadi semacam bodyguardnya Norman. Dengan itu kedudukan
Norman menjadi terpandang dalam penjara itu dan tidak ada yang berani
macam-macam dengannya.
Rasti menjalani semuanya itu dengan senang-senang saja. Kembali melacur
seperti sudah menjadi panggilan jiwanya. Dan ada sensasi tersendiri
ketika melakukannya di dalam penjara dengan anaknya sendiri yang
memanajerinya. Rasti bahkan mencoba lebih bersenang-senang lagi dengan
sedikit bertualang di dalam penjara, memuaskan naluri eksibisonisnya.
Berawal dari kejadian saat awal Rasti memasuki lorong Sektor C untuk
menuju sel Norman. Para penjaga mendapat ide untuk ngiklanin Rasti.
Kondisi sektor-sektor lain di dalam penjara ini kurang lebih sama dengan
sektor C, yaitu berupa lorong-lorong yang di kanan-kirinya berderet
sel-sel. Seperti yang terjadi di awal datangnya Rasti, lorong Sektor C
bagaikan sebuah panggung catwalk yang sempurna untuk beraksi. Para
penjaga pun melontarkan ide menyuruh Rasti berjalan berlenggak-lenggok
dengan pakaian seksi di lorong semua sektor yang ada. Tentu tidak
sekaligus, tapi satu sektor dalam satu waktu, karna Rasti harus memberi
pertunjukan yang cukup buat para napi menonton dari dalam selnya. Ide
ini disambut antusias Norman dengan syarat dia bisa ikut menonton
bersama para penjaga.
Saat Rasti menceritakan ini, wajah Riko, Romi dan Jaka benar-benar
sudah seperti kepiting rebus saking ngacengnya. Mereka sudah berada
dalam puncak konaknya hanya dengan membayangkan cerita itu. Rasti
tertawa geli melihat ekspresi mereka. “Aduuh, sana dibuang dulu… ntar
meledak lho kontolnya… Hi hi hi…”
“Trus Tante mau?”
“Tante nggak malu? Nggak takut…?”
Begitu mereka menghiraukan saran Rasti, dan langsung nyerocos dengan
pertanyaan-pertanyaan. Lagi-lagi Rasti tertawa geli, “Yakin mau dilanjut
ceritanya…?”
“Yakin Tanteee…!” Jawab mereka kompak.
Rasti memang awalnya menolak ide itu, saat Norman dan para penjaga
menyampaikannya. Dengan membayangkannya saja dia sudah merasa malu dan
grogi. Entah kenapa, Norman yang biasa memaksakan kehendaknya, kali ini
dia membiarkan saja penolakan Rasti. Para penjaga pun kasak kusuk
kecewa, dan Rasti pun merasa lega. Tapi diam-diam saat Rasti sudah
pulang, Norman mengatakan pada para penjaga bahwa dia yakin Mamanya akan
berubah pikiran dan meminta sendiri untuk merealisasikan ide itu.
Benar saja, di rumah malah Rasti terus kepikiran akan ide itu. Panas
dingin dia membayangkan dirinya jika harus melakukan hal itu. Duh,
kenapa ditolak? Ya jelas karena malu dong! Tapi lonte masa malu-malu?
Kalo gitu diterima aja? Tapi lebih malu lagi kalo gitu, karena udah
terlanjur menolak! Halah, masa lonte gengsi? Begitulah seperti biasa
Rasti seperti berdialog dengan dirinya sendiri, dan berakhir dengan
keputusan bahwa dia akan melakukannya!
“Mm.. Mama mau coba, tapi di satu sektor dulu ya…? Kalo Mama ga suka, ga
usah dilanjut…” Ucap Rasti dengan wajah memerah di hadapan Norman dan
beberapa penjaga. Menggemaskan sekali paras Rasti saat itu. Tak tahan,
Rasti pun digilir sebelum ide itu direalisasikan.
“Duuh digilir ya…?” Gumam Romi gemas memotong cerita Rasti.
“Iya, Tante digilir dulu sama para penjaga. Tapi setelah digilir malah
jadi enak kok, hi hi hi… Maksudnya Tante jadi rileks… Lega. Sebelumnya
kan Tante tegang banget tuh…?”
“Habis digilir, langsung pertunjukannya?”
“Hi hi, ya nggak dong, mandi dulu, dandan lagi… Biar cantik.”
“Ih... Iya, maksudnya setelah itu…”
Ya, akhirnya pertunjukan pun dimulai. Dimulai dari sektor paling akhir,
yaitu Sektor G. Di sektor ini hanya ada enam sel, berderet tiga-tiga di
kanan kirinya. Jadi, lorong sektor yang berisi tahanan-tahanan dewasa
ini tidak terlalu panjang. Tidak seperti di awal dulu, kali ini karena
sudah dalam perencanaan, dan memang tujuannya adalah ‘iklan lonte’,
salah seorang penjaga memberi pengaantar sebelum Rasti beraksi. Penjaga
itu masuk dan berteriak minta perhatian, lalu dia mengumumkan dengan
gaya bahasanya yang khas, berlagak seperti presenter sebuah acara tapi
penuh kata-kata kotor dan kasar. Rasti agak geli melihat tingkah penjaga
ini.
“Ayo beri tepuk tangannya yang meriah buat lonte kita… Ha ha ha… Si
seksi Rasti! Ha ha ha… Siapa yang tahan ga coli gue kasih hadiah rokok
selinting. Ha ha ha…! Buruan masuk non…!”
Meski tadinya sudah agak rileks, tiba-tiba rasa grogi itu muncul
kembali. Tapi Rasti melawannya. “Ah Demam panggung biasa,” pikirnya
sambil melangkah masuk bersamaan dengan keluarnya si penjaga yang
memberi pengantar tadi. Saat itu Rasti lagi-lagi memakai seragam tahanan
sama seperti ketika ia pulang di hari pertamanya di penjara ini.
Seragam yang dia pakai sama kedodoran dan hanya atasannya saja, sama
persis seperti waktu itu. Hanya saja, bedanya kali ini dia mengenakan
dalaman bra dan celana dalam hitam yang kontras dengan kulitnya yang
putih. Saat ini dalamannya tidak terlihat, karna Rasti mengancingkan
semua kancing seragam tahanan itu dengan rapat dari atas sampai bawah.
Tepuk tangan langsung bergemuruh, siul-siulan dan seruan-seruan cabul
bersahut-sahutan keras menyambutnya. Rasti pun mulai menebar senyum dan
pesonanya sambil berjalan pelan menyusuri lorong yang tidak panjang itu,
sampai dia berbalik, berjalan lagi dan berhenti di tengah lorong. Rasti
berputar-putar di situ dengan gerakan pelan memandangi sekelilingnya
dengan ekspresi seperti perawan yang terjebak di sarang penyamun.
Menggemaskan sekali. Para penjaga di luar lorong pun tepuk tangan dan
berteriak menyemangatinya. “Ayoo non, digoyang…! Ha ha ha…!” Lalu mereka
pun menyetel musik dangdut koplo.
Rasti tersenyum kecut mendengar iringan musik norak yang tidak dia duga
itu. “Iih inisiatif siapa sih?” Pikir Rasti gemas. Biar lonte begitu,
selera musik Rasti cukup tinggi. Bahkan selama ini dia sangat suka
ngentot di kamarnya dengan diiringi Beethoven. Tapi Rasti tak bisa
protes. Tak urung, walau kagok, dia pun mulai menggoyangkan badannya
mencoba mengikuti irama yang tidak dia nikmati itu. Suara sorak sorai
yang meneriakinya pun makin menjadi.
“Goyang non…!”
“Buka dong…?”
Dengan satu provokasi itu, sejurus kemudian teriakan para tahanan itu pun menjadi kompak. Mereka satu suara.
“Iyaa! Ayoo dibuka…!”
“Buka…! Buka…! Buka…! Buka…! Buka…!” Teriak mereka sambil memukuli
teralis sel masing-masing. Gaduh sekali. Rasti pun pura-pura bimbang.
Dia berputar dan memandangi sekelilingnya dengan mata sayu. Dengan
tangannya dia memegang kerah baju yang dia pakai. Tanpa mengucap sepatah
kata pun. dengan bahasa tubuh, tatapan mata dan ekspresinya, Rasti
seolah bertanya “Apanya yang dibuka bang? Baju ini?”
“Iyaaa… ituu, dibuka dong…” Sahut para tahanan yang bisa membaca bahasa
tubuh Rasti. Masih dengan bahasa tubuhnya, Rasti menggeleng-gelengkan
kepala dengan ekspresi manja yang sangat menggemaskan. Tangannya
didekapkan di dadanya berlagak ketakutan.
“Anjiing… lontee, ayo dibuka…?”
“Buka…! Buka…!”
Beberapa tahanan sudah tidak tahan dan tanpa malu-malu mengeluarkan
penis dari balik celananya masing-masing dan mengocoknya. Bahkan satu
dua orang malah mengacung-ngacungkan penisnya keluar dari teralis
selnya. “Emut non…!” serunya cabul. Rasti pura-pura terkesiap melihat
kontol-kontol besar berurat itu. Ya, meski besar, tapi bukan yang
terbesar yang pernah dijumpai Rasti. Sudah sering Rasti melihat yang
segitu, tapi demi menyenangkan mereka, dengan ekspresi super imutnya,
Rasti pun pura-pura takut dengan kontol itu.
“Ha ha ha… Jangan takut non… Ini udah jinak, nggak nggigit!” Sahut si
pemilik penis girang dan kege-eran. Kini makin bertambah tahanan yang
melakukan hal serupa. Rasti pun kembali berjalan pelan menyusuri lorong
itu dan mulai berani mendekat dengan hati-hati. Dia merunduk dan
mengulurkan tangannya mencoba memegang salah satu penis berukuran besar
yang mengacung keluar. Tapi Rasti tidak menggenggamnya melain hanya
menyentuhnya sedikit lalu dengan cepat menarik tangannya dan ditempelkan
ke pipinya. Ekspresinya sungguh imut. Seperti anak kecil yang sedang
memainkan binatang peliharaan, satu sisi gemas ingin memegangnya tapi di
sisi lain takut digigit. Itulah gaya yang sedang dimainkan Rasti
sekarang. Siapa yang tidak gemas dengan tingkah Rasti ini? Ya semuanya
gemas bukan kepalang, bahkan kini hampir tidak ada penis yang tidak
keluar dari sarangnya. Rasti melakukan itu di penis-penis lain, sehingga
semua tahanan itu pun belingsatan berebut mengacungkan penisnya keluar
dari teralis sel mereka.
Setelah beberapa penis diperlakukan begitu, Rasti sedikit menaikkan
levelnya. Dengan jari telunjuknya, dia menyentul-nyentul salah satu
kepala penis sehingga penis itu mengangguk-angguk, dan Rasti pun
mendongakkan wajahnya dengan tertawa-tawa antusias memandang si pemilik
penis yang mupeng berat. Rasti melakukannya beberapa kali di penis-penis
yang berbeda. Desahan-desahan gemas pun bersahut-sahutan, mereka
menuntut Rasti segera memuaskan penis mereka. Tapi tentu Rasti hanya
berniat menggoda. Rasti kini malah berdiri menjauh lagi sambil
tersenyum-senyum menggoda. Desahan kecewa dan merasa kentang spontan
dilontar-lontarkan padanya dengan bahasa yang kotor. Rasti tersenyum
geli, lalu dengan imut Rasti menempelkan jari telunjuknya di depan
bibirnya, memberi isyarat seperti seorang guru yang menyuruh
murid-muridnya diam dan tenang. Tentu bukannya tenang, para napi itu
malah semakin ribut. Masih berlagak seperti seorang guru yang kewalahan
menangani murid-muridnya yang terus gaduh, Rasti pura-pura
menggeleng-geleng dengan wajah kesal, lalu bergaya seperti orang yang
sedang berpikir dan kemudian mendapatkan ide.
Sambil melirik-lirik sekitarnya dengan binal, Rasti mulai menyentuhkan
jari-jari tangannya ke kancing bajunya yang paling atas, dan
meloloskannya. Trik ini agaknya berhasil, karna spontan suara gaduh itu
hilang. Para napi itu terdiam, menelan ludah dan menahan napasnya.
Dengan gerak lambat Rasti tangan Rasti turun meloloskan kancing kedua
dan ketiganya. Dengan tiga kancing atas yang terbuka, itu sudah cukup
untuk memperlihatkan belahan dada Rasti dan bra hitam yang dikenakannya.
Walhasil, tenangnya para napi itu hanya bertahan sampai di sini saja,
karena mulut-mulut mereka mulai mengoceh ribut lagi. Bukannya mencoba
menenangkan mereka lagi, Rasti malah tertawa senang. Tangan kanannya
menggenggam dan digerak-gerakkan seperti sedang onani dengan cepat. Ya,
Rasti malah memberi isyarat mereka untuk mengocok penisnya lebih kencang
lagi. Bagaikan robot yang sudah terprogram, itulah yang langsung
dilakukan para napi itu. Mereka seakan berlomba mengocok penisnya
masing-masing sambil melenguh-lenguh keras dan terus melontarkan
kata-kata kotor. Rasti tertawa senang, dan seolah memberi hadiah karena
perintahnya telah dipatuhi, Rasti pun menggoyang-goyangkan badannya dan
menari dengan erotis. Ia tidak peduli apakah gerakannya sesuai dengan
irama musik atau tidak.
Rasti memberi suguhan tari striptease pada mereka. Pelan tapi pasti,
satu-persatu sisa kancing bajunya dilolosi hingga terbuka semuanya.
Sorak sorai dan tepuk tangan pun langsung membahana meski Rasti tidak
langsung melepas bajunya itu. Bahkan Rasti menggoda dengan membuka
tutupkan baju itu di tubuhnya. Hal itu dilakukannya berkali-kali sambil
terus bergoyang menari. Benar-benar panas pertunjukan yang
ditampilkannya. Rasti melakukannya dengan spontan. DIa membiarkannya
mengalir alami, tanpa tahu sejauh mana dia akan melakukan adegan ini.
Begitu menggairahkannya aksi Rasti sampai-sampai beberapa napi sudah ada
yang mencapai orgasmenya di titik ini. Mereka melenguh keras sambil
mengecrotkan spermanya keluar dari teralis sel mereka. Ada satu yang
menyembur cukup kuat sampai-sampai mendarat di kaki Rasti dan meleleh
membasahinya. Si pemilik peju pun tertawa kegirangan, puas dan bangga.
“Terima tuh peju gua buat DP… Ha ha ha… Lonte, gue mau ngentotin lo abis
ini…!” Serunya. “Kyaa..” Rasti memekik kecil dan menggeliat manja
merasakan kaki nya disembur dengan sperma. Para napi pun menyorakinya
gemas. Berlagak kesal, sambil memasang wajah ngambek nan imut, Rasti
membuka bajunya, benar-benar melepaskan baju itu dari tubuhnya yang kini
hanya berbalut bra dan celana dalam hitam yang mini dan sangat seksi.
Sorak sorai pun makin membahana, ditambah dengan siulan-siulan dan suara
teralis besi yang dipukul-pukul berisik. Semua itu sungguh membuat dada
Rasti berdebar-debar merasakan sensasi yang luar biasa dari aksi
eksibisionisnya ini. Rasti lalu menggunakan bajunya itu untuk
membersihkan kakinya yang dibasahi peju tadi. “Ha ha ha… body lotion
neng… biar makin kinclong kulitnya!” Seru seorang napi menertawai
tingkah Rasti.
Setelah kakinya bersih, Rasti melirik binal pada para napi di dalam sel
yang berada tepat di depannya. Lirikan Rasti itu sukses membuat mereka
blingsatan, apalagi kemudian Rasti melangkah mendekat. “Hayo, siapa tadi
yang udah mejuhin Rasti?” Ucapnya genit sambil mengacungkan bajunya.
Salah seorang napi menyambut baju itu dan menciuminya tanpa jijik.
Memang hanya sedikit peju yang dilap dengan baju itu. Lebih banyak bau
harum tubuh Rasti yang melekat di situ, sehingga baju itu pun
diperebutkan di dalam sel. Rasti tertawa geli melihatnya. “Janji ya mau
ngentotin Rasti nanti?” Ucapnya binal.
“Hua ha ha… pasti non, lo bakal gue entotin sampai dengkul gue keropos! Ha ha ha…”
“Janji?” Ucap Rasti lagi sambil dengan seksinya dia menungging
membelakangi sel itu. Rasti menyodorkan pantatnya pada napi-napi
beruntung itu.
‘Plaak…!’
“Aahhh….” Desah Rasti pelan merasakan pantatnya ditabok dengan gemas
oleh salah seorang napi. Bukannya menjauh, Rasti terus berada dalam
posisinya ini memberi kesempatan pada napi lain untuk melakukan hal yang
sama.
‘Plaak… plak… plaaak…’ Dengan gemas para napi beruntung itu pun berebut
menampar-nampar bongkahan mulus pantat Rasti yang membulat sempurna itu.
Tiap tamparan yang mendarat di pantatnya, Rasti memekik-mekik dan
mendesah pelan, membuat para napi itu tambah gemas. Setelah dirasa
cukup, Rasti pun melangkah menjauh lagi ke tengah-tengah lorong sambil
tersenyum-senyum ditengah sorak sorai dan seruan-seruan dari para napi
di sel lain yang memintanya mendekati sel mereka juga. Dengan genit
Rasti tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya menggoda mereka.
Sorakan mereka makin jadi. Tapi di sinilah Rasti merasa pertunjukannya
harus diakhiri. Ya, jelas. Rasti sadar, aksinya ini memang ibarat
‘iklan’ dan cuma teaser. Artinya dia tidak boleh terlalu jauh memberi
pertunjukan. Meskipun begitu, Rasti berbaik hati memberi aksi terakhir.
Kedua tangannya bergerak ke belakang punggungnya. Bisa ditebak apa yang
akan dilakukan Rasti sehingga para napi itu pun terdiam menunggu dengan
antusias. Ya, Rasti melepas branya dengan pelan. Dengan gerakan nakal,
Rasti meyilangkan satu tangan di atas kedua payudaranya, sementara
tangan satunya melolosi bra itu dari tubuhnya. Walhasil meski kemudian
bra itu telah lepas dari tubuhnya, tak satu pasang mata pun dari para
napi itu yang bisa melihat putting susu Rasti. Rasti cukup lihai
melakukan gerakan ini sehingga para napi itu pun menyorakinya gemas.
Sungguh aksi Rasti ini sangat menggoda dan memancing nafsu. Sampai
akhirnya Rasti hanya menyerahkan branya itu ke salah satu sel dengan
tangannya enggan berpindah dari atas dadanya.
“Duuh itu tangannya yag satu nakal banget sih! Pengen gue cubit!”
“Anjriitt non.. please itu tangannya suruh minggir…! Asuu…”
“Hi hi hi… Dadaah abang… Rasti tunggu yaa…?” Ucap Rasti geli sambil
melambaikan satu tangannya sambil berlalu pergi dengan langkah pelan dan
melenggak-lenggokkan pantatnya.
“Huuuuu….!” Suara koor protes memenuhi seluruh sektor itu mengiringi kepergian Rasti.
Sambil tersenyum-senyum senang merasa aksinya sukses, Rasti melangkah
keluar dari lorong sektor itu. Ternyata bukan hanya para napi yang panas
dingin dan blingsatan tidak karuan menyaksikan aksi Rasti barusan. Para
penjaga dan Norman pun terangsang berat dan sudah menunggu-nunggu Rasti
dengan tidak sabar untuk segera mengentotinya lagi.
“Hi hi hi… idiih… kok malah kalian yang jadi nafsu begitu? Hayoo…
pedagang gak boleh makan dagangannya sendiri ya? He he he…” Seloroh
Rasti ketika mendapati seluruh penjaga yang mupeng menungguinya.
“Anjriit aksi lo tadi mantap abisss… Gue ngaceng berat!”
“Pokoknya kita mau ngentotin lo dulu lagi, baru ntar kita terima orderan dari mereka!”
“Iih kok gitu…?” Sahut Rasti cemberut dan melirik ke arah Norman.
“Eiit, sekarang gue yang mau ngentot! Habis itu baru kalian, terus baru
nerima order!” Sahut Norman yang merasa paling berkuasa. Lemaslah Rasti
mendengar omongan Norman itu. Memang keliru besar jika Rasti mengharap
Norman membuat keputusan bijak. Yang ada malah dia selalu mengikuti hawa
nafsunya. Terbayang sudah kerja keras yang harus dilakukannya kali ini.
Harus melayani Norman, ditambah melayani para penjaga lagi untuk kedua
kalinya sebelum terakhir melayani ‘orderan’ dari para napi. Bisa-bisa
sampai malam Rasti baru bisa pulang.
Saat itu juga seorang penjaga mendata siapa saja dari para napi itu yang
mau mengorder pelayanan Rasti. Dari total 29 napi di Sektor G, ada 8
orang yang saat itu juga mempunyai uang untuk membayar pelayanan Rasti.
“Ha ha ha… dua juta lebih dalam sehari coy…! Enak bener lo ya cantik,
jadi lonte duitnya moncer…!” Ujar seorang penjaga sambil
mengipas-ngipaskan uang yang barusan dikumpulkannya. Rasti tersenyum
kecut mendengarnya. ‘Capek tahu…!’ Gerutunya dalam hati. Lagipula nilai
itu memang tidak seberapa dengan yang biasa diperolehnya selama ini.
Sudah begitu, uang itu masih harus dipotong 30% untuk dibagikan kepada
para penjaga. Tapi sudahlah, Rasti tidak mau mengeluhkan lebih lanjut
konsekuensi dari pilihan yang sudah dibuatnya sendiri.
***********
“He he he… Iiihh… kalian ini udah crot aja yaah…? Jorok Iih…!” Ucap
Rasti gemas melihat Riko, Romi dan Jaka yang sudah terduduk lemas
menyandar dengan penis yang mulai terkulai dan peju bercecer di
mana-mana. Memang mereka tadi tanpa malu-malu ngocok sepanjang Rasti
bercerita. “Kenapa gak ke kamar mandi siih… Jadi kotor deh semuanya…
Dasar!” Tukas Rasti sambil mengacak-acak rambut Riko yang duduk di
sampingnya.
“Maaf Tante… nanti kami bersihin… Ga kuat sih Tante…” Jawab Jaka sambil cengar-cengir.
“Janji ya? Ayo dibersihin sekarang. Duh padahal ceritanya belum selesai lho… Masih ada yang lebih seru lagi. Hi hi hi…”
“Ampuun Tantee… Kami nyerah dulu, besok dilanjut lagi ya Tanteee??” Ucap Jaka ngenes.
“Hi hi hi… gak janji yee…” Cibir Rasti genit sambil ngeloyor pergi.
“Yaaah Tantee… besok yaa…?”
Rasti hanya tertawa kecil sambil terus berlalu tanpa menjawab permintaan itu.
***********
Malam itu Rasti memilih tidur di kamar anak-anaknya yang masih kecil. Di
kamarnya sendiri Tedi sudah tertidur pulas sejak tadi. Sudah beberapa
hari ini memang Tedi tidur bareng Rasti di kamarnya. Apalagi kalau
ketiga temannya itu sedang main ke rumah. Karna mereka menempati
kamarnya Tedi, maka Tedi tidur di kamar Rasti. Sebenarnya kamar Tedi
cukp besar dan sangat cukup untuk mereka berempat. Tapi kalau
teman-temannya itu sudah mulai minta ‘didongengin’ oleh Mamanya, Tedi
memang selalu memilih untuk tidak ikut mendengarkan dan menyendiri di
kamar Mamanya atau menemani adik-adiknya.
Kamar adik-adiknya Tedi yang lain juga cukup besar. Bahkan kamar yang
paling besar karena mereka semua tidur di satu kamar itu. Memang baru
Tedi dan Norman yang sudah punya kamar sendiri. Rasti merebahkan diri di
kasur Cindy yang sudah pulas juga seperti yang lain. Di samping Cindy
ada Kiki, sementara Bram dan Dion tidur di kasur yang berbeda, dan si
kecil Bobi anteng di dalam bed set khususnya. Rasti memandangi
satu-persatu wajah anaknya dengan mata teduh khas seorang ibu.
Dikecupnya Cindy, dan dibelainya rambut Kiki. Sejujurnya ada sedikit
kegalauan di dada Rasti tentang kehidupannya yang dijalaninya selama
ini. Tapi Rasti bukanlah perenung yang baik. Tiap kali dia merenung,
renungannya itu seringkali berlalu begitu saja tanpa dipikirkan terlalu
dalam apalagi disertai tindakan lebih lanjut. Seperti kali ini, Rasti
hanya menghela napas panjang. Dia memilih mengosongkan pikirannya saja
dan terus memandangi para buah hatinya dengan kepala yang sudah bebas
dari beban pikiran apapun. Memang tidak ada bosan-bosannya memandangi
wajah-wajah polos yang tengah tertidur pulas itu. Wajah-wajah polos yang
dibesarkan tanpa seorang ayah. ‘Duh, kok jadi mikirin lagi sih..’ keluh
Rasti dalam hati.
Rasti mulai merebahkan diri lagi sambil menerawang. Memang apa yang
dikatakan Rasti pada teman-temannya tadi itu benar. Bahwa masih ada
cerita yang lebih seru lagi. Tapi sebenarnya, makin seru cerita Rasti,
makin capek Rasti saat menjalani apa yang terjadi di dalam cerita itu.
Cerita-cerita itu selalu dijadikan bahan fantasi dan coli teman-teman
Tedi, tanpa mereka tahu sesungguhnya bagaimana berat Rasti saat
melaluinya. Tapi anehnya, Rasti sendiri sangat senang menceritakannya
pada mereka. Ya, Rasti tidak pernah merasa terpaksa saat bercerita.
Makanya dalam hati saat ini Rasti agak menyesal juga karena tidak sempat
menceritakan kejadian yang lebih seru itu tadi. “Iih kalian sih
ngecrotnya kecepetan…! Dasar ejakulasi dini…” Rasti menggerutu sendiri
di dalam hati. Padahal Riko, Romi dan Jaka yang digerutuinya itu
sekarang sudah pulas di kamar Tedi.
Ceritanya sama, yaitu tentang Rasti yang terus dipergilirkan oleh para
penjaga untuk tampil ‘mengiklankan’ diri di dalam lorong tiap sektor
tanpa kecuali. Ada tujuh sektor, dan Rasti mulai dari sektor G seperti
yang diceritakannya tadi. Selanjutnya sektor F, E, dan seterusnya. Tiap
kali beraksi, Rasti terus menaikkan levelnya. Seperti di sektor F, Rasti
sudah telanjang dada di tengah-tengah tariannya tanpa merasa perlu
repot menutup-nutupinya lagi dengan tangan. Di Sektor E, bukan hanya
telanjang dada, Rasti bahkan sudah berani mendekat dan membiarkan
payudaranya digerayangi oleh tangan-tangan lapar para napi di sana.
Rasti memulai ketelanjangan total di Sektor D yang paling besar. Ada 12
sel di sektor itu, dan Rasti melucuti seluruh pakaiannya tanpa kecuali,
hingga sepanjang pertunjukan Rasti berlenggak-lenggok menyusuri lorong
Sektor D tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Aksi itu terus
berlanjut sampai berakhir di Sektor A yang tanpa Rasti sadari, para
penjaga telah merencanakan sesuatu yang lain di Sektor A.
Para penjaga itu sebenarnya makin gemas dengan aksi Rasti yang levelnya
selalu naik lebih tinggi dibanding aksi sebelumnya. Mereka pun
kasak-kusuk dengan Norman juga untuk mengendalikan level aksi Rasti di
Sektor A sebagai sektor terakhir. Mengendalikan level bukan berarti
menurunkan level, tapi justru menaikkan level sampai titik tertinggi.
Tapi, tanpa diketahui para penjaga, diam-diam Norman membocorkan sedikit
informasi tentang rencana para penjaga itu kepada Mamanya. Norman
sebenarnya sangat menyetujui rencana para penjaga itu, namun ia tidak
sampai hati jika harus dengan menjebak Mamanya. ‘Lagian ngapain dijebak?
Diberitahu aja Mama pasti mau kok!’ Begitu awalnya keyakinan Norman.
Namun pada akhirnya toh Norman ragu juga. Dia khawatir Mamanya akan
menolak mengingat rencana itu cukup gila. Norman pun memutuskan untuk
sekedar memperingati saja Mamanya akan adanya kejutan tanpa memberi
informasi lebih jelas tentang apa yang akan terjadi dalam kejutan itu.
Dan benar saja, meski was-was Rasti memutuskan untuk tetap beraksi di
Sektor A.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Tiap pintu sel di penjara ini
sebenarnya memiliki sistem mekanisme yang sebenarnya sederhana tapi
cukup canggih untuk ukuran penjara itu. Ya, sistem itu membuat
pintu-pintu itu bisa dibuka dan dikunci secara otomatis dengan menekan
suatu tombol di luar lorong tiap sektor. Ini sebenarnya tombol darurat
yang hanya boleh ditekan jika ada kejadian khusus yang tidak diinginkan,
seperti kebakaran, atau bencana yang lainnya.
Saat Rasti sedang beraksi di dalam lorong Sektor A yang hanya terdiri
dari delapan sel ini, diam-diam para penjaga mengunci pintu lorong itu
secara manual. Rasti sendiri sudah waspada dan berdebar-debar menunggu
kejutan yang dimaksud Norman. Hal itu membuat Rasti agak canggung dalam
tarian stripteasenya. Rasti pun tidak ingin berlama-lama seperti
sebelumnya karna dia sendiri sudah tidak sabar. Dengan cepat Rasti
melucuti satu persatu pakaiannya diiringi sorak sorai para napi dari
dalam selnya. Begitu Rasti mencopot celana dalam sebagai penutup tubuh
terakhirnya, terdengar suara yang sudah familiar di telinganya. Rasti
pun langsung berdebar membayangkan apa yang akan terjadi jika dugaannya
benar. Ya, suara yang terdengar bersamaan tadi adalah suara kunci pintu
sel yang terbuka. Pintu sel yang mana? Pikir Rasti panik. Suasana
mendadak menjadi hening mencekam. Saat itu memang tidak ada napi yang
langsung keluar dari selnya. Ternyata mereka pun juga ragu dan
bertanya-tanya soal bunyi tadi. Mereka tahu itu bunyi kunci sel mereka
yang terbuka, tapi mereka seakan tidak percaya.
Tentu suasana hening itu tidak berlangsung lama. Begitu satu orang napi
mencoba mendorong pintu selnya dan mendapati bahwa pintu itu benar-benar
telah terbuka kuncinya, napi-napi lain bersorak-sorak di selnya
masing-masing sambil mencoba membuka pintu sel mereka juga. Jadi pintu
sel mana yang terbuka kuncinya? Ternyata semuanya! Rasti menelan ludah
berkali-kali demi membasahi tenggorokannya yang mendadak kerontang.
Dadanya berdebar kencang sekali melihat satu demi satu pintu sel yang
ada di sektor itu terbuka dan satu demi satu napi di dalamnya melangkah
keluar sambil terkekeh-kekeh dan bersorak kegirangan. Sejurus kemudian
lorong itu sudah dipenuhi 37 orang napi ‘kelaparan’ yang mengelilingi
Rasti dan siap memangsanya dengan buas. Rasti bergidik ngeri. ooh Inikah
kejutan yang dimaksud Norman? “Duh, Norman anakku yang paling bandel…
tega banget sih kamu sama Mama…? Nakal!” Pikiran Rasti berkecamuk, namun
sebagai lonte professional dia harus cepat mengendalikan diri, dan
tidak sulit memang bagi dia untuk melakukannya. Pada dasarnya Rasti
tidak benar-benar ketakutan, karna di sisi lain antusiasmenya juga
sangat besar membayangkan apa yang akan segera dia alami. Rasti cuma
khawatir mempertimbangkan cukup tidaknya kemampuannya untuk bertahan.
Digangbang 37 orang jelas merupakan level paling tinggi sejauh karir dia
sebagai lonte dan ibu binal. Paling banyak dia digangbang hanya oleh
belasan orang, dan itu pun sudah lama sekali. Namun bagaimanapun juga,
yang akan terjadi tidaklah bisa Rasti elakkan. Rasti pasrah dan bahkan
berpikir untuk memanfaatkan momen ini untuk mengukur sejauh mana
‘kehebatan’ dia sebagai seorang lonte!
Siang itu Rasti dikunci di dalam Sektor A selama 3 jam lebih. Selama
itu pula dirinya bergulat dahsyat melawan 37 orang yang semuanya
benar-benar berebut untuk menyetubuhinya tanpa kecuali. Tidak satupun
yang merasa puas jika hanya dengan melakukan onani. Memek Rasti serasa
diaduk-aduk tanpa jeda. Dari kejadian itu Rasti pun bisa mengukur sejauh
mana kemampuan dirinya karena baru saat itulah dia harus mengerahkan
semua kekuatan dan jurus-jurusnya. Rasti sangat menikmati persetubuhan
yang mungkin bahkan lebih liar dari yang bisa dilakukan binatang
sekalipun. Rasti orgasme berkali-kali sampai tak terhitung lagi, tapi
ternyata dia tidak ‘sesakti’ itu. Rasti sudah kehabisan tenaga di
putaran ketiga. Saat itu dia sudah sangat lemas dan mulai merasakan
sedikit sakit di vaginanya. Rasti pun K.O di tengah-tengah putaran
ketiga itu. Untunglah putaran ketiga itu juga merupakan putaran terakhir
bagi mereka semua. Ya, para napi itu pun juga bukan pejantan-pejantan
yang sangat tangguh. Mereka bisa mengalahkan Rasti karena mereka
mengeroyoknya habis-habisan. Setelah mereka mencapai orgasme
masing-masing di akhir putaran itu mereka pun ambruk satu demi satu
kecapaian. Benar-benar gila apa yang sudah terjadi di lorong yang kini
menjadi begitu pengap oleh bau keringat. Para penjaga segera masuk ke
dalam dan salah satunya keluar menggendong Rasti, sementara yang lainnya
sibuk menggelandang para napi yang kepayahan itu untuk masuk kembali ke
selnya masing-masing. Sungguh beruntung para napi di Sektor A itu.
Tidak ada keistimewaan apapun pada diri mereka yang membuat mereka
mendapat keberuntungan ini. Yah, mereka hanya sekedar beruntung karna
kebetulan saja mereka ditahan di Sektor A. Itu saja.
Rasti kini mengenang-ngenang bagaimana kemudian dia dimandikan dengan
air hangat oleh dua orang penjaga. Dia dibaringkan di bathub berisikan
air sabun yang hangat. Sungguh sangat nyaman saat itu dia rasakan. Ah
sayang sekali semua itu tidak sempat dia ceritakan pada teman-teman Tedi
tadi. Rasti kembali gusar memikirkan hal itu. Sebenarnya apa yang
membuat Rasti begitu gusar dengan hal itu? Bukankah masih ada esok hari?
Masihkah? Kegusaran Rasti ada hubungannya dengan sejumlah angka 12
digit yang muncul di layar HPnya ketika dia sedang menggunakan layanan
SMS Banking sore tadi sebelum dia bercerita pada teman-teman Tedi. Tapi
rasa kantuk yang mulai menyergapnya membuat kegusaran itu lenyap dengan
sendirinya seiring dengan terpejamnya mata Rasti.
Keesokan paginya Riko, Romi dan Jaka pamit pulang dari rumah Tedi saat
Rasti masih pulas tidur bersama anak-anaknya. Mereka memang pergi
pagi-pagi sekali karena hari itu bukanlah hari minggu dimana sekolah
mereka libur.
Seminggu kemudian mereka kembali main ke rumah Tedi setelah bermain
basket di sekolah. Saat itu hari sudah sore dan mereka mendapati Tedi
sedang memanaskan mobilnya bersiap hendak pergi.
“Yuk ikut aja…” Tedi malah mengajak mereka.
“Kemana Ted?”
“Jemput Mama…”
“Jemput ke… penjara??”
“Iya… ayo cepetan. Mau ikut nggak?”
“Iya iya mau, kita ikut kok” jawab mereka setuju menerima ajakan Tedi.
Sampai di penjara, yang biasanya Tedi hanya menunggu sebentar saja, kini
ternyata harus menunggu lama, bahkan sampai malam. Untung ada
teman-temannya sehingga Tedi tidak bosan. Tapi selama menunggu tentu
mereka panas dingin membayangkan bagaimana keadaan Rasti di dalam sana.
Apalagi beberapa petugas lapas mengajak ngobrol Tedi, ngobrol tentang
Rasti dengan penuh kata-kata yang merendahkan dan melecehkan. Kemudian
para petugas itu juga saling ngobrol satu sama lain mengenai pengalaman
mereka dengan Rasti, semua di depan Tedi dan teman-temannya.
“Kemarin gue dapat bo’olnya, wuih mantap!”
“Anjrit… sama gue kok gak mau ya? Dasar lonte pilih-pilih kontol!”
“Ha ha ha, bukan gitu coy! Itu kan gue maksa, dia nolak juga, ternyata
bo’olnya emang masih perawan! Sempit abis! Wakakaka… Kesian juga sih,
sempat nangis tu lonte… Jadi lo maklum aja coy, waktu giliran lo masih
perih tu kayaknya. Ha ha ha!”
“Tapi gue gak puas aja sih kalo harus pake kondom!”
“Iya, anjing tu lonte… gak mau kalo gak pake kondom! Dia pikir gue
penyakitan apa!?” Ujar mereka menggunjingkan Rasti yang membuat miris
Tedi dan teman-temannya mendengarnya, tapi tentu… ngaceng juga!
Hampir jam 9 malam, akhirnya barulah Rasti keluar. Penampilannya agak
berantakan tapi tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. Hanya perlu
dirapikan sedikit saja Rastipun terlihat sempurna lagi.
“Sayang… nunggu lama ya? Maaf ya… Eh ada anak-anak”
“Iya nih Tante… lama banget di dalam, ngapain aja?”
“Hi hi hi… bukan ngapain aja, tapi diapain aja…” jawab Rasti sambil
mengerlingkan matanya. Dasar Rasti, sudah dikerjain habis-habisan,
sempat-sempatnya dia menggoda teman-teman Tedi.
“Cerita dong Tante…”
“Iihh kalian ini minta didongengin terus kaya anak kecil!”
“Iya.. soalnya tadi ada petugas yang bisik-bisik katanya Tante nyuruh
mereka semua pake kondom ya? Kenapa sih Tante…? Takut hamil ya?”
“He he he ya nggak dong, Tante masih pingin hamil terus kok…”
“Terus?”
“Oo aku tahu… Tante gak pingin anaknya keturunan penjahat!”
“Hhmmm… nggak juga sih, tapi Tante memang sudah merencanakan yang
spesial. Udah ya? Jangan nanya-nanya terus dong, Tante capek nih… Ted,
kita cari makan dulu, terus anter temen-temenmu pulang ya?”
“Duuh kita masih pingin main ke rumah Tante kok…”
“Kalian pulang dulu ya malam ini sayang… Besok-besok main lagi, maaf
ya… Tante capek nih… Kalian ngerti kan?” Ucap Rasti sambil memandangi
Riko, Romi dan Jaka satu satu meminta pengertian mereka. Ketiga teman
Tedi itupun menangkap raut wajah Rasti yang berbeda dari biasanya.
Capek, jelas. Sedih…? Hmmm, nggak juga, tapi setelah semua yang
dilaluinya belakangan ini, mestinya Rasti memang belum sepenuhnya bebas
dari berbagai tekanan dan beban yang menderanya. Mungkin itulah yang
nampak dari raut wajahnya saat ini. Bagaimanapun juga, Rasti tetap
terlihat tegar dan masih menebar senyum. Cantik? Pasti. Kecantikannya
tetap melekat tak memudar sedikitpun. Hanya nampak secuil keprihatinan
yang membuat teman-teman Tedi empati.
“I.. Iya Tante… Maaf...” Gumam mereka serempak. Ya, seharusnya bukan Rasti yang meminta maaf.
Setelah makan di sebuah restoran, Tedi mengantar ketiga temannya satu
persatu ke rumah mereka masing-masing. Tiap mereka juga mendapat kecupan
selamat malam spesial dari Rasti. “Maaf ya, Tante belum bisa nemenin
kalian lagi untuk saat ini… Selamat tidur, belajar yang rajin ya, jangan
mikirin Tante terus lho… He he he...” Ucap Rasti kepada mereka semua.
Ada firasat aneh menghinggapi kepala mereka, yang sukses membuat mereka
semua gelisah sulit tidur pada malam itu.
Keesokan harinya, di sekolah mereka bertiga saling bercerita dan
mendapati bahwa ternyata mereka merasakan firasat yang sama semalam.
Terlebih, hari itu Tedi tidak masuk sekolah. Meski bertanya-tanya mereka
sepakat untuk tidak menghubungi atau mengunjungi Tedi dulu hari itu.
Tapi keesokan hari, dan keesokan harinya lagi Tedi masih saja tidak
masuk sekolah.
“Wah, udah tiga hari nih… gue rasa kita perlu ke rumahnya nanti sepulang sekolah!” Ucap Jaka pada saat jam istirahat.
“Gue juga penasaran banget sih, mana sms gue ga dibales lagi!” timpal Riko.
“Tapi… apa sudah boleh ya kita ke rumahnya lagi sekarang… baru tiga hari juga”
“Emang kita pernah dilarang ke rumahnya? Main aja kan gapapa?”
“Udah deh, pokoknya gue siang ini mau ngedatengin rumahnya Tedi…
Terserah lo berdua mau ikut apa nggak, gue tetep berangkat!” Tegas Jaka.
“Yaa, gue ikut juga lah!” sahut Romi cepat.
“Gue juga!” Riko juga mantap.
Begitulah tiga sekawan sahabat setia Tedi itu bergegas naik angkot
menuju rumah Tedi begitu sekolah usai. Selain penasaran kenapa
sahabatnya itu tidak masuk sekolah beberapa hari ini, tentunya juga
karena mereka sudah kangen dengan Rasti. Mereka sangat ingin bertemu
dengannya lagi. Tapi…...
Alangkah kecewa dan hancurnya hati mereka, ketika mereka sampai di sana,
mereka mendapati orang tidak dikenal di rumah Tedi siang itu. Rumah itu
ternyata bukan milik Rasti lagi. Selama ini ternyata Rasti diam-diam
memasang iklan menjual rumahnya di sebuah website penjualan property.
Tedi sekeluarga sudah pindah entah kemana! Tak ada secuilpun
pemberitahuan dari Tedi kepada mereka.
Mereka bertiga diam terhenyak. Ternyata firasat mereka malam itu benar
adanya. Yang mereka takutkan ternyata benar-benar terjadi. Rasti dan
Tedi ternyata pergi meninggalkan mereka. Bingung, kecewa, kesal, sedih,
itulah yang mereka rasakan saat ini. Tidak akan adakah lagi senyum manis
Rasti? Tidak akan adakah lagi canda dan dongeng dari Rasti? Apakah
mereka tidak akan pernah bertemu Rasti lagi?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar