Cerita Eksibisionis Tante Lies dan Fanne : Bite The Bullet 1

Sudah dibilangin kalau ke rumah ini langsung masuk aja, toh kamu bawa kunci kan? Anggap aja rumah sendiri,” ucap Tante Lis dengan tegas meski nadanya lembut.
Dito terdiam. Tangannya lelah mengetuk pintu. Bagaimanapun ia masih sungkan untuk masuk ke rumah produksi ini meskipun ia kini berstatus “karyawan paruh waktu” di usaha rumahan Tante Lis. Pasalnya Fanne, putri pertama Tante Lis, adalah mantan kekasihnya ketika masih berseragam putih abu-abu. Dito makin sungkan karena Tante Lis yang tinggal di sebelah rumah produksi harus membukakan pintu sebagai akibat dari rasa sungkan Dito.

“Kalau mau belanja, ambil duitnya di sini,” Tante Lis menunjuk sebuah meja yang letaknya tak jauh dari pintu, “kalau belanjaannya ditaruh di dapur belakang aja.”
“He em tante, emm, Fanne belum pulang ya tante?” Dito berusaha mengalihkan topik untuk mengurangi rasa bersalahnya
“Belum,” jawab Lis singkat, menandakan Dito sesegera mungkin lekas menunaikan tugasnya.


* * *​

Semua keperluan produksi sudah dibeli oleh Dito. Tidak banyak, karena stok bahan mentah beberapa masih ada. Kalau bukan karena Fanne, gue ga akan mau bantu beginian, pikir Dito. Sarjana industri pangan yang berusia 24 tahun ini memutuskan untuk menjadi karyawan paruh waktu selama waktu senggangnya sebelum mulai bekerja bulan depan. Besarnya gaji bukan pertimbangan utama. Faktor pertama adalah waktu. Alur produksi bisnis roti dan jajanan pasar ini cukup sederhana, siang-sore beli bahan, dini hari proses produksi, pagi hari proses penjualan. Dan Dito hanya membantu di proses pembelian stok dan penjualan saja. Sisanya dikerjakan karyawan Tante Lis lainnya.

Faktor kedua, Fanne. Ya, Fanne. Gadis molek mantan terindah Dito yang mencampakkannya tanpa sebab yang tidak Dito ketahui. Seangkatan saat SMA, namun angkatan kuliahnya di bawah Dito karena sempat pindah jurusan. Dengan kulit putih mulus turunan dari ayahnya, rambut hitam indah terurai (mungkin) dari ibunya, kedua mata yang “besar”, tinggi 160 cm dan ukuran 34B membuat Fanne tampak mungil menggemaskan. Banyak pihak yang menginginkan Fanne meng-endorse produk mereka karena postur yang mirip model professional, namun ia tak banyak menggubris.

Sebagai lelaki ditinggal tanpa alasan masuk akal, Dito berusaha move on dari Fanne setelah mereka berpisah. Menghapus kenangan. Gagal. Fanne adalah makhluk terindah yang pernah jadi pasangan memadu kasih bagi Dito sehingga tak mampu melupakannya. Ditambah rumah Fanne yang hanya berbeda gang dengan tempat Dito kos selama ini dan hubungan dengan Tante Lis serta suaminya yang baik padanya selama ini, mustahil untuk melupakannya. Kini ia seperti laba-laba yang menebar jaring. Jikalau Fanne, sang mangsa, terpuruk dalam kesendiriannya kelak maka Dito akan datang kemudian menawarkan hubungan yang lebih serius. Dan salah satu jaring yang ia pasang adalah cara ia bersikap pada orangtua Fanne, berusaha terlihat baik dan sopan. Fanne? Ekonomi yang mapan membuatnya tak perlu berpikir rumit.

* * *​

“Sungkan sih, tapi gimana lagi,” gumam Dito di depan pintu rumah produksi. Dirinya bimbang, namun ia tak mau menyusahkan Tante Lis lagi.
“Lho kok engga terkunci?” tanya Dito kepada dirinya sendiri setelah memasukkan kunci di dalam lubangnya. Mungkin tadi Tante Lis lupa ngunci, batinnya. Tanpa pikir panjang Dito langsung meneruskan tugasnya.

Bagian dalam rumah produksi sebenarnya cukup sederhana, masuk dari pintu maka ada sebuah meja tamu yang dikelilingi sofa untuk menerima tamu dan pesanan. Kemudian ada rak setinggi orang dewasa dengan lebar lebih dari satu meter untuk menutupi meja administrasi dan rak besi yang berisi surat penting dan data usaha Tante Lis. Kemudian ada dua buah kamar berukuran 3x4, satu digunakan tempat istirahat sang pemilik usaha, dan kamar setelahnya dibiarkan kosong. Sebuah kamar mandi terletak di pojok kiri rumah. Sedangkan bagian kanan rumah adalah jantung produksi usaha Tante Lis, mulai dari tempat penyimpanan bahan hingga alat penyimpan makanan. Dito berjalan menuju ruang di pojok kanan, pusat stok bahan mentah.

Ketika melangkah, Dito menyadari bahwa ruang istirahat juragan terbuka separuh. Palingan lupa ditutup, pikirnya tanpa ambil pusing. Ia hanya ingin kewajibannya lekas tuntas. Usai menaruh barang, Dito berjalan ke arah pintu. Ia baru sadar bahwa dirinya tak sendiri sedari tadi.

Di ruang istirahat, tergoleklah seorang wanita berambut panjang hitam legam yang tidak Dito kenal. Sang perempuan itu kemudian tengkurap sembari menunggingkan pantat ke arah pintu, tak sadar ada sepasang mata yang mengagumi setiap lekuk tubuhnya.

Yoga pants? Atau stocking? Benak Dito tak karuan melihat pemandangan yang tersaji di seberang matanya. Kondisi ruangan yang remang-remang membuatnya sulit mengindera identitas si perempuan yang dilanda nafsu syahwat. Perempuan yang sedang menungging itu tampak memainkan vagina dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri bertugas menopang tubuhnya. Kedua susu menggantung dengan indahnya.

“Uhh, Mas...enak. Sini, Mas. Ahh..,” perempuan itu melenguh lembut, mendesah di atas ranjang busa yang tampak elegan.
Tante Lis?? Dito menyadari pemilik suara yang sarat nafsu, ternyata adalah atasan dan orangtua mantannya, namun tak berani mengambil tindakan apapun.
“He-emphh, uhh, yaaahh,” tampak Tante Lis memainkan klitorisnya, memacu kenikmatan tanpa menghiraukan keadaan sekitar.

Tak mungkin dia ini hampir 40 tahun! Dito takjub dengan body sekel Tante Lis. Rambut yang biasanya dikurung jilbab ternyata terjuntai hitam mempesona, tak terlihat rambut putih khas paruh baya yang menua. Pantatnya yang menungging tampak kencang dan penuh, membentuk bulatan indah yang menggoda untuk diremas ataupun ditampar. Pinggulnya pun kecil, kencang dan mempesona, tak terlihat adanya gumpalan lemak di bawah pakaian hitam ketatnya yang melingkupi tubuh cantiknya. Sayang dua gunung indah Tante Lis tak bisa dijabarkan keindahannya, tertutup anggota tubuh lainnya. This is the main reason why Fanne always looks stunning yet captivating!

Dito melirik ke arah pintu rumah, belum tertutup sempurna berarti gue bisa cabut sewaktu-waktu toh tante ga nyadar. Sebagai lelaki yang tak banyak berinteraksi dengan wanita, ini adalah kesempatan langka untuk melihat perempuan menstimulasi diri secara live. Dito mulai mengendurkan ikat pinggangnya, membuat ruang agar tangannya dapat menelusup meremas sang senjata.

“Sssshh,” Tante Lis terus mengobel vagina yang tampaknya mulai basah. Pantat dan pinggulnya meliuk-liuk dengan sensual. Dito merasakan ada benda yang memberontak di bawah sana, ingin menyeruak menerkam mangsa yang menyajikan diri di hadapan jaring laba-laba. Tante Lis yang sepertinya keenakan tersebut mulai menggoyangkan pantatnya ke depan dan ke belakang, sesekali ritmenya tertahan. Efek terpaan gelombang kenikmatan.

“Yesss,” jari tengah Tante Lis menusuk liang kenikmatannya, menghasilkan setruman ringan ke sekujur badan. Ia memejamkan mata selagi jemari mengobok sang liang surgawi. Ia tarik, tampak jarinya berkilau terbasuh cairan bening nan lengket. “Uhh, genap tiga puluh hari nih,” gumamnya merutuk sang suami yang sedang mengembangkan outlet di pulau seberang. Tante Lis menelentangkan tubuhnya, mengganti gaya. Tak dinyana, ia melihat sesosok lelaki yang terpejam meremasi batang kemaluannya dari dalam celana jeans. Dito!

* * *
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar