Cerita Eksibisionis & Incest : Rasti, Ibu Binal 13a

Berita ditahannya Norman membuat Rasti shock dan sedih bukan kepalang. Betapapun bengalnya, Norman adalah putranya juga. Rasti menjadi lebih tegang lagi ketika tahu penyebabnya adalah kekerasan yang terjadi di kompleksnya sendiri. Hari itu suasana ceria berubah menjadi serba canggung dan kelam. Teman-teman Tedi merasa tidak enak, mereka pun tahu diri dan segera pamit, sementara Rasti dan Tedi bersiap-siap hendak pergi ke kantor polisi.

Di kantor polisi, Rasti dan Tedi mendapat informasi lebih lanjut. Teman-teman Norman menganiaya seorang satpam di kawasan kompleks tempat tinggal Rasti. Dan kejadiannya adalah dini hari menjelang fajar tadi setelah mereka meninggalkan rumah Rasti. Saat mereka hendak meninggalkan komplek, tampaknya salah seorang dari mereka ditegur oleh satpam komplek. Entah apa masalahnya, yang jelas teman Norman itu tidak terima, begitu juga teman-temannya yang lainnya. Akhirnya satpam itu dikeroyok 9 teman Norman sampai luka parah dan masuk ICU.

Bagaimana dengan Norman? Norman sendiri sebenarnya mengaku tidak ikut menganiaya, dan Rasti percaya. Kepercayaan Rasti ini bukan semata pembelaan buta seorang ibu pada anaknya secara emosional, tapi memang Rasti tahu bahwa Norman sendiri kenal baik pada satpam di komplek ini. Norman sering nongkrong bareng mereka di pos, merokok bareng, main catur, dan sebagainya. Jadi sulit dipercaya kalau Norman ikut menganiaya. Tapi apa daya, semua yang ada waktu itu diciduk, dan demi solidaritas, Norman merasa tidak nyaman jika dia mengelak sendiri.

Masalah ini kemudian berkembang di hari-hari berikutnya. Tidak hanya berhenti di Norman saja, tapi lebih runyam lagi bagi Rasti.Keberadaan Rasti di komplek perumahan itu jelas disorot lagi oleh penduduk sekitar. Dari yang paling benci, yang cuma nyinyir-nyinyir, sampai yang sekedar komentar. Semuanya bicara. Intinya Rasti dipergunjingkan. Dan semodern dan sebebas-bebasnya masyarakat di situ, sejauh ini yang ada paling pol hanyalah pembiaran. Bukan pembenaran, apalagi pembelaan. Selama ini Rasti mawas diri dan merasa cukup dengan sekedar pembiaran. Tapi kini, pembiaran yang sebenarnya tidak gratis itupun mulai hilang. Suara-suara sinis lebih sering terdengar, terlebih yang nyata-nyata membencinya, suaranya jelas yang paling lantang.

“Ibunya lonte, anaknya preman! Sampah masyarakat! Udah usir saja, kalo perlu penjara sekalian ibunya!”
“Tadinya sih gue cuek aja, tapi kalo udah nimbulin rusuh ya ga bisa dibiarin!”
“Namanya juga lonte, gimana diarepin bisa ndidik anak dengan bener”
“Sekarang pengeroyokan, bisa jadi besok-besok ngerampok. Siapa yang bisa jamin besok rumah kita aman? Satpamnya aja dipukulin! Gila gak tuh?”
Semua suara-suara miring itu kali ini benar-benar tidak bisa dibendung. Rasti benar-benar tertekan dan sedih. Apakah dirinya sesalah itu?? Begitu hinakah dirinya menjadi seorang lonte??

Proses pengadilan dan pra penahanan Norman benar-benar melelahkan dan penuh tekanan. Tapi semua Rasti lalui dengan tabah dan sabar. Tentu dengan Tedi yang selalu mendampingi di sisinya. Pada akhirnya jatuhlah vonis pada Norman dan semua teman-teman gengnya. Ya, kasusnya berkembang hingga menyeret seluruh anggota geng yang diikuti Norman. Agaknya geng itu sudah memiliki banyak catatan kriminal dan menjadi target operasi. Berakhirnya proses ini cukup melegakan Rasti, meski dia tetap sedih karna Norman harus menjalani hukuman selama 3 tahun. Sebenarnya, Norman termasuk di bawah umur. Dalam aturan hukum banyak keringanan yang bisa didapatkan oleh Norman. Banyak proses yang bisa ditempuh Rasti untuk mengupayakan itu, dan Rasti pun menempuhnya demi Norman. Tapi pada akhirnya semua proses itu malah membuat perasaan Rasti makin tersiksa. Jelas keluarga Rasti bukanlah keluarga normal. Rasti adalah seorang lonte. Pelacur. Norman dan semua anak-anaknya lahir tidak jelas dan dibesarkan tanpa sosok seorang ayah. Rasti tidak punya pendidikan, dan dia pun tidak bisa mendidik Norman dengan baik, sampai Norman ikut geng dan melakukan premanisme. Dan sebagainya dan seterusnya. Intinya, semua cerita tentang Rasti yang melingkupi kondisi Norman saat itu membuat semua proses yang ditempuh Rasti menemui jalan buntu. Sudah begitu, kondisi Rasti malah makin terekspos dan Rasti makin dihujani dengan cibiran, caci maki dan hujatan-hujatan.

Rasti benar-benar terpuruk saat itu.
Untuk sementara waktu Rasti memutuskan untuk berhenti menerima tamu. Tedi juga melarang Riko, Romi dan Jaka untuk main ke rumahnya dulu untuk sementara waktu. Tentu ini berat bagi mereka, tapi mau bagaimana lagi, situasi memang tidak memungkinkan juga bagi mereka untuk terus mengharapkan kesenangan dari Rasti yang kini sedang dirundung duka dan masalah.

***



Hari demi hari berlalu, bagaimanapun Rasti tidak ingin terus menerus sedih dan terpuruk. Dengan dihibur Tedi dan juga melewati hari demi hari dengan lebih dekat pada anak-anaknya yang lain, sedikit demi sedikit Rasti pulih dan bisa ceria lagi. Meski begitu, Rasti memilih menghabiskan waktu selanjutnya bersama keluarganya saja untuk sementara waktu. Ya, Rasti masih tidak menerima tamu hidung belang. Riko, Romi dan Jaka pun masih dilarang Tedi untuk datang. Meskipun sebenarnya Rasti tidak keberatan dengan mereka ini. Bahkan Rasti pun sempat kangen dan menanyakannya pada Tedi.

“Temen-temenmu kok ga pernah main lagi sayang?”
“Emang Tedi suruh jangan main dulu ma…”
“Lho emangnya kenapa sayang? Mama ga apa-apa kok…”
“Ah mereka itu main ke sini ntar paling cuman pingin ngecengin Mama aja…”
“Hi hi hi… jangan gitu sayang, Mama yakin kok mereka anak-anak baik kok, bisa lihat-lihat kondisi… Lagian mama juga suka kok dikecengin, he he he...Tingkah mereka itu jadi hiburan juga lho buat Mama…”
“Yaa ntar deh coba Tedi tanya… Kalo mereka mau main nanti Tedi biarin…”
“Iyaa disuruh main aja sayang, mama sudah ga apa apa kok…”

Beberapa hari kemudian Rasti minta diantar Tedi dengan mobilnya untuk menengok Norman ke penjara. Di penjara, Rasti dan Norman bercakap-cakap di suatu ruangan yang memisahkan antara pengunjung dan tahanan. Penjara atau lapas ini adalah bangunan baru yang sebenarnya diperuntukkan sebagai lapas khusus pelaku kriminal di bawah umur, alias anak-anak. Tapi sistem hukum yang masih kacau, dan juga fasilitas Negara yang masih terbatas, membuat lapas yang tidak terlalu besar ini dihuni tahanan-tahanan yang dewasa juga.

Sejak ketemu, Rasti langsung menyadari sesuatu yang lain di wajah Norman. Ada sedikit lebam di pipi kirinya. Jelas Rasti langsung panik. Ia langsung menanyakan apa yang terjadi. Norman pun curhat bahwa di awal memang sempat ada pembully-an. Ia dimasukkan ke dalam sel bersama dengan 4 orang napi dewasa yang sudah mendekam di sana paling sebentar satu tahun. Sebagai anak baru, wajar Norman dibully. Tapi Norman menyuruh Mamanya tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu. Meski begitu tetap saja Rasti gusar, ia beralih menanyai kabar anaknya itu, kesehatannya, makan teratur atau tidak, kesehariannya di sana, dan sebagainya, layaknya seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya. Norman menjawab semua pertanyaan itu sekenanya saja. Terlihat sekali ia juga sedang risau akan suatu hal. Rasti pun jadi mengungkit soal pembully-an itu.

“Iya kan keliatan banget kamu pasti tertekan di dalam sana… Walau wajar ya tetep ga bisa dibiarin kalo bullynya sampai pake kekerasan fisik begitu…!”
“Yaelah Ma, namanya juga di penjara… ini bukan sekolahan Ma…”
“Tapi kan kamu bisa lapor, Mama juga akan bantu ngurusin hal ini ke sipir… Pokoknya Mama akan ngelakuin apapun…”
“Udah Ma, semua bisa Norman atasi kok…”
“Ah, tapi keliatan banget tu kamunya…”

“Soal bully, Norman sudah atasi, pokoknya Norman ga bakal dibully lagi. Sekarang tu Norman kepikirannya sama hal lain!”
“Kok bisa? Ngatasin gimana maksudnya? Trus kamu punya masalah lain apa?”
“Ya caranya ada aja deh, nanti Mama juga tahu sendiri… Ini ada kaitannya sama masalah Norman itu.”
“Iya, kamu kepikiran apa sayang?”
“Menurut Mama apa? Ya Norman kangen sama Mama…!”

Terdiam sejenak Rasti mendengar jawaban Norman. Wajahnya langsung tersipu. Pipinya merona merah, membuat Norman makin gemas memandanginya. “Duuh kamu ini… Ya iyalah, Mama juga kangen kamu sayang, tapi ya gimana lagi… kan Ma…”
“Norman kangen, pingin ngentot!” Ujar Norman memutus kata-kata Rasti.
Terdiam lagi Rasti mendengar kata-kata anaknya itu. Kali ini agak kaget juga, Rasti gugup menengok kanan-kirinya takut ada yang mendengar. Ia benar-benar tidak menyangka Norman akan mengucapkan kalimat sevulgar itu. Rasti berpaling ke Norman lagi. Wajahnya tambah memerah.

“Iih, kamu ini kok sempat-sempatnya mikir gituan sih…? Dasar.”
“Yaelah Ma, justru itu satu-satunya hal yang paling Norman pikirin sejak Norman ditahan. Norman ga takut sama penjara, tapi takut ga bisa ngentot sama mama lagi! Seminggu aja gak ngentotin Mama, Norman pusing… Apalagi kalau harus bertahun-tahun!”
Rasti jadi salah tingkah. Sekali lagi dia tengok kanan kiri. “Udah ah jangan ngomongin itu…”
“Iya Ma, Norman juga ga mau ngomongin itu. Norman maunya langsung ngentot aja, yuk…”
“Sayang… Bercandanya jangan gitu ah…”
“Mama gak kangen sama Norman?”

“Iih kamu… Iya deh sayang, mama juga kangen kok, tapi kan salahmu sendiri. Lagian bukannya ga bisa seterusnya kan? Nanti kalo kamu udah bebas kan bisa 'gituan' lagi sama mama...Ya udah deh sekarang kamu puasa kayak abangmu… Nunggu umurmu 18 tahun yah? He he he…” Akhirnya Rasti terbawa obrolan Norman, tapi belum berani mengucapkan ngentot dengan vulgar. Rasti benar-benar mengira Norman bercanda sampai kemudian Norman menegaskan dia tidak sedang bercanda. Ya, Norman benar-benar serius minta ngentot! Jelas Rasti bingung, mana mungkin mereka bisa melakukan hal seperti itu di sini.

Tedi yang sejak tadi duduk di kursi tunggu dan tidak ikut ngobrol, kini melihat gelagat Mamanya yang berubah. Penasaran tentang apa yang diobrolkan Mama dan adiknya itu, dia pun berdiri dan mendekati Rasti. Walhasil dia jadi ikut mendengar hal di luar dugaan yang dijelaskan Norman kepada Rasti. Ternyata Norman sudah mengaturnya. Dia sudah kong kali kong dengan beberapa petugas penjaga lapas. Ada ruangan khusus yang bisa dipakai untuk melakukan ‘itu’. Dan hal itu memang sudah biasa di dalam penjara. Tapi untuk mengakses itu memang tidak gratis. Imbalannya? Awalnya memang uang yang diminta. Tapi begitu Norman menunjukkan foto Rasti pada penjaga, kompromi pun terjadi. Ya, apa lagi kalau bukan Norman menawarkan Rasti pada mereka? Dan jelas mereka mau! Ya, Norman sudah menjanjikan para sipir dan penjaga di sana untuk bisa ikut ‘nyicipin’ mamanya itu. Rasti hanya tertegun saja mendengar semua cerita Norman. Apalagi ternyata Norman belum selesai. Ia lalu melanjutkan, “Sama teman-teman sel Norman juga Ma... Tadi kan Norman udah bilang, soal bully Norman udah atasin. Makanya kan ini ada hubungannya juga sama itu, jadi… Asal Mama mau, Norman ga bakal dibully lagi deh sama mereka.”

Rasti menelan ludah mendengar penjelasan terakhir Norman ini. Ya Rasti tahu arah pembicaraannya. Benar-benar tidak masuk akal. Rasti benar-benar gusar, bagaimana Norman bisa mengatakan semua itu dengan tenang dan datar, seolah itu hal yang biasa saja. Menawarkan Mamanya sendiri pada sipir penjara dan para napi!

“Kamu bercanda kan sayang?” Ucap Rasti masih tak percaya. Tedi sendiri di belakang Rasti jelas tidak habis pikir dengan apa yang barusan diceritakan adiknya. “Lo ga usah aneh-aneh deh Man…” Hardiknya kesal.
“Yee abang, gue serius. Lo sih ga tau rasanya di dalem sini. Norman serius Ma…!”
“Jangan Ma...” Bisik Tedi. Rasti sendiri terlihat bimbang dan ragu. Sekali lagi dia tengok kanan-kiri, melirik ke dalam melihat petugas yang berjaga di balik pintu. Ternyata penjaga itu mengawasinya dari tadi. Dia tersenyum cabul memandangi Rasti, satu tangannya diangkat, tangan itu seolah sedang menggenggam sesuatu yang kemudian dimasukkan ke mulutnya, lalu lidahnya mendorong dinding pipinya dari dalam sehingga dari luar pipinya terlihat menggembung seolah benda yang digenggam tangannya itulah yang mendorong pipinya. Ya, penjaga itu memperagakan adegan blowjob dan menunjukkannya pada Rasti! Darah Rasti langsung berdesir melihatnya. Wajah ayunya merah padam malu, jantungnya berdebar. Gugup.

“Ka… Kamu yakin sayang? Beneran bisa begitu?” Rasti malah bertanya lagi ke Norman. Selain karena masih ragu untuk melakukan hal seperti itu di sini, dia juga tidak percaya kalau Norman bisa bersepakat seperti itu dengan para penjaga.
Rasti menggenggam tangan Tedi yang masih terlihat sangat gusar. Dari sentuhannya Tedi mengerti Mamanya ingin ia menahan diri dari memarahi Norman. Tedi pun ngalah seperti yang sudah-sudah.

“Iya Ma… ayuk dong… Norman kangen nih ngentotin mama, hehe…”
“Mama juga kangen sih. Tapi, duh… masa di sini sih sayang? Sekarang?”
“Iya sekarang, tapi gak di sini Ma”
“Terus?”
“Mama mau lihat tempatnya Norman nggak?”
“Hah? Maksud kamu… mama ikut kamu ke…”
“Hehe, ayo dong ma…” ucap Norman bangkit dari tempat duduknya lalu mengedipkan matanya pada penjaga di sana. Penjaga itu tersenyum dan berjalan menghampiri Rasti. “Ayo non…” Bisik penjaga itu sambil menunjuk ke arah pintu masuk. Rasti terlihat gugup. “Eehh… bentar… bentar…” ucapnya, lalu menarik Tedi menjauh dan mengajaknya duduk di kursi tunggu. Penjaga itu membiarkannya saja. Dia dan Norman saling tersenyum dan memberi kode. Norman pun lalu berlalu, kembali ke selnya dengan diantar seorang penjaga.

“Mmm… Sayang……” Bisik Rasti pada Tedi. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi bingung. Tedi sendiri masih terlihat gusar menunggu apa yang hendak dikatakan Rasti. Dia tahu mamanya itu cenderung pada memenuhi keinginan Norman lagi.
“Kamu marah ya kalau Mama turutin adekmu lagi…?” Tanya Rasti.
Tedi membisu. Bingung dia harus menjawab sesuatu yang seharusnya sudah jelas. Tapi raut wajah Mamanya membuat Tedi trenyuh.
“Maafin Mama ya sayang, kalau perlakuan Mama ke kalian beda. Kamu pasti kesal sekali ya sama Mama… Sama adikmu… Mama ga pernah bisa tegas ke Norman. Mama kasih Norman apa aja yang dia mau… Mama nggak adil, pilih kasih…”
“Stop Ma… Jangan ngomong gitu…”

“Mama sungguh nggak tahu sayang, yang jelas Mama sayang sama kalian semuanya tanpa kecuali! Mama ga tahu… Mama memang ga pintar ngurusin anak… Maafin Mama sayang…”
Tedi sungguh menangkap raut wajah Mamanya yang kalut. “Udah Ma, kalo mau, masuk sana…” Bagaimanapun juga Tedi tetap kesal dan ketus. Sikap Tedi ini membuat Rasti makin bimbang. Dia hendak menjelaskan alasannya, betapa Norman dibully dan dipukuli di dalam sana, tapi Rasti sendiri sebenarnya tidak yakin dengan motivasinya. Apakah sebenarnya dia hanya kangen saja dientot oleh Norman? Mengingat belakangan ini selama beberapa hari dia tidak melakukan hubungan seks sama sekali. Ya, Rasti sendiri mengakui bahwa dia sudah ingin kembali. Menjadi lonte lagi. Memuaskan nafsu banyak laki-laki lagi. Binal lagi.

Pada akhirnya Rasti mengatakan tegas pada Tedi. Jika Tedi melarang, Rasti janji akan menurutinya. Tedi yang disuruh menentukan, malah bingung dan salah tingkah, serba salah. Tapi setelah menimbang-nimbang, Tedi memutuskan untuk mengijinkan Mamanya. Wajah Rasti langsung sumringah. Ia pun memeluk dan mencium Tedi senang. Bertepatan saat itu, petugas lapas yang menungguinya menghardik kasar. “Lama amat lu ngobrolnya lonte?! Mau masuk nggak nih? Lonte aja pake diskusi, buang-buang waktu aja lo! Cepetan!” Kebetulan saat itu ruang sudah sepi, sudah tidak ada lagi pengunjung, pantaslah si penjaga berani mengucapkan kalimat vulgar seperti itu. Kalimat yang seharusnya menyakitkan hati, tapi malah membangkitkan karakter binal Rasti kembali. Yes, she’s back.

Rasti menyuruh Tedi pulang duluan, tak perlu menunggu karna nanti Rasti bisa pulang naik taksi. Rasti lalu berdiri dan tersenyum manis pada penjaga, memberi kode bahwa ia telah siap. Penjaga yang tadinya menghardik Rasti dengan kasar itu ternyata kini malah gelagapan oleh pesona Rasti. Mupeng berat dengan hanya satu jurus senyuman maut saja. Rasti tertawa kecil melihatnya. “Ayo pak…” ucapnya genit.

Rasti kemudian dituntun masuk ke dalam lingkungan penjara. Ia yang sebenarnya masih agak bingung dengan kata-kata terakhir Norman tadi, kini nurut-nurut saja mengikuti ke mana si penjaga akan membawanya. Memasuki bagian dalam bangunan lapas ini benar-benar seperti memasuki lingkungan yang angker. Mereka berpapasan dengan seorang penjaga lagi yang tadi mengantar Norman. Kini Rasti berjalan dikawal dua penjaga. Ternyata dugaannya benar. Dia akan dibawa ke selnya Norman! Gila, apakah ia akan melakukannya di sana? Deg-degan sekaligus antusias Rasti memikirkannya.

Dalam bangunan lapas yang tidak terlalu besar itu ada sekitar 60-an sel yang masing-masing kapasitasnya 4 sampai 5 orang tahanan. Sel-sel itu terbagi ke beberapa sektor yang mengacu pada lorong-lorong yang ada di dalam bangunan ini. Pembagian sektor itu juga mengacu pada usia tahanan, tapi entah bagaimana pembagian dan berapa angka usia yang menjadi pembatasnya, yang jelas Norman yang berusia 14 tahun kini ada di Sektor C. Untungnya sektor ini cukup strategis letaknya sehingga untuk menuju ke sana Rasti tidak harus melewati sektor-sektor lainnya. Hanya saja, untuk menuju sel Norman yang ada di ujung lorong, jelas Rasti harus melewati sel-sel lain yang ada di sektor ini.

Sampai di muka lorong Sektor C, jantung Rasti makin berdebar-debar. Apalagi dua orang penjaga yang mengantarnya kemudian berbisik-bisik, mereka berinisiatif menggoda dan mengerjai Rasti dengan tidak mengantarnya masuk. Dari luar lorong, penjaga itu hanya menunjukkan posisi sel Norman yang di ujung itu. Kedua penjaga itu menganggap pakaian Rasti begitu seksi. Padahal bagi Rasti itu pakaian yang sangat biasa, sama sekali tidak bitchy, bahkan cenderung elegan. Rasti mengenakan gaun satin terusan berwarna hitam polos. Memang gaun itu tanpa lengan dan bagian lehernya agak lebar, potongan bawahnya pun 20 cm di atas lutut, walhasil kulit putih bersih Rasti memang cukup terekspos menggugah selera. Lagipula sosok wanita secantik Rasti tetap adalah pemandangan indah yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah ada di dalam sebuah bangunan penjara seperti ini. Dengan menyuruh Rasti masuk sendiri, penjaga itu ingin melihat seperti apa reaksi mupeng para napi dari balik selnya begitu melihat Rasti.

“Ayo masuk ke sana Non… he he he…”
“Hah, saya masuk sendiri pak?”
“Iya Non, jangan takut, aman kok.”
Rasti meneguk ludahnya, ia menatap ke dalam lorong itu dengan ragu-ragu. Lorong itu buntu, panjangnya mungkin sekitar 15 meter dan lebarnya sekitar 2 meter. DI kanan kirinya berderet sepuluh sel. Lima di kiri dan lima di kanan. Sel Norman ada di ujung sebelah kanan. Sungguh suasana baru bagi Rasti yang lagi-lagi terkesan sangat angker baginya. Terbesit perasaan prihatin memikirkan Norman harus tinggal di sini selama 3 tahun ke depan.

“B... Baik pak, saya masuk ya… mmm, lalu kuncinya?”
“Nanti kami buka dari sini, pake sistem non, he he he… Udah sana, kasihan udah pada nunggu tuh di sel. Ha ha ha…”
Rasti pun melangkah masuk dengan perasaan berdebar-debar dengan diawasi dua orang penjaga yang cengengesan. Rasti melangkah pelan dan baris sel pertama pun dilewatinya.
Sejurus kemudian terdengar satu suara lantang. “Wuih ada yang bening-bening nih… Cakep…!” Rasti menelan ludahnya. Dadanya makin berdebar. Dia terus berjalan tak berani menoleh ke arah suara.
“Woy, liat nih coy, jangan tidur aja lo…!” Satu suara lagi terlontar. Terdengar suara berisik dan gumaman-gumaman, lalu kemudian setelah itu suara demi suara berikutnya langsung riuh bersahut-sahutan tanpa jeda.
“Apaan??”
“Anjrriiittt! Ada bidadari kesasar!”
“Duuh, siapa namanya neng? Sini dong… mampir tempat abang!”
“Duilee mulusssnya coy!”
“Kok bisa ada cewek cakep di sini sih? Ada yang manggil lonte ya!?”
“Duh, gue udah lama gak ngentot nih… ngentot yuk neng!”
“Suiitt suiiittt!”

Hanya dalam sekejap lorong itu langsung dipenuhi seruan seruan cabul para penjahat di sana.Tangan para penghuni sel itu memukul-mukul teralis sel mereka membuat keributan. Sebagian besar tangan-tangan kasar mereka menjulur keluar juga berusaha meraih Rasti, tentu tangan mereka tidak cukup panjang untuk dapat menjangkau Rasti yang berusaha berjalan di tengah lorong selebar2 meter itu. Perasaan Rasti benar-benar campur aduk saat ini. Ini benar-benar sensasi yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Dia mulai berani menoleh dan melemparkan senyum ke kanan dan kirinya, Rasti sengaja berjalan pelan melewati lorong itu. Ya, kini dia malah tebar pesona! Ah, bangganya perasaan Rasti saat itu. Naluri binalnya kembali meluap-luap.

“Aduh neng, manisnya…”
“Sini dong neng…!”
Seruan seruan kasar dan cabul terus dilontarkan para penghuni sel yang mupeng itu.
Penjaga yang mengawasinya di depan lorong tertawa-tawa melihat dan mendengar semua reaksi yang sesuai dugaan mereka ini. Benar juga, kayak binatang peliharaan yang kelaparan gara-gara seminggu tidak dikasih makan! Hua ha ha ha, mupeng mupeng deh lo! Pikir mereka yang sebenarnya juga mupeng berat dari tadi. Tapi sesuai perjanjian memang giliran mereka baru setelah Norman. Yah, tak apa, toh tetap dapat jatah. Wanita secantik Rasti memang layak diantri. Rasti sendiri kini malah makin penasaran dan terangsang. Cairan pelumas di dalam memeknya bahkan sudah mulai membasahi dinding-dinding liangnya. Tiba-tiba timbul sifat iseng dari Rasti. Setelah sampai di barisan sel ketiga, terbesit di benaknya ingin mengerjai kedua petugas itu juga. Sambil menengok menebar senyum pada napi di sel sebelah kiri, langkahnya menjauh ke arah kanan. Benar-benar terlihat seperti tidak sadar Rasti melakukannya sehingga tubuhnya makin mendekat ke sel di sebelah kanannya. Penjaga yang melihatnya jadi panik.

“Aduuh, itu non… jangan dekat-dekat…!” Serunya tertahan. Terlambat, satu tangan kasar napi di sel keempat sebelah kanan berhasil meraih tangan Rasti. Tangan itu dengan cepat menarik Rasti, “Kyaaa…!” Pekik Rasti kaget, meskipun inilah yang diinginkannya. Tubuh mulus Rasti kini menempel rapat di jeruji sel yang dingin itu. Beberapa tangan dari dalam sel langsung sigap menahan tubuh Rasti sehingga Rasti tidak bisa melepaskan diri dan lari menjauh. Jadilah di situ Rasti langsung digerayangi berama-ramai dari dalam oleh tangan-tangan lainnya, tubuhnya dicium-cium oleh penjahat di sana. “Adduuh lepasin bang… toloong…!” Ucap Rasti sambil meronta. Pakaiannya bahkan ditarik-tarik hingga sobek! Benar-benar liar! Benar-benar seperti yang dipikirkan kedua penjaga tadi. Para napi bagai hewan liar di kebun binatang yang memperebutkan makanan dari dalam kandangnya.

“Jangan bang… Aduuhh… Jangan… Kyaa… sakit dong, aahhh… jangan disobek…!” Jerit Rasti sejadi-jadinya padahal sebenarnya dia menikmati keisengannya ini. Breeettt! Breett! Gaun Rasti sobek parah di bagian dada dan pahanya. Bahkan bra mahal Rasti dibetot dengan kasar hingga putus dan satu payudara Rasti jadi terekspos bebas. Walhasil payudara yang naas itu menjadi rebutan tangan-tangan liar para napi. “Aahhh sakit bang… Jangan… Aduuhh…!” Habis sudah payudara Rasti dIremas dan dicubit-cubit dengan gemas. Putingnya ditarik sampai Rasti merasa kesakitan.

“Anjrriitt mulus abiss!”
“Aduuh non cantiknya!”
“Masuk sini non, bobo sama abang!”
Kedua penjaga itu tepuk jidat, mereka panik, buru-buru masuk dan berusaha membebaskan Rasti dari tangan-tangan ‘ganas’ para penjahat yang mupeng itu. Seluruh lorong bergemuruh ribut, bersorak, sedangkan Rasti malah berteriak girang dalam hati. Dengan tongkatnya kedua penjaga itu memukul-mukul teralis sel keras-keras. “Traang! Traang!”

“Woi lepasin! Lepasin sekarang juga! Dasar anjing kelaperan lo pada ya!” Bentak kedua penjaga itu, seraya memukuli tangan-tangan napi yang menggerayangi dan menahan tubuh Rasti. Tidak lama tubuh Rasti benar-benar lolos dari mereka. Dengan manja Rasti menggelayut di samping penjaga.

“Aduh, makasih pak…” Ucapnya manja.
Glek. Kedua penjaga itu menelan ludah berkali-kali melihat kondisi Rasti sekarang yang sebelah payudaranya sudah terekspos bebas. Meski tangan Rasti berusaha menutupinya, tetap saja itu jadi pemandangan yang luar biasa menggoda bagi mereka. “I… iya, non sih gak ati-ati… udah buruan masuk situ…” Ucap salah seorang penjaga gugup sekaligus kesal. Ia langsung menuntun Rasti ke depan sel Norman. Penghuni sel Norman yang dari tadi sudah mengintip berjejer dari selnya benar-benar terlihat tidak sabaran.

“He he he, akhirnya dateng juga nih paket spesialnya, nyantol di mana sih tadi? Buruan pak dimasukin!” Ucap salah seorang yang paling jangkung di antara mereka. Norman sendiri sok cool dengan duduk tenang menunggu di atas tempat tidurnya. Rasti pun ‘dijebloskan’ ke dalam selnya Norman. “Ha ha ha… Selamat menikmati! Jangan pake lama…!” Ucap seorang penjaga sambil mengunci pintu sel mereka sebelum kemudian pergi meninggalkan Rasti di dalam situ. “He he, ga janji ya bos? Kalo ginian sih harus diabisin pelan-pelan nih…” Balas salah seorang teman Norman.

“Sialan belagu lo… ya udah terserah… Paling juga ga tahan lama lo.”
“Berisik woi!” hardik penjaga ke para tahanan di sel lain yang masih saja berteriak-teriak ribut. Tentunya hardikan penjaga itu tidak cukup untuk membuat mereka diam. Tapi toh penjaga itu tidak ambil pusing lebih lanjut dengan keributan itu. ‘Teriak teriak deh lo sepuasnya… Lo pikir dengan teriak bisa ngecrot…? Ha ha ha, goblok!’ Pikir si penjaga sambil berlalu pergi.

Di dalam sel, Rasti dan teman-teman satu sel Norman kini saling mengamati. Rasti dengan canggung melihat satu persatu wajah 4 teman Norman yang jauh dari standar ganteng. Secara usia, semua terlihat lebih tua dari Norman. “Duh, anakku yang paling cakep di sini,” batin Rasti geli. Sementara teman-teman Norman balik mengamati Rasti dari kepala sampai ujung kaki dengan tatapan ‘lapar’ yang seakan menelanjangi Rasti yang memang sudah setengah telanjang. Norman bangkit dan mendekati mamanya sambil tersenyum-senyum. Norman mengecup pipi mamanya itu dengan mesra, lalu merangkulnya dari samping seraya menghadap teman-temannya yang memandangnya iri.

“He he he… Melotot aja mata lo pada…! Sampe mau copot tuh mata… Ha ha ha….! Gimana bro? Apa gue bilang? Cantik kan ni lonte…? Kenalin nih, nyokap gue!” Tanpa tedeng aling-aling Norman memperkenalkan Rasti sebagai Mamanya sekaligus lonte.
“I… iya Man… aduh buset dah seumur-umur gue liat cewek mulus model begini cuma di tivi-tivi…!”
“Beneran lonte lo ini Man?”

Norman terbahak lagi lalu memperkenalkan temannya satu-persatu. Robi, Bari, Obet, dan Dimas. “Si Obet ini yang bikin pipi Norman lebam begini Ma… udah dia ga usah dikasih jatah aja…” Selorohnya.
“Duh jangan gitu dong bro… kan cuma bercanda aja, kita sekarang kan fren… iya kan bro?” Sahut si jangkung yang disebut Obet itu sambil salah tingkah. Rasti tertawa melihatnya yang ternyata juga lebam-lebam pipinya. Selain jangkung, Obet ini juga paling sangar dan kekar. Tapi tampaknya perkelahian mereka dua arah, bukan Norman saja yang dipukuli, tapi dia juga bisa melawan dan membalas. Malah terbesit sedikit rasa bangga Rasti pada Norman.

“Duh pakaian Mama kok sobek-sobek begini, pasti Mama nakal ya tadi… udah dibuka aja ya semuanya…” Ujar Norman. Kalimat Norman itu langsung disambut antusias oleh teman-temannya. Cukup menggelikan juga tampang-tampang mupeng mereka yang langsung penuh harap itu. Benar-benar hiburan bagi Rasti yang sudah binal kembali. Teman-teman sel Norman seakan menjadi pengganti Riko, Romi dan Jaka yang beberapa waktu ini sudah jarang main ke rumah. Bedanya, kepada Robi, Bari, Obet dan Dimas ini, tampaknya Rasti harus memberi pelayanan all in. Full ngentot. Dag dig dug, berdesir perasaan aneh yang menyenangkan di dada Rasti yang berdebar-debar, membayangkan apa yang sebentar lagi akan terjadi padanya di sel ini.

Norman memberi kode kepada teman-temannya. Mereka lalu dengan sigap mengambil kain selimut mereka di dipannya masing-masing lalu mereka gunakan untuk menutup sekedarnya teralis sel mereka. Meski tidak mungkin bisa tertutup sempurna, tetap saja suara koor protes langsung membahana dari 2 sel di depan seberang sel mereka. “Huuu…! Anjrit lo mau ngentot! Jangan ditutup woii! Ngentot lo pada, anjing!” Begitulah makian-makian yang sangat kasar yang mewakili rasa iri para tahanan di sel lain itu. Norman dan teman-temannya tak memperdulikan suara-suara itu. Sel-sel yang bersebelahan di lorong itu masing-masing terpisah oleh sekat tembok, sementara seluruh bagian depannya full teralis besi. Artinya, aktivitas di dalam sel bisa terlihat dari luar, atau dari depannya, tapi tidak bisa terlihat dari samping. Dengan kondisi seperti ini yang paling bisa melihat aktivitas di dalam sel Norman ya sel yang berada tepat di seberangnya, dan satu sel di sebelahnya. Maka tahanan di dalam dua sel inilah yang paling ribut berteriak-teriak protes.

“Ayo dibuka Ma… Norman udah kangen beraat nih…” Ucap Norman pada Rasti yang masih mematung.
“Eit bro… Mmm, boleh gak gue yang telanjangin ni lonte… Boleh ya, please?” Pinta Bari.
“Terserah lo aja…”
“Wah gue juga mau dong…” Sahut Dimas yang langsung menggerayangi pakaian Rasti.
“Woi, serobot aja lo… Bagian gue nih!” Protes Bari. Walhasil kedua orang itu kini berebut ingin merasakan sensasi menelanjangi wanita cantik. Padahal Bari ingin membuka pakaian Rasti dengan pelan sambil menikmati, tapi gara-gara Dimas ikut-ikutan, mereka jadi berebut dan akhirnya dengan kasar melucuti pakaian Rasti. “Kyaa… Aduh pelan-pelan…” Pekik Rasti manja. Breet…! Breett..!

“Aduuhh tu kan sobek lagi…”
“Ha ha ha… udah lo nanti bugil aja terus, ga usah pake baju lagi!”
“Alamaak Norman… mulusnya lonte ini! Cantiikkk broo!”
“Sumpah baru kali ini gue bersyukur masuk penjara! Di luar gue ga pernah ketemu ginian bro! Gila sempurnanya… Gue gak sedang ngimpi kan?”

Rasti yang kini sudah bugil total benar-benar bangga mendengar semua pujian teman-teman Norman itu. Si Dimas lalu iseng, melempar pakaian dalam Rasti ke sel seberang. “Woi, mau cawet gak lo? Nihh… Ha ha ha… BH-nya sekalian nih, ambil semua!” Lima napi di sel seberang pun meneriakinya dengan penuh rasa iri. “Duh kok dilempar ke sana sih…?” Protes Rasti manja pada Dimas yang tertawa-tawa. Dengan tangannya dia menutupi payudara dan vaginanya. Bukan karena malu, tapi karena Rasti tahu pose ini bisa makin membuat gemas laki-laki yang melihatnya.

“Aduh Tante cantik… gapapa lah buat amal…! Ha ha ha…” Tawa Dimas yang disambut oleh tawa teman-temannya yang lain. “Sompret lo, perempuan bening begini dibilang Tante.”
“Iya dong, ni lonte kan Mamanya teman kita… Jadi kita harus hormat, panggil Tante…”
“Iya juga ya, ha ha ha… Eh Tante cantik, omong-omong siapa sih namanya?”
“Tuh Ma, ditanya namanya…?” Bisik Norman yang kini memeluk Rasti dari belakang dan mulai mengecupi kulit telanjang Rasti dengan pelan. Punggungnya, tengkuknya, bahunya. Rasti mulai menggelinjang dan mendesah. Teman-teman Norman mupeng berat melihatnya. “Duuh enak bener ya lo Man…” Gumam Bari menelan ludah.

“Aahh sayaang…” Desah Rasti lagi ketika tangan Norman mulai meremas-remas payudaranya. “Ayo Ma, tu ditanya namanya siapa? Tadi kan temen-temen Norman sudah memperkenalkan diri semua…” Bisik Norman lagi menggoda Mamanya.
“I… Iya… R… Rasti… Aahh…”
“Oo Tante Rasti aah…”
“Rasti ajaa… ahh sayang…”
“Rasti ajaa ah? Hi hi hi…”
“Ihh terseraaahh….”
“Ha ha ha ha… Gemesin banget ni lonte!”
“He he he, lo mau nyentuh gak? Sentuh aja nih… ga bakal pecah kok…” Tawar Norman sambil mempermainkan payudara Rasti dari belakang. Posisinya seperti menyodorkan kedua bongkah gunung salju kembar itu pada keempat temannya yang berdiri di depan Rasti.

“He he he, duuh… emang takut pecah gue bro… bening banget soalnya…” Sahut Bari yang terlebih dulu mengangkat tangannya dan mengelus payudara Rasti pelan. Norman tertawa, “Hua ha ha… jangan khawatir bro! Anti pecah… Gini lho!” Norman meraih tangan Bari dan menggenggamkannya di dada Rasti, tangannya mengarahkan tangan Bari untuk meremas payudara mamanya. “Sshhh….” Desis Rasti merasakan remasan tangan kasar Bari.

“Seettt… kenyal dan lembuutt bro!” Ucap Bari kegirangan. Tangannya kini meremas-remas payudara Rasti dengan gemas.
“Aduuhh aduh, pelan Bar! Nanti rusak…!” Seru Dimas, disusul dengan tawa semuanya.
“Mana mana… gue coba? Duh lecet deh gara-gara lo Bar! He he he…”
“Sompret lo, mana bisa? Monyong!” Tukas Bari.
“Duuuhh lembutnya susu tante Rastiii…” Keempat teman Norman benar-benar membuat payudara Rasti jadi mainan. Seakan itu adalah karya seni luar biasa yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak cacat. Tapi itu tidak lama, makin gemas mereka pun makin kasar menggerayangi tubuh telanjang Rasti dari ujung kepala sampai kaki. Rasti menggelinjang-gelinjang dan mendesah manja merasakan sentuhan demi sentuhan yang benar-benar menaikkan libidonya itu. Apalagi mulut keempat teman Norman itu tidak hentinya mengoceh, memuji-muji kesempurnaan tubuh Rasti.

"Maknyesss... duuh, ngimpi apasih gue semalam?"
"Perasaan gue selama ini jadi anak nakal, gak nyangka gue bisa nyicipin bidadari sorga! Ha ha ha..."
"Indaaah... ni lonte tiap hari mandi susu ya bro??"
Perasaan Rasti benar-benar melambung mendengar semua itu. Norman membalikkan badan Rasti dan melumat bibirnya. Kini tangan teman-teman Norman menggerayangi bagian belakang tubuh Rasti. Meremas-remas dan memukul pantatnya dengan gemas sambil terus saja memuji-muji keindahannya. Rasti dan Norman terus berciuman sambil berpelukan sampai beberapa saat. Benar-benar pasangan ibu dan anak itu dilanda rasa rindu yang sangat besar satu sama lainnya, ibarat sepasang kekasih yang terpisah lama.

Kecupan ganas Rasti dan Norman menimbulkan suara decak bibir dan lidah yang bersahut-sahutan erotis. “Gila lo Man, ganas bener lo ngelumatnya, jangan dimakan Man…! Ha ha ha…!” celetuk Obet mupeng. “Aahh…” Desah Rasti merasakan bibir vaginanya dijamahi oleh teman-teman Norman. “Banjir coy…” ucap Obet, yang kemudian diikuti oleh semuanya mencolek-colek liang Rasti dengan gemas. Rasti pun jadi menggelinjang-gelinjang karenanya. “Aahh.. Auuhh…” Geliat tubuh Rasti benar-benar seksi membuat mereka makin gemas. “He he he, kayaknya ni lonte udah kepanasan… buruan Man disodok… udah kegatelan tuh!”

Dengan sigap Norman menggendong tubuh ibunya itu dan membaringkannya di atas alas koran di lantai sel mereka. “Aahh dingiin sayang….” Desah Rasti manja. “Bentar lagi Norman bikin anget Ma…!” Ucap Norman sambil menelanjangi dirinya. Nafsu Rasti benar-benar sudah di ubun-ubun. Dia menggigit bibirnya seksi, matanya nanar menatap tubuh kekar Norman yang bertato. ‘Duh, kok tubuh Norman jadi keliatan seksi banget begini...’ pikirnya. Meski sudah berkali-kali melihatnya, tapi di tempat ini serasa berbeda. Rasti seperti melihat anaknya itu dalam sosoknya yang baru.

“Aaauuhhh….” Rasti melenguh keras ketika Norman mulai mempermainkan vaginanya dengan lidah dan tangannya. Paha Rasti dikangkangkan untuk memberi akses selebar-lebarnya pada Norman untuk mengeksplorasi wilayah paling intim miliknya.

Norman sudah sangat lihai dalam urusan ini. Tidak seperti Tedi dan teman-temannya yang baru diajari Rasti di malam hari ulang tahunnya, Norman sudah lama diajari Rasti bagaimana memuaskan liang kewanitaannya. Lagi-lagi Rasti seakan merasakan hal yang berbeda dari Norman. Tidak pernah dia merasakan kenikmatan sebesar ini dari vaginanya hanya dengan dioral dan dikobel-kobel dengan tangan. Rasti pun mendesah dan menggeliat sejadi-jadinya. Desahan yang tak bisa dielakkan memenuhi seluruh lorong Sektor C hingga membuat semua tahanan di 9 sel yang lain berteriak-teriak kesal menahan mupengnya. Sangat berisik hingga terdengar juga ke beberapa sektor di dekatnya. Sudah pasti penghuni sektor lain itu semua bertanya-tanya, “Ada apa di sektor C?” Parahnya, hal itu tidak dirisaukan para penjaga. Mereka malah terkekeh-kekeh saja membiarkan suasana ini.

Begitu juga dengan Norman dan teman-temannya. Mereka lebih tidak mempedulikan lagi keributan dari sel-sel lain itu. Hanya Rasti sajalah yang was-was dan berusaha keras mengatur suaranya supaya tidak terlalu keras terdengar. Tapi menyadari hal itu, Norman malah memainkan memek Rasti dengan lebih hebat lagi. Rasti yang terengah-engah menahan suaranya jadi tidak bisa mengontrol diri. Lenguhan keras dan panjangnya tidak terelakkan lagi. “Sayaanngg… hhh… pelaan…” Pintanya dengan mata nanar dan wajah pias. “He he he, ga usah ditahan-tahan Ma… Jerit aja sepuas-puasnya, jangan khawatir…” ucap Norman terkekeh. Sementara teman-teman Norman yang mengellinginya hanya bisa memandang dan menelan ludah berkali-kali melihat Rasti yang dari tadi menggelinjang-gelinjang keenakan. Penasaran mereka sedahsyat kenikmatan semacam apa sih yang dirasakan Rasti?

“He he, mata lo tu ya kayak mau copot aja! Pada belum pernah ngeliat memek ya?” Ujar Norman.
“Kalo gue udah sering bro! Tapi yang seindah ini mah bau kali ini! Sumpah, ni lonte cantik banget coy!” Sahut Obet yang paling senior. “Ni yang lain nih yang masih pada perjaka!”
“Enak aja, timbang ngentot aja mah gue udah pernah, tapi emang yang kayak beginian jauh di atas level gue! Anjrit, tadi hanya ngeliat aja hampir-hampir ngecrot gue!” Timpal Bari.
“Ha ha ha… Lo berdua gimana?” Norman berpaling pada Dimas dan Robi.
“Gue udah pernah punya pacar sih… Tapi yaa paling ciuman doang.” Jawab Dimas. Robi sendiri yang paling pendiam hanya tersipu-sipu malu. Dia memang tidak pernah punya pacar. Usia Robi ternyata sepantaran dengan Norman, tampangnya culun meskipun terlihat lebih tua dari Norman. Yang jelas Robi tidak nampak seperti anak nakal sama sekali. Kebetulan saja dia apes, terjebak pergaulan yang ga bener gara-gara pencarian jati diri, dan kegrebek polisi pas dia dan beberapa temennya lagi pake narkoba. Jadilah dia ada di sini bersama-sama Norman dan lainnya. Selama ini mengutuki diri dipenjara, baru hari ini dia bersyukur luar biasa sudah masuk penjara. Ya, karna kalau di luar penjara barangkali mustahil dia bisa bertemu dengan lonte secantik Rasti. Dari tadi dia berpikir ingin sekali dikasih jatah Norman menggagahi Rasti. Tapi kalaupun tidak, hanya dengan begini saja dia sudah sangat senang.

Alangkah terperanjatnya Robi, ketika Norman menyuruh semua bergantian mengoral Rasti, dan dia dapat giliran pertama!
“Yah, kok si culun ini duluan bro?” Protes Obet.
“He he, protes aja lo. Dia yang belum pernah nih… Harus gue ajarin dulu. Ayo Rob…”
“Be… beneran Man?”
“Yaelah, iya… nih gue ajarin caranya…”
Norman lalu seakan menjadi mentor bagi teman-temannya, menjelaskan bagian-bagian kewanitaan Rasti. Benar-benar seperti dosen di laboratorium yang menerangkan kepada para mahasiswanya, dengan Rasti sebagai obyek penelitian. Rasti sendiri tertawa-tawa geli melihat tingkah Norman. Ada sensasi kenikmatan tersendiri dalam peran ini.

“Oo ini yang namanya klitoris…”
“He he, iya… di sini nih pusat kenikmatan wanita, coba disentuh…”
Rasti langsung menggelinjang ketika klitorisnya disentuh-sentuh oleh jari Robi.
“Ha ha ha… benar kan? Keenakan nih lonte…” Ujar Norman diiringi tawa semuanya.
“Tapi kalo gitu aja malah kasihan ni cuma bikin gatel. Sekarang coba pake mulut!”
“Haah…?”
“Iya… kayak gue tadi! Pake gigi sama lidah lo ya…”
Beberapa saat kemudian dengan arahan Norman satu-persatu temannya bergiliran mengoral vagina Rasti. Tanpa diajari, Robi juga sudah bisa berinisiatif menggunakan jemarinya. Tubuh rasti benar-benar dieksplorasi oleh keempat teman Norman. Saat yang satu mengoral vagina Rasti, yang lain menggerayangi dan mengecupi tiap inchi tubuh Rasti dengan gemas. Bagian yang paling diperebutkan tentu adalah dua gunung salju kembar yang membusung di dada Rasti.

"Ini puting susu, di sekitarnya ini areola... ni bagian sensitif juga dari tubuh wanita..."
"Ahahaha, pentil aja gue mah tahu. buset ye montoknya... ini orisinil kan bro??"
"Dijamin original coy! Asli ciptaan Tuhan! Wakakaka...! Coba deh lo isep pentilnya..."
"Buseett... ada air susunya!"
"Wa ha ha, ni lonte kerjaannya emang beranak terus coy! Mantap kan? Lo haus kan tadi? Udah nenen aja sepuasnya."
"Ga enak dong gue minum jatah bayi..."

"Kalo doyan dinikmatin aja, persediaannya melimpah kok..." Rasti ikut angkat bicara sambil tersenyum-senyum menggoda.
"B.. Bener tante?"
"Iya dong, hi hi..."
Begitulah dengan mudah Rasti beradaptasi dengan suasana baru ini, mengakrabkan diri menghilangkan canggung melayani teman-teman baru Norman yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Permainan mereka dalam sel itu makin panas. Tidak sejengkal pun tubuh Rasti yang luput dari eksplorasi. Teman-teman Norman secara acak bergantian menyusu di dada Rasti layaknya orang kehausan di padang tandus. Jari-jari tangan mereka pun berebut masuk ke liang kenikmatan milik Rasti. Hanya satu yang saat ini eksklusif untuk Norman saja, yaitu bibir Rasti. Norman terus mengecupi bibir Mamanya itu dengan gemas. Sesekali mereka saling berpandangan dengan syahdu, lalu saling memagut bibir lagi. Benar-benar seperti dua sejoli kekasih yang kasmaran. Di sela-sela itu tubuh Rasti terus menggeliat-geliat keenakan gara-gara bagian sensitif dari tubuhnya terus mengalami rangsangan dari teman-teman Norman. Wajah Rasti yang keenakan menjadi pemandangan yang menggemaskan bagi Norman. Wajah Rasti makin merah padam ketika dipandangi Norman saat dirinya keenakan, “Aahh sayaang…”dengan manja Rasti berusaha memalingkan kepala Norman.

“He he, kenapa Ma…?”
“Jangan ngeliatin muka Mama terus dong…”
“Ha ha, pura-pura malu… Mama tambah cantik kok kalo sedang sange begini…” goda Norman lalu mengecupi wajah Rasti.
“Aahh udah aah, ayo sayang…”
“Ayo apa Ma…?”
“Mmmhh! Ayo ngentot…” Ujar Rasti merengut. Rupanya dia sudah tidak tahan lagi. Norman pun mengambil posisi. Disodorkan penisnya yang sudah menegang ke mulut Rasti.
“Dimandiin dulu Ma si kecil... dah lama ga mandi nih..."
"Duh si kecil kok kayaknya tambah gede aja ya...? Sini mama mandiin, sabar ya, mau masuk rumah harus mandi dulu biar bersih..."ucap Rasti yang membuat penis teman-teman Norman melampaui batas ketegangannya selama ini. Mereka pun serempak menelanjangi dirinyamasing-masing. "Anjrit kontol gue rasanya pingin meledak bro... gantian Man..." ucap Obet sambil mengocok batangnya, tak tahan melihat Norman kelojotan diblowjob.

"Sori bro, sekarang ni lonte milik gue dulu... gue mau ngentot, lo pada minggir... ngantri yang tenang!" Ujar Norman yang menyudahi sepongan Rasti pada kontolnya. Dia pun tidak sabar menggenjot tubuh ibunya itu.
"Maa.... Aaahhh...." erang Norman ketika mulai memasukkan centi demi centi batangnya ke liang Rasti. "Gile mama kok bisa tambah pereeet... aahh, lonte pintarrr..."
"Iyaah sayang pelan dong, kontolmu juga udah tumbuh ya... aahhhh...." Rasti melenguh panjang seiring keberhasilan Norman menjebloskan semua batangnya. Blessss...
"Kok jadi penuh gini sayaaang..."
"Mama pasti baru libur panjang ya... ha ha haahhh... Mantapaahh...!"Seru Norman sambil mulai menggenjot. Liang Rasti yang sudah banjir sejak tadi membuat penis Norman keluar masuk dengan lancar meskipun jepitan memek Rasti sangat rapat dirasakan oleh Norman. Gesekan batang Norman yang keras bertekstur urat di seluruh permukaan dinding liang Rasti Menimbulkan rasa nikmat teramat sangat yang membuat keduanya melayang. Mulut Rasti terus meracau tak karuan seakan hilang kontrol. Dia tak peduli lagi suaranya akan terdengar oleh semua tahanan di sektor C atau bahkan oleh seantero penghuni lapas ini sekalipun!

"Sayaaanggg... terusshh kencengin lagi... Mama kangen genjotan kontolmu sayang. Ayo pacu terus kuda binalmu ini...! Nikmaat sayaang... aahhh aaahh..."
"Iyaaa... mamaku... lonteku sayaangg... Dasar perempuan jalang! Kuda binalku.. aahhh aahhhh....! Anjiiingg loo enaakhhh!"
Teman-teman Norman hanya bisa terpana menyaksikan pemandangan dahsyat ini. Semua norma dan ketabuan tiada lagi artinya bagi mereka. Tak peduli di depan mereka adalah persetubuhan ibu dan anak alias incest, yang tentu melampaui batas cabul bahkan bagi masyarakat yang paling liberal sekalipun. Mereka tidak peduli dan seakan tersihir dengan dahsyatnya adegan yang dipertontonkan ibu dan anak ini. Tangan-tangan mereka seakan terprogram untuk mengocok penisnya masing-masing. Mulutnya pun berkali-kali menelan ludah, tapi tenggorokannya terus saja kerontang. Norman benar-benar memonopoli Rasti untuk dirinya sendiri. Tak ada adegan gangbang di sini. Mulut Rasti juga tak dibiarkannya menganggur sehingga sempat mengoral penis teman-temannya yang sedang mengantri. Tidak. Norman terus saja melumat bibir dan lidah Rasti dengan ganas sembari menggenjot memeknya dengan konstan. Rasti yang tampaknya terengah-engah kepayahan terus saja menyambut mulut norman dengan tidak kalah ganasnya.

Dahsyat. Norman benar-benar kuat. Entah energi dari mana ataukah ini hanya perasaan Rasti saja? Peluh mereka bercucuran deras, tubuh mereka serasa mendidih. Secara sel ini memang bukanlah kamar Rasti yang ber-AC. Untunglah ada kipas angin butut yang membantu mendinginkan suasana.

Tanpa sekalipun penis Norman terpisah dari liang vagina Rasti, selama setengah jam mereka bersetubuh dengan berganti-ganti gaya. Dari woman on top, sampai doggy style yang merupakan posisi favorit Norman. Posisi doggy ini adalah puncak persetubuhan mereka. Norman mulai kelihatan lunglai. Pada posisi ini juga Norman mulai membiarkan teman-temannya baris di depan Rasti untuk mendapatkan servis oral pada penisnya masing-masing.

"Maah... kapan sampe lagii... haaahhh..." ucap Norman kepayahan. Tiga kali sudah dia memberi Rasti orgasme, dia berniat klimaks bebarengan dengan orgasme keempat Rasti.
"Mmmpphh... Sedikit lagiii sayaaang... ayo semangaat, kita bareng yaahh..."
"Iyaa maah... ahh.. haaahh... gilak!"
"Kamu bisa sayaaaang..." Rasti ikut membantu memajumundurkan pinggulnya dengan cepat.
"Norman ga tahan lagiii.... mau keluarrr..."
"Mama jugaaa... ayo bareengg..."
"Lonteee... jangan lama lamaahhh...!"
Rasti menegakkan badannya dengan cepat. Menekankan pinggulnya ke belakang bersamaan dengan Norman menekankan badannya ke depan seiring dengan dia merasakan kedutan dahsyat di liang vagina ibunya itu. Mereka merapatkan badannya serapat-rapatnya, dan Norman pun memeluk tubuh Rasti dari belakang seerat-eratnya. Rasti mendongakkan kepala dengan mata terpejam. Tubuhnya mulai kelojotan dengan hebat lagi, dan kali ini bebarengan dengan Norman yang menggigit-gigit gemas pundak dan tengkuknya yang berpeluh keringat.

"Aaaaaaahhhhhh.......!"Mereka orgasme bersamaan. Benar-benar dahsyat pemandangan ini di mata teman-teman Norman, seakan mereka bisa merasakannya pula. Dan memang begitu bagi Robi yang terrnyata ikut orgasme hanya dengan melihat saja. Dia ngecrot sejadi-jadinya, sampai pejunya menyemprot jauh membasahi perut ramping Rasti.

"Hua ha ha... udah ngecrot aja lo!" Ejek teman-temannya yang lain. Robi sendiri hanya tersipu tanpa menjawab. Persetan, pikirnya. Yang tadi itu benar-benar nikmat.
Norman dan Rasti sendiri tidak memperhatikan hal itu. Mereka sibuk meresapi sisa-sisa orgasmenya sampai titik terakhir. Liang Rasti masih berkedut-kedut, tubuhnya masih menggeliat-geliat. Engahan napas keduanya belum juga reda.
"Hhh... Lonteku, sayangku, Norman titip benih ya... tolong lahirin anak Norman..." Bisik Norman sambil mengecupi tengkuk dan belakang telinga Rasti sehingga mamanya itu kegelian dan mendesah-desah manja. Rasti membalikkan tubuhnya. Plop... akhirnya penis Norman terpisah juga dari vagina Rasti. Akibatnya liang yang dipenuhi cairan cinta, empat kali cairannya sendiri dan satu cairannya Norman, semuanya merembes keluar dan turun membasahi pahanya. Rasti dan Norman pun saling berpagutan bibir lagi. "Iya sayang, air manimu banyak banget keluarnya, semoga kali ini satu sel spermamu ada yang berhasil membuahi sel telur mama ya...?" Bisik Rasti. Norman jadi makin gemas melumat bibir ibunya itu.

Setelah beberapa saat, Norman melepaskan tubuh Rasti, dan dia pun beringsut merebahkan diri di kasurnya kecapekan. Sisa-sisa engahan napasnya masih terdengar sesekali.
Bagaimana dengan Rasti? Meski sama capeknya, belum waktu baginya untuk istirahat, karna Obet, Dimas dan Bari dengan sigap menahan tubuhnya dan mengelilinginya. Robi yang tadi sudah ngecrot duluan kiniduduk sambil mengocok penisnya yang sudah layu, berharap bisa tegak lagi.

"He he he.. sekarang giliran kami manis..." Ucap Obet yang memimpin. Ia membelai-belai rambut dan pipi Rastiyang masih dibasahi keringat, lalu mengecupi bibir Rasti yang pasrah saja. Rasti melirik Norman yangkini sedang menenggak segelas air putihdi samping kasurnya. Lalu tanpa sedikitpun menoleh pada Rasti, Norman langsung kembali berbaring dan memejamkan matanya mencoba beristirahat tidur. Melihat sikap Norman ini, terbesit kembali pertanyaan yang muncul malam itu, sesaat sebelum Rasti digangbang 9 teman Norman sebagai kemenangan judi.Bagaimanapun, Rasti hanya bisa menghela napas. Kini dia harus konsentrasi memenuhi 'tugasnya'.Sebagai lonte, stamina Rasti jauh melebihi Norman. Bukan masalah berarti baginya jika masih harus melayani teman-temanNorman sekaligus. Bahkan di hari 'kembali'nya Rasti sebagai ibu binal ini, Rasti pun bersikap pro-aktif, bukannya pasif sebagaimana saat dia digangbang 9 teman Norman terakhir itu. Dia balas ciuman Obet dengan bergairah. Tangannya juga aktif menggerayangi penis Obetdan yang lainnya. Dalam hitungan detik Rasti sudah duduk berlutut mengoral penis mereka bertiga, membuat mulut-mulut mereka meracau keenakan tak karuan. Kata-kata tidak senonoh pun terus dilontarkan untuk Rasti.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar