Namanya Rasti Cahya Putri. Nama yang sangat indah. Tapi mungkin jalan
hidupnya tak seindah namanya. Kebanyakan orang hanya mengenal Rasti
sekarang sebagai wanita murahan, lonte doyan ngentot yang demen bikin
banyak anak. Mereka tidak tahu apapun yang sudah dialaminya. Bagaimana
dia menjalani hidupnya dulu. Bagaimana titik balik kehidupannya sehingga
menjadi seperti sekarang ini.
Rasti muda hanyalah seorang gadis desa. Gadis belia periang yang ramah
dan baik pada semua orang. Dia lahir dan dibesarkan di desa tradisional
yang masih mempertahankan aturan-aturan adat, di kaki gunung di wilayah
Bogor. Di sanalah Rasti dibesarkan dan tumbuh menjadi seorang gadis
cantik.
Dengan wajah cantik yang dimilikinya, dia memang selalu membuat pria
manapun melirik ke arahnya. Tidak hanya teman-teman sebayanya saja,
namun para bujangan dan para pria beristripun banyak yang menggoda, atau
sekedar menarik perhatiannya. Namanya juga wanita, Rasti tentu senang
bila dirayu dan dipuji-puji lelaki. Dia yang waktu itu telah beranjak
remaja juga sudah mempunyai ketertarikan pada lawan jenis.
Dari saking banyak pria yang menggodanya, ternyata Surya, si sopir
kepala desalah yang akhirnya mendapatkan Rasti. Dia bisa mendapatkan
Rasti setelah gadis ini banyak diiming-imingi dan dirayu mati-matian.
Rasti yang dibuat jatuh cinta pada pria itu akhirnya memberikan
segalanya, termasuk keperawanannya. Sebuah awal yang ternyata sangat
mempengaruhi jalan hidupnya.
Ya… Rasti jadi ketagihan dengan yang namanya bersenggama. Merekapun
berkali-kali berhubungan badan hingga akhirnya Rasti diketahui hamil,
padahal usianya waktu itu masih 13 tahun! Malangnya Rasti, saat pria itu
tahu Rasti hamil, dia malah kabur tak bertanggung jawab. Rasti
kebingungan, dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Bagaimanapun dia
sudah hamil, dan dia tidak berniat menggugurkan kandungannya, sama
sekali tidak. Hingga akhirnya perutnya semakin membuncit, hal itupun
diketahui orang tuanya dan menyebar ke seluruh desa.
********************
“Tante masih 13 tahun waktu itu? Seumuran kita-kita dong…?” Tanya Riko. Romi dan Jaka mengangguk-angguk.
“Lha iya kan, itung aja sendiri, Tedi tuh anak pertama Tante,
umurnya sudah hampir 14 tahun… Menurut kalian umur Tante sekarang
berapa?” Tanya rasti sambil memasang wajah imut.
“Ng… 18 tahun Tante!” Celetuk Romi.
Rasti tertawa geli mendengarnya. “Gombal ih!” ujarnya.
“Iya bener Tante masih kayak belasan lho… masih keliatan muda, kulitnya masih kencang, putih mulus…” timpal Romi.
“Ih, gombal pasti ada maunya… dasar.” Cibir Rasti sambil menjawil hidung
Romi yang langsung blingsatan dibuatnya. “Tante ini sudah 27 tahun
tahu…!” Akhirnya Rasti menjawab sendiri pertanyaannya.
“Dua puluh tujuh tahun juga ga ada yang nyangka lho Tante… Kalo pun tahu
ga bakal ada yang nyangka Tante sudah punya anak lho… Jaman sekarang di
kota banyak perawan tua. Cewek-cewek pada maunya sekolah tinggi-tinggi,
udah gitu ngejar karir…” Jaka ikut nimbrung.
“Yee, perawan tua kan pikiran kamu… mungkin perempuan jaman sekarang
banyak yang belum nikah umur segini, tapi apa itu berarti belum ngeseks
juga? Masih perawan juga? He he he… Belum tentu… Ih jadi anak lugu amat
sih…” Rasti menanggapi sambil terkekeh.
“Yaaa… Tapi kan ga sampai punya anak Tante, ga kayak Tante…” Jaka
membela diri. “Anaknya udah 7 lagi… iih Tante nakal amat sih…!” Riko dan
Romi menimpali.
“Cereweet ah kalian… Jaman sekarang aborsi tu marak tahu! Tante nggak
mau… Lagian coba kalo Tedi Tante aborsi, pasti kalian juga ga bakal
kenal Tante. Ga bakal bisa mesum-mesumin Tante…!”
“He he he… Iyaa Tante… Say no to aborsi ya pokoknya!”
“Iyesss… hidup hamil!”
Mereka tertawa.
“Tapi, omong-omong orang tua Tante gimana tuh pas tahu Tante hamil?”
Rasti menghela napas. Sejenak berhenti mengatur napasnya dan meneguk
minuman di meja. “Jadi mau kembali ke laptop lagi nih ceritanya…?”
Tanyanya. Teman-teman Tedi cuma mengangguk cepat tanpa menjawab. Rasti
menghembuskan napas lagi dan melanjutkan…
*****************************
“Dasar lonte! Bikin malu keluarga!” hardik ayahnya. Rasti dimarahi dan
dicerca habis-habisan oleh orang tuanya, bahkan sampai diusir-usir.
Namun dia bisa terus bertahan sampai melahirkan anak pertamanya.
Setelah melahirkan Tedi, karena tak kuat menahan malu dari cibiran
tetangga dan kemarahan orangtuanya sendiri yang tidak kunjung mereda,
Rastipun memilih kabur ke Jakarta membawa bayinya. Dia pergi tanpa bekal
apapun dan tidak jelas pula arah tujuannya. Hingga akhirnya di sebuah
pasar dia bertemu dengan seorang pria yang mulanya baik dan bersimpati
ingin membantu Rasti. Pria tersebut tentu saja heran melihat seorang
gadis semuda Rasti sedang menggendong-gendong bayi di tengah pasar.
Tapi sungguh tak disangka, pria itu ternyata malah membawanya ke kios
kosong yang ada di bagian pasar yang sepi. Dan di sana sudah menunggu
lima pria lainnya yang tidak lain merupakan preman-preman pasar.
“Kok ke sini sih Pak? Kios bapak di sini?” tanya Rasti muda dengan lugunya.
“Hehehe… makanya jadi cewek tu jangan goblok! Kena entot deh lu…
hahahaha” ujar pria itu disambut tertawaan mesum pria-pria lainnya.
Rasti ditarik paksa masuk ke dalam. Rasti ditelanjangi, diciumi, dan
diraba-raba oleh mereka bersama-sama. Rasti sangat takut, tapi dia tidak
bisa berbuat banyak. Mereka mengancam akan melukai bayinya bila Rasti
berteriak dan melawan. Rasti terpaksa harus menurut, dia tidak ingin
anak yang dicintainya terluka.
*************************************
“Tante kenapa gak teriak aja??” Ujar Riko tiba-tiba.
Rasti terhenyak sebentar. Ditatapnya wajah Riko yang tampak
tegang. Rasti bisa melihat dari raut mukanya, Riko tampak geregetan dan
tidak terima. Seakan-akan kalau kejadian itu terjadi di depan matanya,
ia pasti akan menolongnya tanpa ragu.
“Itu kan di pasar, pasti banyak orang yang dengar kalau misalnya Tante teriak…”
Rasti tersenyum mendengarnya. Dielusnya rambut Riko. “Waktu
itu Tante takut sekali. Mereka juga mengancam akan melukai Tedi…”
“Tapi kaan…”
“Coba deh kalian di posisi Tante… Gini ya, Tante waktu itu
masih kalut banget. Stress berat. Tante dihakimi, Tante merasa perbuatan
Tante benar-benar salah… hina… Pokoknya Tante waktu itu bener-bener
pingin low profile, ga mau ketemu orang, malu… Kalau Tante teriak
misalnya… Katakanlah mereka gak bener-bener melukai Tedi. Tapi pasti
Tante bakal dirubung orang, jadi sorotan, jadi perhatian, jadi
perbincangan. Semua orang bakal bertanya-tanya, dan Tante harus
menjelaskan…Terlalu banyak tekanan untuk itu. Tante gak mau…” Jelas
Rasti panjang lebar.
“Jadi Tante lebih milih diperkosa??”
“Nggak…!”
“Lalu…?”
“Tante memilih… menikmati…”
Suasana hening sejenak. Pikiran Riko, Romi dan Jaka berkelana.
“Mmmemangnya bisa semudah itu Tante…?” Jaka penasaran. Rasti tersenyum.
“Ya nggak dong… Tapi paling nggak Tante gak ingin disakiti. Tante
realistis aja waktu itu. Tante sadar bakal diperkosa, Tante gak mungkin
lari apalagi melawan. Kalau melawan Tante pasti disakiti, entah diapain.
Jadi, Tante mencoba kooperatif aja… Nurut gitu deh…”
“Nurut gimana tuh…?”
**************************************
Rasti benar-benar dilecehkan di sana. Bahkan mereka dengan bejatnya
menyuruh Rasti agar memohon untuk disetubuhi supaya dia hamil lagi.
Rasti juga dipaksa harus selalu tersenyum kesenangan selama dientotin
seakan-akan menikmati perkosaan itu.
“Ayo memohon… yang benar ngomongnya” suruh mereka.
“i..iya… A..abang-abang sekalian… tolong entotin aku dong… aku pengen
hamil lagi…” ujar Rasti dengan desahan menggoda, walaupun sebenarnya dia
mengatakannya karena terpaksa.
“Hahaha… gitu dong baru mantap, huahaha”
Mana tahan pria-pria itu mendengar gadis cantik seperti Rasti berkata
demikian. Rastipun langsung digilir oleh mereka, tubuh mungilnya
dientotin seenaknya bergantian oleh para preman pasar. Sungguh
pemandangan yang ganjil, 1 gadis belia cantik melawan 6 preman pasar
kasar! Awalnya Rasti memang hanya berakting pura-pura kenikmatan sesuai
suruhan mereka, namun akhirnya dia justru betul-betul menikmati. Ini
sudah terjadi, tidak ada gunanya berteriak dan menangis, pikirnya waktu
itu.
Setelah puas menikmati Rasti, preman-preman itupun ingin
meninggalkannya begitu saja di sana, termasuk pria yang membawanya tadi.
Rasti yang bingung harus kemana, akhirnya menahan pria itu dan minta
ikut dengannya.
******************************
“Tante bingung waktu itu mau ditinggalin gitu aja di pasar.”
Rasti menerawang. Riko, Romi dan Jaka manggut-manggut mencoba
membayangkan dan memahami bagaimana posisi Rasti saat itu.
“Tapi kenapa harus ikut sama mereka Tante?”
“Bukan mereka, tapi dia… Bapak-bapak yang ketemu Tante pertama
itu… Tante tadinya pingin ikut dia aja. Ga sama yang lain…”
“Tapi kan jelas-jelas dia jahat Tante…”
“Aah nggak juga kok, hi hi hi… Bapak itu ngentotnya enak kok… hi hi hi…”
Rasti tertawa nakal. Teman-teman Tedi langsung mupeng dibuatnya. “Kalo
yang lain emang lumayan kasar sih ngentotin Tante… Tapi enak juga kok…
Karna Tantenya gak ngelawan ya mereka ga sampe nyakitin Tante…”
Haaa… gemes sekali teman-teman Tedi dengan kenakalan Rasti. Tapi
benarkah Rasti benar-benar menikmatinya, atau cuma berpura-pura supaya
tidak dikasihani? Entahlah.
************************
“Pak…. Saya ikut yah sama bapak…” pinta Rasti mengiba.
Sungguh gila, padahal jelas-jelas pria itu bersama teman-temannya baru
saja memperkosanya. Tapi Rasti tidak punya pilihan lain, dia tidak tahu
harus kemana, dia kelaparan. Rasti hanya bisa memohon untuk minta ikut
walau dia tahu resikonya dia akan jadi tempat pelampiasan nafsu.
Namun pria itu ternyata menolak karena sudah berkeluarga, gilanya dia malah menawarkan Rasti pada teman-temannya.
“Ayo, siapa yang mau nampung gadis ini? Lumayan lah bisa kita pake-pake
lagi. Gimana lu Man? Lu kan masih bujangan…?” tanyanya kepada salah
satu temannya si Risman.
“Aduh, ngawur aja lo, gue masih tinggal sama nyokap gue tau gak lo!”
“Alah… nyokap lo udah nenek-nenek gitu, mau ngapain dia emangnya!? Lo gimana Jo?” tanyanya pada yang lain.
“Ada istri gue, begok!”
“Atau gini… kita cariin dia kos-kosan aja. Ntar kalau kita pengen ngentotin dia kan gampang” usul yang lain.
“Ha? Lu punya duit apa!?”
*****************************
“Ya gitu deh… Tante malah dilempar sana-sini. Tante cuman diam
aja ndengerin mereka diskusi tentang Tante mau ditaruh di mana, dan
supaya bisa mereka entotin bareng terus kapan pun mereka mau. Tante
sebenarnya gak terima juga, tadinya kan maunya cuma sama bapak yang
pertama itu aja… Tapi ya gimana lagi, Tante waktu itu cuma bisa pasrah
aja sih gimana nasib Tante ke depannya …” Rasti menghela napas dan
menerawang, lalu beralih memandangi wajah teman-teman Tedi yang
mengelilinginya.
“Hi hi hi… serius amat siih kalian…? Tegang di atas atau
tegang di bawah nih…? He he he…” Godanya. Wajah anak-anak itu memerah.
“Atas bawah nih Tante…” Jawab Jaka balik menggoda.
“Ya udah kalo gitu tamat dulu yaah ceritanya… Tuh wajah kalian udah kayak kepiting rebus aja…”
“Yaah kok gitu Tante, belum maksimal nih tegangnya…” Romi ikut
memberanikan diri ikut menggoda. Rasti tergelak mendengarnya. “Aduuh
aduuh kalian ni nakal banget sih, anak-anak Tante aja ga pernah lho
Tante ceritain kayak gini…” Ujarnya.
“Emangnya mau lebih tegang lagi…?”
“Mau Tante…”
“Ya udah Tante lanjutin ya, tapi bentar aja…”
“Ya… kan masih panjang Tante ceritanya…”
“Iih kamu ini emangnya Tante ga punya kerjaan apa? Udah gitu gerah tahu
kalian kelilingin gini… mepet-mepet banget lagi, geser dikit ngapa?”
Tukas Rasti bangkit dari sandaran sofa. Bergaya seperti orang kegerahan.
Rasti menarik dan mengibas-ngibaskan bagian atas dasternya yang
belahannya rendah. Walhasil payudara putihnya makin terekspos.
“Biar makin tegang buka dong dasternya Tante…!” Ujar Jaka melotot.
“Hahaha… Terus Tante cerita sambil telanjang gitu?”
Riko, Romi dan Jaka mengangguk cepat. Antusias.
“Hmmm… Gimana kalo Tante buka dasternya, trus kita pindah ke kamar…?
Kita lanjutin sambil tidur-tiduran…?” Lanjut Rasti dengan senyum
nakalnya.
“Iyaa.. iyaa tante… Ayo…!”
“Maunya…!” Cibir Rasti sambil mencubiti mereka. Tentu bukan cubitan yang
benar-benar berniat menyakiti. Sambil mengaduh-aduh, teman-teman Tedi
malah tertawa-tawa menikmati keintiman mereka. Tapi dongkol juga rasanya
karna ternyata Rasti cuma menggoda mereka.
“Tante nakal iih…”
“Lho kok Tante yang nakal? Gak kebalik tuh? Kalian ini yang kecil-kecil udah mesum. Mesumin ibu temen sendiri lagi?”
“Salah sendiri Tante cantik, binal lagi…” Gumam bersungut-sungut.
“Ih malah nggombal, mau lanjut gak nih ceritanya?”
“Iya Tante, terus jadinya Tante tinggal di mana tuh?” Tanya Jaka penasaran.
Rasti tersenyum dan kembali menyandarkan badannya. Ia menarik napas
bersiap melanjutkan. “Ada satu bapak yang paling preman banget, paling
kasar… Paling gede badannya…” Cerita Rasti mulai mengalir lagi dari
mulutnya. “Tante sebenarnya paling takut sama bapak ini, walaupun di
antara lainnya dia juga yang paling kuat ngentotnya sih. He he he…”
Bukan Rasti namanya kalau tidak menyelip-nyelipkan kenakalan dalam
ceritanya. Teman-teman Tedi diam mendengarkan, diam-diam tangannya mulai
mengelus-ngelus lagi ‘daging tumbuh’ di balik celana mereka
masing-masing. Mereka tidak tahu apakah Rasti bercerita sejujurnya atau
sedikit mendramatisir. Mereka tidak peduli yang penting mereka bisa
menikmati selama mungkin cerita dan kebersamaan dengan Rasti.
****************************************
Akhirnya salah seorang pria bersedia juga menampung Rasti. Pria yang
sebenarnya paling tidak ingin Rasti tinggal bersama denganya, soalnya
pria itu tadi yang paling kasar waktu menyetubuhinya dan yang paling
kasar mulutnya, tapi Rasti tidak punya pilihan lain. Rastipun ikut
bersama pria itu ke rumahnya.
“Oke, sekarang lo tinggal di sini. Lo harus bersih-bersih rumah,
memasak, dan tentu saja ngelayani gue di ranjang. Lo bersedia kan manis?
Hehe…” Rasti hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.
“Ya udah sana mulai kerja, gak lihat lo dapur gue berantakan!? Dasar
lonte cilik!” hinanya. Rastipun segera menuruti. Setelah meletakkan
bayinya diapun mulai bersih-bersih rumah. Belum sempat dia beristirahat,
dia sudah harus melayani nafsu pria itu. Sering pria itu memaki Rasti
karena suara tangisan bayi Rasti yang menggangunya. Kalau sudah begitu
biasanya dia akan mengentoti Rasti dengan kasar tanpa peduli bayinya
sedang butuh mamanya. Memang awalnya dia merasa tidak nyaman karena
selalu mendengar hinaan pria ini, namun lama-lama akhirnya dia mulai
terbiasa.
Setiap beberapa hari sekali, satu atau beberapa atau semua
preman-preman itu akan ngumpul di sana, main judi, mabuk-mabukan,
membagi jatah uang keamanan, dan…
**************************
“Dan Tante digangbang lagi deeh…” Celetuk Romi tiba-tiba.
Tangannya sudah menyelip di dalam celananya sendiri. Rasti tertawa geli
melihatnya.
“Iih kamu ini kok seneng banget kelihatannya Tante digangbang… Tante itu diperkosa tahu…?”
“Kan katanya bisa menikmati…” ucap Romi lugu.
“Yaa, ngentot tu emang enak, Tante suka banget. Dan Tante gak
nyesal juga ditampung di rumah bapak yang paling kasar itu. Karena tiap
malam Tante digenjot dan bapak itu staminanya kuat banget. Jujur Tante
suka. Tante mulai terbiasa, gak ketakutan lagi… Gak khawatir lagi. Tante
udah kayak istrinya aja waktu itu… Kapan pun dia minta Tante harus siap
deh digenjot.”
“Tuh kan Tantenya juga keenakan kan?”
“Yee.. Tapi Tante ini bukan mesin seks tau…?! Kalau mereka
sudah ngumpul, trus Tante digangbang bisa sampai pagi ya Tante kewalahan
juga . Bahkan sakit, capek…” Jelas Rasti sambil membelai rambut Romi.
“Oh ya, jadi bapak-bapak itu berenam, salah satunya bapak
Norman ya…?” Tanya Riko teringat sekilas cerita Rasti sebelumnya.
“Kalo gitu gak sulit dong Tante tahu yang mana yang bapaknya
Norman? Kan bisa diamati persamaannya… Pasti ada lah dikit-dikit...”
Romi langsung nyambung.
“Eh, emangnya kamu kira cuma 6 preman yang waktu itu menggilir Tante?”
“Lho kan katanya…”
“Iya, awalnya mereka cuma berenam. Tapi tahu sendiri kan, preman itu
pasti ada geng-gengnya. Mereka saling bersaing, berebut kekuasaan di
pasar. Jadi gak mungkin geng mereka cuma berenam. Kalo pada ngumpul
terus ngeliat Tante di situ, tahu sendiri dong…? Kalo cuma berenam sih
Tante juga kuat kali…”
“Ja… Jadi Tante ngentot sama semua anggota geng itu?” Jaka antusias.
“Hi hi hi… Gak tahu ya kalau itu sudah semua anggota geng. Tapi yang
jelas semua yang pernah ngumpul di rumah itu, semua Tante layani. Tanpa
kecuali.”
“Semua…? Berapa orang tuh Tante…?”
“Hi hi hi, semangat banget deh kamu… Emangnya Tante ngitung?”
“Yaah… 10 orang ada Tante?”
“10? Dikit amat?” Jawab Rasti senyum-senyum nakal. Woow, makin gemas dan ngaceng mereka dibuatnya.
“15?”
“Hampirr… hi hi hi…”
“Iih katanya Tante gak ngitung?” Ucap Romi gemas.
“He he he, gak ngitung sih, tapi kira-kira ya… Hmmm… waktu itu si Bokir
bawa 2 temen, terus besoknya si Joni berdua juga… Terus 4, mmm… yang
malam itu 3… pas rame-rame yang baru lagi ada mmm 4 atau 5 ya… udah gitu
malam tahun baru berapa yaa rame banget………” Rasti bergumam-gumam pelan
mengingat-ingat sambil menerawang.
Sangat menggemaskan...
****************************
Ya, bukan hanya semalam 2 malam tempat itu dibuat nongkrong para preman.
“Wuih Jok, sapa tuh bening-bening seger…?”
“Wah, kok ada daun muda di sini lo gak bilang-bilang? Sapa tuh?”
“Anjrit, seksi Jok, ngaceng gue!”
Begitu kira-kira reaksi tiap preman yang datang ke situ. Rasti
sendiri diam saja, kadang penasaran, kadang bangga, bahkan kadang malah
horni, tapi tidak jarang juga dia takut dan cemas kalau pas yang datang
terlihat sangat kasar dan sangar, apalagi kalau mabuk. Buruk rupa?
hampir pasti!
“Ooh itu lonte gue, dah lama gue pelihara, lu mau? Entotin deh
sono, bebas aja… Gratiss!” Jawab Joko si tuan rumah yang menampung
Rasti. Benar-benar jawaban yang sangat melecehkan dan merendahkan Rasti.
Tapi Rasti sudah seakan kebal dengan tiap kata-kata kotor yang
ditujukan padanya. Gak ada ceritanya Rasti bisa menolak jika hendak
disetubuhi. Jika satu atau dua pria tidak ada masalah bagi Rasti untuk
menikmati juga persetubuhan itu. Tapi kalau sudah banyak preman dan
menggangbang Rasti beramai-ramai. Rasti mau tak mau harus melayani
mereka semua meski tidak bisa menikmatinya cukup lama. Kalau sudah dini
hari Rasti sudah lelah bukan main, tapi preman-preman itu tidak jarang
terus menggilirnya sampai fajar. Tidak jarang Rasti sampai pingsan
dibuatnya. Kalau ditotal ada 17 preman yang rutin menggagahi Rasti
selama dia tinggal di sana.
“Oke manis, waktunya lo kita gangbang, lo siap? Hahahaha” tanya salah satu mereka.
“Eh, i..iya…” jawab Rasti lemas membayangkan dirinya akan disetubuhi
banyak pria sekaligus. Tapi apa daya, inilah yang bisa dia lakukan
sebagai rasa terima kasih karena telah bersedia menampung dia dan
bayinya. Dia harus merelakan dirinya dijadikan mainan seks para
berandalan itu.
“Jawab yang benar!”
“I..iya… silahkan entotin aku sampai kalian puas, aku udah siap dari
tadi kok mau kalian apakan saja….” jawabnya sekali lagi dengan nada
manja.
“Haha, bagus… Tapi tunggu, minta izin juga dong sama anak lo, hehe”
suruh pria yang lain. Mereka betul-betul mempermainkan Rasti! Tapi
bagaimanapun Rasti tidak punya pilihan lain selain menuruti.
“Te..tedi sayang… mama mau ngentot dulu ya sama papa-papa. Papa-papamu
udah gak sabaran tuh pengen ngentotin memek mama. Kamu jangan berisik
ya, jangan ganggu kita ngentot… ntar nggak mama kasih susu lho…” ujar
Rasti sambil tertawa kecil. Dia mengatakan hal seperti itu semata-mata
hanya ingin memuaskan mereka, bukan karena ingin. Tapi siapa sangka
kalau akhirnya Rasti terbiasa berucap seperti itu pada anak-anaknya
ketika akan melonte di kemudian hari.
Akhirnya untuk kesekian kalinya, Rasti dientotin seenaknya di depan
bayinya. Tedi yang masih bayi tentu saja tidak mengerti apa-apa. Dia
hanya bisa menyaksikan, bahkan tertawa-tawa melihat mamanya yang
kewalahan disetubuhi beramai-ramai oleh para preman pasar.
Tubuh Rasti dinikmati oleh mereka sepuasnya. Menggenjot tubuh mungil
Rasti dengan penis-penis mereka tanpa ampun. Mereka juga sangat rajin
menumpahkan benih mereka ke rahim Rasti.
Setelah beberapa bulan tinggal di sana, akhirnya Rasti hamil untuk
kedua kalinya akibat perbuatan preman-preman itu. Benar, salah satu dari
ke tujuh belas orang itu adalah bapaknya Norman!
Rasti kemudian diusir. Perut Rasti yang semakin membuncit membuatnya
tidak bisa lagi dientotin karena hamil tua. Selain itu juga akan makin
merepotkan bila nanti ada dua bayi di sana.
“Sorry ya kita gak bisa nampung lo lagi, tapi kita bakal terus ingat
gimana rasa tubuh lo itu kok…” ujar mereka merendahkan. Rasti hanya bisa
pasrah. Habis manis sepah dibuang. Begitulah nasib Rasti.
Rasti yang diusir dalam kondisi hamil tua dan menggendong Tedi yang
masih bayi semakin bingung harus kemana. Satu-satunya harapan, mau tidak
mau adalah kembali ke keluarga. Tapi apakah keluarganya mau menerima?
Apalagi dia lagi-lagi hamil tanpa seorang ayah!
Akhirnya Rasti memutuskan untuk mengunjungi salah satu keluarga yang
ada di Jakarta, yaitu Pakdenya, orangtua pamannya Tedi, paman Tedi itu
adalah sepupunya Rasti. Sempat khawatir mendapat penolakan, namun
ternyata Rasti diterima dengan baik oleh mereka. Walau keluarga itu
kesal juga dengan ulah Rasti tapi mereka tetap merasa kasihan. Lagipula
tinggal di kota besar seperti Jakarta membuat keluarga itu bisa
memaklumi sesuatu yang bagi banyak orang desa masih sangat tabu, seperti
hamil diluar nikah yang terjadi pada Rasti.
Rasti boleh tinggal di situ dengan satu syarat, dia harus sekolah.
Harus masuk SMA. Rasti sih mau-mau saja, tapi dia tidak punya ijazah SMP
karena waktu itu didrop out akibat hamil. Akhirnya Rasti dibantu dengan
berbagai cara dan juga dengan pengaruh Pakdenya supaya bisa masuk SMA.
***********************************
“Baik ya pakdenya Tante…” Gumam Riko.
“Jangan-jangan… ada maunya juga… Tante dientot juga sama
pakd…… Adududuhh Tante…!” Jaka yang belum selesai menimpali sudah
dijewer telinganya oleh Rasti. Kali ini Rasti kelihatan serius. “Kamu
jangan nggak sopan ya? Pakde Tante itu orang baik-baik, dia gak
macem-macem sama Tante!” Omel Rasti.
“Ma…maaf Tante…” Jaka bersungut-sungut. Riko dan Romi menahan tawa melihatnya.
“Tante ngelahirin Norman di rumah pakde, semua yang bantu
pakde. Biaya dan segala macemnya. Pakde ga pernah memarahi Tante… Pakde
cuma minta 1 hal, Tante harus sekolah. Pakde juga yang ngurusin
semuanya. Tapi sayang Tante gak bisa sekolah di sekolah yang ideal
sesuai keingingan pakde…”
Rasti mengambil napas sejenak lalu melanjutkan ceritanya mengenai kondisi SMA yang dia masuki.
*************************************
Apa daya, satu-satunya SMA yang kemudian bisa dimasuki Rasti adalah SMA
yang ada di daerah pesisir pantai di tepi Jakarta, hampir di luar
Jakarta, dekat perbatasan. SMA yang jauh dari kata bermutu.
Murid-muridnya adalah anak-anak penduduk pesisir pantai yang kulitnya
hitam legam dan rambutnya merah terbakar matahari. Kebanyakan murid di
sana laki-laki dan bandel-bandel.
“Hai cewek… cakep bener, putih mulus… mandinya pake susu ya? Bagi dong susunya… hehe” goda salah satu murid cowok di sana.
“Duh mulutnya manis tuh kalau dicipok, apalagi kalau dicipok pake kontol abang…” ujar murid yang lain kurang ajar.
Rasti yang cantik, seksi, dan putih mulus tentunya menjadi pemandangan
indah tersendiri di sekolah itu. Sejak hari pertama sudah banyak sekali
cowok-cowok yang menggodanya. Dari yang sekedar kata-kata gombal dan
kotor, sampai ke yang berani mencolek-colek tubuhnya. Meski suka dirayu
dan digoda cowok-cowok di sana, tapi Rasti risih juga. Rasti pikir dia
harus cari aman, dia mesti memacari salah satu cowok yang dia pandang
paling berpengaruh di sekolah secepatnya. Kalau bisa hari itu juga.
Dia mulai memberi lampu hijau pada salah seorang yang dinilainya cocok.
Agung namanya. Cowok yang penampilannya urakan, dekil, dan sering bikin
repot guru inilah yang akhirnya dia pilih, salah satu cowok yang tadi
ikut menggodanya dengan kata-kata vulgar. Gayung bersambut. Hari itu
juga sepulang sekolah Agung menawarkan diri untuk mengantar Rasti
pulang.
“Masuk yuk Gung…” ajak Rasti menawari cowok itu untuk mampir setibanya di rumah.
“Emangnya gak ada orang? rumahnya gede gini…”
“Lagi sepi kok… Yuk masuk. Minum dulu, pasti haus kan? Jauh lho
pulangnya, ntar dehidrasi lho kamunya, hihihi…” jawab Rasti manja. Rumah
Pakdenya memang sedang sepi jam segini. Hanya ada seorang baby sitter
tua yang menjaga anak-anak Rasti selama Rasti sekolah, sedangkan
penghuni lainnya belum pulang kerja.
Akhirnya merekapun masuk, Rasti langsung mengajak cowok itu ke dalam
kamarnya biar lebih enak ngobrolnya. Mereka saling bercerita, Agung
ingin tahu banyak tentang Rasti dan Rastipun menceritakan semuanya
dengan terbuka. Bagaimana dia sudah punya dua anak, bagaimana dia pernah
diperkosa, pernah tinggal beberapa bulan bersama para preman sebagai
budak seks mereka, dan cerita-cerita lainnya.
Dasar Rasti binal, diapun akhirnya ngentot dengan cowok itu. Rasti
tentu awalnya sekedar ingin pedekate saja. Namun dia tidak menyangka
‘kencan’ pertama itu akan terlalu jauh. Semuanya mengalir begitu saja
dan jadilah mereka bercinta. Rasti disetubuhi oleh cowok yang bahkan
belum sehari dia kenal! Di rumah Pakdenya pula yang sudah bersedia
menampungnya. Salahnya juga sebenarnya, mana ada pria yang bisa tahan
setelah diajak masuk kamar oleh gadis secantik Rasti, apalagi setelah
mendengar kalau ternyata Rasti doyan ngeseks. Sepasang remaja itupun
bersenggama dengan nikmatnya di dalam kamar Rasti.
Malangnya, setelah berhubungan beberapa hari ternyata Agung tidak juga
menembak Rasti. Kayaknya dia tidak berminat pacaran sama Rasti. Toh
tanpa pacaran, tubuh Rasti sudah bisa dia jamah sesukanya. Apalagi dia
malah cerita ke banyak teman-teman lain di sekolah itu. Soal Rasti yang
sudah ditidurinya lah, sudah punya anak tanpa suami lah, gampangan lah,
dan sebagainya. Walhasil Rasti terkenal dengan reputasi ‘bitch’ di
kalangan anak-anak bandel di sekolah itu.
Selama beberapa minggu Rasti jalan dengan Agung tanpa status. Selama
itu pula Rasti dengan mudahnya bisa dipake oleh cowok itu. Rasti
sebenarnya kewalahan dengan reputasinya. Selalu digoda, selalu dijadikan
bahan obrolan dan cibiran, dicolek-colek, sampai ada yang
terang-terangan minta ngentot dan itu sangat banyak! Rastipun
berinisiatif untuk menembak Agung duluan. Meski awalnya menolak, namun
akhirnya cowok itu mau juga.
Setelah jelas-jelas pacaran, hampir tiap hari Rasti bersetubuh dengan
Agung. Bahkan cowok itu sering ngajak Rasti nginap di rumahnya. Hal ini
membuat Rasti sering menelantarkan Tedi dan Norman yang masih bayi di
rumah dan membuat Pakdenya kewalahan dengan ulah Rasti yang semakin
binal dan susah diatur. Meski Pakdenya memaklumi seks bebas yang sudah
lazim dilakukan para remaja masa kini, termasuk dengan apa yang sudah
dilakukan rasti, tapi bukan berarti Pakdenya akan nyaman-nyaman saja
terus dengan ulah Rasti yang bukannya tobat tapi malah semakin
membenamkan diri dalam lembah seks bebas itu.
Rumah Agung ada di sebuah perkampungan nelayan. Dekat pantura. Daerah
yang keras dan kasar. Agung mengajak Rasti ke rumahnya karena ternyata
keluarganya, termasuk hampir semua keluarga di perkampungan itu tidak
menganggap tabu seks bebas. Bahkan banyak dari anak-anak gadis di situ,
atau bahkan ibu-ibu mereka yang mencari sampingan dengan menjajakan
diri. Maklumlah di situ memang jalur yang sering dilewati supir truk.
“Kenalin nih pacar aku, cantik kan?” ujar Agung dengan santainya memperkenalkan Rasti pada orangtua dan adik-adiknya.
“Duh, cantiknya pacarmu, hebat kamu bisa macarin cewek secantik dia,”
puji orangtuanya. Setelah itu merekapun bisa ngentot dengan bebasnya di
rumah tanpa perlu takut diganggu.
Tidak hanya pada keluarganya saja, Agung juga memperkenalkan Rasti pada
teman-teman di lingkungan rumahnya. Ternyata inilah alasan Agung
mempertimbangkan untuk mau macarin Rasti, biar Rasti bisa dipamerin di
lingkungan rumahnya juga, bukan hanya di sekolah. Jelaslah banyak
cowok-cowok di perkampungan itu yang jadi iri pada Agung.
Agung sangat sering mengajaknya menginap serta mengajaknya jalan-jalan
di sekitar situ. Rasti merasa bahwa pacarnya ini sangat-sangat
memamerkan dirinya. Di sinilah Rasti juga mulai ‘belajar’ eksib. Bakat
eksibnya mulai tumbuh.
***********
“Daah aah…! Bersambung!” Tiba-tiba Rasti bangkit.
“Yaah tantee… baru mau mulai tegang lagi nih…!” Jaka protes.
“Iyya nih Tante…” Lainnya nyambung.
“Yee… kalian nih maunya. Pokoknya cukup. Tuuh, Tante mau
nyusuin anak Tante…” Jawab Rasti tegas. Kebetulan suara tangis bayinya
yang baru bangun terdengar kemudian, jadilah alasan kuat Rasti untuk
menghentikan sesi ceritanya.
“Wah mau menyusui Tante…?” Mata Romi berbinar-binar.
“Iya, habis itu mau mandi siap-siap dientot sama tamu. Puass?”
Jawab Rasti ngasal sambil tertawa dan mencibirkan lidahnya meninggalkan
mereka.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar