Berita ditahannya Norman membuat Rasti shock dan sedih bukan kepalang.
Betapapun bengalnya, Norman adalah putranya juga. Rasti menjadi lebih
tegang lagi ketika tahu penyebabnya adalah kekerasan yang terjadi di
kompleksnya sendiri. Hari itu suasana ceria berubah menjadi serba
canggung dan kelam. Teman-teman Tedi merasa tidak enak, mereka pun tahu
diri dan segera pamit, sementara Rasti dan Tedi bersiap-siap hendak
pergi ke kantor polisi.
Di kantor polisi, Rasti dan Tedi mendapat informasi lebih lanjut.
Teman-teman Norman menganiaya seorang satpam di kawasan kompleks tempat
tinggal Rasti. Dan kejadiannya adalah dini hari menjelang fajar tadi
setelah mereka meninggalkan rumah Rasti. Saat mereka hendak meninggalkan
komplek, tampaknya salah seorang dari mereka ditegur oleh satpam
komplek. Entah apa masalahnya, yang jelas teman Norman itu tidak terima,
begitu juga teman-temannya yang lainnya. Akhirnya satpam itu dikeroyok 9
teman Norman sampai luka parah dan masuk ICU.
Bagaimana dengan Norman? Norman sendiri sebenarnya mengaku tidak ikut
menganiaya, dan Rasti percaya. Kepercayaan Rasti ini bukan semata
pembelaan buta seorang ibu pada anaknya secara emosional, tapi memang
Rasti tahu bahwa Norman sendiri kenal baik pada satpam di komplek ini.
Norman sering nongkrong bareng mereka di pos, merokok bareng, main
catur, dan sebagainya. Jadi sulit dipercaya kalau Norman ikut
menganiaya. Tapi apa daya, semua yang ada waktu itu diciduk, dan demi
solidaritas, Norman merasa tidak nyaman jika dia mengelak sendiri.
Masalah ini kemudian berkembang di hari-hari berikutnya. Tidak hanya
berhenti di Norman saja, tapi lebih runyam lagi bagi Rasti.Keberadaan
Rasti di komplek perumahan itu jelas disorot lagi oleh penduduk sekitar.
Dari yang paling benci, yang cuma nyinyir-nyinyir, sampai yang sekedar
komentar. Semuanya bicara. Intinya Rasti dipergunjingkan. Dan semodern
dan sebebas-bebasnya masyarakat di situ, sejauh ini yang ada paling pol
hanyalah pembiaran. Bukan pembenaran, apalagi pembelaan. Selama ini
Rasti mawas diri dan merasa cukup dengan sekedar pembiaran. Tapi kini,
pembiaran yang sebenarnya tidak gratis itupun mulai hilang. Suara-suara
sinis lebih sering terdengar, terlebih yang nyata-nyata membencinya,
suaranya jelas yang paling lantang.
“Ibunya lonte, anaknya preman! Sampah masyarakat! Udah usir saja, kalo perlu penjara sekalian ibunya!”
“Tadinya sih gue cuek aja, tapi kalo udah nimbulin rusuh ya ga bisa dibiarin!”
“Namanya juga lonte, gimana diarepin bisa ndidik anak dengan bener”
“Sekarang pengeroyokan, bisa jadi besok-besok ngerampok. Siapa yang
bisa jamin besok rumah kita aman? Satpamnya aja dipukulin! Gila gak
tuh?”
Semua suara-suara miring itu kali ini benar-benar tidak bisa dibendung.
Rasti benar-benar tertekan dan sedih. Apakah dirinya sesalah itu??
Begitu hinakah dirinya menjadi seorang lonte??
Proses pengadilan dan pra penahanan Norman benar-benar melelahkan dan
penuh tekanan. Tapi semua Rasti lalui dengan tabah dan sabar. Tentu
dengan Tedi yang selalu mendampingi di sisinya. Pada akhirnya jatuhlah
vonis pada Norman dan semua teman-teman gengnya. Ya, kasusnya berkembang
hingga menyeret seluruh anggota geng yang diikuti Norman. Agaknya geng
itu sudah memiliki banyak catatan kriminal dan menjadi target operasi.
Berakhirnya proses ini cukup melegakan Rasti, meski dia tetap sedih
karna Norman harus menjalani hukuman selama 3 tahun. Sebenarnya, Norman
termasuk di bawah umur. Dalam aturan hukum banyak keringanan yang bisa
didapatkan oleh Norman. Banyak proses yang bisa ditempuh Rasti untuk
mengupayakan itu, dan Rasti pun menempuhnya demi Norman. Tapi pada
akhirnya semua proses itu malah membuat perasaan Rasti makin tersiksa.
Jelas keluarga Rasti bukanlah keluarga normal. Rasti adalah seorang
lonte. Pelacur. Norman dan semua anak-anaknya lahir tidak jelas dan
dibesarkan tanpa sosok seorang ayah. Rasti tidak punya pendidikan, dan
dia pun tidak bisa mendidik Norman dengan baik, sampai Norman ikut geng
dan melakukan premanisme. Dan sebagainya dan seterusnya. Intinya, semua
cerita tentang Rasti yang melingkupi kondisi Norman saat itu membuat
semua proses yang ditempuh Rasti menemui jalan buntu. Sudah begitu,
kondisi Rasti malah makin terekspos dan Rasti makin dihujani dengan
cibiran, caci maki dan hujatan-hujatan.
Rasti benar-benar terpuruk saat itu.
Untuk sementara waktu Rasti memutuskan untuk berhenti menerima tamu.
Tedi juga melarang Riko, Romi dan Jaka untuk main ke rumahnya dulu untuk
sementara waktu. Tentu ini berat bagi mereka, tapi mau bagaimana lagi,
situasi memang tidak memungkinkan juga bagi mereka untuk terus
mengharapkan kesenangan dari Rasti yang kini sedang dirundung duka dan
masalah.
***
Hari demi hari berlalu, bagaimanapun Rasti tidak ingin terus menerus
sedih dan terpuruk. Dengan dihibur Tedi dan juga melewati hari demi hari
dengan lebih dekat pada anak-anaknya yang lain, sedikit demi sedikit
Rasti pulih dan bisa ceria lagi. Meski begitu, Rasti memilih
menghabiskan waktu selanjutnya bersama keluarganya saja untuk sementara
waktu. Ya, Rasti masih tidak menerima tamu hidung belang. Riko, Romi dan
Jaka pun masih dilarang Tedi untuk datang. Meskipun sebenarnya Rasti
tidak keberatan dengan mereka ini. Bahkan Rasti pun sempat kangen dan
menanyakannya pada Tedi.
“Temen-temenmu kok ga pernah main lagi sayang?”
“Emang Tedi suruh jangan main dulu ma…”
“Lho emangnya kenapa sayang? Mama ga apa-apa kok…”
“Ah mereka itu main ke sini ntar paling cuman pingin ngecengin Mama aja…”
“Hi hi hi… jangan gitu sayang, Mama yakin kok mereka anak-anak baik kok,
bisa lihat-lihat kondisi… Lagian mama juga suka kok dikecengin, he he
he...Tingkah mereka itu jadi hiburan juga lho buat Mama…”
“Yaa ntar deh coba Tedi tanya… Kalo mereka mau main nanti Tedi biarin…”
“Iyaa disuruh main aja sayang, mama sudah ga apa apa kok…”
Beberapa hari kemudian Rasti minta diantar Tedi dengan mobilnya untuk
menengok Norman ke penjara. Di penjara, Rasti dan Norman bercakap-cakap
di suatu ruangan yang memisahkan antara pengunjung dan tahanan. Penjara
atau lapas ini adalah bangunan baru yang sebenarnya diperuntukkan
sebagai lapas khusus pelaku kriminal di bawah umur, alias anak-anak.
Tapi sistem hukum yang masih kacau, dan juga fasilitas Negara yang masih
terbatas, membuat lapas yang tidak terlalu besar ini dihuni
tahanan-tahanan yang dewasa juga.
Sejak ketemu, Rasti langsung menyadari sesuatu yang lain di wajah
Norman. Ada sedikit lebam di pipi kirinya. Jelas Rasti langsung panik.
Ia langsung menanyakan apa yang terjadi. Norman pun curhat bahwa di awal
memang sempat ada pembully-an. Ia dimasukkan ke dalam sel bersama
dengan 4 orang napi dewasa yang sudah mendekam di sana paling sebentar
satu tahun. Sebagai anak baru, wajar Norman dibully. Tapi Norman
menyuruh Mamanya tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu. Meski begitu
tetap saja Rasti gusar, ia beralih menanyai kabar anaknya itu,
kesehatannya, makan teratur atau tidak, kesehariannya di sana, dan
sebagainya, layaknya seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya. Norman
menjawab semua pertanyaan itu sekenanya saja. Terlihat sekali ia juga
sedang risau akan suatu hal. Rasti pun jadi mengungkit soal pembully-an
itu.
“Iya kan keliatan banget kamu pasti tertekan di dalam sana… Walau wajar
ya tetep ga bisa dibiarin kalo bullynya sampai pake kekerasan fisik
begitu…!”
“Yaelah Ma, namanya juga di penjara… ini bukan sekolahan Ma…”
“Tapi kan kamu bisa lapor, Mama juga akan bantu ngurusin hal ini ke sipir… Pokoknya Mama akan ngelakuin apapun…”
“Udah Ma, semua bisa Norman atasi kok…”
“Ah, tapi keliatan banget tu kamunya…”
“Soal bully, Norman sudah atasi, pokoknya Norman ga bakal dibully lagi. Sekarang tu Norman kepikirannya sama hal lain!”
“Kok bisa? Ngatasin gimana maksudnya? Trus kamu punya masalah lain apa?”
“Ya caranya ada aja deh, nanti Mama juga tahu sendiri… Ini ada kaitannya sama masalah Norman itu.”
“Iya, kamu kepikiran apa sayang?”
“Menurut Mama apa? Ya Norman kangen sama Mama…!”
Terdiam sejenak Rasti mendengar jawaban Norman. Wajahnya langsung
tersipu. Pipinya merona merah, membuat Norman makin gemas memandanginya.
“Duuh kamu ini… Ya iyalah, Mama juga kangen kamu sayang, tapi ya gimana
lagi… kan Ma…”
“Norman kangen, pingin ngentot!” Ujar Norman memutus kata-kata Rasti.
Terdiam lagi Rasti mendengar kata-kata anaknya itu. Kali ini agak kaget
juga, Rasti gugup menengok kanan-kirinya takut ada yang mendengar. Ia
benar-benar tidak menyangka Norman akan mengucapkan kalimat sevulgar
itu. Rasti berpaling ke Norman lagi. Wajahnya tambah memerah.
“Iih, kamu ini kok sempat-sempatnya mikir gituan sih…? Dasar.”
“Yaelah Ma, justru itu satu-satunya hal yang paling Norman pikirin sejak
Norman ditahan. Norman ga takut sama penjara, tapi takut ga bisa
ngentot sama mama lagi! Seminggu aja gak ngentotin Mama, Norman pusing…
Apalagi kalau harus bertahun-tahun!”
Rasti jadi salah tingkah. Sekali lagi dia tengok kanan kiri. “Udah ah jangan ngomongin itu…”
“Iya Ma, Norman juga ga mau ngomongin itu. Norman maunya langsung ngentot aja, yuk…”
“Sayang… Bercandanya jangan gitu ah…”
“Mama gak kangen sama Norman?”
“Iih kamu… Iya deh sayang, mama juga kangen kok, tapi kan salahmu
sendiri. Lagian bukannya ga bisa seterusnya kan? Nanti kalo kamu udah
bebas kan bisa 'gituan' lagi sama mama...Ya udah deh sekarang kamu puasa
kayak abangmu… Nunggu umurmu 18 tahun yah? He he he…” Akhirnya Rasti
terbawa obrolan Norman, tapi belum berani mengucapkan ngentot dengan
vulgar. Rasti benar-benar mengira Norman bercanda sampai kemudian Norman
menegaskan dia tidak sedang bercanda. Ya, Norman benar-benar serius
minta ngentot! Jelas Rasti bingung, mana mungkin mereka bisa melakukan
hal seperti itu di sini.
Tedi yang sejak tadi duduk di kursi tunggu dan tidak ikut ngobrol, kini
melihat gelagat Mamanya yang berubah. Penasaran tentang apa yang
diobrolkan Mama dan adiknya itu, dia pun berdiri dan mendekati Rasti.
Walhasil dia jadi ikut mendengar hal di luar dugaan yang dijelaskan
Norman kepada Rasti. Ternyata Norman sudah mengaturnya. Dia sudah kong
kali kong dengan beberapa petugas penjaga lapas. Ada ruangan khusus yang
bisa dipakai untuk melakukan ‘itu’. Dan hal itu memang sudah biasa di
dalam penjara. Tapi untuk mengakses itu memang tidak gratis. Imbalannya?
Awalnya memang uang yang diminta. Tapi begitu Norman menunjukkan foto
Rasti pada penjaga, kompromi pun terjadi. Ya, apa lagi kalau bukan
Norman menawarkan Rasti pada mereka? Dan jelas mereka mau! Ya, Norman
sudah menjanjikan para sipir dan penjaga di sana untuk bisa ikut
‘nyicipin’ mamanya itu. Rasti hanya tertegun saja mendengar semua cerita
Norman. Apalagi ternyata Norman belum selesai. Ia lalu melanjutkan,
“Sama teman-teman sel Norman juga Ma... Tadi kan Norman udah bilang,
soal bully Norman udah atasin. Makanya kan ini ada hubungannya juga sama
itu, jadi… Asal Mama mau, Norman ga bakal dibully lagi deh sama
mereka.”
Rasti menelan ludah mendengar penjelasan terakhir Norman ini. Ya Rasti
tahu arah pembicaraannya. Benar-benar tidak masuk akal. Rasti
benar-benar gusar, bagaimana Norman bisa mengatakan semua itu dengan
tenang dan datar, seolah itu hal yang biasa saja. Menawarkan Mamanya
sendiri pada sipir penjara dan para napi!
“Kamu bercanda kan sayang?” Ucap Rasti masih tak percaya. Tedi sendiri
di belakang Rasti jelas tidak habis pikir dengan apa yang barusan
diceritakan adiknya. “Lo ga usah aneh-aneh deh Man…” Hardiknya kesal.
“Yee abang, gue serius. Lo sih ga tau rasanya di dalem sini. Norman serius Ma…!”
“Jangan Ma...” Bisik Tedi. Rasti sendiri terlihat bimbang dan ragu.
Sekali lagi dia tengok kanan-kiri, melirik ke dalam melihat petugas yang
berjaga di balik pintu. Ternyata penjaga itu mengawasinya dari tadi.
Dia tersenyum cabul memandangi Rasti, satu tangannya diangkat, tangan
itu seolah sedang menggenggam sesuatu yang kemudian dimasukkan ke
mulutnya, lalu lidahnya mendorong dinding pipinya dari dalam sehingga
dari luar pipinya terlihat menggembung seolah benda yang digenggam
tangannya itulah yang mendorong pipinya. Ya, penjaga itu memperagakan
adegan blowjob dan menunjukkannya pada Rasti! Darah Rasti langsung
berdesir melihatnya. Wajah ayunya merah padam malu, jantungnya berdebar.
Gugup.
“Ka… Kamu yakin sayang? Beneran bisa begitu?” Rasti malah bertanya lagi
ke Norman. Selain karena masih ragu untuk melakukan hal seperti itu di
sini, dia juga tidak percaya kalau Norman bisa bersepakat seperti itu
dengan para penjaga.
Rasti menggenggam tangan Tedi yang masih terlihat sangat gusar. Dari
sentuhannya Tedi mengerti Mamanya ingin ia menahan diri dari memarahi
Norman. Tedi pun ngalah seperti yang sudah-sudah.
“Iya Ma… ayuk dong… Norman kangen nih ngentotin mama, hehe…”
“Mama juga kangen sih. Tapi, duh… masa di sini sih sayang? Sekarang?”
“Iya sekarang, tapi gak di sini Ma”
“Terus?”
“Mama mau lihat tempatnya Norman nggak?”
“Hah? Maksud kamu… mama ikut kamu ke…”
“Hehe, ayo dong ma…” ucap Norman bangkit dari tempat duduknya lalu
mengedipkan matanya pada penjaga di sana. Penjaga itu tersenyum dan
berjalan menghampiri Rasti. “Ayo non…” Bisik penjaga itu sambil menunjuk
ke arah pintu masuk. Rasti terlihat gugup. “Eehh… bentar… bentar…”
ucapnya, lalu menarik Tedi menjauh dan mengajaknya duduk di kursi
tunggu. Penjaga itu membiarkannya saja. Dia dan Norman saling tersenyum
dan memberi kode. Norman pun lalu berlalu, kembali ke selnya dengan
diantar seorang penjaga.
“Mmm… Sayang……” Bisik Rasti pada Tedi. Dia ingin mengatakan sesuatu
tapi bingung. Tedi sendiri masih terlihat gusar menunggu apa yang hendak
dikatakan Rasti. Dia tahu mamanya itu cenderung pada memenuhi keinginan
Norman lagi.
“Kamu marah ya kalau Mama turutin adekmu lagi…?” Tanya Rasti.
Tedi membisu. Bingung dia harus menjawab sesuatu yang seharusnya sudah jelas. Tapi raut wajah Mamanya membuat Tedi trenyuh.
“Maafin Mama ya sayang, kalau perlakuan Mama ke kalian beda. Kamu pasti
kesal sekali ya sama Mama… Sama adikmu… Mama ga pernah bisa tegas ke
Norman. Mama kasih Norman apa aja yang dia mau… Mama nggak adil, pilih
kasih…”
“Stop Ma… Jangan ngomong gitu…”
“Mama sungguh nggak tahu sayang, yang jelas Mama sayang sama kalian
semuanya tanpa kecuali! Mama ga tahu… Mama memang ga pintar ngurusin
anak… Maafin Mama sayang…”
Tedi sungguh menangkap raut wajah Mamanya yang kalut. “Udah Ma, kalo
mau, masuk sana…” Bagaimanapun juga Tedi tetap kesal dan ketus. Sikap
Tedi ini membuat Rasti makin bimbang. Dia hendak menjelaskan alasannya,
betapa Norman dibully dan dipukuli di dalam sana, tapi Rasti sendiri
sebenarnya tidak yakin dengan motivasinya. Apakah sebenarnya dia hanya
kangen saja dientot oleh Norman? Mengingat belakangan ini selama
beberapa hari dia tidak melakukan hubungan seks sama sekali. Ya, Rasti
sendiri mengakui bahwa dia sudah ingin kembali. Menjadi lonte lagi.
Memuaskan nafsu banyak laki-laki lagi. Binal lagi.
Pada akhirnya Rasti mengatakan tegas pada Tedi. Jika Tedi melarang,
Rasti janji akan menurutinya. Tedi yang disuruh menentukan, malah
bingung dan salah tingkah, serba salah. Tapi setelah menimbang-nimbang,
Tedi memutuskan untuk mengijinkan Mamanya. Wajah Rasti langsung
sumringah. Ia pun memeluk dan mencium Tedi senang. Bertepatan saat itu,
petugas lapas yang menungguinya menghardik kasar. “Lama amat lu
ngobrolnya lonte?! Mau masuk nggak nih? Lonte aja pake diskusi,
buang-buang waktu aja lo! Cepetan!” Kebetulan saat itu ruang sudah sepi,
sudah tidak ada lagi pengunjung, pantaslah si penjaga berani
mengucapkan kalimat vulgar seperti itu. Kalimat yang seharusnya
menyakitkan hati, tapi malah membangkitkan karakter binal Rasti kembali.
Yes, she’s back.
Rasti menyuruh Tedi pulang duluan, tak perlu menunggu karna nanti Rasti
bisa pulang naik taksi. Rasti lalu berdiri dan tersenyum manis pada
penjaga, memberi kode bahwa ia telah siap. Penjaga yang tadinya
menghardik Rasti dengan kasar itu ternyata kini malah gelagapan oleh
pesona Rasti. Mupeng berat dengan hanya satu jurus senyuman maut saja.
Rasti tertawa kecil melihatnya. “Ayo pak…” ucapnya genit.
Rasti kemudian dituntun masuk ke dalam lingkungan penjara. Ia yang
sebenarnya masih agak bingung dengan kata-kata terakhir Norman tadi,
kini nurut-nurut saja mengikuti ke mana si penjaga akan membawanya.
Memasuki bagian dalam bangunan lapas ini benar-benar seperti memasuki
lingkungan yang angker. Mereka berpapasan dengan seorang penjaga lagi
yang tadi mengantar Norman. Kini Rasti berjalan dikawal dua penjaga.
Ternyata dugaannya benar. Dia akan dibawa ke selnya Norman! Gila, apakah
ia akan melakukannya di sana? Deg-degan sekaligus antusias Rasti
memikirkannya.
Dalam bangunan lapas yang tidak terlalu besar itu ada sekitar 60-an sel
yang masing-masing kapasitasnya 4 sampai 5 orang tahanan. Sel-sel itu
terbagi ke beberapa sektor yang mengacu pada lorong-lorong yang ada di
dalam bangunan ini. Pembagian sektor itu juga mengacu pada usia tahanan,
tapi entah bagaimana pembagian dan berapa angka usia yang menjadi
pembatasnya, yang jelas Norman yang berusia 14 tahun kini ada di Sektor
C. Untungnya sektor ini cukup strategis letaknya sehingga untuk menuju
ke sana Rasti tidak harus melewati sektor-sektor lainnya. Hanya saja,
untuk menuju sel Norman yang ada di ujung lorong, jelas Rasti harus
melewati sel-sel lain yang ada di sektor ini.
Sampai di muka lorong Sektor C, jantung Rasti makin berdebar-debar.
Apalagi dua orang penjaga yang mengantarnya kemudian berbisik-bisik,
mereka berinisiatif menggoda dan mengerjai Rasti dengan tidak
mengantarnya masuk. Dari luar lorong, penjaga itu hanya menunjukkan
posisi sel Norman yang di ujung itu. Kedua penjaga itu menganggap
pakaian Rasti begitu seksi. Padahal bagi Rasti itu pakaian yang sangat
biasa, sama sekali tidak bitchy, bahkan cenderung elegan. Rasti
mengenakan gaun satin terusan berwarna hitam polos. Memang gaun itu
tanpa lengan dan bagian lehernya agak lebar, potongan bawahnya pun 20 cm
di atas lutut, walhasil kulit putih bersih Rasti memang cukup terekspos
menggugah selera. Lagipula sosok wanita secantik Rasti tetap adalah
pemandangan indah yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah ada di
dalam sebuah bangunan penjara seperti ini. Dengan menyuruh Rasti masuk
sendiri, penjaga itu ingin melihat seperti apa reaksi mupeng para napi
dari balik selnya begitu melihat Rasti.
“Ayo masuk ke sana Non… he he he…”
“Hah, saya masuk sendiri pak?”
“Iya Non, jangan takut, aman kok.”
Rasti meneguk ludahnya, ia menatap ke dalam lorong itu dengan ragu-ragu.
Lorong itu buntu, panjangnya mungkin sekitar 15 meter dan lebarnya
sekitar 2 meter. DI kanan kirinya berderet sepuluh sel. Lima di kiri dan
lima di kanan. Sel Norman ada di ujung sebelah kanan. Sungguh suasana
baru bagi Rasti yang lagi-lagi terkesan sangat angker baginya. Terbesit
perasaan prihatin memikirkan Norman harus tinggal di sini selama 3 tahun
ke depan.
“B... Baik pak, saya masuk ya… mmm, lalu kuncinya?”
“Nanti kami buka dari sini, pake sistem non, he he he… Udah sana, kasihan udah pada nunggu tuh di sel. Ha ha ha…”
Rasti pun melangkah masuk dengan perasaan berdebar-debar dengan diawasi
dua orang penjaga yang cengengesan. Rasti melangkah pelan dan baris sel
pertama pun dilewatinya.
Sejurus kemudian terdengar satu suara lantang. “Wuih ada yang
bening-bening nih… Cakep…!” Rasti menelan ludahnya. Dadanya makin
berdebar. Dia terus berjalan tak berani menoleh ke arah suara.
“Woy, liat nih coy, jangan tidur aja lo…!” Satu suara lagi terlontar.
Terdengar suara berisik dan gumaman-gumaman, lalu kemudian setelah itu
suara demi suara berikutnya langsung riuh bersahut-sahutan tanpa jeda.
“Apaan??”
“Anjrriiittt! Ada bidadari kesasar!”
“Duuh, siapa namanya neng? Sini dong… mampir tempat abang!”
“Duilee mulusssnya coy!”
“Kok bisa ada cewek cakep di sini sih? Ada yang manggil lonte ya!?”
“Duh, gue udah lama gak ngentot nih… ngentot yuk neng!”
“Suiitt suiiittt!”
Hanya dalam sekejap lorong itu langsung dipenuhi seruan seruan cabul
para penjahat di sana.Tangan para penghuni sel itu memukul-mukul teralis
sel mereka membuat keributan. Sebagian besar tangan-tangan kasar mereka
menjulur keluar juga berusaha meraih Rasti, tentu tangan mereka tidak
cukup panjang untuk dapat menjangkau Rasti yang berusaha berjalan di
tengah lorong selebar2 meter itu. Perasaan Rasti benar-benar campur aduk
saat ini. Ini benar-benar sensasi yang belum pernah dirasakannya
sebelumnya. Dia mulai berani menoleh dan melemparkan senyum ke kanan dan
kirinya, Rasti sengaja berjalan pelan melewati lorong itu. Ya, kini dia
malah tebar pesona! Ah, bangganya perasaan Rasti saat itu. Naluri
binalnya kembali meluap-luap.
“Aduh neng, manisnya…”
“Sini dong neng…!”
Seruan seruan kasar dan cabul terus dilontarkan para penghuni sel yang mupeng itu.
Penjaga yang mengawasinya di depan lorong tertawa-tawa melihat dan
mendengar semua reaksi yang sesuai dugaan mereka ini. Benar juga, kayak
binatang peliharaan yang kelaparan gara-gara seminggu tidak dikasih
makan! Hua ha ha ha, mupeng mupeng deh lo! Pikir mereka yang sebenarnya
juga mupeng berat dari tadi. Tapi sesuai perjanjian memang giliran
mereka baru setelah Norman. Yah, tak apa, toh tetap dapat jatah. Wanita
secantik Rasti memang layak diantri. Rasti sendiri kini malah makin
penasaran dan terangsang. Cairan pelumas di dalam memeknya bahkan sudah
mulai membasahi dinding-dinding liangnya. Tiba-tiba timbul sifat iseng
dari Rasti. Setelah sampai di barisan sel ketiga, terbesit di benaknya
ingin mengerjai kedua petugas itu juga. Sambil menengok menebar senyum
pada napi di sel sebelah kiri, langkahnya menjauh ke arah kanan.
Benar-benar terlihat seperti tidak sadar Rasti melakukannya sehingga
tubuhnya makin mendekat ke sel di sebelah kanannya. Penjaga yang
melihatnya jadi panik.
“Aduuh, itu non… jangan dekat-dekat…!” Serunya tertahan. Terlambat,
satu tangan kasar napi di sel keempat sebelah kanan berhasil meraih
tangan Rasti. Tangan itu dengan cepat menarik Rasti, “Kyaaa…!” Pekik
Rasti kaget, meskipun inilah yang diinginkannya. Tubuh mulus Rasti kini
menempel rapat di jeruji sel yang dingin itu. Beberapa tangan dari dalam
sel langsung sigap menahan tubuh Rasti sehingga Rasti tidak bisa
melepaskan diri dan lari menjauh. Jadilah di situ Rasti langsung
digerayangi berama-ramai dari dalam oleh tangan-tangan lainnya, tubuhnya
dicium-cium oleh penjahat di sana. “Adduuh lepasin bang… toloong…!”
Ucap Rasti sambil meronta. Pakaiannya bahkan ditarik-tarik hingga sobek!
Benar-benar liar! Benar-benar seperti yang dipikirkan kedua penjaga
tadi. Para napi bagai hewan liar di kebun binatang yang memperebutkan
makanan dari dalam kandangnya.
“Jangan bang… Aduuhh… Jangan… Kyaa… sakit dong, aahhh… jangan
disobek…!” Jerit Rasti sejadi-jadinya padahal sebenarnya dia menikmati
keisengannya ini. Breeettt! Breett! Gaun Rasti sobek parah di bagian
dada dan pahanya. Bahkan bra mahal Rasti dibetot dengan kasar hingga
putus dan satu payudara Rasti jadi terekspos bebas. Walhasil payudara
yang naas itu menjadi rebutan tangan-tangan liar para napi. “Aahhh sakit
bang… Jangan… Aduuhh…!” Habis sudah payudara Rasti dIremas dan
dicubit-cubit dengan gemas. Putingnya ditarik sampai Rasti merasa
kesakitan.
“Anjrriitt mulus abiss!”
“Aduuh non cantiknya!”
“Masuk sini non, bobo sama abang!”
Kedua penjaga itu tepuk jidat, mereka panik, buru-buru masuk dan
berusaha membebaskan Rasti dari tangan-tangan ‘ganas’ para penjahat yang
mupeng itu. Seluruh lorong bergemuruh ribut, bersorak, sedangkan Rasti
malah berteriak girang dalam hati. Dengan tongkatnya kedua penjaga itu
memukul-mukul teralis sel keras-keras. “Traang! Traang!”
“Woi lepasin! Lepasin sekarang juga! Dasar anjing kelaperan lo pada ya!”
Bentak kedua penjaga itu, seraya memukuli tangan-tangan napi yang
menggerayangi dan menahan tubuh Rasti. Tidak lama tubuh Rasti
benar-benar lolos dari mereka. Dengan manja Rasti menggelayut di samping
penjaga.
“Aduh, makasih pak…” Ucapnya manja.
Glek. Kedua penjaga itu menelan ludah berkali-kali melihat kondisi Rasti
sekarang yang sebelah payudaranya sudah terekspos bebas. Meski tangan
Rasti berusaha menutupinya, tetap saja itu jadi pemandangan yang luar
biasa menggoda bagi mereka. “I… iya, non sih gak ati-ati… udah buruan
masuk situ…” Ucap salah seorang penjaga gugup sekaligus kesal. Ia
langsung menuntun Rasti ke depan sel Norman. Penghuni sel Norman yang
dari tadi sudah mengintip berjejer dari selnya benar-benar terlihat
tidak sabaran.
“He he he, akhirnya dateng juga nih paket spesialnya, nyantol di mana
sih tadi? Buruan pak dimasukin!” Ucap salah seorang yang paling jangkung
di antara mereka. Norman sendiri sok cool dengan duduk tenang menunggu
di atas tempat tidurnya. Rasti pun ‘dijebloskan’ ke dalam selnya Norman.
“Ha ha ha… Selamat menikmati! Jangan pake lama…!” Ucap seorang penjaga
sambil mengunci pintu sel mereka sebelum kemudian pergi meninggalkan
Rasti di dalam situ. “He he, ga janji ya bos? Kalo ginian sih harus
diabisin pelan-pelan nih…” Balas salah seorang teman Norman.
“Sialan belagu lo… ya udah terserah… Paling juga ga tahan lama lo.”
“Berisik woi!” hardik penjaga ke para tahanan di sel lain yang masih
saja berteriak-teriak ribut. Tentunya hardikan penjaga itu tidak cukup
untuk membuat mereka diam. Tapi toh penjaga itu tidak ambil pusing lebih
lanjut dengan keributan itu. ‘Teriak teriak deh lo sepuasnya… Lo pikir
dengan teriak bisa ngecrot…? Ha ha ha, goblok!’ Pikir si penjaga sambil
berlalu pergi.
Di dalam sel, Rasti dan teman-teman satu sel Norman kini saling
mengamati. Rasti dengan canggung melihat satu persatu wajah 4 teman
Norman yang jauh dari standar ganteng. Secara usia, semua terlihat lebih
tua dari Norman. “Duh, anakku yang paling cakep di sini,” batin Rasti
geli. Sementara teman-teman Norman balik mengamati Rasti dari kepala
sampai ujung kaki dengan tatapan ‘lapar’ yang seakan menelanjangi Rasti
yang memang sudah setengah telanjang. Norman bangkit dan mendekati
mamanya sambil tersenyum-senyum. Norman mengecup pipi mamanya itu dengan
mesra, lalu merangkulnya dari samping seraya menghadap teman-temannya
yang memandangnya iri.
“He he he… Melotot aja mata lo pada…! Sampe mau copot tuh mata… Ha ha
ha….! Gimana bro? Apa gue bilang? Cantik kan ni lonte…? Kenalin nih,
nyokap gue!” Tanpa tedeng aling-aling Norman memperkenalkan Rasti
sebagai Mamanya sekaligus lonte.
“I… iya Man… aduh buset dah seumur-umur gue liat cewek mulus model begini cuma di tivi-tivi…!”
“Beneran lonte lo ini Man?”
Norman terbahak lagi lalu memperkenalkan temannya satu-persatu. Robi,
Bari, Obet, dan Dimas. “Si Obet ini yang bikin pipi Norman lebam begini
Ma… udah dia ga usah dikasih jatah aja…” Selorohnya.
“Duh jangan gitu dong bro… kan cuma bercanda aja, kita sekarang kan
fren… iya kan bro?” Sahut si jangkung yang disebut Obet itu sambil salah
tingkah. Rasti tertawa melihatnya yang ternyata juga lebam-lebam
pipinya. Selain jangkung, Obet ini juga paling sangar dan kekar. Tapi
tampaknya perkelahian mereka dua arah, bukan Norman saja yang dipukuli,
tapi dia juga bisa melawan dan membalas. Malah terbesit sedikit rasa
bangga Rasti pada Norman.
“Duh pakaian Mama kok sobek-sobek begini, pasti Mama nakal ya tadi… udah
dibuka aja ya semuanya…” Ujar Norman. Kalimat Norman itu langsung
disambut antusias oleh teman-temannya. Cukup menggelikan juga
tampang-tampang mupeng mereka yang langsung penuh harap itu. Benar-benar
hiburan bagi Rasti yang sudah binal kembali. Teman-teman sel Norman
seakan menjadi pengganti Riko, Romi dan Jaka yang beberapa waktu ini
sudah jarang main ke rumah. Bedanya, kepada Robi, Bari, Obet dan Dimas
ini, tampaknya Rasti harus memberi pelayanan all in. Full ngentot. Dag
dig dug, berdesir perasaan aneh yang menyenangkan di dada Rasti yang
berdebar-debar, membayangkan apa yang sebentar lagi akan terjadi padanya
di sel ini.
Norman memberi kode kepada teman-temannya. Mereka lalu dengan sigap
mengambil kain selimut mereka di dipannya masing-masing lalu mereka
gunakan untuk menutup sekedarnya teralis sel mereka. Meski tidak mungkin
bisa tertutup sempurna, tetap saja suara koor protes langsung membahana
dari 2 sel di depan seberang sel mereka. “Huuu…! Anjrit lo mau ngentot!
Jangan ditutup woii! Ngentot lo pada, anjing!” Begitulah makian-makian
yang sangat kasar yang mewakili rasa iri para tahanan di sel lain itu.
Norman dan teman-temannya tak memperdulikan suara-suara itu. Sel-sel
yang bersebelahan di lorong itu masing-masing terpisah oleh sekat
tembok, sementara seluruh bagian depannya full teralis besi. Artinya,
aktivitas di dalam sel bisa terlihat dari luar, atau dari depannya, tapi
tidak bisa terlihat dari samping. Dengan kondisi seperti ini yang
paling bisa melihat aktivitas di dalam sel Norman ya sel yang berada
tepat di seberangnya, dan satu sel di sebelahnya. Maka tahanan di dalam
dua sel inilah yang paling ribut berteriak-teriak protes.
“Ayo dibuka Ma… Norman udah kangen beraat nih…” Ucap Norman pada Rasti yang masih mematung.
“Eit bro… Mmm, boleh gak gue yang telanjangin ni lonte… Boleh ya, please?” Pinta Bari.
“Terserah lo aja…”
“Wah gue juga mau dong…” Sahut Dimas yang langsung menggerayangi pakaian Rasti.
“Woi, serobot aja lo… Bagian gue nih!” Protes Bari. Walhasil kedua orang
itu kini berebut ingin merasakan sensasi menelanjangi wanita cantik.
Padahal Bari ingin membuka pakaian Rasti dengan pelan sambil menikmati,
tapi gara-gara Dimas ikut-ikutan, mereka jadi berebut dan akhirnya
dengan kasar melucuti pakaian Rasti. “Kyaa… Aduh pelan-pelan…” Pekik
Rasti manja. Breet…! Breett..!
“Aduuhh tu kan sobek lagi…”
“Ha ha ha… udah lo nanti bugil aja terus, ga usah pake baju lagi!”
“Alamaak Norman… mulusnya lonte ini! Cantiikkk broo!”
“Sumpah baru kali ini gue bersyukur masuk penjara! Di luar gue ga pernah
ketemu ginian bro! Gila sempurnanya… Gue gak sedang ngimpi kan?”
Rasti yang kini sudah bugil total benar-benar bangga mendengar semua
pujian teman-teman Norman itu. Si Dimas lalu iseng, melempar pakaian
dalam Rasti ke sel seberang. “Woi, mau cawet gak lo? Nihh… Ha ha ha…
BH-nya sekalian nih, ambil semua!” Lima napi di sel seberang pun
meneriakinya dengan penuh rasa iri. “Duh kok dilempar ke sana sih…?”
Protes Rasti manja pada Dimas yang tertawa-tawa. Dengan tangannya dia
menutupi payudara dan vaginanya. Bukan karena malu, tapi karena Rasti
tahu pose ini bisa makin membuat gemas laki-laki yang melihatnya.
“Aduh Tante cantik… gapapa lah buat amal…! Ha ha ha…” Tawa Dimas yang
disambut oleh tawa teman-temannya yang lain. “Sompret lo, perempuan
bening begini dibilang Tante.”
“Iya dong, ni lonte kan Mamanya teman kita… Jadi kita harus hormat, panggil Tante…”
“Iya juga ya, ha ha ha… Eh Tante cantik, omong-omong siapa sih namanya?”
“Tuh Ma, ditanya namanya…?” Bisik Norman yang kini memeluk Rasti dari
belakang dan mulai mengecupi kulit telanjang Rasti dengan pelan.
Punggungnya, tengkuknya, bahunya. Rasti mulai menggelinjang dan
mendesah. Teman-teman Norman mupeng berat melihatnya. “Duuh enak bener
ya lo Man…” Gumam Bari menelan ludah.
“Aahh sayaang…” Desah Rasti lagi ketika tangan Norman mulai
meremas-remas payudaranya. “Ayo Ma, tu ditanya namanya siapa? Tadi kan
temen-temen Norman sudah memperkenalkan diri semua…” Bisik Norman lagi
menggoda Mamanya.
“I… Iya… R… Rasti… Aahh…”
“Oo Tante Rasti aah…”
“Rasti ajaa… ahh sayang…”
“Rasti ajaa ah? Hi hi hi…”
“Ihh terseraaahh….”
“Ha ha ha ha… Gemesin banget ni lonte!”
“He he he, lo mau nyentuh gak? Sentuh aja nih… ga bakal pecah kok…”
Tawar Norman sambil mempermainkan payudara Rasti dari belakang.
Posisinya seperti menyodorkan kedua bongkah gunung salju kembar itu pada
keempat temannya yang berdiri di depan Rasti.
“He he he, duuh… emang takut pecah gue bro… bening banget soalnya…”
Sahut Bari yang terlebih dulu mengangkat tangannya dan mengelus payudara
Rasti pelan. Norman tertawa, “Hua ha ha… jangan khawatir bro! Anti
pecah… Gini lho!” Norman meraih tangan Bari dan menggenggamkannya di
dada Rasti, tangannya mengarahkan tangan Bari untuk meremas payudara
mamanya. “Sshhh….” Desis Rasti merasakan remasan tangan kasar Bari.
“Seettt… kenyal dan lembuutt bro!” Ucap Bari kegirangan. Tangannya kini meremas-remas payudara Rasti dengan gemas.
“Aduuhh aduh, pelan Bar! Nanti rusak…!” Seru Dimas, disusul dengan tawa semuanya.
“Mana mana… gue coba? Duh lecet deh gara-gara lo Bar! He he he…”
“Sompret lo, mana bisa? Monyong!” Tukas Bari.
“Duuuhh lembutnya susu tante Rastiii…” Keempat teman Norman benar-benar
membuat payudara Rasti jadi mainan. Seakan itu adalah karya seni luar
biasa yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak
cacat. Tapi itu tidak lama, makin gemas mereka pun makin kasar
menggerayangi tubuh telanjang Rasti dari ujung kepala sampai kaki. Rasti
menggelinjang-gelinjang dan mendesah manja merasakan sentuhan demi
sentuhan yang benar-benar menaikkan libidonya itu. Apalagi mulut keempat
teman Norman itu tidak hentinya mengoceh, memuji-muji kesempurnaan
tubuh Rasti.
"Maknyesss... duuh, ngimpi apasih gue semalam?"
"Perasaan gue selama ini jadi anak nakal, gak nyangka gue bisa nyicipin bidadari sorga! Ha ha ha..."
"Indaaah... ni lonte tiap hari mandi susu ya bro??"
Perasaan Rasti benar-benar melambung mendengar semua itu. Norman
membalikkan badan Rasti dan melumat bibirnya. Kini tangan teman-teman
Norman menggerayangi bagian belakang tubuh Rasti. Meremas-remas dan
memukul pantatnya dengan gemas sambil terus saja memuji-muji
keindahannya. Rasti dan Norman terus berciuman sambil berpelukan sampai
beberapa saat. Benar-benar pasangan ibu dan anak itu dilanda rasa rindu
yang sangat besar satu sama lainnya, ibarat sepasang kekasih yang
terpisah lama.
Kecupan ganas Rasti dan Norman menimbulkan suara decak bibir dan lidah
yang bersahut-sahutan erotis. “Gila lo Man, ganas bener lo ngelumatnya,
jangan dimakan Man…! Ha ha ha…!” celetuk Obet mupeng. “Aahh…” Desah
Rasti merasakan bibir vaginanya dijamahi oleh teman-teman Norman.
“Banjir coy…” ucap Obet, yang kemudian diikuti oleh semuanya
mencolek-colek liang Rasti dengan gemas. Rasti pun jadi
menggelinjang-gelinjang karenanya. “Aahh.. Auuhh…” Geliat tubuh Rasti
benar-benar seksi membuat mereka makin gemas. “He he he, kayaknya ni
lonte udah kepanasan… buruan Man disodok… udah kegatelan tuh!”
Dengan sigap Norman menggendong tubuh ibunya itu dan membaringkannya di
atas alas koran di lantai sel mereka. “Aahh dingiin sayang….” Desah
Rasti manja. “Bentar lagi Norman bikin anget Ma…!” Ucap Norman sambil
menelanjangi dirinya. Nafsu Rasti benar-benar sudah di ubun-ubun. Dia
menggigit bibirnya seksi, matanya nanar menatap tubuh kekar Norman yang
bertato. ‘Duh, kok tubuh Norman jadi keliatan seksi banget begini...’
pikirnya. Meski sudah berkali-kali melihatnya, tapi di tempat ini serasa
berbeda. Rasti seperti melihat anaknya itu dalam sosoknya yang baru.
“Aaauuhhh….” Rasti melenguh keras ketika Norman mulai mempermainkan
vaginanya dengan lidah dan tangannya. Paha Rasti dikangkangkan untuk
memberi akses selebar-lebarnya pada Norman untuk mengeksplorasi wilayah
paling intim miliknya.
Norman sudah sangat lihai dalam urusan ini. Tidak seperti Tedi dan
teman-temannya yang baru diajari Rasti di malam hari ulang tahunnya,
Norman sudah lama diajari Rasti bagaimana memuaskan liang kewanitaannya.
Lagi-lagi Rasti seakan merasakan hal yang berbeda dari Norman. Tidak
pernah dia merasakan kenikmatan sebesar ini dari vaginanya hanya dengan
dioral dan dikobel-kobel dengan tangan. Rasti pun mendesah dan
menggeliat sejadi-jadinya. Desahan yang tak bisa dielakkan memenuhi
seluruh lorong Sektor C hingga membuat semua tahanan di 9 sel yang lain
berteriak-teriak kesal menahan mupengnya. Sangat berisik hingga
terdengar juga ke beberapa sektor di dekatnya. Sudah pasti penghuni
sektor lain itu semua bertanya-tanya, “Ada apa di sektor C?” Parahnya,
hal itu tidak dirisaukan para penjaga. Mereka malah terkekeh-kekeh saja
membiarkan suasana ini.
Begitu juga dengan Norman dan teman-temannya. Mereka lebih tidak
mempedulikan lagi keributan dari sel-sel lain itu. Hanya Rasti sajalah
yang was-was dan berusaha keras mengatur suaranya supaya tidak terlalu
keras terdengar. Tapi menyadari hal itu, Norman malah memainkan memek
Rasti dengan lebih hebat lagi. Rasti yang terengah-engah menahan
suaranya jadi tidak bisa mengontrol diri. Lenguhan keras dan panjangnya
tidak terelakkan lagi. “Sayaanngg… hhh… pelaan…” Pintanya dengan mata
nanar dan wajah pias. “He he he, ga usah ditahan-tahan Ma… Jerit aja
sepuas-puasnya, jangan khawatir…” ucap Norman terkekeh. Sementara
teman-teman Norman yang mengellinginya hanya bisa memandang dan menelan
ludah berkali-kali melihat Rasti yang dari tadi menggelinjang-gelinjang
keenakan. Penasaran mereka sedahsyat kenikmatan semacam apa sih yang
dirasakan Rasti?
“He he, mata lo tu ya kayak mau copot aja! Pada belum pernah ngeliat memek ya?” Ujar Norman.
“Kalo gue udah sering bro! Tapi yang seindah ini mah bau kali ini!
Sumpah, ni lonte cantik banget coy!” Sahut Obet yang paling senior. “Ni
yang lain nih yang masih pada perjaka!”
“Enak aja, timbang ngentot aja mah gue udah pernah, tapi emang yang
kayak beginian jauh di atas level gue! Anjrit, tadi hanya ngeliat aja
hampir-hampir ngecrot gue!” Timpal Bari.
“Ha ha ha… Lo berdua gimana?” Norman berpaling pada Dimas dan Robi.
“Gue udah pernah punya pacar sih… Tapi yaa paling ciuman doang.” Jawab
Dimas. Robi sendiri yang paling pendiam hanya tersipu-sipu malu. Dia
memang tidak pernah punya pacar. Usia Robi ternyata sepantaran dengan
Norman, tampangnya culun meskipun terlihat lebih tua dari Norman. Yang
jelas Robi tidak nampak seperti anak nakal sama sekali. Kebetulan saja
dia apes, terjebak pergaulan yang ga bener gara-gara pencarian jati
diri, dan kegrebek polisi pas dia dan beberapa temennya lagi pake
narkoba. Jadilah dia ada di sini bersama-sama Norman dan lainnya. Selama
ini mengutuki diri dipenjara, baru hari ini dia bersyukur luar biasa
sudah masuk penjara. Ya, karna kalau di luar penjara barangkali mustahil
dia bisa bertemu dengan lonte secantik Rasti. Dari tadi dia berpikir
ingin sekali dikasih jatah Norman menggagahi Rasti. Tapi kalaupun tidak,
hanya dengan begini saja dia sudah sangat senang.
Alangkah terperanjatnya Robi, ketika Norman menyuruh semua bergantian mengoral Rasti, dan dia dapat giliran pertama!
“Yah, kok si culun ini duluan bro?” Protes Obet.
“He he, protes aja lo. Dia yang belum pernah nih… Harus gue ajarin dulu. Ayo Rob…”
“Be… beneran Man?”
“Yaelah, iya… nih gue ajarin caranya…”
Norman lalu seakan menjadi mentor bagi teman-temannya, menjelaskan
bagian-bagian kewanitaan Rasti. Benar-benar seperti dosen di
laboratorium yang menerangkan kepada para mahasiswanya, dengan Rasti
sebagai obyek penelitian. Rasti sendiri tertawa-tawa geli melihat
tingkah Norman. Ada sensasi kenikmatan tersendiri dalam peran ini.
“Oo ini yang namanya klitoris…”
“He he, iya… di sini nih pusat kenikmatan wanita, coba disentuh…”
Rasti langsung menggelinjang ketika klitorisnya disentuh-sentuh oleh jari Robi.
“Ha ha ha… benar kan? Keenakan nih lonte…” Ujar Norman diiringi tawa semuanya.
“Tapi kalo gitu aja malah kasihan ni cuma bikin gatel. Sekarang coba pake mulut!”
“Haah…?”
“Iya… kayak gue tadi! Pake gigi sama lidah lo ya…”
Beberapa saat kemudian dengan arahan Norman satu-persatu temannya
bergiliran mengoral vagina Rasti. Tanpa diajari, Robi juga sudah bisa
berinisiatif menggunakan jemarinya. Tubuh rasti benar-benar dieksplorasi
oleh keempat teman Norman. Saat yang satu mengoral vagina Rasti, yang
lain menggerayangi dan mengecupi tiap inchi tubuh Rasti dengan gemas.
Bagian yang paling diperebutkan tentu adalah dua gunung salju kembar
yang membusung di dada Rasti.
"Ini puting susu, di sekitarnya ini areola... ni bagian sensitif juga dari tubuh wanita..."
"Ahahaha, pentil aja gue mah tahu. buset ye montoknya... ini orisinil kan bro??"
"Dijamin original coy! Asli ciptaan Tuhan! Wakakaka...! Coba deh lo isep pentilnya..."
"Buseett... ada air susunya!"
"Wa ha ha, ni lonte kerjaannya emang beranak terus coy! Mantap kan? Lo haus kan tadi? Udah nenen aja sepuasnya."
"Ga enak dong gue minum jatah bayi..."
"Kalo doyan dinikmatin aja, persediaannya melimpah kok..." Rasti ikut angkat bicara sambil tersenyum-senyum menggoda.
"B.. Bener tante?"
"Iya dong, hi hi..."
Begitulah dengan mudah Rasti beradaptasi dengan suasana baru ini,
mengakrabkan diri menghilangkan canggung melayani teman-teman baru
Norman yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Permainan mereka
dalam sel itu makin panas. Tidak sejengkal pun tubuh Rasti yang luput
dari eksplorasi. Teman-teman Norman secara acak bergantian menyusu di
dada Rasti layaknya orang kehausan di padang tandus. Jari-jari tangan
mereka pun berebut masuk ke liang kenikmatan milik Rasti. Hanya satu
yang saat ini eksklusif untuk Norman saja, yaitu bibir Rasti. Norman
terus mengecupi bibir Mamanya itu dengan gemas. Sesekali mereka saling
berpandangan dengan syahdu, lalu saling memagut bibir lagi. Benar-benar
seperti dua sejoli kekasih yang kasmaran. Di sela-sela itu tubuh Rasti
terus menggeliat-geliat keenakan gara-gara bagian sensitif dari tubuhnya
terus mengalami rangsangan dari teman-teman Norman. Wajah Rasti yang
keenakan menjadi pemandangan yang menggemaskan bagi Norman. Wajah Rasti
makin merah padam ketika dipandangi Norman saat dirinya keenakan, “Aahh
sayaang…”dengan manja Rasti berusaha memalingkan kepala Norman.
“He he, kenapa Ma…?”
“Jangan ngeliatin muka Mama terus dong…”
“Ha ha, pura-pura malu… Mama tambah cantik kok kalo sedang sange begini…” goda Norman lalu mengecupi wajah Rasti.
“Aahh udah aah, ayo sayang…”
“Ayo apa Ma…?”
“Mmmhh! Ayo ngentot…” Ujar Rasti merengut. Rupanya dia sudah tidak tahan
lagi. Norman pun mengambil posisi. Disodorkan penisnya yang sudah
menegang ke mulut Rasti.
“Dimandiin dulu Ma si kecil... dah lama ga mandi nih..."
"Duh si kecil kok kayaknya tambah gede aja ya...? Sini mama mandiin,
sabar ya, mau masuk rumah harus mandi dulu biar bersih..."ucap Rasti
yang membuat penis teman-teman Norman melampaui batas ketegangannya
selama ini. Mereka pun serempak menelanjangi dirinyamasing-masing.
"Anjrit kontol gue rasanya pingin meledak bro... gantian Man..." ucap
Obet sambil mengocok batangnya, tak tahan melihat Norman kelojotan
diblowjob.
"Sori bro, sekarang ni lonte milik gue dulu... gue mau ngentot, lo pada
minggir... ngantri yang tenang!" Ujar Norman yang menyudahi sepongan
Rasti pada kontolnya. Dia pun tidak sabar menggenjot tubuh ibunya itu.
"Maa.... Aaahhh...." erang Norman ketika mulai memasukkan centi demi
centi batangnya ke liang Rasti. "Gile mama kok bisa tambah pereeet...
aahh, lonte pintarrr..."
"Iyaah sayang pelan dong, kontolmu juga udah tumbuh ya... aahhhh...."
Rasti melenguh panjang seiring keberhasilan Norman menjebloskan semua
batangnya. Blessss...
"Kok jadi penuh gini sayaaang..."
"Mama pasti baru libur panjang ya... ha ha haahhh... Mantapaahh...!"Seru
Norman sambil mulai menggenjot. Liang Rasti yang sudah banjir sejak
tadi membuat penis Norman keluar masuk dengan lancar meskipun jepitan
memek Rasti sangat rapat dirasakan oleh Norman. Gesekan batang Norman
yang keras bertekstur urat di seluruh permukaan dinding liang Rasti
Menimbulkan rasa nikmat teramat sangat yang membuat keduanya melayang.
Mulut Rasti terus meracau tak karuan seakan hilang kontrol. Dia tak
peduli lagi suaranya akan terdengar oleh semua tahanan di sektor C atau
bahkan oleh seantero penghuni lapas ini sekalipun!
"Sayaaanggg... terusshh kencengin lagi... Mama kangen genjotan kontolmu
sayang. Ayo pacu terus kuda binalmu ini...! Nikmaat sayaang... aahhh
aaahh..."
"Iyaaa... mamaku... lonteku sayaangg... Dasar perempuan jalang! Kuda binalku.. aahhh aahhhh....! Anjiiingg loo enaakhhh!"
Teman-teman Norman hanya bisa terpana menyaksikan pemandangan dahsyat
ini. Semua norma dan ketabuan tiada lagi artinya bagi mereka. Tak peduli
di depan mereka adalah persetubuhan ibu dan anak alias incest, yang
tentu melampaui batas cabul bahkan bagi masyarakat yang paling liberal
sekalipun. Mereka tidak peduli dan seakan tersihir dengan dahsyatnya
adegan yang dipertontonkan ibu dan anak ini. Tangan-tangan mereka seakan
terprogram untuk mengocok penisnya masing-masing. Mulutnya pun
berkali-kali menelan ludah, tapi tenggorokannya terus saja kerontang.
Norman benar-benar memonopoli Rasti untuk dirinya sendiri. Tak ada
adegan gangbang di sini. Mulut Rasti juga tak dibiarkannya menganggur
sehingga sempat mengoral penis teman-temannya yang sedang mengantri.
Tidak. Norman terus saja melumat bibir dan lidah Rasti dengan ganas
sembari menggenjot memeknya dengan konstan. Rasti yang tampaknya
terengah-engah kepayahan terus saja menyambut mulut norman dengan tidak
kalah ganasnya.
Dahsyat. Norman benar-benar kuat. Entah energi dari mana ataukah ini
hanya perasaan Rasti saja? Peluh mereka bercucuran deras, tubuh mereka
serasa mendidih. Secara sel ini memang bukanlah kamar Rasti yang ber-AC.
Untunglah ada kipas angin butut yang membantu mendinginkan suasana.
Tanpa sekalipun penis Norman terpisah dari liang vagina Rasti, selama
setengah jam mereka bersetubuh dengan berganti-ganti gaya. Dari woman on
top, sampai doggy style yang merupakan posisi favorit Norman. Posisi
doggy ini adalah puncak persetubuhan mereka. Norman mulai kelihatan
lunglai. Pada posisi ini juga Norman mulai membiarkan teman-temannya
baris di depan Rasti untuk mendapatkan servis oral pada penisnya
masing-masing.
"Maah... kapan sampe lagii... haaahhh..." ucap Norman kepayahan. Tiga
kali sudah dia memberi Rasti orgasme, dia berniat klimaks bebarengan
dengan orgasme keempat Rasti.
"Mmmpphh... Sedikit lagiii sayaaang... ayo semangaat, kita bareng yaahh..."
"Iyaa maah... ahh.. haaahh... gilak!"
"Kamu bisa sayaaaang..." Rasti ikut membantu memajumundurkan pinggulnya dengan cepat.
"Norman ga tahan lagiii.... mau keluarrr..."
"Mama jugaaa... ayo bareengg..."
"Lonteee... jangan lama lamaahhh...!"
Rasti menegakkan badannya dengan cepat. Menekankan pinggulnya ke
belakang bersamaan dengan Norman menekankan badannya ke depan seiring
dengan dia merasakan kedutan dahsyat di liang vagina ibunya itu. Mereka
merapatkan badannya serapat-rapatnya, dan Norman pun memeluk tubuh Rasti
dari belakang seerat-eratnya. Rasti mendongakkan kepala dengan mata
terpejam. Tubuhnya mulai kelojotan dengan hebat lagi, dan kali ini
bebarengan dengan Norman yang menggigit-gigit gemas pundak dan
tengkuknya yang berpeluh keringat.
"Aaaaaaahhhhhh.......!"Mereka orgasme bersamaan. Benar-benar dahsyat
pemandangan ini di mata teman-teman Norman, seakan mereka bisa
merasakannya pula. Dan memang begitu bagi Robi yang terrnyata ikut
orgasme hanya dengan melihat saja. Dia ngecrot sejadi-jadinya, sampai
pejunya menyemprot jauh membasahi perut ramping Rasti.
"Hua ha ha... udah ngecrot aja lo!" Ejek teman-temannya yang lain. Robi
sendiri hanya tersipu tanpa menjawab. Persetan, pikirnya. Yang tadi itu
benar-benar nikmat.
Norman dan Rasti sendiri tidak memperhatikan hal itu. Mereka sibuk
meresapi sisa-sisa orgasmenya sampai titik terakhir. Liang Rasti masih
berkedut-kedut, tubuhnya masih menggeliat-geliat. Engahan napas keduanya
belum juga reda.
"Hhh... Lonteku, sayangku, Norman titip benih ya... tolong lahirin anak
Norman..." Bisik Norman sambil mengecupi tengkuk dan belakang telinga
Rasti sehingga mamanya itu kegelian dan mendesah-desah manja. Rasti
membalikkan tubuhnya. Plop... akhirnya penis Norman terpisah juga dari
vagina Rasti. Akibatnya liang yang dipenuhi cairan cinta, empat kali
cairannya sendiri dan satu cairannya Norman, semuanya merembes keluar
dan turun membasahi pahanya. Rasti dan Norman pun saling berpagutan
bibir lagi. "Iya sayang, air manimu banyak banget keluarnya, semoga kali
ini satu sel spermamu ada yang berhasil membuahi sel telur mama ya...?"
Bisik Rasti. Norman jadi makin gemas melumat bibir ibunya itu.
Setelah beberapa saat, Norman melepaskan tubuh Rasti, dan dia pun
beringsut merebahkan diri di kasurnya kecapekan. Sisa-sisa engahan
napasnya masih terdengar sesekali.
Bagaimana dengan Rasti? Meski sama capeknya, belum waktu baginya untuk
istirahat, karna Obet, Dimas dan Bari dengan sigap menahan tubuhnya dan
mengelilinginya. Robi yang tadi sudah ngecrot duluan kiniduduk sambil
mengocok penisnya yang sudah layu, berharap bisa tegak lagi.
"He he he.. sekarang giliran kami manis..." Ucap Obet yang memimpin. Ia
membelai-belai rambut dan pipi Rastiyang masih dibasahi keringat, lalu
mengecupi bibir Rasti yang pasrah saja. Rasti melirik Norman yangkini
sedang menenggak segelas air putihdi samping kasurnya. Lalu tanpa
sedikitpun menoleh pada Rasti, Norman langsung kembali berbaring dan
memejamkan matanya mencoba beristirahat tidur. Melihat sikap Norman ini,
terbesit kembali pertanyaan yang muncul malam itu, sesaat sebelum Rasti
digangbang 9 teman Norman sebagai kemenangan judi.Bagaimanapun, Rasti
hanya bisa menghela napas. Kini dia harus konsentrasi memenuhi
'tugasnya'.Sebagai lonte, stamina Rasti jauh melebihi Norman. Bukan
masalah berarti baginya jika masih harus melayani teman-temanNorman
sekaligus. Bahkan di hari 'kembali'nya Rasti sebagai ibu binal ini,
Rasti pun bersikap pro-aktif, bukannya pasif sebagaimana saat dia
digangbang 9 teman Norman terakhir itu. Dia balas ciuman Obet dengan
bergairah. Tangannya juga aktif menggerayangi penis Obetdan yang
lainnya. Dalam hitungan detik Rasti sudah duduk berlutut mengoral penis
mereka bertiga, membuat mulut-mulut mereka meracau keenakan tak karuan.
Kata-kata tidak senonoh pun terus dilontarkan untuk Rasti.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar