Escape from Mall…………………………..
“Jadi gimana dong? Masa tante harus kembali ke parkiran telanjang bulat gini sih?”
“Ya mau gimana lagi tante… selendangnya gak ketemu sih…” ujar
teman-teman Tedi santai masih berpura-pura tidak tahu. Mereka memang
tidak punya niat untuk mengembalikan selendang itu. Mereka ingin
mengisengi ibu teman mereka ini. Sungguh kurang ajar.
Rasti sendiri juga curiga kalau teman-teman Tedi itulah yang
menyembunyikan selendangnya. Meskipun kalau memang merekalah pelakunya,
Rasti malah memilih untuk mengikuti permainan mereka ini.
Mereka kemudian berembuk bagaimana mencari jalan keluar yang aman bagi
Rasti. Sebagaimana banyak mall lain, tiap lantai di mall ini ada tempat
parkir mobilnya. Di lantai tempat mereka berada, pintu keluar ke tempat
parkir lantai itu hanya berjarak 10-15 meteran dari komplek pertokoan
yang kosong itu. Akhirnya disepakati solusinya Rasti ditinggal di situ
bersama Bobi, sedangkan Tedi dan teman-temannya turun mengambil mobil
yang diparkir di basement untuk di bawa ke lantai atas. Untunglah Tedi
sudah bisa nyetir.
Saat Tedi dan teman-temannya pergi, Bobi mulai rewel. “Cayaaangk…
bentar ya kak Tedi sedang pergi ambil mobilnya buat jemput mama ke atas.
Duh, kamu haus ya… maaf ya tadi susu mama masih dibuat mainan sama pak
satpam. Hi hi hi… Yuk mimik susunya sekarang…” Sungguh cara seorang ibu
becandain anak yang tidak lazim. Tapi bagaimana lagi, itulah Rasti yang
sekarang merasa sexy sekali telanjang di situ sendirian, menyusui
bayinya, sementara di seberang sana dia bisa mendengar sayup-sayup orang
yang berlalu lalang. Ada desiran-desiran perasaan di dalam dadanya yg
susah dideskripsikan. Berdebar-debar, waswas, tegang, excited, bangga,
malu, sensual, dan sebagainya campur aduk menjadi satu.
“Tedi sama teman-temannya kok lama sih… duh…” pikir Rasti gemas setelah
15 menit berlalu. “Pasti mereka sengaja berlama-lama... Paling ini juga
bagian dari fantasi mereka. Dasar!” Tebak Rasti. Ya, Tedi memang
sengaja meninggalkan ibunya sejenak bertelanjang bulat di tempat ramai
sendirian. Teman-teman Tedipun terpuaskan fantasinya mengisengi ibu
teman mereka yang seksi itu. Untunglah memang di situ sangat aman.
Rasanya tidak akan ada pengunjung yang masuk ke kompleks pertokoan yang
jelas-jelas masih kosong itu.
Bobi cuma sebentar menyusu, dan kini dia sudah tertidur di gendongan
rasti. Gara-gara Tedi tidak datang-datang, perasaan campur aduk yg
dirasakan Rasti tadi makin menjadi-jadi. Rasti kemudian iseng-iseng
jalan melenggak-lenggok di lorong pertokoan kosong itu bak peragawati.
Berpose-pose di depan kaca toko yg besar-besar itu dengan gaya binal,
mengekspos payudara dan selangkangannya sambil berkhayal jadi model
porno. Rasti merasa geli sendiri dengan tingkah konyolnya itu. “Ah dasar
kurang kerjaan,” cibirnya pada diri sendiri.
“Duuh Tedi lama amat sih... tega banget sama mama... kalo mama ketahuan
orang trus diperkosa rame-rame gimana coba? Iih jangan-jangan kamu
malah kegirangan ya sama temen-temenmu? Dasar... kayak tadi kamu seneng
kan mama diperkosa pak satpam?” Rasti mulai ngomong sendiri dalam hati.
Membayangkan persetubuhan yang baru saja dilaluinya Rasti jadi
senyam-senyum sendiri. Ah, malah jadi horni lagi dia sekarang.
“Duh, Tedi.. mama dingin nih…”
“Pak Ratnooo... sini dong entotin Rasti lagi... Hi hi hi……” Pikiran
Rasti mulai liar tidak jelas, dan dia menertawakan dirinya sendiri juga.
Rasti mengintip-ngintip ke seberang mall. Aah, sekarang di sana
terlihat sepi juga... tidak dilihatnya pengunjung lalu lalang. Lantai
atas ini memang pada dasarnya belum full beroperasi, jadi jarang
pengunjung yang naik.
“Kayaknya asyik kali ya kalau jalan kesana, belanja-belanja sambil
bugil. Pasti heboh banget, hi hi hi…” Rasti mulai berkhayal sambil
melangkah keluar komplek pertokoan itu dengan bergaya, tapi... langsung
lari masuk ke dalam lagi.
“Hi hi hi... ga jadii...” Rasti excited sendiri kayak anak-anak sedang
main petak umpet. Kemudian ngintip-ngintip lagi. “Kayaknya sepi deh...
kayaknya kalo jalan keluar sampe atrium aman.” Rasti berjingkat keluar,
tapi sudah sampai keluar setengah jalan menuju atrium, dilihatnya orang
di seberang atrium, Rasti pun buru-buru lari masuk lagi. Tingkah dan
ekspresinya yang malah kegirangan sungguh sangat menggemaskan. Ya,
bagaimanapun Rasti memang masih sangat muda, masih suka main-main,
bercanda, serta konyol-konyolan seperti remaja.
“Aah payah… Ah penakut... Ayo keluar...”
“Gilaa Ah...”
“Paling-paling dikira orang gila trus dilaporin satpam...”
“Ketemu pak Ratno lagi dong?”
“Iya...”
“Dientot lagi dong...”
“Ihh… asyik kan?”
“Aah nggak Ah, Pak Ratno mah jelek... mas Adi itu lho yg nggemesin.”
Rasti malah jadi berdebat dengan diri sendiri. Konyol. Untung kegilaan
Rasti cuma berakhir di khayalan yang ngaco gara-gara kurang kerjaan.
Tapi membayangkan aksi itu memang menjadi keasyikan tersendiri bagi
Rasti. Libidonya naik.
“Huhh… puas kamu Tedi ngerjain mama kayak gini? Bandel deh kamu...”
Tiba-tiba, glek!
Di tengah Rasti asyik mengintip dan berkhayal, dia melihat sesuatu yang
membuat jantungnya berhenti sesaat. Gawat! Sekelompok orang datang dari
bawah dan begitu sampai di lantai itu, mereka langsung berjalan menuju
ke arahnya! Mereka bukan pengunjung mall! Tampaknya para tukang yang
mengurusi pengerjaan pertokoan kosong yang memang tampak belum selesai
itu. “Aah, kenapa mereka mulai ngerjainnya siang-siang begini? Aneh
sekali...” Pikir Rasti panik. Tapi yang penting apa yang harus dia
lakukan? Di tengah panik Rasti malah menghitung-hitung jumlah tukang
itu. Duuh… Ada sekitar 9 orang! Darahnya berdesir. Tubuhnya seketika
menghangat. Sungguh sensasi yang susah digambarkan. “Aduuh... gimana
nih, Tediii... tolong Mama!”
Saat-saat genting Rasti akhirnya mempunyai ide. Dia akan pura-pura pingsan!
“Ya…!”
“Haah, ide macam apa itu?”
“Biarin... emang ada ide lain?”
“Lari aja…?”
“Lari ke mana?!”
Lagi-lagi Rasti berdebat dengan diri sendiri. Secepat kilat Rasti ambil
posisi di atas kardus tempatnya dientot oleh pak Ratno tadi, Bobi
ditaruh di sebelahnya di lantai.
“Maaf ya sayaang.. bentar aja kok.” Ujar Rasti pada bayinya.
Para pekerja itu makin dekat dan akhirnya benar-benar masuk ke komplek
pertokoan itu. Alangkah terkejutnya mereka mendapati sesosok wanita
bertelanjang bulat tergeletak dengan bayi di sampingnya.
“Wow!”
“Wiih Siapa nih?”
“Kenapa dia?”
“Wuih cantik coy!”
“Buset bening...”
“Itu bayinya?”
“Masih hidup nggak tuh??” Mereka berkomentar macam-macam melihat
keadaan ini. Rasti hanya bisa mendengarkan sambil berdebar-debar.
Dadanya serasa digedor-gedor dari dalam. Dia merasakan ada yang mendekat
dan… Tiba-tiba dia merasakan kakinya diraba-raba. Seet… Rasti menelan
ludahnya.
“Mulus bro...!”
“Gilee... ga nahan…”
“Anjriitt, sumpah beneran cantik ternyata…!” Ujar si peraba itu yang
kini menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah Rasti. Dia kini
melihat jelas wajah Rasti yang elok. Satu tangan lagi dirasakan Rasti
meraba kulit mulus kakinya dan menjalar sampai ke paha Rasti.
Benar-benar bimbang Rasti dibuatnya, detak jantungnya berdebar makin
keras. Haruskah dia bangun sekarang?
“Heeh apa ini??” tiba-tiba terdengar suara lain yang lebih berwibawa.
“Eeeh.. ng nggak bos… ii... Ini boos...”
“Hah? Siapa dia? Kenapa kok tergeletak disini...?”
“Yaa ga tau bos, kita datang udah kayak gini keadaannya...”
“Itu bayinya?”
“Ya kemungkinan... bayi siapa lagi? Gimana nih bos?”
“Ambil bayinya, gendong dulu... kasihan..."
Rasti lalu mendengar langkah kaki menghampirinya. Lalu... set, dia merasakan tubuhnya ditutupi dengan sesuatu kain!
“Non... non...” ujar pria itu berusaha membangunkan Rasti. Inilah saatnya. Rasti harap rencananya berjalan lancar!
Rasti pura-pura terbangun dalam kekagetan, celingak-celinguk, kebingungan, ketakutan.
“Aahh...! Kyaa...! Siapa kalian?? Ini dimana....?? Tolong...! Bo... bobiii... bobi...!” Pekik Rasti bersandiwara.
“Tenang non, tenang… tenang… non aman...! Kami bukan orang jahat!” Si
suara berwibawa yang dipanggil bos itu dengan sigap membekap mulut
Rasti, tapi dia berusaha tidak sampai menyakiti Rasti. “Non aman! Tenang
dulu.... siapa Bobi?” Ucapnya meyakinkan.
“Anak saya!”
“Ini Bobi?” orang yang dipanggil bos itu kemudian menyodorkan Bobi pada Rasti.
“Jangan khawatir.. Dia juga aman...” ucapnya menenangkan.
“Bobii...!” Rasti meraih bobi dan mendekapnya. Otomatis kain yang
menutupi tubuhnya yang ternyata adalah sebuah jaket terlepas dari
tubuhnya. Rasti tidak peduli. Dalam hatinya Rasti sangat menikmati ini.
Telanjang bulat dikerumuni banyak pria asing tak dikenal.
“Wow..” gumam para pekerja itu. Glek... jakun, mereka naik turun melihatnya.
“Non kenapa disini? Telanjang begini, apa yg terjadi?” Kata si bos yang
kini Rasti mencermati wajahnya. Kharismatik juga. Rasti cuma
menggeleng-geleng cepat, pura-pura bingung.
“Ambilin minum!”
“Iya bos.. ini.. bos.”
Rasti menerima minum yang ditawarkan. Saat Rasti minum, si bos menutupi tubuh Rasti kembali dengan jaketnya.
“Non bisa ingat-ingat tadi sebelum pingsan, non sedang apa? Sama
siapa?” Rasti celingak-celinguk berlagak bingung mencari sesuatu.
“Kami tidak menemukan apa-apa bersama non di sini selain anaknya non...
ee.. Bobi ya namanya...? Tapi tidak ada pakaian, tidak ada tas, atau
apa pun lainnya...”
Rasti makin terisak.
“Duh, actingku lumayan juga. Hihihi, bakat nih” dalam hati Rasti memuji diri sendiri.
“Wah kasihan nih... kayaknya korban perkosaan dan perampokan...”
“Gila... tega bener pelakunya...”
“Tapi lumayan juga ya, si non nya cantik bener...”
“Anjrit, beruntung pelakunya…”
“Hushh! Parah lo… denger tuh si non nya…!” terdengar para tukang itu
berbisik-bisik. Rasti yang mendengarnya jadi geli-geli bangga dalam
hati. Padahal barusan dia bukan diperkosa, tapi malah dia yang
berinisiatif mengajak kedua satpam tadi bersenggama. Dia juga sangat
senang dipuji-puji cantik oleh mereka. Dasar Rasti binal.
“Udah, panggil security! Suruh hubungi polisi sekalian!” Ujar si bos
mengambil keputusan. Rasti yang mendengarnya jelas malah panik.
“Jangaan paak… please jangan! Ga usah...!” Cegah Rasti cepat. “Saya
malu pak... sudah saya ga apa-apa...” Rasti mencoba berdiri masih sambil
membawa Bobi di gendongannya.
“Eit... pelan-pelan non... jangan bangun dulu...” Si bos berusaha
mencegah tapi Rasti tetap ingin berdiri. Akibatnya jaket yang hanya
diselampirkan di pundaknya itu melorot lagi.
“Woow...”
“Ihiiy…”
“Ga bosen-bosen nih…”
Riuh suara pekerja itu membuat si bos geleng-geleng kepala.
“Aduh,” keluh Rasti, tapi sejatinya di dalam hati teriak, “yes!”
Si bos kemudian buru-buru memakaikan jaket itu lagi. Rasti pasif saja menuruti.
“Aah si bos niih...” gumam para pekerja itu lagi kecewa, mereka
tentunya ingin terus menikmati pemandangan indah tubuh Rasti yang polos.
Karna tangan rasti mendekap Bobi, jaket itu lagi-lagi hanya bisa
ditaruh di pundak Rasti. Jadi bagian depannya masih terbuka, termasuk
bulu-bulu halus di selangkangannya terlihat jelas. Bahkan cairan kental
yang mengalir dari vaginanya juga disadari oleh para tukang. Sungguh
seksi.
“Wah bener korban perkosaan nih... kasihan ya...”
“Kasihan apa pengen?”
"Gimana lagi coy... kasihan sih, tapi... seksi juga..." Di saat seperti
ini Rasti malah semakin berbunga-bunga dibicarakan seperti itu.
Si bos yang mendengar ucapan mereka menghardik para pekerjanya. Dia
lalu menyuruh salah satu dari mereka membelikan pakaian dan sisa pekerja
lainnya dia suruh keluar.
“Huuu...” koor protes para pekerja itu terdengar kompak. Si bos
mendelik kesal pada tingkah anak buahnya itu tapi Rasti tertawa geli
dalam hati. Puas sekali. Aah, andai bisa lebih lama. Bahkan Rasti
membayangkan akankah dirinya akan dijadikan ajang pelampiasan nafsu oleh
tukang-tukang itu? Brrr... menggigil sekaligus berdebar-debar Rasti
membayangkan dirinya digangbang mereka semua. Rasti kemudian mengamati
fisik si bos lagi. Kulitnya hitam penuh tatto, badannya kekar, kumis
tebal menghiasi wajahnya menambah kesan macho. Meski beberapa uban
tampak di rambutnya yang masih lebat, rasti menaksir umur si bos paling
baru awal 40an. Wajahnya tidak tampan, tapi juga tidak jelek-jelek amat.
Aah… Rasti jatuh hati pada si bos ini. Rasti memang gampang banget
kesengsem pada pria. Dan kalo sudah kesengsem ya tubuhnya rela diberikan
tanpa syarat, hihihi.
Singkat cerita Rasti kini di dalam sebuah ruangan salah satu toko
kosong di situ, bersama si bos dan 2 orang pekerja lain yang tampaknya
juga senior di antara yang lainnya. Tapi kedua pendamping bos itu lebih
banyak diam. Para pekerja lain berada di luar ngintip-ngintip di balik
kaca. Rasti diinterogasi, dia kini sudah memakai daster minim yang
terbuka di bagian pundaknya, hanya menggunakan tali tipis yang diikat.
Bahkan Rasti tidak dibelikan pakaian dalam sama sekali! Tadinya si bos
memarahi orang suruhannya yang membelikan baju seminim itu. Tapi Rasti
meyakinkannya bahwa dia tidak apa-apa dan mengucap terimakasih
berkali-kali.
Rasti cerita panjang lebar dengan cerita dan acting yang meyakinkan.
Satu sisi mengiba, sisi lain berusaha menampakkan ketegaran. Dan si bos
tampak sekali empati padanya. Rasti sendiri kaget dia bisa spontan
mengarang cerita perkosaan dan perampokan fiktif itu dengan lancar. Dia
jadi berulang kali memuji diri sendiri dalam hati. Rasti juga
menceritakan alasannya kenapa dia tidak mau dilaporkan polisi.
“Tapi saya benar-benar tidak ingin ada polisi pak… Benar… Pertama, saya
sekarang sangat malu… Ta… tapi… ee, lagian saya bersyukur juga ga sampe
disakiti pak…”
Si bos yang mendengarkan manggut-manggut, tapi Rasti masih menangkap
kegusaran nampak di wajahnya. Merasa belum cukup, Rasti pun melanjutkan
argumennya, “Dan… ee, harta saya yang hilang tidak seberapa pak… Saya
tidak membawa uang tunai banyak, tidak ada kartu kredit atau ATM, dan
saya juga tidak memakai perhiasan… Ma… Makanya… Saya sangsi polisi akan
berbuat banyak. Saya yakin juga polisi pasti tidak akan mampu menangkap
orang yang… yang… mem… perkosa saya…” Ucap Rasti tersendat.
Tenggorokannya tercekat. Meyakinkan!
“Saya memilih melupakan semuanya pak…!” Pungkas Rasti sambil berusaha setragis mungkin.
“Tapi.. non yakin…? Non rela? Pemerkosa itu harus dihukum… enak sekali
dia bisa jalan bebas, pasti dia bakal nyari korban lain!” ujar si bos
geram.
“Mana ada perempuan yang rela diperkosa, tapi saya pesimis dengan kerja
polisi pak… maaf, saya juga ga mau repot. Udah malu… ga ada hasilnya…
apalagi kalo sampai masuk berita… memang kesal sekali pak, tapi ya mau
gimana lagi… sudah nasib…!” ucap Rasti berkaca-kaca. Si bos
manggut-manggut, sebagai mantan preman dia juga paham bagaimana cara
kerja polisi yang memang tak bisa diharapkan untuk kasus-kasus ‘kecil’
seperti ini. Si bos benar-benar larut ke dalam cerita Rasti.
“Ya udah kalo gitu non saya antar pulang…?” Tawarnya simpatik.
‘Duh mau bangeeet’, ucap binal Rasti dalam hati. Tapi tentu bibirnya berkata lain.
“Ee ga usah pak, saya sebenernya ke sini sama anak saya yang lain dan
teman-temannya. Tapi kami berpisah, mereka main-main sendiri tadi…”
Rasti melirik jam dinding.
“Mustinya sebentar lagi mereka akan ke atas mencari saya... Eee… Saya
bawa mobil pak… Oh ya… pak… saya juga akan sangat malu kalau anak saya
sampai tahu apa yang terjadi pada ibunya… kasihan juga... ee… ja di…”
“Non ingin dirahasiakan ke anak non juga…?”
“Iya pak, saya malu, anak saya juga pasti… dia pasti akan sangat
terpukul… dan… ee…” Rasti pura-pura kalut dan kebingungan. Si bos yang
melihat itu jadi makin iba, apalagi paras Rasti yang jelita membuatnya
menaruh hati.
“Oke non… saya paham. Menurut saya sekarang yang penting non pulang dan
menenangkan diri dulu, kalaupun nanti non ingin mengambil keputusan atau
langkah apapun, jika butuh bantuan saya siap membantu.” Ucapnya tulus.
----------------------
Begitulah akhirnya Rasti lolos dari masalah itu. Rasti sebenarnya sudah
siap mental jika harus kegangbang lagi oleh para tukang-tukang itu, tapi
hidup bukanlah seperti cerita-cerita panas di forum cerpan 64.237.43.94
Ya, ternyata ada si bos yang fisiknya preman tapi hatinya baik. Dan… Rasti jatuh hati padanya.
“Ba.. bapak sudah menikah? Sudah punya istri…?”
“Ee… ng.. saya sudah bercerai… kenapa tanya itu?”
“Mm, ng..gak, soalnya bapak baik banget sama perempuan… makasih ya
pak...” Rasti menghadiahkan senyum super manisnya. Laki-laki manapun
pasti blingsatan mendapatkan senyuman Rasti yang dahsyat. Tak terkecuali
si bos yang dari tadi sok cool ini, tapi sebenarnya dari awal juga
sangat mupeng mengagumi kecantikan Rasti.
Rasti memberi alamat dan nomor telepon pada si bos dan memintanya
datang ke rumah kapan-kapan. Rasti berniat ingin ‘membalas’ kebaikannya,
juga mengganti baju yang dia belikan. Meski si Bos berulang bilang
bahwa baju itu tidak usah diganti, Rasti ngotot meminta dia datang ke
rumah. Rasti ingin 'balas budi'.
Di sisi lain lantai itu, Tedi dan teman-temannya dari tadi sebenarnya
sudah datang, tapi melihat banyak tukang berkerumun di komplek tempat
Rasti sembunyi, mereka langsung ngumpet di pojok mall sambil mengintip
penasaran. Ya, mereka bukan mengintip cemas akan apa yang terjadi pada
Rasti saat itu, tapi lebih ke mupeng membayangkan Rasti sedang
digangbang oleh para tukang itu. Mereka juga sibuk berpikir bagaimana
caranya bisa ngintip lebih dekat supaya benar-benar bisa menyaksikan
adegan yang saat itu hanya bisa mereka bayangkan sambil menahan konak.
Setelah beberapa saat gelisah di pojok mall itu, mereka melihat Rasti
keluar diantar oleh salah seorang tukang, kemudian Rasti
membungkuk-bungkuk pada semua tukang, tampak seperti hendak pamit dan
mengucapkan terima kasih. Makin mupenglah Tedi dan teman-temannya.
Melihat pemandangan itu, dugaan mereka bahwa telah terjadi gangbang
makin kuat. Tedi pun kemudian langsung lari menuju Rasti.
“Maa…” panggil Tedi.
“Aah… itu anak saya dan teman-temannya pak… mari… te… terima kasih…!”
ucap Rasti pada si bos dan para tukang yang lain lalu bergegas
menghampiri Tedi sebelum Tedi sampai. Rasti memeluk Tedi erat karna
berpikir bahwa si bos dan para tukang itu masih memperhatikan dirinya.
Tedi sendiri kikuk dan bertanya-tanya kenapa Rasti tiba-tiba memeluknya
erat.
--------------------------------------------------------------
Kini, mereka semua sudah beranjak pergi dari mall itu dan kembali
berkendara. Tapi Rasti masih memakai daster minim pemberian si bos tadi.
Tedi dan teman-temannya pun tidak peduli, mereka seakan lupa bahwa
seharusnya hari itu Rasti wajib bugil sepanjang perjalanan. Ya, kini
pikiran mereka dipenuhi dengan pertanyaan apa tadi yang terjadi antara
Rasti dan para tukang itu tadi di mall.
“Ma...tadi itu gimana ceritanya?”
“Iya tante.. cerita dong...?”
“Tante diperkosa sama tukang-tukang itu?”
Tak tahan penasaran, beragam pertanyaan pun terlontar dari mulut Tedi dan ketiga temannya.
Tanpa menjawab, Rasti senyum-senyum sendiri. Aah, bikin gemas mereka saja!
“Tante digangbang! Duuh sayang banget ga lihat…” celetuk Romi. Rasti
tergelak, mencubit teman Tedi itu. “Dasar kamuu… mesum melulu pikiranmu
itu lho.. parah…!” Cibir Rasti.
“Makanya cerita dong…?” ucap Romi nyengir.
“Kalian sih nakal, ninggalin Tante sendirian di sana... Huuh...!” Rasti
pura-pura merajuk, tapi sejurus kemudian mengerling pada mereka sambil
tersenyum menggoda, “Emangnya mau tau aja atau mau tau banget?”
“Mau tau bangeeettt!” Keempat remaja itu menjawab kompak.
Rasti tertawa.
“Hihihi, ya udah kalo gitu kita pulang ya? Nanti cerita di rumah…”
Rasti tidak ingin merusak khayalan mereka kalau sebenarnya dia tidak
diapa-apakan.
“Iih gak bisa gitu dong ma, petualangan kita belum selesai nih...” Protes Tedi.
“Hihi, ya udah kalo gitu ceritanya nanti yah? Hmmm… Gimana sayang? Jadi ke tempat itu?”
“Ya jadi lah ma... dah disiapin kan?” Jawab Tedi. Riko, Romi dan Jaka
pun saling berpandangan. Tampaknya Tedi dan Rasti ternyata sudah
merencanakan dan menyepakati tujuan keduanya ini sebelumnya, dan mereka
tidak diberitahu.
“Ted, kita kemana nih sekarang…?”
“Lihat aja ntar…”
The slums old man………………………………………....
Mereka meluncur ke daerah pinggiran. Tidak terlalu jauh, sehingga waktu
tempuhnya memang tidak lama. Tapi daerah yang dituju itu benar-benar
sudah ‘pinggiran’ kondisinya. Ya, kumuh lingkungannya dan miskin
penduduknya. Sebuah pemukiman di bantaran sungai yang sudah mendekati
muara ke laut utara. Daerah ini hampir menuju desanya pacar Rasti semasa
SMA dulu. Tapi daerah ini sangat miskin. Sebagian penduduknya ada yg
jadi nelayan, tapi bukan pemilik kapal, hanya jadi awak kapal saja.
Sebagian lainnya mengemis di jalan. Tidak jarang juga yang terjerumus
kriminalitas, jadi maling sampai begal. Yang paling mending jadi kuli
bangunan. Bagaimana dengan kaum perempuannya? Sebagian dari mereka
melacur seperti Rasti, dan bagi keluarganya itu adalah mata pencaharian
yang lumrah. Tapi jangan ditanya bagaimana kualitas pelacur di daerah
ini. Dapat yang muda saja sudah untung, karna kebanyakan pelacur disini
tua-tua! Tidak jarang usia kepala 4, bahkan ada yang kepala 5 Alias
hampir jadi nenek-nenek! Ironis memang. Begitulah gambaran daerah kumuh
ini.
Rasti dan Tedi sudah punya info tentang daerah ini sebelumnya, di desa
ini mereka mengunjungi sebuah bangunan rumah yang difungsikan menjadi
semacam panti jompo. Bukan hanya penampungan orang tua, tapi dulu tempat
itu juga sebagai penyalur dana santunan, ada kalanya juga menjadi
tempat penyuluhan dan pelayanan kesehatan, termasuk juga menangani
kesehatan para lonte, mendidik mereka tentang PMS, obat-obatan,
kontrasepsi, dan sebagainya. Dulu yang mendirikan adalah sebuah LSM,
tapi karna minimnya dana, juga kucuran donatur yang mandeg, LSM itupun
bubar dan rumah itu menjadi tak terurus. Sekarang terbengkalai, hanya
ada 1 atau 2 mantan anggota LSM itu yang mengabdikan diri mengurusi
rumah itu. Mereka rutin mengunjungi dan mengurusi segala keperluannya.
Tapi terbatas sekali yang bisa mereka lakukan. Dan juga tidak bisa
setiap hari mereka datang, paling banter seminggu sekali itu sudah
untung. Pernah 2 bulan lebih tak ada kunjungan sama sekali.
Rumah ini sampai sekarang masih digunakan, paling tidak sebagai base
camp jika ada bantuan. Sehari-harinya rumah ini dijadikan tempat
nongkrong para orang tua, main catur, kartu dan sebagainya. Tapi tidak
hanya nongkrong, ada juga beberapa kakek yang tinggal di situ,
menghabiskan masa tuanya.
Dokter pribadinya Rasti termasuk yang pernah berhubungan kerja dengan
LSM ini dulunya, Rastipun tahu info ini dari dokternya itu. Lalu apa
yang direncanakan Rasti dan Tedi dengan mengunjungi tempat ini? Beramal!
Itu ide Tedi, dan Rasti menyetujuinya dengan antusias. Ya, Rasti di
sini bermaksud menyumbangkan sejumlah uangnya. Uang yang didapat
sepenuhnya dari hasil menjajakan dirinya kepada para hidung belang.
Di rumah itu Rasti menemui seorang bapak tua yang mewakili penghuni
lainnya secara khusus dan penduduk desa pada umumnya. Pak Unang namanya.
Rasti tentu sudah janjian sebelumnya dengan pak Unang ini yang usianya
sudah 59 tahun ini. Jadi sudah tampak sangat tua. Dia menyambut Rasti
dengan sumringah. Tak peduli giginya yang sdh tinggal 50% dia tertawa
lebar memamerkannya. Kedatangan Rasti di situ jelas menarik perhatian
warga. Mobil mewah, cewek cantik putih mulus. Pemandangan indah yang
jarang mereka saksikan secara langsung. Rasti dikerumuni bagai artis,
dan memang itulah yang mereka kira.
Di dalam rumah, Rasti ditemui pak unang dan rekan-rekannya yang
sama-sama tua. Tidak tanggung-tanggung, Rasti berniat menyumbang uang 20
juta. Jumlah yang membuat penghuni rumah itu berdecak kagum dan
berbinar-binar gembira. Rasti membawa semuanya tunai dalam sebuah tas
hitam kecil, mirip tas pinggang. Kecil memang tas itu, karena Rasti
membawa uang 20 juta itu dalam pecahan 50 ribuan. Artinya, tas itu hanya
memuat empat bendel uang.
Mereka kemudian saling berbincang dan bercerita-cerita. Obrolan yang
ramah dan cair, tidak tampak seperti basa-basi membuat Tedi makin
mengagumi Mamanya. Dia pun sibuk mengabadikan momen itu. Rasti yang
dikelilingi pria-pria tua kumuh, benar-benar objek yang menarik baginya.
Pesona Rasti seakan bertambah dua kali lipatnya. Pembawaan Rasti yang
membumi, tidak canggung, tidak grogi, tidak eksklusif, selalu ramah,
menebar senyum dan tawa, bahkan tangannya sering juga tidak sungkan
menyentuh lawan bicara, tidak ada kesan jarak sama sekali. Rasti bagai
bidadari yang diturunkan dari langit khusus untuk berada di
tengah-tengah mereka.
Tak bisa dielakkan, percakapan mereka kemudian menjurus ke pekerjaan
Rasti yang sudah begitu dermawannya menyumbang uang sebesar itu. Tanpa
malu Rastipun mengaku terus terang profesinya sebagai pelacur.
“Ooooh… Lonte……”
“Se… Serius non Rasti?”
“Hi hi hi… ya serius lah pak, emang kenapa?” Ucap Rasti senang melihat
reaksi para orang tua itu mendengar pengakuannya. Reaksi yang kurang
lebih sama dengan semua pria lain yang baru tahu profesinya. Reaksi yang
selalu membuat Rasti berbunga-bunga tanpa pernah bosan. Ya, bukan Rasti
namanya kalau tidak begitu.
“Nggak sih… Kirain non bintang film.”
“Iya, non kan cakep, kenapa ngelonte?”
“Lho, justru karena saya cantik kan makanya jual diri… Kalau jelek mah jual sayur aja di pasar. Hi hi hi…” Jawab Rasti geli.
“I ya sih… Tapi cewek sini jelek-jelek juga pada ngelonte tuh…”
Celetukan ini sukses memancing tawa semua yang mendengar, tak terkecuali
Tedi dan ketiga kawannya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
setia.
"Wah anak saya juga kadang melonte, tapi ya hasilnya ga seberapa..." Ucap salah seorang.
“Anak lo ngaca dong, tampang begitu laku berapa emangnya? Hua ha ha…!”
Respon seorang yang lainnya. Beberapa orang lainnya ikut tertawa.
“Kampret lo, masih mending anak gue ketimbang si Imah tuh! Tua bangka masih aja jual diri!”
“Tapi si Imah penghasilannya lebih besar dari anak lo!”
“Iya ya… kok bisa begitu ya…?”
“Ya iya laah… empotannya Imah lebih josss tau gak lo!”
“Udah pengalaman tuh! Lebih pinter muasin sopir trek. Ha ha ha…”
Pecah tawa lagi di antara mereka. Obrolan tentang lonte sama sekali
tidak dianggap tabu oleh mereka. Padahal ada juga satu dua orang ibu-ibu
nimbrung di situ. Rasti sendiri yang mendengarnya hanya tersenyum
simpul, kadang tertawa kecil sambil tangannya menutupi mulutnya. Sungguh
cantik ekspresinya.
"Wah kalo lontenya kayak non pasti pelanggan ngantri ya..."
"He he he gue pun juga pasti ikut ngantri..."
"Pala lo peyang! Emang lo punya duit dari mana?"
"Iye, lonte kayak neng pasti mahal ya...?"
"Tapi neng baik banget sih... udah cantik, mau jadi lonte pula... udah gitu uangnya disedekahin..."
Bahkan salah seorang ibu-ibu ada yang ikut berkomentar, "enak ya...
kalo gue secantik eneng, pasti udah jual diri gue... ga perlu repot2
jadi tukang cuci..."
Begitulah komentar-komentar yang ada sama sekali tidak menganggap tabu
profesi Rasti. Bahkan memuji-muji Rasti dan kecantikannya tentu saja.
Setelah obrolan agak mereda, Tedi kemudian meminta ijin sesi foto
khusus untuk Rasti dengan suasana rumah itu. Entah darimana keberanian
Tedi muncul. Sebuah ide terlintas begitu saja di benaknya. Tedi
memperkenalkan diri sebagai seorang fotografer model. Ia menjelaskan
dengan percaya diri seakan-akan memang itu sudah menjadi salah satu
agenda kunjungan mereka, bahwa akan ada sesi pemotretan resmi untuk
sebuah majalah pria. Penuh percaya diri, berlagak seperti fotografer
profesional, Tedi menjelaskan pada bapak-bapak tua disana bahwa Rasti
adalah model yang dikontrak oleh majalahnya untuk tampil di edisi bulan
depan.
Bapak-bapak tua itu manggut-manggut mendengar penjelasan Tedi. Rasti
baru ngeh bahwa dari tadi memang mereka belum memperkenalkan diri
sebagai ibu-anak.
"Bapak-bapak tetep disini aja ya seperti biasa. Jadi bapak-bapak
ceritanya melakukan kegiatan biasa sehari-hari, yang nonton tv, main
catur, dan sebagainya... nanti saya ambil gambarnya juga sebagai latar
belakang. Nanti ceritanya model saya berperan jadi pelayan di sini, saya
mau ambil gambarnya sedang menyapu, ngepel, nyuci, bikin minum, dan
lain-lain. Oke ya pak...?" Terang Tedi panjang lebar memberi arahan.
Meski terkejut karna tak ada skenario sama sekali soal ini, diam-diam
Rasti mengagumi anak sulungnya itu. Tedi tampaknya berbakat jadi
fotografer profesional. Dalam hati, Rasti berniat menguliahkan Tedi ke
jurusan fotografi.
Ya, memang tidak ada perbincangan atau perencanaan sebelumnya antara
Tedi dan Rasti. Jelas Tedi spontan punya ide ini, pikir Rasti. Ia pun
tak keberatan sama sekali mewujudkan keinginan anaknya itu. Yang mana
menyuruh ibu kandungnya sendiri mengerjakan pekerjaan pelayan di rumah
lusuh yang dipenuhi pria-pira tua kumuh itu.
"Wah kalo pelayan begini… aiihh cakepnya..."
"Kayak film itu tuh… Inem Pelayan Seksi!”
“Rasti Pelayan Seksi dong jadinya… Ha ha ha…”
“Kalau ini sih bukan pelayan seksi lagi, tapi bahenol…!”
"Ada adegan kita dimandiin nggak? Hi hi hi…"
Celetukan demi celutukan antusias meluncur dari mulut-mulut keriput
bapak-bapak tua di situ. Rasti malah menanggapinya dengan
senyuman-senyuman manis yang mana makin membuat mereka blingsatan.
Tedi kemudian meminta bapak-bapak itu kembali ke kegiatan masing-masing
secara alami, ada yang ngobrol-ngobrol di ruang tamu, main catur,
nonton tv, dan sebagainya.
Seorang ibu dikenalkan pak Unang sebagai orang yang biasa mengurusi
kerumahtanggaan tempat itu, dari bersih-bersih, masak dan sebagainya.
Mpok Minah, begitu panggilannya. Ia lalu diminta untuk menyiapkan
properti alat-alat seperti sapu, ember, dan kain pel.
"Sore ini model saya yang akan bantu bersih-bersih di sini, mpok Minah
istirahat aja… bapak-bapak, nanti selama model saya bekerja akan saya
ambil gambarnya… Nah, bapak-bapak nanti alamiah saja ya, jangan lihat
kamera, anggap saja saya nggak ada..." Ujar Tedi mengarahkan ulang.
"Kalo ngeliatin modelnya boleh nggak?"
"Kalo colek-colek modelnya boleh nggak?"
Gak ada matinya celetukan mesum dari bapak-bapak itu. Rasti
menanggapinya dengan senyum-senyum saja. Rasti kemudian meminta tolong
mpok Minah menjaga dan mengurusi segala keperluan Bobi si bayi, termasuk
memandikannya nanti. Tentu Rasti memberinya sejumlah uang. Mpok Minah
berbinar melihat 3 lembar ratusan ribu yang diterimanya dari Rasti.
“Siap non…” Jawabnya sumringah.
-----------------------------------------------------
"Sayang, ceritanya mama cosplay nih ya... jadi pelayan? pake kostum
maid? Tapi emang kamu bawa kostumnya? Seksi ngga kostum maidnya?
Hihihi... jangan seksi-seksi ya....?" tanya Rasti yang tampak
bersemangat dengan permainan ini.
"Nggak lah ma, kan gak kepikiran... idenya spontan aja kok tadi... mau kan Ma? He he…"
"Hi hi, ya mau dong... apa sih yang nggak buat anak mama ini. Trus, mama pake daster begini aja?" tanya Rasti lagi.
“Iya Ma… gak papa.”
“Ya sudah… kamu ambil gambar-gambar mama yang bagus ya sayang…” ucap
Rasti centil. “Kalian juga, tontonin tante puas-puas yah… kalian pasti
suka deh… hi hi hi…” Sambung Rasti lagi mengerling nakal pada
teman-teman anaknya itu.
“I..iya tante… pasti, he he.. Duh… asik nih…”
Pecakapan itu membuat beberapa bapak tua saling berpandangan satu sama
lain. Mereka bertanya-tanya dalam hati soal hubungan Rasti dan Tedi
sebagai ibu anak. Tapi mereka tidak sampai mengutarakan pertanyaan itu
pada rasti.
Rasti sudah memegang sapu, rambutnya dikuncir kuda, diapun mulai
menyapu lantai beneran di ruang TV di antara bapak-bapak tua yang sedang
nonton TV. Salah satu bapak mengelus pantat Rasti. Jelas dia merasa
mulus-mulus saja, tidak ada tonjolan celana dalam di situ.
"Wuih, ga pake daleman ya non?"
"He he cantiknya... non jadi pelayan terus aja disini, mau gak non?"
Beberapa celetukan mesum dan kurang ajar lagi-lagi mengalir dari mulut
bapak-bapak tua itu, seakan lupa Rasti adalah orang yang baru memberi
mereka sumbangan 20 juta yang seharusnya mereka hormati. Tapi Rasti
terus merespon semua itu dengan senyuman, bahkan saat bokongnya diremas,
Rasti berpaling dan tersenyum centil pada bapak yang melakukan itu.
Benar-benar binal!
"Aduh non, jantung saya empot-empotan, non mau bikin saya jantungan ya?
Iih, cantik kok gak kira-kira sih non..." Ucap bapak tua itu sambil
bertingkah menggelepar. Rasti tertawa geli melihatnya, dan itu membuat
muka bapak tua itu merah padam, tersipu malu merasa berhasil mendapat
perhatian Rasti.
Plaak...! Pantat Rasti ditampar gemas.
“Aahh... Bapaak…” desah Rasti.
“Ha ha ha....” bapak-bapak tua itu seakan jadi lupa diri sekarang.
Sedangkan Tedi terus mengambil gambar ibunya yang sedang bersih-bersih
sambil menerima perlakuan yang sebenarnya sangat melecehkan bagi orang
normal. Perasaan Tedi cukup campur aduk melihat kekurang ajaran para
kakek itu pada Mamanya, tapi dia sendiri juga memang menikmati semua
itu.
"Gimana, bagus?" Tanya Rasti pada Tedi sambil terus menyapu. "Iih, ini
lantainya kok kotor sih, Rasti jadi bersih-bersih beneran deh di sini…"
Ucap Rasti genit.
"Ya maklum non, yang tinggal orang-orang tua.., jangankan lantai,
kita-kita juga jarang dibersihin. Hehe... jarang mandi... Makanya nanti
non Rasti mandiin bapak yah? He he…"
“Maunyaa…” Rasti menjulurkan lidah menggoda.
Tedi kemudian memberi kode pada Rasti, "Oke cukup, lanjut ya... mmm...”
“Masih nyapu?” Tanya Rasti.
“Iya… mm... Tapi, sekarang dasternya dibuka ya..."
"Duh, maksud kamu..?”
“Yaa… dibuka… dilepas…”
“Aah… Bugil dong...?”
“Iya…”
“Haah...” Teman-teman Tedi tidak mengira Tedi akan senekat ini menyuruh
mamanya bugil di situ. Tapi tampaknya suasananya memang memungkinkan.
Mereka pun antusias. Berdebar kencang jantungnya menanti apakah Rasti
akan memenuhi permintaan Tedi yang pastinya mewakili semua pria yang ada
di ruangan itu.
“Asiikk...”
“Wow... beneran nih?”
“Yuuk bugil yuukkk…!”
Benarlah, hampir semua bapak tua yang ada di situ merespon antusias apa
yang diminta Tedi pada Rasti. Mereka kemudian mulai saling menggumam
satu sama lain.
Rasti melihat sekeliling, menatap bapak-bapak tua yang tidak bisa
menahan ekspresi kemupengan yang tercetak jelas di wajah-wajah keriput
mereka. Benar-benar wajah yang penuh harap. Rasti yang tadinya
menganggap ide Tedi terlalu bahaya, kini merasa bahwa hal itu memang
bisa dilakukan di situ. Rasti kemudian berpaling pada Tedi lagi, “Serius
nih…?” Bisiknya.
Tedi mengangguk cepat, “Ayo dibuka dasternya…”
Rasti menggigit bibirnya dan memandangi bapak-bapak di sekitarnya lagi.
“Ayo non…”
“Jangan malu-malu non… buka aja… kita gak nggigit kok…”
“Suit… suit…!”
Sambil tersenyum genit, kemudian dengan gerakan pelan Rasti mengangkat
tangannya menarik simpul tali daster di pundaknya. Gerakan Rasti yang
mengindikasikan kepatuhannya pada instruksi Tedi benar-benar membuat
semua pria yang ada di situ menahan napasnya, termasuk Tedi. Gerakan
sederhana itu terlihat begitu seksi, ingin rasanya Tedi men-slow
motion-kan gerakan itu.
Setelah tali simpul daster di pundaknya terurai, Rasti mulai
memelorotkan dasternya pelan sekali, seakan bisa membaca isi pikiran
semua pria yang ada di situ. Rasti benar-benar menikmati menjadi pusat
perhatian sekarang. Pandangan tajam dan liar semua mata yang tertuju
padanya tanpa berkedip seakan terasa menusuk-nusuk jantungnya. Bukan
tusukan yang menyakitkan, tapi tusukan nikmat yang getarannya sampai dia
rasakan di liang kewanitaannya yang kini mulai basah.
"Permisi ya bapak-bapak..." Desah Rasti.
"Iyaa non....." beberapa bapak menjawab lirih, nafasnya memburu.
Tenggorokannya tercekat, semua menelan ludah berkali-kali melihat
pemandangan langka ini.
Saat dasternya hampir turun melewati ujung payudaranya, Rasti menahan
daster itu dengan menyilangkan tangannya, sehingga belahan dada yg sudah
nyaris terbuka semuanya itu makin menonjol terekspos jelas menggoda.
"Ups... he he he..." Rasti tersenyum genit sambil mengerling ke arah
pintu. Bapak-bapak tua itu menengok ke arah pintu dan mendapati banyak
anak kecil menggerombol di situ menonton! Ada juga kepala-kepala yang
nongol di balik jendela. Sejak awal memang rumah itu dibiarkan terbuka
saat menerima rombongan Rasti. Entah sejak kapan gerombolan ‘penonton
ilegal’ itu ada di situ.
‘Rame juga,’ Pikir Tedi. Dia menaksir anak-anak itu masih seusia anak
SD. Tapi ada juga satu dua yang kayaknya sepantaran dengannya.
Bagaimanapun juga, tampaknya mereka semua sudah bisa ngaceng melihat
wanita cantik.
"Aduuhh bocah-bocah nakal...! Bubar sana bubaarr..." bentak pak Unang.
Anak-anak itupun berhamburan sambil tertawa-tawa, "Wuuuu....!" Ada yg
teriak protes sambil menjauh.
Tapi tampaknya itu formalitas aja, karna tak ada upaya menutup pintu dan jendela setelahnya oleh pak Unang atau yang lainnya.
"Mm... ga ditutup pintunya pak...?" Tanya Rasti.
"Jangan," sergah Tedi. "Kalau ditutup nanti gelap. Ga cukup cahaya
lampu... harus ada cahaya alami..." jelasnya. Rasti mendengus manja.
"Dasar... Ya udah deh..." dengan satu gerakan, tangan Rasti membebaskan dasternya melorot ke bawah jatuh ke lantai.
Prok…
Rasti kini polos!
"Waaw...!"
"Aduuhai..."
“Ajiiibbb!” Berbagai seruan girang mengalir deras dari mulut bapak-bapak
tua itu, membahana di seluruh sudut ruangan itu. Belum cukup dengan
ketelanjangannya, Rasti juga tebar pesona senyum manisnya, kuncir
rambutnya dibuka dan rambut panjang indahnya dibiarkan tergerai kembali
dengan gaya kayak iklan sampo.
Plok plok plok...! Sampai ada bapak yg tua banget tepuk tangan antusias. Rasti tertawa geli melihatnya.
Aah… Puas dan plong sekali rasanya.
Ya, Rasti juga excited dan sangat berdebar-debar. Darahnya berdesiran di
seluruh tubuhnya menimbulkan sensasi aneh yang amat sangat dia nikmati.
Intinya, semua senang di sini, Tedi dan kawan-kawan senang, Rasti juga
senang, bapak-bapak tua dan para penonton yang nyuri-nyuri dari luar itu
juga pasti jauh lebih senang.
Rasti lalu memungut daster itu dan menyerahkannya pada salah satu bapak tua.
"Titip ya paak... Hi hi hi… Jangan sampe ilang lho, nanti Rasti ga bisa pulang deh..."
"Wah kalo gitu bapak sembunyiin aja deh biar non ga pulang..."
Sekali lagi Rasti meresponnya dengan tertawa geli seolah tidak masalah baginya.
...
Dengan sudah bugilnya Rasti, sesi pemotretan itupun terus berlanjut.
Yang mana kini Rasti sudah bugil polos tanpa pakaian yang menempel pada
tubuhnya. Tidak sehelai benang pun.
Dengan semangat Tedi mengarahkan adegan-adegan yang dalam seleranya
memiliki nilai artistic yang tinggi, bukan sekedar foto porno, tapi
lebih ke art nudity. Paling tidak sejauh insting cita rasa fotografi
Tedi yang jelas-jelas masih sangat pemula.
Setelah menyapu, pose Rasti ngepel lantai sambil basah-basahan diambil Tedi dalam berbagai posisi.
“Nungging Ma…”
“Bokongnya diangkat sedikit… Pahanya dibuka… Sedikit lagi…”
Setiap instruksi Tedi dipenuhi oleh Rasti tanpa protes sama sekali.
Termasuk saat Tedi menyuruh seseorang menciprat-cipratkan air ke
payudara Rasti supaya terlihat basah mengkilap, bapak-bapak tua itu pun
berebut melakukannya, dan Rasti dengan senyumnya yang binal
membusungkan dadanya mempersilahkan bapak itu menciprati payudaranya
yang sempurna.
Puas dengan adegan mengepel, Tedi beralih ke adegan mencuci.
“Basah-basahan lagi nih…?” Tanya Rasti.
“Iya, tempat nyucinya di mana pak?”
“Kalau nyuci mah di kali dek!”
“Haaah…” ekspresi kaget Rasti benar-benar menawan.
“Iya di kali… ini di belakang.” Salah seorang bapak tua menunjukkan
jalan ke belakang rumah, membuka pintu belakang dan ternyata langsung
ada sungai tepat di belakang rumah itu. Di halaman belakang rumah yang
langsung mepet dengan sungai itu ada sebidang tempat kecil berplaster
semen, yang memang tampak sebagai tempat mencuci. Ada tumpukan
ember-ember di situ, beberapa sampah plastic bekas sabun dan deterjen,
serta beberapa piring dan gelas kotor. Jelas tempat itu sangat kumuh,
apalagi bagi Rasti.
Rasti mengintip-ngintip dari dalam, ragu apakah dia benar-benar harus
mencuci di situ. DIlihatnya ke sekitar situ dan ke seberang sungai,
hampir semua rumah yang satu sama lainnya berdempetan sempit itu
mempunyai sebidang ruang yang sama di bantaran sungai untuk tempat
mencuci. Tentu banyak orang di luar itu. Sebagian ada juga yang terlihat
sedang mencuci. Memang pas waktu sore ini adalah waktu bagi sebagian
besar ibu-ibu penduduk situ untuk aktivitas mencuci. Agak jauh dari situ
nampak sejumlah anak kecil yang asyik berenang.
Tedi sendiri melihat lokasi itu malah berbinar-binar dan menganggapnya ideal untuk konsep yang ada di kepalanya.
“Sayang, mama benar-benar harus keluar nih..?”
“Ya iyalah ma, dimana lagi tempat mencucinya…”
“Tetep telanjang nih…?”
“Harus!”
“Duuh kamu ini…”
“Ayo non… jangan malu-malu… cantik begini kok malu-malu…” Ujar pak Unang
sambil mendorong Rasti keluar. Meski ragu, Rasti melangkah juga.
Bagaimanapun Rasti merasa adegan yang satu ini agak di luar batas.
Apakah penduduk situ akan bisa menerima aktivitas sesi pemotretan mereka
di situ? Di ruang publik yang banyak ibu dan anak-anaknya?
Ketika Rasti sudah berdiri sepenuhnya di luar, bumi seakan berhenti
berputar baginya. Rasti diam tak berani melihat sekelilingnya. Rasa
deg-degan yang sama sebenarnya menghinggapi dada Tedi juga.
Tanpa menengok, Rasti mulai mendengar kicauan demi kicauan tetangga di
sekitar rumah itu. Kebanyakan kini adalah suara ibu-ibu dan anak-anak.
Ada yang nyaring dan ada yang sayup-sayup. Agaknya tetangga yang agak
jauh juga bisa melihat jelas ke arah Rasti. Sebenarnya suara yang dekat
bisa terdengar jelas oleh Rasti, tapi kondisi Rasti yang sedang super
berdebar-debar membuatnya tidak bisa menangkap dengan pasti apa saja
ucapan-ucapan baik yang digumamkan baik di antara mereka ataupun yang
diarahkan ke dirinya. Samar-samar dia hanya menangkap kata ‘lonte’ di
antara banyak kata lain.
“Suit… suit…!” Terdengar juga banyak siulan semacam itu. Terdengar juga
suara kecipak air yang mendekat. Tampaknya sejumlah anak yang sedang
berenang itu berlomba-lomba mengayuh tubuhnya mendekati posisi Rasti
berada. Tapi kemudian terdengar juga suara omelan ibu-ibu, yang entah
menghardik anak-anak itu atau mengomeli sesuatu yang lain. Yang jelas
suara kecipak air itu terus terdengar, meski berhenti di posisi yang
tidak terlalu jauh lagi dari posisi Rasti.
Seolah tidak peduli dengan groginya mental Rasti, Tedi dengan serta
merta mulai mengambil gambar, meski Rasti sendiri belum mulai beracting
mencuci.
“Duduk ma… Ayo mulai mencuci…”
Masih belum berani mengangkat kepalanya memandangi sekitar, Rasti pun
mulai duduk di kursi plastic kecil yang ada di situ. Mengalirkan air ke
dalam sebuah ember, menuangkan sabun ke dalamnya, membuat buih yang
banyak, dan seterusnya. Rasti tidak canggung dengan pekerjaan itu, karna
dulu di desa pun dia biasa mencuci di sungai. Bedanya sungai di desanya
tentu jauh lebih bersih dan jernih. Ya, Rasti mendapati air sungai di
situ sudah hampir asin karna itu air payau yang mendekati muara laut.
Artinya itu air sebenarnya kurang bagus juga buat mencuci. Hal ini cukup
membuat Rasti prihatin.
Penonton makin banyak, termasuk juga anak-anak. Rasti makin
disorak-soraki. Selain grogi berat, Rasti benar-benar horni di sini,
naluri eksibnya lagi-lagi mengalami level yang lebih tinggi. Yah, pada
dasarnya kampung itu memang sudah ‘rusak’, sehingga adanya pemotretan
dengan model telanjang macam begitu tidak dianggap sebagai sebuah
kebejatan di situ. Tedi yang melihat Mamanya belum bisa mulai
berekspresi tidak memaksanya. Tedi sadar betapapun binalnya, mamanya
kini sedang grogi. Dia pun membiarkan dulu adegan itu berjalan apa
adanya, toh foto alami juga cukup memuaskan hatinya.
Tak lama kemudian Rasti pun kini makin rileks. Dia mulai menoleh dan
tersenyum di depan kamera. Arahan demi arahan Tedi pun mulai berani
dilakukannya. Berbagai pose dan ekspresi mulai ditampilkan tanpa beban.
Rasti pun mulai berani menatap sekelilingnya sambil menebar senyum.
“Non, dari mana?!” Seru salah seorang ibu-ibu di rumah seberang.
“Dari Jakarta!” Jawab Rasti dengan suara keras juga supaya terdengar.
“Iyaa, Jakartanya mana?!”
Rasti menyebut nama daerah elit di Jakarta dan berpaling pada ibu lain yang menyeru padanya.
“Suting filem non?!”
“Bukan, foto-foto…!”
“Haah?!”
“Foto! Pemotretan!”
“Model! Bego lu!” Ibu-ibu yang lain ikut menjawab sambil mencibir. Rasti tertawa.
“Model?!”
“Iya…!” Jawab Rasti.
“Katanya lonte…?!” Terdengar ibu yang lain lagi.
“Iya…!” Rasti menjawab sama sambil tertawa lagi. Kini dia benar-benar rileks sekarang.
Tedi mengabadikan semuanya dengan suka cita. Benar-benar sesuai
bayangannya. Mamanya yang cantik, putih mulus, telanjang bulat, kontras
dengan suasana sekitarnya dan orang-orang yang kumuh.
Anak-anak yang berenang-renang tadi bertambah jumlahnya dan kini mulai
berani mendekat. Rasti malah tersenyum dan melambai-lambai pada mereka.
Ada 7 anak yang Rasti menaksirnya masih seusia dengan Cindy atau Kiki
anak ketiga dan keempatnya. Ada 2 anak yang tampak lebih tua, Rasti
menduga mungkin sudah 11 atau 12 tahun.
Beberapa ibu-ibu tampak mengomeli, berusaha mengusir dan menghalau
mereka, tapi anak-anak yang kesenangan itu tidak peduli dan masih
mendekat sambil tertawa-tawa. Sampai benar-benar berada di posisi Rasti
berada, anak-anak itu menyoraki Rasti, tidak jelas apa yang mereka
ucapkan karena bertumpangtindih antara suara mereka sendiri dan kerasnya
suara kecipak air. Tapi Rasti menangkap kata-kata “lonte”, “memek”,
“kontol” dan “ngentot”. Rasti tidak memusingkan kenapa anak sekecil
mereka sudah bisa berkata-kata dengan sedemikian cabulnya. Bukannya
marah, Rasti malah tertawa-tawa sambil menciprat-ciprati mereka. Tentu
anak-anak itu balas menciprati Rasti dengan lebih ganas lagi.
“Kyaa…. Kyaa…!”
“Ha ha ha ha…!”
Adegan perang air yang benar-benar ‘tidak lazim’ terjadi. Perkembangan
yang tidak terduga itu benar-benar memukau dan memanjakan mata Tedi dan
ketiga temannya. Penis-penis mereka ngaceng sejadi-jadinya. Tedi sampai
tidak konsentrasi mengabadikan momen yang sebenarnya amat sayang untuk
dilewatkan ini. Para bapak tua di rumah itu juga ikut menyorak-nyoraki
perang air yang makin menghebat itu. Tedi berkali-kali harus melindungi
kameranya supaya tidak kena cipratan air.
“Ma… Mama…!” Seru Tedi mencoba meredakan.
Tidak menghiraukan Tedi, atau mungkin memang tidak mendengarnya, Rasti
kini malah beranjak dan melangkah masuk ke air. Tedi menahan napas
melihatnya. Tentu Rasti tidak menceburkan dirinya, dia hanya berdiri di
pinggiran saja yang kedalaman airnya terlihat sedikit lebih tinggi di
atas lutut Rasti. Meski hanya di pinggiran, aksi Rasti tentu membuat
anak-anak itu makin menggila. Perang cipratan air makin panas. Tedi
berusaha menangkap momen itu dengan susah payah karena dia kagok juga
karena di satu sisi dia harus melindungi kameranya dari air.
Anak-anak itu makin mendekat. Terutama yang terlihat paling tua. Dia berani mendekati Rasti, dan…
“Byuurrr…!”
“Kyaaa….!”
Anak itu menarik tangan Rasti ke tengah sungai sampai tubuh Rasti
tercebur seluruhnya ke dalam sungai. Lagi-lagi bukannya marah, Rasti
malah tertawa-tawa. Adegan selanjutnya makin membuat Tedi menahan napas.
Rasti, Mamanya sendiri, di depan matanya digerayangi oleh 7 anak-anak
nakal tak dikenal! Jelas terlihat berulangkali tangan-tangan hitam
anak-anak itu menjamahi buah dada Rasti yang hanya tertawa-tawa geli
sambil menghalau tangan-tangan liar itu dari tubuhnya.
“Aduuhh… kalian ini… Aahh jangan… aahhh… Nakal… Aauuhh Tangannya…!” Seru
Rasti mendesah-desah. Seksi! Teman-teman Tedi hanya bisa melongo dan
mematung menyaksikan adegan ini. Karna cipratan air kini sudah tidak
terlalu ganas, Tedi dengan sigap mengabadikan momen ini.
“Tedii… tolong mama… Kyaa..! Hi hi hi… Aah…” Desahan Rasti yang minta
tolong tak digubris oleh Tedi. Rasti sendiri tak tampak serius memohon
pertolongan. Salah seorang anak yang lebih tua tampak menyelam di depan
Rasti, dan kemudian Rasti menggelinjang-gelinjang kegelian dan keenakan.
“Aahhhh…. Adduuhh… Jangaann… Nakal nakal nakaaall…”
Tedi terkesiap, apakah anak itu sedang menjahili memek mamanya di dalam air?
Anak itu kemudian muncul ke permukaan tepat di depan Rasti sambil
tertawa-tawa. Posisinya yang tepat berhadapan dengan Rasti mencoba
memeluk Rasti dengan posisinya yang lebih rendah dari Rasti, anak itu
terlihat serius konsentrasi memposisikan dirinya dengan pose tertentu
yang dihafal jelas oleh Tedi. Pose bersetubuh! Rasti terlihat tersentak
dengan sesuatu yang dirasakannya di dalam air. Dia bersaha meronta dan
menjauh, tapi tubuhnya ditahan oleh anak yang lain, dan terjadilah…
“Aahh… gilaa… kalian… oohh, jangann… sudah… Aaahh… ahh…”
Adegan itu terjadi begitu cepat, dengan posisi itu, dan gerakan-gerakan
yang dibuat oleh si anak, dan juga reaksi tubuh Rasti yang sedemikian
rupa benar-benar membuat Tedi yakin, anak brengsek itu berhasil
memasukkan penisnya dan mengeluarmasukkannya di dalam vagina Mamanya
itu! Gila! Apakah benar anak sialan itu bisa melakukan persetubuhan di
dalam air??? Tedi kalut tapi benar-benar bingung harus berbuat apa.
Tentu Rasti tidak diam dan terus bergerak-gerak melakukan perlawanan,
meski tidak terlihat kemarahan terpancar dari matanya yang justru sayu
itu. Tedi berpikir, apapun yang terjadi di bawah sana, itu tidak terjadi
sampai benar-benar terasa nyaman. Mungkin bocah sial itu berhasil
melakukan penetrasi dua atau tiga kali ke vagina mamanya itu, tapi tidak
benar-benar sampai terjadi persetubuhan. Bagaimanapun juga tetap panas
dingin Tedi dibuatnya.
“Pak Unaang… tolongin Rasti… Aahh… Udaahh…!”
Rasti yang berupaya berenang ke tepi sudah mulai dekat, meski masih
digelayuti sebagian anak. Dia butuh bantuan seseorang untuk menariknya.
Dengan sigap pak Unang bergegas membantu Rasti.
“Bocah setan! Woiii! Sana pergi! Setan lo pada…!” Bentak pak Unang pada
anak-anak itu. Meski mengkeret, tidak hilang juga tawa dari wajah
mereka. Pak Unang meraih tangan Rasti dan menariknya keluar dari air.
Rasti hanya tertawa-tawa, anak yang tadi berusaha menyetubuhi Rasti di
dalam air dan hampir berhasil tadi ikut menepi hingga ketika separuh
tubuhnya mulai keluar dari air, Tedi bisa melihat penisnya yang sudah
seukuran orang dewasa mengacung tegak dan keras. Pak Unang mendorong
anak itu sehingga dia terjengkang ke belakang dan tercebur lagi ke air.
“Huuu…!” Seru anak itu yang kini berenang menjauh diikuti yang lain.
“Kentang kentang deh lo…! Sana pergi… woo bocah setan…” cibir pak Unang.
“Lonte!” Teriak mereka sambil terus menjauh pergi.
Beberapa ibu tetangga yang menyaksikan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menggumam-gumam tidak jelas.
“Aduhhh… nakal banget sih anak-anak itu… hi hi hi…” Ucap Rasti masih
tertawa geli saja, seolah kenakalan yang terjadi barusan adalah
kenakalan wajar belaka, padahal dia hampir diperkosa tadi oleh anak-anak
yang bahkan lebih muda dari Norman! Gemas Tedi dibuatnya. Tapi Tedi
mengutuki dirinya sendiri juga yang kalah sigap dengan pak Unang untuk
menolong Mamanya.
“Anak sekarang cepet gedenya yaah… hi hi hi…” Ucap Rasti binal, dengan
kedua tangan yang menutupi selangkangannya. “Jadi benar tampaknya memek
mama berhasil dipenetrasi oleh anak sial tadi,” batin Tedi kesal.
“Ya non sendiri sih mancing-mancing mereka…” gerutu pak Unang yang kemudian mengajak Rasti masuk dan memberinya handuk.
------------------------------------
Waktu kini menunjukkan jam 5 sore lebih sedikit. Cahaya matahari sudah
mulai redup. Tidak memungkinkan lagi bagi Tedi melanjutkan pemotretan,
after all dia sudah merasa cukup juga. Semua kini sudah kembali di dalam
ke rumah, Rasti sudah selesai membilas tubuh sekedarnya tapi masih tak
berpakaian. Dia duduk sambil memegangi handuk dari pak Unang tadi
menutupi tubuh bagian depannya. Handuk itu memang tidak cukup lebar
untuk bisa dililitkan ke tubuhnya.
Tedi mencoba bicara, memberi pengumuman bahwa sesi pemotretannya sudah
selesai dan mengucapkan terima kasih. Tapi Tedi bukanlah pembicara yang
baik, basa-basinya diacuhkan oleh para bapak tua yang kini malah
terlihat sibuk kasak-kusuk satu sama lainnya. Bapak-bapak tua di situ
terlihat bisik-bisik, kemudian salah seorang mendekati pak Unang dan
berbisik kepadanya. Pak Unang manggut-manggut lalu berdiri beranjak ke
pintu depan mengusir beberapa penonton yang masih nekat nongkrong di
situ. Meski kebanyakan anak sudah dimarahi dan disuruh pulang, tapi
masih saja ada beberapa yang ngeyel dan betah di situ untuk menonton
Rasti. Setelah mengusir mereka, pak Unang lalu menutup pintu, jendela,
dan mengunci semuanya rapat-rapat. Melihat gelagat pak Unang ini Rasti
jadi agak curiga.
“Pakaian saya mana ya… Kita sudah selesai kan Tedi? Langsung pulang kan habis ini…?” kata Rasti kemudian.
“Hehehe… buru-buru amat sih non… bentar lah… ini sudah dibuatin minuman anget juga…” Sergah salah seorang bapak.
Rasti memandang Tedi, tapi Tedi dan teman-temannya sama sekali tidak
terlihat buru-buru. Mereka semua dengan santainya duduk-duduk sambil
menikmati minuman hangat yang disuguhkan. Iih… Meski gemas, Rasti tidak
punya pilihan lain. Diapun ikut meraih dan menyeruput minuman yang
disuguhkan padanya. Minuman itu terlihat beda dengan yang lain. Tapi
Rasti tidak ambil pusing.
“Tapi mulai dingin nih pak, Baju saya dong…” Pinta Rasti.
“Nanti bentar lagi juga anget non, he he…”
“Omong-omong non ini penghasilannya besar juga ya, sudah melonte jadi
foto model juga… makasih ya non, sumbangannya sama pertunjukannya… hi
hi... Non cantik deh”
“Iya… makasih juga sama-sama… tapi baju saya mana dong pak…?”
“He he, emang belum kerasa anget non dari minuman tadi?”
Kurang ajar sekali bapak-bapak ini, sudah mendapatkan sumbangan besar
dari Rasti tapi tidak memperlakukan Rasti sebagaimana mestinya, bahkan
tidak ada gelagat sama sekali untuk mengembalikan baju Rasti.
“Tapi non sumbangannya besar sekali… non pasti kaya raya, jadi pingin tahu tarifnya non berapa sih?”
“Aduh, itu urusan manajer pak, saya cuma fotografer aja…” jawab Tedi.
“Bukan tarif foto modelnya, maksud saya tarif ngentotnya. Hehe….”
Tedi dan Rasti berpandangan. Tuh kan, arahnya ke sini! pikir Rasti.
Tapi dia menjawab juga dengan ramah, “Yaa lumayan pak, buat hidup… he he
he...”
“Ya, tapi lumayannya itu berapa ya non? Kalo bagi saya punya duit lima ratus ribu perbulan aja udah lumayan non. Hehe..”
“Saya ga ikut germo pak, kerja sendiri, jadi suka-suka aja ngasih
tarifnya… liat-liat pelanggan juga. Kalo sama pejabat, pengusaha atau
artis, saya bisa dapat 5 juta sekali pake…”
“Woow… mahalnya 5 juta… pantes ya non banyak duitnya…”
Rasti sebenarnya merendah dengan menyebut angka 5 juta itu. nyatanya
dia punya banyak pelanggan bos-bos pemilik perusahaan dari luar negeri
yang sangat royal, yang mana kalau sudah dibooking oleh kalangan seperti
mereka, apalagi kalau diminta aneh-aneh, sex party, gangbang, dan
sebagainya, Rasti bisa mengantongi 20 juta dalam semalam. Dan dalam
sebulan bookingan semacam itu bisa minimal sampai 5 kali.
“Tapi itu kan buat kalangan orang kaya non, kalo kalangan bawah seperti kita-kita gimana?”
“Hihihi… pelanggan saya gak ada yang seperti bapak-bapak… yaa minimal
mahasiswa. Mmm kalo mahasiswa kadang boleh 500 ribu aja…”
“Wuiih masih mahal juga ya… beda sama lonte di sini, 50 ribu!”
"Hua ha haha... beda kelasnya.." bapak-bapak yang lain terbahak mendengar perbandingan itu. Rasti sendiri ikut tertawa.
“Tapi selisihnya beda jauh banget ya non… emang kalo 500 ribu itu
ngocok aja, atau boleh minta diisep, atau pijat susu, atau…?” pak Unang
bertanya dengan referensi klasifikasi jasa lonte yang diketahuinya
selama ini. Pertanyaan ini membuat Rasti tergelak.
“Hi hi hi… Aduuh, kalau Rasti gak bikin servis-servis terpisah kayak
gitu pak… Pokoknya kalo mau sama Rasti ya ngentot… sampai muncrat deh
pokoknya. Mau pake gaya atau pemanasan kayak apa terserah. Tapi intinya
ya ngentot pak… masukin kontol ke memek. Sampai berapa lama juga
terserah, Rasti gak batesin. Kalo keluarnya lama, Rasti juga seneng. Hi
hi hi…” Jawaban vulgar Rasti benar-benar membuat sempit celana semua
pria yang ada di situ. Tapi jawaban Rasti memang apa adanya begitu.
Rasti tidak pernah memperhitungkan pelayanannya sampai terklasifikasi
dengan tarif berbeda seperti lazimnya pelacur lain. Rasti sudah tahu
soal ini sejak awal pengalamannya jadi pelacur waktu SMA dulu. Dari
pelacur lain Rasti belajar soal penarifan : kocok saja 50 ribu, plus
blowjob 100 ribu, plus tit job 200 ribu, sambil dimandiin 250 ribu. Full
ngentot 300 ribu. Selain itu ada juga tarif perjam atau permalam dan
seterusnya. Rasti merasa model penarifan seperti ini terlalu ribet.
Lagipula, tiap ketemu kontol rasanya aneh kalau kontol itu cuma
dikocok-kocoknya sampai muncrat tanpa dimasukkan sama sekali ke
liangnya. Bagi Rasti ini aneh. Akhirnya Rasti menetapkan tarif tunggal.
Pokoknya full ngentot, dengan gaya apapun, foreplay apapun, selama
apapun, Rasti layani untuk sekali ngecrot. Itulah cara berpikir Rasti
yang tidak suka keribetan.
“Jadi seperti tarif kopaja yang jauh dekat itu dong Tante?” Rasti ingat
Romi pernah menanyakan pertanyaan ini suatu ketika di rumahnya. Ya, dulu
Rasti pernah menceritakan soal pedoman tarifnya pada teman-teman Tedi
saat main ke rumah. Dan muncullah pertanyaan ini. Rasti tertawa saja
waktu mendengarnya. Tapi memang benar. Kalau seorang hidung belang cukup
mahir bercinta sehingga bisa menahan-nahan orgasmenya supaya tidak
segera keluar, maka sampai pagi pun akan Rasti layani dengan senang hati
tanpa tambahan tarif. Di sisi lain jika ada hidung belang pemula yang
belum 5 menit saja sudah ngecrot, maka tarifnya tetap sama dengan yang
semalaman tadi. Tidak ada diskon! Pokoknya tarif Rasti berlaku untuk
full ngentot sampai sekali crot! Itu pun tarifnya suka-suka Rasti
melihat-lihat kalangan pelanggannya, seperti yang dibilang tadi, dari
yang termurah 500 ribu sampai 20 juta pun ada! Tentu yang gratis tidak
dihitung.
“Ja… Jadi kalau 500 ribu itu sudah boleh ngentot ya non…?” Tanya pak Unang membuyarkan lamunan Rasti.
“Eh… iya pak… pokoknya berapapun ngentot deh…” Jawab Rasti masih dengan vulgarnya.
Pak Unang kemudian senyum-senyum penuh makna. Diambilnya tas uang sumbangan Rasti.
“Mmm… maaf Non, kita-kita ini, bapak-bapak, sebenernya sudah gak tahan
dari tadi pingin ngentotin non Rasti… Eee ini ada uang, kita kan ada 11
orang jadi lima setengah juta ya…” ucapnya agak malu-malu.
Tedi yang sedang meneguk minuman jadi tersedak karna kaget mendengar
kelancangan pak Unang ini. Betapa tidak? Itu uang sumbangan malah mau
dipake untuk ngentotin orang yang nyumbang, Mamanya!
Tapi sungguh di luar dugaan Tedi, bukannya tersinggung, mamanya itu malah tertawa dibuatnya.
Ya, Rasti malah tertawa geli.
“Aduuh bapak, itu kan uang sumbangannya saya, buat beli beras, buat
benerin rumah, buat beli obat… Kok malah dipake buat ngentot? Ngentotin
yang ngasih sumbangannya pula, hihihi. Duh bapak menyalahgunakan
kewenangan mengurus uang sumbangan saya nih… Bapak-bapak yang lain
protes dong…!”
Pak Unang jadi tersipu malu dibuatnya, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya menunduk tidak berani menatap Rasti.
“Hehe, ya gapapa lah non, kan ada 20 juta… kalo dipake 5 juta aja kan
cuma seperempatnya, sisanya masih banyak… Ngentot kan kebutuhan kita
juga non… Apalagi dari tadi disuguhi pemandangan non Rasti yang
cantiiiik banget. Bapak ngaceng non… mau ya dientot?” Ternyata bapak
yang lain menjawab seiya sekata dengan pak Unang. Bukan hal yang
mengejutkan juga sih.
“Aduuh mujinya selangit deh bapak ini, tapi itu kan uang dari Rasti pak…” jawab Rasti menggoda.
“Non Rasti memang cantiiik kok… Bapak bener-bener ngaceng liat non…”
“Ya non, kalo ga pake uang ini, darimana lagi bapak-bapak punya uang untuk ngentotin non Rasti…?”
“Iya non… tapi jangan naik ya harganya… 500 ribu aja…”
“Tapi kita kan bareng-bareng 11 orang nih non, didiskon dong non, 5 juta aja boleh ya…?”
Rasti makin tergelak melihat ngenesnya bapak-bapak tua ini.
“Aduh non jangan menggoda begitu dong… kalo tertawa non makin cantik.
Bapak makin ngaceng ni kontolnya pingin segera dimasukin ke liangnya non
Rasti…”
“Iya non cantik… mau ya dientot memeknya…?”
Makin cabul saja kata-kata bandot-bandot tua ini pada Rasti. Pak Unang
yang duduk di dekat Rasti, yang tadinya malu-malu kini malah berani
meraih handuk yang menutupi tubuh Rasti.
“Jangan ditutupi dong non tubuh indahnya… Non bugil aja biar cantik…”
Rasti nurut aja handuknya diambil hingga kini tak ada penghalang lagi di atas tubuh telanjang bulatnya.
“Aduuh… itu susunya non… cakeep… Dari tadi bapak ga tahan pingin ngenyot non…”
“Yuuk ngentot non… sekali ngentot, satu memek sebelas kontol… pasti enak non… belum pernah kan? Hi hi…”
Rasti tertawa lagi. “Udaah kali…?! lebiih malah… Ih ngeremehin memek Rasti.” Balas Rasti tidak kalah vulgar. Binal sekali!
“Wahh hebat memeknya non… non memang juara lonte!”
Masih tertawa, Rasti berpaling ke Tedi dan kawan-kawan. “Duh gimana nih
sayang, Mama mau dientot bapak-bapak ini nih…?” Ucapnya manja, tapi
kemudian Rasti tertawa lagi melihat wajah Tedi dan teman-temannya yang
antusias sekali.
“Huuuu…! Kalian kok malah antusias gitu sih wajahnya? Iiiih sebel! Dasar mesum…” cibir Rasti.
Ya, Tedi yang awalnya kesal, kini malah jadi excited. Jelas saja, karna
memang bukan hanya bapak-bapak itu yang kebelet ngentotin Rasti, tapi
mereka juga!
“Boleh ya nak Tedi, mamanya kita entotin rame-rame…?” Tanya salah seorang bapak.
“Gimana sayang…? Mama mau dientot dulu yaa…? Mama penasaran juga sih
sama kontol-kontol keriput bapak-bapak cabul ini…” ledek Rasti.
“Wah jangan salah non, yang lain boleh keriput, tapi kalo si otong mah
masih kenceng…! Entar buktiin dirasain deh di memeknya non Rasti…!”
“Jadi gimana non? Boleh kan memeknya dientot? He he he?” Bapak-bapak tua itu terus mendesak Rasti.
“Aduh… bapak-bapak ini… Oke deh, tapi bapak-bapak simpan saja yah
uangnya. Gunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat!” setuju Rasti
akhirnya.
“Mm… Maksudnya non…?” Tanya pak Unang seolah tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
“Waah… maksudnya gratis yah non??” Tanya bapak yang lain memperjelas.
“Iyaaaaah bapak… Tapi ingat yah pak, syaratnya uang sumbangan saya
jangan disalahgunakan. Jangan dipake buat judi, mabok, apalagi main
lonte, hi hi hi…”
“Aduuhh non Rasti cantiiikk… Bapak ga salah denger kan…??”
“Iyaa pak… anggap saja Rasti sedekah 2 kali ya… sedekah uang sama
sedekah memek… Yuk dipakai memeknya mumpung masih anget…” Ucap Rasti
sambil mengubah posisi duduknya jadi mengangkang.
Glekh! Semua bapak tua itu menelan ludah melihatnya. Nafsunya makin memuncak di ubun-ubun.
“Aduh non… memeknya… cantiiikk… Sudah boleh dicoblos ya non?” Seorang bapak buru-buru memelorotkan celananya.
“Wah sudah basah tuh non…”
“Eit… Janji dulu soal uangnya tadi… Janji yaa?” Ucap Rasti genit.
“Ja… Janji non…” Jawab pak Unang yang nafsunya sudah diubun-ubun.
“Hi hi hi… Ya sudah siapin kamarnya ya… yang bersih. Omong-omong
bapak-bapak mau giliran atau keroyokan?” kerling Rasti yang membuat
mereka semakin mupeng.
Bapak-bapak tua itu saling berpandangan. “Ah bodo amat, yuk dikeroyok
lonte yang satu ini kayaknya harus digenjot rame-rame biar kapok!”
“Yuk non buruan yuk, kita kita udah gak tahan nih dari tadi!” Salah
satu bapak menghampiri Rasti lalu berusaha menarik tangan Rasti. Mereka
betul-betul para pria tua cabul yang tak sabaran.
“Hihihi, iya-iya, bentar dong…” Rastipun ikut-ikut saja diseret bapak
itu ke dalam sebuah kamar. Sebelum masuk ke kamar, Rasti sempat melempar
senyum pada Tedi dan teman-temannya, seakan berkata dalam hati, “Nih…
puas kalian mama sampai dientotin rame-rame sama bapak-bapak tua gini!?
Kalian nonton gih…!”
Bapak-bapak yang lain juga ikut masuk ke dalam kamar. Untungnya kamar
itu tidak ditutup, sehingga Tedi dan teman-temannya bisa melihat
bagaimana Rasti akan digangbang oleh bapak-bapak lusuh itu. Lagi-lagi
mereka hanya ngenes hanya bisa melihat, tapi itu sudah cukup untuk
memuaskan fantasi mereka akan Rasti.
Dengan binal Rasti mengarahkan bapak-bapak tua itu di dalam kamar.
“Ayo bapak-bapak antri di depan Rasti, semua kontolnya Rasti mandiin
dulu satu-satu ya pakai mulut Rasti. Biar bersih dan licin sebelum
dicoblosin ke memek Rasti…” Tanpa perlu dua kali komando, bapak-bapak
itu bergegas berbaris berebut untuk berada di posisi depan. Rasti
tertawa geli melihat tingkah bapak-bapak tua ini yang jadi kayak anak
kecil kalau mau ngentot. Tentu pak Unang berada di posisi paling depan.
Rasti mulai mengulum penis pak Unang yang sudah menegang sempurna sejak
tadi. Ukurannya tak terlalu besar tap tak terlalu kecil juga.
“Aaahhh nonn… isepannya nikmat… Aduuh nonn… jangan kencang-kencang non…!
Adduuhh nikmatnya.. ahhh dengkul bapak jadi lemes non… udah non, nanti
keburu muncrat non…” Desah pak Unang sambil menggeliat-geliat seperti
cacing kepanasan. Rasti menyudahi aksinya sambil tertawa geli. “Ya udah…
Udah mau masuk sekarang? Udah boleh kok… kan udah bersih...” Rasti
seperti mengajak bicara penis pak Unang. Menggemaskan sekali. “Oke siap
ya… Ati-ati ya, di dalam sempit dan gelap… Pelan-pelan aja masuknya ya
sayang…” Rasti meneruskan aksi menggemaskannya itu, mengajak bicara
penis pak Unang, lalu mengecupnya. “Jangan keburu keluar yaa… hi hi hi.”
Ucapnya lagi, lalu melepaskan penis itu dan ambil posisi menungging.
Pak Unang buru-buru berpindah ke belakang Rastu dan mengambil posisi.
“Bapak masuk sekarang non…”
“Iyaa paakk… silahkan… Aaahhh…” Belum habis Rasti menjawab, penis pak
Unang sudah menyeruak masuk ke liangnya dan langsung menggenjotnya
dengan cepat.
Begitulah pemandangan yang terjadi di kamar itu. Rasti berdiri
menungging, dengan 11 orang bapak tua berbaris di depan dan belakangnya,
ngantri diblowjob satu persatu oleh Rasti, tiap satu orang selesai dia
ke belakang ngantri memek.
“Ayo Nang… gantian ngapa!” Ujar bapak kedua yang setelah selesai
diblowjob oleh Rasti, kini mengantri di belakang pak Unang untuk
menggenjot memek Rasti.
“Buruan Nang, jangan diabisin sendiri memeknya… Tuh Bambang dah mau
selesai tuh diisepnya!” Ujar bapak itu lagi melihat bapak ketiga yang
sudah kelojotan disepong oleh Rasti. “Aduuh non… jangan dikuras dulu isi
batang guee…! Aahhh gue belum ngerasain memek lo.. aduuhh…” Seru bapak
yang bernama Bambang itu.
“Hi hi hi… sama aja kayak Unang lo! Disepong aja udah di ujung peju lo!” Ledek bapak yang di belakangnya.
“Buset, lo coba sendiri deh tuh… mulutnya ni lonte! Baru tau lo!” Kata
pak Bambang menyudahi dan beranjak ngantri memek ke belakang bapak
kedua.
“Woi, Nang, belom juga lo… antrian udah panjang nih…!” Ujarnya melihat pak Unang yang masih asyik menggenjot memek Rasti.
“Hi hi hi… ayo bapak-bapak diatur yaa gilirannya… yang tertib ya…!” Ucap
Rasti. “Ga harus langsung keluar dulu pak Unang, simpen buat nanti
lagi, biar memek Rasti dicoblosin dulu sama semua kontol-kontol kalian,
baru nanti ngecrot bareng-bareng yah bapak bapak… Hi hi hi…”
“Aah ngentot… anjing nikmaaatt…!” Meski belum orgasme, pak Unang
menuruti Rasti menyudahi genjotannya, memberi giliran pada bapak kedua.
Pak Unang kini beralih mencumbu tiap jengkal tubuh mulus Rasti.
Favoritnya, apa lagi kalau bukan buah dada menggantung bebas dan
tergoncang-goncang oleh hentakan bapak yang mengentotinya. Kagumnya pak
Unang, payudara yang menggantung itu sama sekali tidak terlihat jatuh ke
bawah, tapi kencang, padat dan mengkal di dada Rasti. Entah apa yang
sudah dilakukan Rasti untuk menjaga kekencangan payudaranya itu, padahal
dia adalah ibu dari 7 orang anak!
“Non… susunya kenceng banget… alami atau pabrikan nih… he he he…” Ujar
pak Unang yang kini mengecupi bahu dan punggung Rasti sementara
tangannya sibuk menggerayangi dan meremas-remas payudara Rasti dengan
gemas. Tidak jarang menarik-narik putingnya yang membuat air susu Rasti
mengalir keluar.
“Asliii pak… aahh… enak aja pabrikan, emangnya bintang bokep luar negri!
Ha ha… aahh… Susu asli Indonesia nih… puas-puasin dehhh… aahhh… Oohhh
paakk… Jangan dibuang-buang dong air susunya, diminum aja, sehat bergizi
lho… Oohh… Ahh…!” Jawab Rasti tersengal-sengal.
Betapa serunya adegan gangbang ini disaksikan oleh Tedi, Riko, Romi dan
Jaka dari balik pintu. Betapa ngenesnya mereka yang hanya bisa melihat
sambil mulai mengeluarkan penis mereka dari balik celana dan
mengocoknya.
“Binal banget mama lo Ted… gue sukaa… aah tante Rasti…” Rintih Riko sambil mengocok.
Perasaan Tedi sebenarnya tak menentu melihat sahabat-sahabat karibnya
ini masturbasi sambil menyebut-nyebut nama Mamanya dengan cabul. Tapi
Tedi yang sama-sama ngaceng juga larut dalam tontonan yang mereka
jadikan bacol sama-sama itu.
“Ahh… Mamaahh…” Desah Tedi. Dia menaruh kameranya di sudut yang pas
membidik persetubuhan Rasti dan bapak-bapak tua itu, disetel dalam mode
video dengan tombol recording yang posisinya on. Tangan Tedi yang bebas
dari kamera kini mulai mengocok penisnya sendiri.
Formasi antrian bapak-bapak tua itu tidak bertahan lama, Rasti juga
pegal berdiri dalam posisi itu terus. Kini persetubuhan mereka berlanjut
tanpa aturan. Tubuh Rasti ditarik kesana-kemari, dibaringkan ke kasur,
ditarik lagi, dipepet di tembok, berpindah lagi, dihempaskan ke lantai,
dan seterusnya. Rasti benar-benar seperti ikan asin yang diperebutkan
kucing-kucing liar yang lapar. Habis tubuhnya dijamahi, dan air susunya
disedot-sedot bergantian dengan rakus oleh bapak-bapak tua itu. Ramai
sekali suasananya, penuh makian, seruan-seruan cabul, desah nafas dan
gelak tawa. Ya, itu adalah persetubuhan yang menyenangkan, sikap Rasti
yang ceria, penuh canda, dan tak cangung meladeni cacian-cacian cabul
yang ditujukan padanya membuatnya jadi menyenangkan.
Pada akhirnya, ternyata bapak-bapak itu hanya nafsunya saja yang besar
tapi tenaganya kurang, maklumlah rata-rata usia mereka sudah di atas
60-an. Hanya 1 jam lebih sedikit persetubuhan itu berakhir dengan wajah
dan tubuh Rasti berlumuran sperma kental. Empat orang bapak
menyemprotkan pejunya di rahim Rasti, Tujuh sisanya membukkake Rasti.
“Aahh… hh… Hi hi hi… aduuhh… banyak sekali pejunya ya bapak-bapak… ahh…
kental banget lagi… hahh.. hahh…” Ucap Rasti dengan senyum tersungging
di bibirnya yang masih belepotan, dan nafasnya yang masih
terengah-engah.
“Stock berbulan-bulan itu non… ga pernah dikeluarin… Khusus hari ini buat non… Ha ha hahh…” Salah seorang bapak berkomentar.
“Hi hi hi… spesial banget doong….? Makasiih ya bapak-bapaakk… Rasti seneng banget!”
Tedi tidak menuntaskan onaninya, melihat ini dia bergegas masuk dan
mengabadikan wajah Mamanya yang penuh berlumuran sperma kental. Saking
kentalnya, lelehan sperma yang ke bawah dagunya itu tidak menetes-netes.
Benar-benar seperti lem! Lengket.
Rasti tidak malu sama sekali dalam posisi ini. Mata kirinya setengah
menutup karna segumpal sperma menggantung di sana. Rambutnya, ujung
hidungnya, pipinya, bibirnya, semua kini berhiaskan sperma. Wajah Rasti
bagaikan kain kanvas dan sperma-sperma itu adalah cat yang ditorehkan di
atasnya membentuk mahakarya seni yang indah. Tanpa membersihkan
wajahnya sama sekali, Rasti memasang ekspresi-ekspresi binal menatap
lensa kamera Tedi yang mengabadikannya. Setelah beberapa saat kemudian,
Rasti melakukan aksi yang membuat Tedi dan semua bapak-bapak di situ
menahan napas. Dengan jari telunjuknya, Rasti pelan-pelan menyapu sperma
di wajahnya sedikit-demi sedikit dan memasukkannya ke mulut. Sperma itu
begitu banyak dan kental. Rasti harus menyapunya beberapa kali dan agak
lama hingga semuanya tuntas tak bersisa, berpindah ke atas lidahnya.
Rasti memang tidak langsung menelannya. Lidahnya ingin mengecap dan
merasakan sensasi kekentalan sperma itu. Dia melakukan itu sambil
tersenyum ke arah bapak-bapak dan kamera Tedi. Benar-benar pemandangan
yang cabul!
“Aaahhh…..” Rasti menjulurkan lidah, memamerkan gumpalan peju yang telah
dikecap di atas lidahnya. “Gleekk… Ahhh…” Rasti menelan semuanya. Semua
penontonnya menelan ludah menyaksikan aksi Rasti ini.
“Hi hi hii… Aaah kental… Kayak lem! Benar-benar kaya protein nih sepertinya… Hi hi hi… Enaakk, makasih ya bapak-bapak…?”
“I… Iyaa non… duuhh non benar-benar lonte juara…!”
“Lonte superr… Super nakal, super cabul….”
“Puas pak…?”
“Iya non puas banget…”
“Sama dong… hi hi hi…”
“Eitt… belum non… tu masih ada…” Seorang bapak menunjuk ke selangkangan Rasti.
“Aduuh luber yaa… hi hi hi…. Peju kalian sih… kebanyakan.” Ucap Rasti
melihat lelehan sperma banyak yang keluar dari bibir vaginanya.
“Sini non… bapak yang bersihin ya…”
Seorang bapak berinisiatif membersihkan lelehan sperma itu dengan
jarinya, Rasti tidak melarangnya. Ternyata bapak itu kembali menyuapkan
sperma itu ke mulut Rasti. Sambil tertawa, tanpa keberatan sama sekali,
Rasti menyambutnya. “Duh bapak tau aja Rasti masih haus…”
Benar-benar pemandangan super cabul. Tedi yang menyaksikan adegan ini
dilakukan oleh mamanya sendiri antara jijik, malu, namun tetap ereksi.
Ah, rasanya dia menikmatinya.
Tidak cukup hanya sperma yang meleleh keluar saja, jari bapak itu kini
mengobel memek Rasti, memancing lebih banyak lagi sperma keluar. Rasti
malah merenggangkan kakinya, memberi kemudahan akses.
“Aahhh…” Desahnya keenakan.
“Aaak… Aaammmm… Lonte pintar…!” Ujar bapak itu menyuapkan sperma
terakhir dari vagina ke mulut Rasti. Kata-kata yang sebenarnya adalah
pelecehan itu bagi Rasti adalah pujian.
“Makasiiih…” Ucapnya centil setelah menelan bersih semuanya.
“Sama-sama non lonte cantiikk…”
“Makasiih ya non Rastii… duuh, malam ini bapak rela deh kalo mati…”
“Hi hi hiii… kok udah mau mati aja pak… besok-besok kan Rasti masih mau nyumbang memek lagi…”
“Haahh beneran non…???”
“Serius non…? Aduh jangan bercanda dong non…???”
“Hi hi hi… pilih mana, disumbang uang atau memek?”
“Memeeekkk…!” Semua menjawab serentak.
“Duuh bapak-bapaaak… ga butuh makan emangnya?” Rasti tergelak.
“Makan mah ada non… nasi pake garem juga embat aja, yang penting kenyang
non… Tapi kalo memek sih, pilih yang premium kalo bisa… hi hi hi…”
“Premium, bensin kali… hi hi hi… Pertamax aja pak.”
“Iya non, permemex… Ha ha ha…” benar-benar cabul dan norak gurauan mereka itu. tapi Rasti toh tetap melayaninya.
“Ya udah, uang sama memek ya… kapan-kapan Rasti datang lagi…”
“Jadi beneran non…? Aduuh non Rasti baik amat sihh… kayak bidadari… udah cantiiikk….”
“Udah ah stop mujinya… Besok kalo Rasti datang lagi, bagi-bagi dong ke
bapak-bapak yang lain… Pintunya dibuka aja, jangan ditutup rapet kayak
gini… pengap. Biar aja yang mau masuk bebas… Rasti mau buka klinik
ngentot di sini… Buka pagi sampai sore, jadi bisa nerima banyak pasien…
hi hi hi…”
Aah, tidak ada habisnya Rasti meladeni bapak-bapak mesum ini,
omongan-omongannya entah itu hanya mengumbar fantasi liarnya saja
ataukah benar-benar hendak direalisasikan? Tedi tidak tahu, yang jelas,
mendengarnya saja, dia dan ketiga kawannya sudah merasa sempit di balik
celananya. Ya, tidak ada di antara mereka yang menuntaskan onaninya
tadi. Mereka ingin menyimpannya untuk penghujung malam nanti di rumah
dan bersama Rasti.
Singkat cerita, Rasti pun berpamitan setelah membersihkan diri sekedarnya.
“Simpan aja pak, buat kenang-kenangan…” Ucap Rasti menolak daster yang dikembalikan padanya oleh seorang bapak.
“Ja… di…. Non Rasti…?”
“Ya gini aja pak… ga usah pake apa-apa… hi hi hi…”
“Haah, bugil gitu non??”
“Kan Rasti pake mobil… yuk aah… pamit ya bapak-bapaak… makasih yaa…”
Ucap Rasti ramah. Harusnya sih bapak-bapak tua itu yang mengucapkan
terimakasih padanya.
“Nak Tedi…” Panggil salah seorang bapak.
“I ya… pak?” sahut Tedi.
“Titip lonte kami ya… tolong dijagain jangan sampai lecet. He he he…”
Hu uh, Tedi bersungut-sungut mendengar candaan yang tidak lucu dan tidak
sopan itu. Tapi bapak-bapak itu malah tertawa senang sambil makin
menggoda Tedi.
“Dadaaahh non Rasti…”
“Daah non cantiikk…”
“Beneran ya kesini lagi non…?”
“Janji ya non…?”
“Iyaa bapak-bapaak... Daahhh….”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar