"Yes, yang nganternya cewek” kata Diana sambil berjingkrak.
Dana melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Dana lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.
“Kamu kayak gak semangat gitu sih?”
“Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan.”
“Ingat, sampai tiga kali ya.”
“Iya. Yang kemarin Dana sampai telanjang.”
“Kan handuk itu idenya kamu.”
Kini Dana berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Dana menatap celana pendek anaknya.
“Temen kecil mama mana?”
“Gak usah ditambahin kata ‘kecil’!”
“Sini, mama bantu.”
Diana
mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah
itu Diana berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu
menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Diana lalu menggesek –
gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh
Diana.
“Ayo goyang duyu…”
“Mama kok kejam gitu sih?”
“Biar kejam, tapi efektif kan.”
Setelah
benjolan itu tak lagi membesar, Diana menghentikan aksinya. Diana
kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di
celana anaknya. Setelah itu Diana memegang bahu anaknya dan memutar
tubuh anaknya lalu mendorongnya.
“Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh.”
Dana membuka pintu.
“Pak ini pesanannya,” kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Dana, dari atas hingga ke bawah.
“Oh ya, jadi berapa?”
“Jadi sekian.”
Dana
mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan
oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu
diterima oleh Dana, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana
Dana hingga melorot sampai ke bawah. Dana langsung memberikan uang ke
pengantar makanan sambil meminta maaf. Setelah itu Dana langsung menutup
pintunya.
Terdengar suara tertawa dari luar rumah.
Saat akan melangkah, Dana terjatuh dengan celananya masih melorot.
“Sini mah, Dana mau bunuh mama!”
Diana pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Diana melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Dana.
“Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong.”
Dana
kini ada di sisi meja sedangkan Diana di sisi sebrangnya. Mereka saling
melotot. Saat Dana berjalan ke arah kanannya, Diana pun melangkah ke
kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.
“Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!”
“Enggak dong, pemburu selalu punya rencana.”
“Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!”
Dana
menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Diana untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci
pintunya.
“Kuat berapa lama di dalam mah?”
“Sampai ada kesepakatan.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama.”
“Oh ya semoga beruntung.”
“Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong”
“Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Dana, pasti kelihatan bodoh.”
“Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata - katamu.”
“Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?”
“Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak.”
“Meski gak ada makanan?”
“Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok.”
“Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang.”
“Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras.”
“Terus kenapa?”
Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.
“Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja.”
“Caranya?”
“Percaya saja.”
“Enggak ah.”
“Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata.”
“Jangan main – main lagi.”
Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Diana menatap anaknya yang masih berdiri.
“Tuh kan, kamu masih keras.”
“Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?”
“Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur”
Dana melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.
“Ingat
gak aturannya?” kata Diana sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan
memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya
sempurna.
Dana terlihat bingung melihat mamanya mendekat.
Setelah dekat, Diana berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah
duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk
menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Diana meraih tangan Dana dan
meletakkannya di pahanya.
“Kamu hanya boleh sentuh paha,” kata Dana sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.
“Oh tuhan,” kata Dana sambil menarik nafas.
Diana
bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Diana meletakan tangan
di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak
teratur, Diana bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya
kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.
“Oh…”
Tubuh
Diana tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar
panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala
Diana berbalik menatap anaknya.
“Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi.”
Dana hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.
“Mama udah lapar nih.”
Diana
lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan
keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Diana
pun dilepas.
“Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk.”
#####
Diana dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.
“Selamat datang, mau pesan apa?”
Suara
pelayan terdengar familiar di telinga Dana. Dana menoleh untuk
melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut.
Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak
seperti pelayan dan anaknya, Diana malah tertawa – tawa.”
“Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini.”
“IYa, kami bosan makan di rumah.”
“Mau pesan apa?” kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.
“Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?”
Dana hanya mengangguk tanpa berkata. Dana malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.
“Segera.”
Setelah
pelayan itu pergi, Diana menatap anaknya. “Apa pun yang terjadi, kamu
jangan panggil mama. Panggil aja Diana. Jangan ada yang tau aku mamamu,
Paham!”
“Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?”
“Itulah
yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk
makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun
pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu.
Tunggu di sini.”
Diana berjalan menuju toilet, di tengah
jalan, Diana berpapasan dengan pelayan tadi. Diana hanya tersenyum namun
Dana terlihat semakin gugup dan atau malu.
Diana kembali
ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Dana
menyedot minumannya, Diana lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat
Dana tersedak. Dana melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.
“Biarkan itu terus di meja, berani gak?”
“Mama mau ngapain?”
“Senang - senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu.”
Namun Dana malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Diana hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.
“Dasar mama gila.”
“Hehehe.”
Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.
“Maaf, sudah siap pesan?”
“Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?”
Diana tertawa, “bolehlah.”
“Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?”
“Boleh.”
“Ada yang lain lagi?”
“Tidak.”
“Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya,” kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Dana.
Setelah
pelayan itu pergi, Diana membungkuk hingga kepalanya agak mendekati
anaknya, “dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana
kamu menyentuh wanita seusia mama.”
Dana menyemburkan minuman dari mulutnya.
“Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?”
“Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?”
“Pantes saja.”
“Mama
dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi
pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya
papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal
baru. Intinya adalah komunikasi.”
Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Dana.
“Jadi, ‘Diana’ ini biasa seperti ini dulu sama papa?”
“Mama
rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa
seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini
hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih
hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini.”
“Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa.”
Sekarang Diana yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.
“Ini
makanannya, silakan.” Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya
tak berhenti bicara. “Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia
tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?”
“Baru tujuh belas.” Kata Dana.
“Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini,” jawab Diana sambil tersenyum.
Pelayan
itu menggeleng, “Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat
bahagia.” Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi
menjauh.
“Mama ternyata suka mengambil resiko.”
“Mama
dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat
mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa
berdebar – debar?”
“Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati.”
“Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati.”
Aroma
makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap.
Makanan pun habis. Diana berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan
itu menghampiri meja, Diana menyapanya.
“Terimakasih untuk pelayanannya sayang.”
Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Dana menatap mamanya.
“Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?”
Diana
tersentak. Diana menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu.
Setelah melihat keadaan, Diana kembali menatap anaknya sambil
menyeringai. Diana lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.
Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.
Diana langsung duduk di belakang kemudi. Diana lalu menurunkan jendela di pintu kiri.
“Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu.”
Dana menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.
“Lepas juga dong celana pendekmu?”
“Siap,tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Dana ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?”
Dana
sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata
setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di
rumah.
Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari
mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak
tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Diana menatap
anaknya.
“Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?”
“Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?”
Diana tertawa, “bener – bener cabul.”
“Kan belajar dari ahlinya,”kata Dana sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.
“Sialan mama. Dasar eksibisionis.”
“Ya ya ya … kata orang yang tak bercelana,” kata Diana, tertawa sambil keluar dari mobil.
“Ya ya sekarang waktunya tampil. Dana ingin pantat itu siap.”
“Saatnya anakku kerja,” kata Diana berjalan sambil melepas pakaiannya.
Dana mengikuti mamanya dari belakang, “Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?”
“Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap.”
“Oh iya.” Seringai Dana.
Diana
beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri
sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Dana duduk
di kasur menunggu mamanya muncul.
“Oh, mama cantik sekali.”
“Makasih.”
Diana terlihat cantik memakai lingerie hitam.
“Kamu suka?”
“Iya mah.”
Diana
lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati
anaknya, Diana menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.
“Temen kecil bertemu temen palsu.”
Setelah itu Diana naik ke kasur dan terlentang.
“Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?”
“Dilepas aja mah.”
“Ya udah sini bukain dong.”
Dana
tertegun. Dana mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya
mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Dana pada pinggul mamanya membuat
mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Dana lalu
menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Diana kembali
diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya
terlepas seluruhnya. Dana menaruh cd itu di kasur.
“Makasih.”
Setelah
itu Diana mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang
dirasanya sudah mulai basah. Diana lalu diam, menatap anaknya.
Dana tertawa seolah disadarkan, “Oh iya, kamera. Duh.”
Dana lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. “Oke, action.”
Diana
kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak
butuh waktu lama bagi Diana untuk mencapai orgasme hingga erangan Diana
makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Diana
berbaring sambil terengah – engah.
Diana lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.
“Mama tantang kamu jilatin ini.”
“Apa?”
“Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya.”
Dana terlihat ragu. Namun akhirnya Dana mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Dana mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.
“Papamu dulu suka banget rasanya.”
Meski masih terlihat ragu, namun Dana menjulurkan lidah sambil menutup matanya.
“Okelah.”
Dana
lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya
sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya.
Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur
dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Dana sendiri. Dana pun
merebahkan dirinya di kasur.
Melihat anaknya berbaring di
sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Diana membungkuk dan mencolek
peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya
hingga bersih.
“Mmmhhh… rasanya beda sama rasa papamu.”
Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Diana menyeringai sambil menatap anaknya.
“Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?”
Diana tertawa menyadari anaknya terkejut. Diana lalu bangkit menuju kamar mandi.
“Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu.” Kata Diana sambil menutup kamar mandinya.
Dana hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
Home
Cerita Eksibisionis
Diana
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Diana : Ibu Eksibisionis | Cara Memotivasi Anak IV
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar