Namanya Rasti. Seorang ibu muda yang baru berusia 26 tahun yang telah
melahirkan tujuh orang anak tanpa suami. Dia menghidupi anak-anaknya
dengan melacurkan diri. Miris memang melihat bagaimana Rasti memberi
makan anak-anaknya dari hasil melonte, melayani pelanggannya di rumahnya
sendiri, bahkan tidak jarang ia melayani tamunya di hadapan
anak-anaknya. Namun itulah jalan hidup yang dipilihnya. Meskipun
pekerjaannya dianggap menjijikkan bagi sebagian orang, dia tidak peduli,
dia menikmatinya.
Rasti memang seorang lonte, tapi di luar itu, Rasti juga adalah wanita
dan ibu yang tangguh. Betapa tidak, ia adalah single mother yang sukses
mengasuh dan membesarkan 7 orang anak! Dengan segala pengorbanannya, dan
dengan semua yang telah dilaluinya, Rasti kini menuai hasilnya. Dia dan
anak-anaknya dapat hidup enak.
Pria manapun yang melihat Rasti pasti dibuat terpesona dengan
kecantikannya, aura keibuannya, serta sifat lembut dan ramahnya. Rasti
dipuja-puja oleh semua lelaki, baik pelanggannya, anak-anaknya, serta
suami tetangga. Begitupun dengan teman-teman anaknya. Teman-teman anak
sulungnya, si Riko, Romi dan Jaka, sering bermain ke rumahnya. Mereka
sangat penasaran dengan ibu teman mereka ini. Mereka ingin selalu
berlama-lama di sana, dengan harapan dapat melihat dan menonton
aksi-aksi Rasti yang membuat adik kecil dalam celana mereka berontak.
Tidak jarang pula mereka menuntaskannya dengan beronani di kamar mandi
rumah Rasti.
Dan kali ini mereka punya kesempatan yang sangat bagus untuk mewujudkan
fantasi-fantasi nakal mereka lainnya. Rasti ingin memberikan hadiah pada
Tedi dengan menuruti semua keinginan anaknya tersebut di hari
ulangtahunnya. Teman-teman Tedipun kebagian imbasnya. Sungguh beruntung.
Mereka sudah berada di dalam mobil Rasti, yang mana ibu teman mereka itu
bertelanjang bulat duduk di kursi kemudi! Siap membawa mereka kemanapun
yang mereka inginkan. Tedi dan kawan-kawan, plus si bungsu, semua duduk
di belakang. Rasti sendirian di depan. Untungnya semua kaca mobil Rasti
menggunakan kaca film sehingga mereka tidak perlu takut kelihatan orang
dari luar.
“Jadi kita mau kemana dulu nih?” tanya Rasti pada Tedi dan
teman-temannya. Mereka saling pandang, bingung mau memulainya dari mana.
Apakah harus ke pantai, ke taman kota, ke kolam renang atau mungkin ke
pasar. Melihat tingkah mereka yang kebingungan itu Rasti jadi tertawa
dibuatnya.
“Hahaha… kalian ini, padahal kemarin kayaknya semangat banget”
“Kita semangat kok tante, semangat bangeeeet malah, hehehe”
“Terus? Kemana dong kalian maunya? Kalian bebas kok bilang maunya apa, asal gak gila banget aja yah, hihihi” pancing Rasti lagi.
“I..iya tante” jawab mereka serempak.
“Eh, Ted, lo bukannya pengen punya kamera DSLR? Minta sekarang aja sama
mama lo!” usul Jaka. Tedi memang menyukai fotografi, teman-temannya tahu
itu. Sebagai ibu, Rasti juga sudah lama tahu ketertarikan dan minat
Tedi pada fotografi, dengan senang hati Rasti mau memenuhi permintaan
anaknya itu. Ya, selain permainan fantasi ini, Rasti juga sudah janji
akan membelikan hadiah ‘betulan’ buat Tedi. Apapun yang Tedi minta,
berapapun harganya.
“Benar juga tuh, kita ke mall dulu yuk Ma, beliin Tedi kamera.” setuju Tedi dengan usul Jaka.
“Ohh… Oke deh sayang. Kamu ingin beli sebagus dan semahal apapun pasti
Mama beliin kok buat kamu.” ujar Rasti sambil tersenyum manis pada Tedi
melalui spion depan.
“Makasih Ma, Mama memang paling baik deh.” puji Tedi.
“Iya.. emang enak banget punya Mama kayak Mama lo Ted, iri gue, duh…”
“Hahaha, kalian ini… Berangkat sekarang?” kerling Rasti pada mereka.
“Iya Mah…”
“Siap bos, meluncuuuur, hihihi…” ujar Rasti dengan riangnya. Sungguh Ibu
yang sempurna. Betapa bahagianya Tedi dan adek-adeknya. Juga betapa
beruntungnya Riko, Romi, dan Jaka bisa berteman dengan Tedi.
Mereka mulai meluncur ke mall terdekat. Tedi dan teman-temannya asik
memperhatikan betapa seksinya Rasti yang nyetir sambil bugil. Rambut
panjangnya diikat sehingga tengkuk dengan bulu-bulu halusnya terlihat
menggoda. AC mobil berhembus pelan menyapu kulit putih mulus Rasti yang
terbuka bebas. Sungguh mempesona. Tentunya sangat menyenangkan bagi
mereka melihat gerak-gerak Rasti yang tetap gesit mengendalikan mobil
dengan kondisi telanjang bulat begitu. Bagaimana kaki jenjang Rasti asik
injak-lepas pedal, dan tangan Rasti yang lihai memainkan perseneling
dan stir.
“Duh… jangan dilihatin terus. Tante jadi grogi nih nyetirnya” ujar Rasti sok manja, pura-pura risih diperhatikan oleh mereka.
“He he… Tante cantik banget sih, sayang dong kalo dilewatin…”
“Buka kacanya dong Tante…?”
“Iih gila kalian ah… Nggak ah…”
Tapi karena Tedi protes nagih janji bakal penuhi semua fantasi mereka,
Rastipun nurut. Hanya kaca di jendela supir yang dibuka. Semua jendela
lainnya tertutup rapat. Tedi dan kawan-kawan memilih untuk tidak
terlihat.
“Curang ih kalian, dasar…” protes Rasti manja. Tapi to Rasti tetap
menuruti kemauan mereka. Awalnya hanya buka sedikit-sedikit jendelanya,
pas sepi barulah dibuka penuh. Kebetulan mobil Rasti jenis SUV yang
besar, bukan jenis sedan. Jadi rasti berani nekat aja. Karna mobil jenis
ini ground clearancenya tinggi, posisi kursi penumpangnya juga tinggi.
Bahkan saat lampu merah Tedi dan teman-temannya melarang Rasti menutup
kaca mobil. Beberapa kali Rasti nurut, karena paling banter mobil yang
menjejerinya tidak lebih tinggi dari mobil mereka. Bahkan teman-teman
Tedi punya ide, beberapa kali di lampu merah mereka minta Rasti
pura-pura nanya jalan pada pengemudi kendaraan di sampingnya, baik mobil
maupun motor! Dalam posisi itu Rasti yang hanya menaikkan sedikit kaca
mobilnya memang hanya akan terlihat sebatas pundak. Tentunya sangat
seksi sekali dilihat dari luar, Rasti akan tampak seperti telanjang,
padahal memang benar! Tidak hanya itu, Tedi juga ikutan iseng mengerjai
ibu kandungnya itu dengan menyuruh Rasti membeli koran ke pedagang koran
di perempatan lampu merah. Sungguh sesuatu yang menegangkan namun juga
menggairahkan bagi mereka maupun Rasti sendiri.
Merekapun akhirnya sampai ke mall. Tedi dan kawan-kawan sudah memakai
baju ganti. Untuk Rasti sendiri, Tedi membawakan sebuah selendang.
Walhasil Rasti cuma pakai selendang yang dililitkan pada tubuhnya dan
dipeniti. Selendang yang dibawa Tedi juga sangat pendek, lebarnya
sekitar 30cm dan panjangnya tidak sampai 2 meter. Hanya bisa dililitkan 3
kali, dan hanya menutupi area dada-paha atas. Jika sekilas, orang tidak
akan memperhatikan bahwa yang dikenakan rasti hanyalah lilitan
selendang, sekilas pakaian Rasti malah seperti pakaian yang dirancang
desainer terkenal, karna motif selendang yang dibawa Tedi memang
ngejreng warnanya, dan bahannya terbuat dari kain yang sangat halus dan
lembut. Pasti bukan kain murah, pikir teman-teman Tedi.
Mall itu adalah mall baru yang ada di kawasan apartemen baru yang elit.
Jelas mallnya cukup mewah dan mentereng. Dirancang untuk jadi tempat
belanja kalangan kelas atas, termasuk para selebritis. Jadi pakaian
Rasti tidak akan terlalu menarik perhatian karna memang banyak yang
berpakaian seksi dan terbuka seperti Rasti di mall itu. Dan lagi, karena
mall ini baru, ada banyak toko yang kosong, belum laku, ataupun sudah
laku tapi belum buka. Meski begitu tetap saja itu menegangkan bagi
Rasti.
Meskipun banyak wanita yang berpakaian seksi di dalam mall itu, tapi
Rasti tetap yang paling menarik bagi Tedi dan teman-temannya. Bagi
mereka Rasti adalah wanita paling cantik dan paling menarik di dunia.
Apalagi dengan pakaian seperti itu, Rasti melenggang di dalam mall
sambil menggendong si bungsu. Sebuah pemandangan yang sangat mencolok
dan indah, Rasti benar-benar jadi pusat perhatian.
“Sayang…kamu jangan nakal yah… jangan minta mimik susu dulu yah, hihihi”
ujar Rasti pada anak bungsunya. Tapi di dalam hati dia malah penasaran
bagaimana rasanya menyusukan anaknya di tempat umum dengan pakaian
seperti itu, dia berharap anaknya itu nanti bakal rewel minta nyusu
padanya. Tedi dan teman-temannya yang mendengarnyapun juga berharap
demikian.
Tujuan mereka langsung ke tempat penjualan kamera. Tedipun mendapatkan
kamera impiannya. Kamera terbaru plus tambahan lensa untuk longshoot.
Total harganya lebih dari 15 juta. Rasti dengan senang hati memenuhi
permintaannya itu.
“Spesifikasi kamera ini sudah cukup buat kamu sayang? Boleh kok kalo
minta yang lebih canggih…” tanya Rasti yang betul-betul tidak
mempermasalahkan harga. Tapi Tedi merasa cukup dengan kamera barunya
ini. Rasti senang Tedi bukan anak yang royal, apalagi minat dan hobinya
ini tentu sesuatu yang positif, Rasti mendukungnya 200%. Bahkan selain
permintaan Tedi, diam-diam Rasti merencanakan hadiah ‘betulan’ lain yang
dia siapkan sendiri untuk Tedi. Sungguh teman-teman Tedi dibuat iri
dengan Tedi.
Di dalam toko kamera yang relatif masih sepi juga, pelayan toko yang
semua pria jadi bisa melihat dan bahkan berkomunikasi dengan Rasti dari
dekat. Beberapa kali mereka terlihat menelan ludah. Kelihatan sekali
mupeng dan tidak konsen. Rasti yang menyadari putting susunya tercetak
jelas, mencoba menutupinya dengan menggendong si bungsu di depan.
“Duh sayang, kamu ni ngasih mama pakaian rawan banget gini siih…?” bisik Rasti setelah keluar dari toko kamera.
“He he he… tapi asyik kan Ma?”
“Hiih… Kamu ini…” ucap Rasti gemas. Tapi dalam hati Rasti sadar apa yang
sedang mereka lakukan hari ini, dan dia bertekad untuk menikmatinya.
Setelah membeli kamera mereka lalu mutar jalan-jalan di mall.
Berkali-kali si bungsu yang berada dalam pelukannya rewel, membuat Rasti
kewalahan menenangkannya. Suara rewelan Bobby malah semakin menarik
perhatian pengunjung mall. Rasti berusaha cuek dengan tatapan mata
orang-orang disekitarnya. Gilanya, teman-teman Tedi malah memprovokasi
Rasti untuk netekin Bobi.
“Gak mau ah, masak netekin Bobi di sini?” tolak Rasti.
“Bobinya kayaknya haus tuh tante, masak dibiarin aja, iya gak Ted?”
“I..iya Ma… Bobi haus tuh.” jawab Tedi ikut-ikutan. Tapi Rasti tetap
belum mau untuk netekin Bobi, tidak di tengah-tengah kerumunan
orang-orang begini. Namun teman-teman Tedi malah semakin keras suaranya
membujuk ibu teman mereka itu, membuat orang-orang semakin melirik ke
arah mereka. Entah apa yang dipikirkan para pengunjung yang mendengar
ocehan-ocehan teman-teman Tedi itu pada Rasti.
“Ayo Tante buka susunya Tante…”
“Iya buka dong Tante, cepetan…”
Sungguh membuat Rasti semakin malu. Hampir-hampir Rasti mengalah karna
Bobi yang memang rewel terus, susah banget disuruh diam.Untung saja saat
Rasti sudah mulai mencari-cari tempat aman untuk menyusui Bobi, pada
akhirnya Bobi malah mulai anteng sendiri tanpa harus disusui.
“Dasar kalian ini… Puas mainin mama?” ujar Rasti pura-pura kesal saat
akhirnya mereka tiba di bagian sepi mall tersebut. Teman-teman Tedi
hanya cengengesan. Tedi yang sedari tadi melihat mamanya dipermalukan
juga ikut tertawa kecil, karena memang hal itu membuat penisnya ngaceng.
“Ma… aku mau fotoin mama boleh?” pinta Tedi kemudian. Dia tentunya juga
harus menikmati momen ini sebaik-baiknya. Apalagi dia baru saja
dibelikan kamera super canggih.
“Kamu mau jadiin mama sebagai model kamu sayang? Boleh kok…”
Di dalam mall di sudut-sudut yang menarik dan diperbolehkan untuk
mengambil gambar, Tedipun berulang kali meminta Rasti untuk berpose
cantik. Rastipun tahu betul bagaimana caranya berpose bak model
professional. Pose seksi, ekspresi imut, binal, dan sebagainya
dipamerkannya. Baik sambil menggendong si bungsu maupun berfoto sendiri.
Di lantai atas yang hampir 50% tokonya masih belum terisi, kondisinya
sangat sepi. Mereka menuju satu sisi yang pertokoannya masih kosong
melompong. Entah belum mulai disewakan atau memang belum laku. Tedi
meminta Rasti berpose pada pagar atrium. Sebagaimana banyak mall lain,
arsitektur mall ini juga berbentuk atrium. Yaitu ruang tengah yang
terbuka. Dari lantai-lantai atas bisa melihat ke bawah dengan pengaman
pagar pembatas. Di situlah Rasti berpose, membelakangi ruang atrium,
sehingga foto Rasti berlatar belakang atrium mall yang luas, dan para
pengunjung mall yang berlalulalang, kebanyakan di lantai-lantai bawah.
Tentunya Bobi sudah dititipkan pada temannya yang bergantian membantu
menggendong.
“Ma… buka selendangnya dong…?” Pinta Tedi setelah beberapa jepret.
“Haah, gila ih… di tempat umum begini…?”
“Gak dibuka semuanya Ma, dilepas aja 1 ikatan di dada… turunin dikit… tunjukin belahannya…”
“Ooh, kamu minta foto seksi ya, hi hi… gitu sih gapapa…” Setelah
celingak celinguk, memastikan kondisi aman Rasti pun membuka peniti dan
mengendorkan lilitan selendangnya. Setelah itu Rasti menyilangkan
tangannya di bawah dadanya, menahan selendang itu melorot ke bawah dari
dadanya. Rasti mengekspos belahan dadanya tapi bagian putingnya masih
tertutup.
“Nunduk Tante…”
“Ekspresinya yang nakal Tante…” Teman-teman Tedi sok-sokan ikut mengarahkan.
“Iya iya… Iih ternyata kamu pingin jadi fotografer model-model seksi ya?
Malah Mama yang dijadikan eksperimen nih… iya deh mama turutin.” jawab
Rasti sambil mengerlingkan matanya ke anaknya.
Namanya tempat umum, mereka tentunya tidak bisa dengan leluasa melakukan
sesi foto erotis dadakan itu. Tiap satu jepret, mereka harus waspada
melihat sekitar. Terutama Rasti. Tapi toh justru ini asyiknya. Sampai
beberapa foto kemudian, “Buka lagi dong ma… tunjukin semuanya…”
“Hah, kamu nyuruh mama bugil di sini sayang? Gila kamu ah… jangan dong… Terlalu bahaya!”
“Bugil sih nanti aja, he he he… kita masih punya banyak waktu.
Pelan-pelan aja… tunjukin aja susunya ma…” jelas Tedi. Rasti penasaran
juga. Ditengoknya kanan kiri. Ada orang berjalan ke arah mereka. Rasti
malah menaikkan selendangnya lagi. Menutup rapat-rapat dadanya.
“Aah mama… kok dipake lagi sih! Ayo buka…” protes Tedi.
“Bentar dong sayang, ada orang tuh! Kamu ini…”
Meski Rasti kemudian tidak sedang berpose karna tegang mengawasi
sekitar, Tedi tetap memotretnya beberapa kali. Sehingga beberapa orang
yang hendak menuju ke arah mereka melihat dan mengira bahwa ada sesi
pemotretan profesional dan mengurungkan niatnya. Lagi pula di area itu
memang belum ada toko yang buka.
“Ayo tante buka…”
“Sudah aman tante…”
“Ayo maa…”
“Iyaa iyaa kalian ini…” Rasti kembali menurunkan selendangnya. Sebagian besar dadanya terekspos.
“Buka semua ma… keluarin susunya…” pinta Tedi lagi.
“Duuh…” Rasti tengak-tengok lagi.
“Aman ma…” Tedi mencoba meyakinkan. Dia lalu menyuruh teman-temannya
berjaga-jaga mengawasi keadaan. Akhirnya Rasti nurut. Dadanya
dikeluarkan semua, tapi selendangnya masih ditahan di bawah dadanya.
Pemandangan yang erotis sekali bagi Tedi dan teman-temannya, meski sudah
biasa melihat ketelanjangan Rasti, sensasi kali ini jelas beda.
Berkali-kali mereka menelan ludah saking tergiurnya.
Beberapa foto berhasil dijepret Tedi yang bergaya bak fotografer
profesional. Rasti memang susah konsentrasi karna tegang dan was-was.
Tapi ada juga sensasi kenikmatan yang dirasakan Rasti yang sebenarnya
memang punya sisi eksibisionis. Aah ini sebenarnya kesempatan untuk
berekspresi bagi Rasti, melampiaskan nalurinya.
DIa menengok pada kawan Tedi yang berjaga, “Aman..?” tanyanya.
“Aman kok tante… jangan khawatir…”
Rasti menarik napas panjang. Diturunkan lagi selendangnya hingga pinggul. Bagian atas tubuhnya benar-benar telanjang sekarang.
“Cakep ma…!” puji Tedi.
“Dasar kalian ini. Untung mama perginya sama kalian, kalau sama Norman
mungkin dia udah nekat genjotin mama sekarang, hihihi” ujar Rasti
cekikikan. Rasti kemudian mencoba konsentrasi untuk berpose. Berbagai
pose sensual binal berhasil diambil gambarnya oleh Tedi yang jadi
semangat sekali.
Sudah sangat banyak foto yang diambil Tedi. Dia sekarang sangat
menikmatinya. Gilanya Rasti bahkan meminta menggendong Bobi lagi,
berpose bersama bayinya yang mana dia masih tetap bertelanjang dada.
“Kamu pengen nyusu sekarang sayang?” tanya Rasti pada bayinya sambil
melirik pada Tedi. Sungguh membuat Tedi dan teman-temannya belingsatan
dengan tingkah Rasti, dan Jepret! Sebuah momen yang tidak lazimpun
terabadikan. Seorang ibu muda cantik yang bertelanjang dada menyusui
bayinya dengan latar belakang mall!
Teman-teman Tedi yang berjaga malah ikut tergiur melihat pemandangan
itu. Mereka lengah dibuatnya. Tidak sadar ada 2 orang security mall yang
datang mendekati mereka. Baru sadar setelah dekat karena langkah
sepatunya terdengar. Rasti yang panik menitipkan bayinya pada
teman-teman Tedi lagi, lalu berusaha menaikkan kembali selendangnya,
tapi tentu tidak sempurna karena selendang itu dipakai dengan cara
dililitkan di tubuhnya.
“Aduuh, penitinya dimana tadi ya sayang..?”
“Lho, gak tau Ma, kan Mama yang pegang..?” Tedipun ikut panik. Namun
teman-teman Tedi malah cengengesan seakan menikmati tontonan ibu dan
anak yang sedang kebingungan itu.
“Aduh, ilang deh sayang, ga tau jatuh dimana… ada lagi?”
“Ga ada lagi ma…”
Mereka semakin panik seiring dengan derap langkah sepatu yang juga semakin mendekat. Hingga akhirnya…
“Sedang apa kalian!?” Tanya salah seorang security tegas. Ratno dan Adi,
itu nama yang tertulis di seragam mereka. Ratno tampak sebagai
seniornya Adi, lebih tua, berkumis tebal, rambut tipis, dan badan
sedikit gempal. Sementara Adi terlihat lebih culun, usianya paling
seusia Rasti atau malah di bawahnya.
“Mm nggak pak cuma jalan-jalan aja… Yuuk…” Tedi mencoba menghindar
dengan mengajak pergi. Tapi Rasti yang gak konsen malah sibuk memastikan
selendang yang dipakainya sudah aman, karna tidak ada peniti, diapun
menahannya dengan tangan.
“Eeh, gimana?” tanya Rasti lugu.
“Ayook…” Tedi mendesak.
“Tunggu dulu…” cegah Pak Ratno. “Kalian melakukan sesi pemotretan di sini? Boleh lihat ijinnya?”
“Kami iseng aja kok pak, bukan profesional… Lagian kami gak
motret-motret di area yang dilarang motret kok pak… Di sini boleh kan?”
Elak Tedi.
“Hmm, di sini memang belum dilarang… tapi kalo untuk tujuan komersil…”
“Kami bukan profesional pak..”
“Hmm, iya, tapi tadi ada laporan pengunjung yang jadi enggan ke sini karena ada aksi kalian…”
“Tapi kan di sini belum ada toko yang buka pak?” Jaka ikut bicara.
Adi membisiki Pak Ratno, mereka kemudian mencermati Rasti, Tedi, dan
teman-temannya. Melihat si bungsu yang sedang digendong teman Tedi. Dia
merasa agak aneh dengan rombongan ini. Empat anak yang tampaknya masih
remaja, dengan seorang wanita muda cantik, dan seorang bayi.
“Bayi siapa ini?”
“Eh, ba..bayi saya pak…” jawab Rasti. Kedua security itu berpandangan dan mengamati Tedi dan teman-temannya lagi.
“Itu bayinya si non?” Tanya pak ratno penasaran. Rasti mengangguk.
“Mana bapaknya…?”
“Eee… bapaknya gak ada pak, ga tau deh di mana…?” jawab Rasti tersipu.
“Kok ga tau gimana?”
“Tadi sedang jalan-jalan di bawah, sedang liat-liat gadget!” ujar Tedi
berinisiatif berbohong. Dia melirik mamanya kesal. Mama nih jujur amat
sih… pikir Tedi.
Setelah saling berbisik lagi, Pak Ratno memutuskan membolehkan mereka pergi.
“Ya udah, non pake bajunya… terus jangan di sini ya… ga boleh ada sesi pemotretan lagi!” Ujar Adi.
“Mm… saya cuma pake ini aja pak…” jawab Rasti lugu. Jawaban yang
kemudian kembali membuatnya diamati terus oleh kedua security itu.
“Non ga bawa baju?”
“Yaa iniii… baju saya…” jawab Rasti dengan entengnya. Pak Ratno dan Adi tampak terkejut dan saling berbisik lagi.
“Kami pergi dulu pak… maaf…” Tedi yang mencium gelagat buruk merasa harus segera cabut.
“Bentar!” sergah Pak Ratno lagi. “Kalian bukan professional? Dari tadi
saya curiga. Ini modelnya cantik begini, pakaiannya sengaja berkostum
begini…”
“Bener pak kami bukan profesional” Tedi mulai tegang. Tidak mungkin
mengatakan sejujurnya, serta mengatakan kalau perempuan itu adalah
mamanya.
“Maaf non, coba tangannya disamping, kami harus periksa…” Ujar Adi yang
melihat dari tadi Rasti menyilangkan tangan di depan dan memegangi
selendangnya.
“Aduh, periksa apa yah pak, saya ga bawa apa-apa kok” Rasti menengok ke
sekitar. Di seberang atrium sana ada beberapa orang lalu lalang. Satu
dua orang tampak memperhatikan mereka.
“Sudah nurut saja… biar segera selesai urusannya!” tegas kedua security
itu. Tedi panik. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi Rasti yang tadinya
panik, setelah menarik napas panjang kini berangsur-angsur lebih tenang.
DIa dari awal sudah bertekad akan menikmati apapun yang terjadi. Ini
momen yang langka. Ini saatnya mengekspresikan diri… Entah kesambet
setan dari mana, tiba-tiba Rasti malah jadi excited.
“Ba..baik pak… maaf ya…” Rasti menengok sekitar lagi. Ah, kondisi belum
aman, dia melihat pengunjung yang memperhatikan mereka dari seberang
atrium malah bertambah. Mungkin ada sekitar 5 orang. Pastinya mereka
penasaran melihat sekelompok pengunjung bermasalah dengan security mall.
Rasti menghela napas dan menghitung dalam hati, satu dua tiga..
tangannya diturunkan ke samping. Sreett…! Selendang dari bahan halus
yang melilit tubuhnya terlepas sepenuhnya dan merosot jatuh di kakinya.
Rasti kini bugil! Telanjang bulat tanpa ada apapun yang menutupi!
“Haah…” Pak Ratno dan Adi langsung ternganga melihat pemandangan tak terduga ini.
“Woow…” bisik teman-teman Tedi.
Terdengar juga sayup-sayup suara riuh di belakang mereka. Ya, beberapa
pengunjung memang sedari tadi ikut mengamati, dan aksi Rasti itu
surprise banget buat mereka.
Mendengar suara riuh pengunjung itu kedua satpam yang salah tingkah
tampak panik. Sebenarnya mudah saja Ratno tinggal menyuruh Rasti kembali
memakai selendangnya, tapi dasar pria, dia juga tak mau cepat-cepat
pemandangan ini hilang berlalu. Pak Ratno secepat kilat berinisiatif
menggeser posisi berdirinya, mendorong kasar Adi di sebelahnya. Posisi
mereka kini menutupi Rasti dari pandangan pengunjung mall yang lain.
“Hei, ini bukan tontonan, maaf, tolong ya…!” Seru Ratno pada para
pengunjung yang menonton, seraya menggerakkan tangannya menyuruh mereka
bubar dan pergi. Tapi yang ada bukannya bubar, malah tambah ada
pengunjung lain yang tadinya tidak tahu ada kejadian, malah jadi tahu
dan penasaran ikut nonton, hanya saja memang mereka hanya berdiri di
seberang pagar atrium, tidak ada yang berani mendekat.
“Apa ini? Non hanya memakai selendang ini ke sini? dan kalian bilang ini
bukan sesi foto profesional??” tanya Ratno kemudian setelah berhasil
mengatasi salah tingkahnya. Tapi tetap saja dia tidak bisa
menyembunyikan wajah mupengnya.
“Mm.. memang bukan kok pak…”
“Iya, saya bukan model profesional kok pak Ratno… mas Adi… Hi hi hi…”
Rasti yang menyilangkan kedua tangan di dadanya mencoba ikut menjawab,
tapi malah banyak ketawa ketiwinya. Upaya sia-sia Rasti untuk menutupi
bagian vitalnya malah menjadi pose yang memiliki daya rangsang
tersendiri.
Adi yang belum bisa mengendalikan salah tingkahnya berbisik lagi pada
pak Ratno, keduanya menengok ke belakang. Walah, pengunjung malah pada
berkerumun di seberang. Malah ada yang mengambil gambar dengan HPnya.
Ratno berteriak kesal sambil menggerakkan tangannya menyuruh mereka
bubar. Tidak semudah itu tentunya menyuruh kerumunan itu bubar. Rasti
sendiri malah berusaha melongok-longok melihat kerumunan itu. Edannya,
Rasti malah kemudian melambaikan tangannya sambil melontarkan senyum
pada kerumunan itu. Betul-betul jiwa lonte.
“Suit suiitt…” Riuh suara para pengunjung dibuatnya. Ratno yang
menyadari tingkah Rasti itu tanpa pikir panjang langsung menggaet lengan
rasti, mencoba menggelandangnya menuju ruang pertokoan kosong di sisi
itu.
“Aduuh.. pak Ratno, jangan kasar-kasar dong…” ucap Rasti manja. “Saya
mau dibawa kemana? Boleh saya pakai baju saya dulu?” Rasti melawan,
mencoba bertahan di tempatnya untuk meraih kain selendangnya.
“Baju apaan?! itu cuma selembar kain… Kita ke balik toko-toko di sana, sembunyi dari pandangan orang-orang!”
“Eeh, emang saya mau diapain pak…?” Ucap Rasti, terdengarnya lebih ke
arah genit, ketimbang ketakutan. Pak Ratno makin gemas dibuatnya.
“Sudah, ayo ikut…!”
“Be… bentar pak…” Di tengah kepanikannya Tedi malah memberanikan diri
menyela. Sementara teman-temannya yang lain diam membisu. Tegang
sekaligus excited juga menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Apa…?”
“Sebelum dibawa ke sana, boleh saya ambil fotonya dulu… sekalii aja…” pinta Tedi.
“Apa maksudnya? Kamu mau motret kita!?”
“Bu.. bukan, mau motret Ma.. eh, motret model saya aja…” Hampir saja
Tedi berkata ‘mama’. “Ini momennya bagus banget, saya ingin ambil gambar
model saya polos, dengan latar belakang kerumunan orang itu… boleh ya…
Bapak minggir dulu?” jelas Tedi sambil menengok ke arah kerumunan
pengunjung di seberang atrium sana. Tambah banyak yang berkerumun. Ini
jelas momen yang tak boleh dilewatkan. Meskipun jumlahnya cuma sekitar
belasan atau paling pol 20 orang, karna untung saja ini di lantai atas
yang masih sepi, coba kalau di lantai bawah, pasti ratusan orang yang
ngerumunin. Ya iyalah, sejak awal kan memang memilih foto-foto di lantai
yang sepi ini. Gumamnya dalam hati.
Pak Ratno dan Adi berbisik, menengok ke belakang untuk kesekian kalinya.
“Ga bisa! Enak aja kamu…” tegas pak Ratno.
“Duuh, kenapa sih? Boleh dong paak” Ucap Rasti. Tedi surprise juga, ibunya itu ternyata malah ikut membantu membujuk pak Ratno.
“Gini ini kalian masih mengelak bukan professional??” Ucap security paruh baya itu geleng-geleng kepala.
Saat itu Tedi berpikir cepat sekaligus nekat. Tanpa menunggu persetujuan
Tedi langsung saja mengambil jarak dan membidik mereka dengan
kameranya.
“Eiitt… kamu…” pak Ratno dan Adi spontan menghindar dari ruang bidik
kamera Tedi. Yes! Seru Tedi dalam hati, dapat juga gambar mamanya polos
di dalam mall dengan latar belakang kerumunan pengunjung mall lain. Ini
yang dia inginkan! Tapi momennya begitu cepat. Baik Tedi dan Rasti
seolah punya koneksi batin, Tedi secepat mungkin menjepret Rasti
beberapa kali, dan Rasti juga langsung sadar pose dan ekspresi.
Momen itu hanya berlangsung 3 atau 4 detik saja, karna pak Ratno yang
langsung setengah berlari ke arah Tedi sambil gusar mencoba untuk
merebut kameranya. “Aduh maaf pak… Jangan pak…” Tedi memohon sambil
mencoba mempertahankan kameranya. Rasti spontan juga berlari membantu
Tedi dengan menarik tangan pak Ratno.
“Jangan dong pak please… Ayoo, saya mau dihukum apa deh…” malah Rasti
kini yang menarik pak Ratno menuju komplek pertokoan kosong sebagaimana
tadi Rasti mau dibawa oleh pak Ratno ke situ.
“Ayoo pak…” Rasti ngotot, sambil berjalan lengan pak Ratno dipeluknya
erat. Walhasil kulit lengan pak Ratno menyenggol dan bersentuhan
langsung dengan kelembutan payudara Rasti yang telanjang. Seakan hilang
kekuatan, mau tak mau pak Ratno mengikuti langkah Rasti. Penisnya yang
dari tadi sudah nyut-nyutan kini menegang maksimal. Benar-benar
pemandangan yang seru. Teman-teman Tedi dan Adi si security muda cuma
bisa celingak-celinguk dan menelan ludahnya.
“Huu…” Riuh pengunjung mall mengiringi ketika Tedi, Rasti, pak Ratno dan
Adi kini menghilang di balik pertokoan. Sebelum menyusul, teman-teman
Tedi berinisiatif mengambil selendang Rasti yang tergeletak. Tapi
kemudian, entah siapa yang punya ide duluan, mereka saling berbisik dan
sedikit berdebat, tapi kemudian tampak sepakat. Selendang Rasti mereka
sembunyikan!
Di lorong pertokoan yang sepi itu, Rasti dan lainnya tersembunyi dari
pandangan seluruh pengunjung mall. Pak Ratno dengan napas memburu
langsung meremas payudara Rasti. Matanya dan mata Rasti saling menatap.
Pandangan Rasti yang sayu dan tanpa perlawanan sama sekali semakin
menaikkan libido pak Ratno.
“Aah pak…” desah manja Rasti makin membuat birahi pak Ratno meluap-luap.
Tedi dan Adi hanya mematung, tak tahu harus berbuat apa, terlebih bagi Tedi karena wanita itu adalah ibunya.
“Wow..” gumam teman-teman Tedi yang menyusul dan menjumpai pemandangan itu.
“Bo.. bos…?” Ucap Adi ragu-ragu, dia tentunya tidak menyangka akan
berakhir seperti ini. Pak Ratno dan Rasti masih saling memandang tanpa
bicara. Entah kenapa lidah keduanya kelu. Hanya bahasa tubuh yang
bicara. Remasan tangan pak Ratno pada payudara Rasti makin kencang.
“Aaahh… Paak Ratno…” lenguh Rasti pelan. Lenguhan itu terdengar bagai
perintah pada pak Ratno untuk terus mengeksplorasi tubuh Rasti. Jelas
sekali keduanya kini sedang dilanda birahi yang tak terbendung.
“Booss…” usik Adi lagi. Tampaknya dia makin panik saja melihat perkembangan yang terjadi ini.
“Berisik lo ahh…!” Hardik pak ratno. “Sana berjaga! Kalian juga ngapain
di sini, sana pergi…!” Ujar Pak Ratno pada Adi dan Tedi dan kawan-kawan.
Rasti melirik Tedi dan teman-temannya, kepalanya mengangguk tanda dia
menyetujui pak Ratno. Rasti menginginkan anaknya juga menyingkir dari
situ.
“Cepetan… Adi, lo ngapain masih diam aja… Jaga di luar…! Jangan sampai
ada orang kesini!” suruh pak Ratno. Dengan tergopoh-gopoh Adi beranjak.
Sementara Tedi dan kawan-kawan masih ragu untuk pergi.
“Ma… mama…” Ucap Tedi pelan, sebenarnya tidak jelas juga tujuan Tedi
memanggil Rasti, dia tahu apa yang akan terjadi tak akan bisa dicegah.
Dan memang Rasti dan pak Ratno sendiri sudah tidak menggubris, lidah
mereka kini berpagutan. Panas…!
Beberapa saat berpagutan, pak Ratno jengah juga melihat Tedi dkk yang
belum juga beranjak. “Kalian juga pergi sana!” bentak Ratno mengusir
mereka.
“Udah sayang… keluar dulu… jagain Bobi yah?” kata Rasti ikut-ikutan. Pak
Ratno sempat bertanya-tanya mendengar Rasti memanggil Tedi dengan
sebutan ‘sayang’. Tapi itu tidak dipusingkannya lebih jauh.
Kata-kata Rasti jelas lebih ampuh buat Tedi. Terbukti Tedi dan
teman-temannya langsung menyingkir kemudian. Tapi tetap saja, selain
kemudian tetap berusaha mengintip pergumulan pak Ratno dan mamanya, Tedi
juga ingin memotret mereka diam-diam. Pak Ratno dan Rasti yang juga
menyadari itu kini sudah tak peduli lagi, ketimbang ngurusin ngusir Tedi
dan kawan-kawan, mereka lebih memilih untuk konsentrasi dalam menikmati
persetubuhan. Bagi teman-teman Tedi, ini adalah pemandangan yang mereka
tunggu-tunggu. Mereka akhirnya bisa juga melihat secara langsung
bagaimana ibu teman mereka yang cantik dan seksi ini disetubuhi.
Pak Ratno yang nafsunya sudah diubun-ubun langsung menurunkan celananya,
lalu merebahkan tubuh Rasti di atas kardus lusuh. Dia ingin menikmati
wanita cantik ini secepatnya. Tanpa menunggu apa-apa lagi diapun
menghujamkan penisnya ke vagina Rasti. Tidak terlalu sulit karena vagina
itu memang sudah banjir sejak tadi.
“Nghhh… pak….” Lenguh Rasti manja sambil memeluk erat tubuh pria itu.
Pak Ratno sendiri sedang sangat menikmati betapa nikmatnya penisnya
dijepit oleh vagina Rasti. Dia merasa seperti mimpi bisa menyetubuhi
seorang model yang luar biasa cantik. Bagai ketiban durian runtuh.
Sambil penisnya asik keluar masuk vagina Rasti, tangan pak Ratno juga
tidak mau diam menjelajahi bagian tubuh Rasti yang lainnya. Payudara
Rasti diremas-remasnya, mulut Rasti dikobel-kobel pakai jarinya. Rasti
juga terus memandang sayu pada pak Ratno, membuat pria itu jadi semakin
bernafsu pada dirinya. Rasti benar-benar melayani pria itu sepenuh hati
layaknya melayani pelanggan-pelanggan royalnya.
“Ugh… Mimpi apa gua semalam bisa ngentotin model cakep kayak non… siapa namanya tadi?”
“Ngghhh… Rasti pak…” jawab Rasti terengah-engah.
“Non Rasti cantik banget, nafsuin, he he he…”
“Mmhh… makasih Pak… tapi saya bukan model kok Pak…”
”Jadi benar non ini bukan model?”
“Iya… kan saya… sudah bilang dari tadi… ssshh… terus Pak…” Rasti
menjawab dengan nafas terputus-putus sambil terus menikmati genjotan pak
Ratno.
“Jadi non ini siapa?”
“Saya… saya lonte Pak… ngghhh…” jawab Rasti terang-terangan.
“Hah? Lonte? Terus mereka itu?”
“Anak saya dan teman-temannya pak…”
“Hah?” alangkah terkejutnya Ratno mendengar jawaban Rasti. Dia tentunya
tidak habis pikir kalau wanita secantik Rasti adalah seorang lonte,
terlebih para remaja tadi yang ternyata adalah anaknya dan teman-teman
anaknya. Namun mengetahui hal itu pak Ratno malah semakin menjadi-jadi
menyetubuhi Rasti.
“Terserah deh mau lonte atau apa, yang penting cakep.” ujar pak Ratno
sambil membalikkan tubuh Rasti. Dia ingin menyetubuhi Rasti dengan gaya
doggy. Gaya yang tidak pernah mau dilakukan istrinya. Betapa girangnya
dia mendapati Rasti menurutinya.
“Hihihi… ya udah pak dinikmati yah..” ucap Rasti manja. Merekapun lanjut
bersetubuh dengan panasnya. Dengan gaya seperti itu pak Ratno
terus-terusan meremas buah dada Rasti yang menggantung bebas. Sesekali
mereka berciuman. Tedi benar-benar banyak mendapatkan momen yang luar
biasa hot untuk diabadikan. Momen ibu kandungnya yag sedang digenjot
security mall yang tampangnya tidak bisa dibilang ganteng.
Rasti juga sangat menikmati sensasi bersetubuh di tempat umum begini.
Apalagi sambil ditonton oleh anaknya dan teman-teman anaknya, bahkan
difoto segala. Dia merasa melayang-layang. Vaginanya terasa sangat basah
mengapit penis hitam pak Ratno. Baik pak Ratno maupun Rasti betul-betul
terbuai. Tanpa sadar mereka terus bersetubuh diringi suara tangisan
Bobi yang kembali rewel.
“Itu bayinya non kan? Nangis tuh…”
“Iya Pak. Sayang… kalian tolong jagain Bobi bentar yah…” ujar Rasti pada
Tedi dan teman-temannya yang ia tahu masih asik mengintip di sana.
Rasti malah memilih untuk menuntaskan birahinya dulu.
“I..iya ma.” sahut Tedi. Pak Ratno nyengir dibuatnya, dan makin semangat menggenjot Rasti. “Aah… Lonte…” Racaunya berkali-kali.
“Cepetan yah Pak…” ucap Rasti kemudian pada pak Ratno, dia tidak tega
juga membiarkan bayinya rewel lama-lama. Pak Ratnopun benar merespon
dengan makin mempercepat kocokan penisnya. Membuat tubuh Rasti makin
melenting-lenting dalam pelukannya. Teman-teman Tedi sampai menahan
napas menyaksikannya. Adegan yang fantastis!
“Gua a ahh sampai… terima nih peju… Lontee… Arggghhhh….” Menjelang
klimaksnya pak Ratno makin dalam menancap vagina rasti, dan Rasti sama
sekali tidak berupaya melepaskan diri. Justru pak Ratno merasa Rasti
balas menekankan tubuhnya ke belakang seakan ingin penis pak Ratno
menancap lebih jauh hingga ke rahimnya.
Crooootttt……. Tubuh pak Ratno kelojotan dilanda orgasme yang rasanya
berkali-kali lebih nikmat dengan menyemburkan seluruh pejunya di liang
Rasti.
“Shhhh… Pak….” Rasti memejamkan mata meresapi tiap tetes orgasme pak Ratno yang deras menerjang rahimnya.
Mereka klimaks bersamaan. Lagi-lagi Rasti menampung pria yang entah
siapa begitu saja di dalam vaginanya. Benih-benih dari sang security
menyemprot dengan bebasnya ke vagina ibunya Tedi itu, yang mungkin saja
akan menjadi anak nantinya. Baik Tedi maupun teman-temannya dibuat
terpesona melihat pemandangan ini. Hanya dengan menonton saja rasanya
mereka ingin muncrat. Tedi tentunya tidak lupa untuk mengabadikan momen
itu, terlebih ekspresi ibunya yang sedang dilanda orgasme.
“Ughhh… makasih yah non… bolehkan kapan-kapan lagi, hehe…” Ucap pak Ratno setelah mereda, namun masih sedikit terengah-engah.
“Kalau selanjutnya sih bayar pak, hi hi hi hi…”
“Ah, si non gitu… iya deh bayar, tapi kasih diskon yah non, kalau bisa
100% he he he,” ucap pak Ratno seenaknya. Rasti hanya tertawa cekikikan
mengiyakan saja omongannya.
“Woi Di! Sini lo!” panggil pak Ratno pada Adi yang betul-betul melaksanakan tugasnya dengan baik menjaga keadaan di luar.
“Ya bos?” sahut Adi sambil masuk ke dalam.
“Cicipin nih lonte cantik, mumpung gratis.” suruh pak Ratno sambil
melirik Rasti. Pandangan mata Rasti tak menunjukkan keberatan sama
sekali. Tapi Adi sendiri justru terlihat ragu-ragu dan takut. Dia tidak
sebejat pak Ratno. Adi benar-benar takut ketahuan meskipun celananya
juga sangat sesak karena mendengar suara lenguhan dan desahan sedari
tadi.
Di luar dugaan Rasti malah mempersilahkan bahkan menyemangati pemuda
itu. “Ayo mas Adi… kalau mau gapapa… Kapan lagi lho? Besok ga bisa
gratis lho.. hi hi hi…”
“Ayo, tolol lo rejeki ditolak… sok jaim banget sih lo, kapan lagi seumur
hidup lo bisa ngerasain cewek secantik ini? Goblok lo…!” ujar pak Ratno
kesal.
Justru Rasti kemudian yang beranjak dan menghampiri Adi, meraih
tangannya dan menariknya pelan dan menggoda. “Yuuk mas Adi… pak,
kayaknya mas Adi ini malu kalo diliat, pak Ratno gantian jaga deh…” goda
Rasti lagi. Namun di luar dugaan Rasti, ternyata Adi benar-benar masih
kuat imannya. Hal itu sungguh membuat Rasti kagum padanya. Dia tidak
ingin memaksa juga.
“Goblok lo Di!” maki pak Ratno.
“Ya sudah kalau mas Adi gak mau, tapi kalau suatu saat mas pengen datang
saja ya ke rumah saya… Nanti saya kasih layanan spesial gratis deh
untuk mas Adi.” ujar Rasti kemudian. Dia lalu mengambil pena dari saku
kemeja security itu dan menuliskan alamatnya di telapak tangannya. Namun
justru yang semangat adalah pak Ratno.
“Eh, jangan lupa diinfokan ke manager-manager mall juga, hi hi hi…”
lanjut Rasti kemudian promosi. Tentunya kalau pada manager Rasti akan
meminta bayaran.
“Eh, i..iya” jawab Adi gugup. Sungguh membuat Rasti gemas terhadapnya, sampai-sampai Rasti mencubit pipi Adi.
“Ya udah.. mas Adi dan pak Ratno balik kerja gih sana.”
“Iya non, ah.. lo goblok Di…” Pak Ratno masih saja kesal dengan sikap culun Adi. Kedua security itupun meninggalkan mereka.
“Makasih ya pak Ratno… Rasti tunggu di rumah ya…”
Fiuhh… Leganya Tedi. Rastipun juga ingin segera pegi dari sana.
Bisa-bisa bakal ada orang lain lagi yang lewat, gak bakal ada habisnya
nanti.
“Sayang, ambilin selendang Mama dong…” Pinta Rasti.
Namun Tedi tidak bisa menemukan selendangnya.
“Selendang mama tadi mana sih?”
“Hah? Emang ga ada tergeletak di situ… Duuh, kemana ya?”
“Hilang tante? Duh… gawat tuh…” ujar teman-teman Tedi pura-pura tidak tahu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar