Aku
termenung memangku paket yang baru saja kuterima, sebuah undangan bikini party
yang akan diadakan teman-teman kantorku. Aturan gila yang harus dipatuhi oleh
setiap peserta party adalah harus mengenakan apapun model bikini yang diterima
dari paket. Sebetulnya tak menjadi masalah, karena party ini diadakan oleh
teman-teman wanita saja, sebuah party seru-seruan yang seminim mungkin
melibatkan laki-laki, party ini bukanlah sex party.
Yang
membuatku termenung adalah surat yang dilampirkan dalam paket ini, sebuah surat
permohonan izin semi formal yang ditujukan pada pasangan masing-masing peserta
party yang sudah bersuami. Ada ganjalan tersendiri yang kurasakan, walaupun tak
begitu menyakitkan, karena aku tak butuh surat itu. Mas Adit, suamiku, sudah
meninggal.
Pikiranku
melayang pada peristiwa sebulan lalu, saat aku menyadari bahwa aku sesungguhnya
sudah tak mencintai Mas Adit lagi. Tak kusangka aku akan menyadarinya kini,
justru setelah kematian Mas Adit. Tak ada tangis yang pecah, tak ada kesedihan
yang membebaniku, saat perlahan peti mati yang membungkus jasad Mas Adit mulai
ditimbun tanah sedikit demi sedikit. Hanya gerung tangis Nyonya Agustin,
perempuan berusia 80an itu, yang masih terdengar. Sementara Yesi, kakak
perempuan Mas Adit, beserta suami dan kedua anaknya tak banyak bicara, tak bisa
kutebak apa yang ada dalam pikiran perempuan cantik itu.
Lima
tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengan Mas Adit, mungkin hanya di tahun
pertama saja kami menjalaninya dengan cinta. Selanjutnya Mas Adit sangat fokus
pada bisnisnya, ia jarang di rumah. Sementara aku, ia mengizinkan untuk bekerja
di sebuah perusahaan, sehingga aku tak terlalu memikirkan kesepianku jika ia
sedang tak di rumah. Imbas dari keuletan Mas Adit, bisnisnya maju pesat hingga
menjadi perusahaan yang besar dalam sekejap.
Namun
Mas Adit harus pergi juga dalam sekejap. Tak kusangka selama ini dia
menggunakan sejenis obat, yang aku tak tahu apa, untuk menunjang staminanya agar
tetap bugar bekerja. Ternyata obat itu dikategorikan narkoba. Entahlah dia tahu
atau tidak, namun yang pasti obat itu merenggut nyawanya karena over dosis. Ia
tewas meninggalkan kami sebagai ahli waris kekayaan yang sangat melimpah, Aku,
Yesi dan Nyonya Agustin.
Di
antara kami bertiga, hanya Yesilah yang paling memungkinkan menerima limpahan
harta Mas Adit. Nyonya Agustin tentu tak akan mampu lagi meneruskan perusahaan
yang sedang maju pesat peninggalan Mas Adit. Sementara aku tak memiliki jiwa
kepemimpinan sama sekali, di samping aku juga bekerja pada perusahaan lain.
Sedangkan Yesi, saat ini ia kebetulan hendak merintis sebuah bisnis setelah
anak bungsunya Dino sudah kelas 2 SMP. Dia sangat tepat mewarisi perusahaan Mas
Adit, aku cukup puas hanya memiliki saham di perusahaan itu.
Kubuka
paket yang baru saja kuterima, mengambil dua potong kain yang tersimpan di
dalamnya. Ketika kurentangkan, aku terhenyak menyaksikan model bikini yang
dikirimkan padaku, begitu tipis dan terbuka. Kedua kain itu
hanya
akan mampu menutup puting dan garis kemaluanku saja. Untuk atasan aku
tak
begitu merisaukannya, karena kurasa bagian kain itu akan mampu menutup
puting
susuku. Namun kain penutup bawah membuatku menggelengkan kepala, sama
sekali terlalu kecil untuk untuk kemaluanku yang berbulu lebat karena
tak pernah
kucukur. Aku tak pernah melakukan waxing pada vaginaku lagi sejak
menikahi Mas
Adit.
Kulihat
kalender untuk melihat waktu penyelenggaraan party. Ya, hebat sekali, waktunya hari
Sabtu minggu ini, sementara sekarang sudah Kamis. Kubanting paket tadi di
bangku sofa dan melangkah ke kamarku mencari gunting. Aku ragu untuk mencukur
dengan alat cukur karena selalu ada saja luka yang disisakan. Sementara menggunakan
krim dan spatula tak kujadikan pilihan karena selalu meninggalkan iritasi
walaupun akan sembuh sendiri dalam beberapa jam.
Kuambil
gunting di laci meja hiasku yang biasa kugunakan untuk merapikan ujung rambutku
yang suka bercabang jika terlalu panjang. Cermin kecil yang biasa kugunakan
untuk memperbaiki riasan kuambil dari tas kerjaku. Namun sialnya, pencahayaan
di kamarku tak begitu bagus. Lampu dari atas ruangan tak bisa menyinari bagian
selangkanganku dengan baik. Sementara lampu riasan di dekat cermin tak mungkin
aku pindahkan dengan mudah. Mengharapkan bias cahaya dari jendela pun tak
berguna, karena kamarku menghadap ke timur, cahaya dengan baik akan masuk jika
di pagi hari, sementara di sore hari tak begitu baik, belum lagi ditambah pohon
perdu yang menutupi jendelaku.
Terpikir
mencari pencahayaan yang baik, aku hendak melakukannya di ruang tamu saja.
Jendela kaca yang lebar di ruang tamu tepat menghadap ke barat, cahaya matahari
sore akan sangat membantu.
Di ruang tamu, segera kubuka celanaku dan melemparkannya ke dekat paket berisi bikini yang tadi kuterima. Tirai jendela kaca kubuka selebar-lebarnya hingga bias cahaya matahari memenuhi ruangan. Kuambil selembar tisu dan duduk di sudut yang terang. Kubuka celana dalamku dan meletakkannya di samping lembaran tissu yang telah kuhamparkan sebelumnya. Kuletakkan cermin kecil tepat di hadapan kemaluanku, memudahkan aku melihat dengan jelas letak bulu-bulu yang begitu lebat menutupi bibir-bibir vaginaku. Sejumput demi sejumput kuraih bulu-bulu yang lebat memanjang itu, kupangkas dengan gunting, kemudian kuletakkan di lembaran tissu agar lekat dan tak beterbangan jika kuletakkan di lantai ubin.
Di ruang tamu, segera kubuka celanaku dan melemparkannya ke dekat paket berisi bikini yang tadi kuterima. Tirai jendela kaca kubuka selebar-lebarnya hingga bias cahaya matahari memenuhi ruangan. Kuambil selembar tisu dan duduk di sudut yang terang. Kubuka celana dalamku dan meletakkannya di samping lembaran tissu yang telah kuhamparkan sebelumnya. Kuletakkan cermin kecil tepat di hadapan kemaluanku, memudahkan aku melihat dengan jelas letak bulu-bulu yang begitu lebat menutupi bibir-bibir vaginaku. Sejumput demi sejumput kuraih bulu-bulu yang lebat memanjang itu, kupangkas dengan gunting, kemudian kuletakkan di lembaran tissu agar lekat dan tak beterbangan jika kuletakkan di lantai ubin.
Lumayan
lama aku berkutat membersihkan bulu-bulu di tengah-tengah selangkanganku itu.
Namun seperti yang kuduga, membersihkannya dengan gunting tak membrikan hasil
yang kuharapkan. Bukannya menghasilkan bibir vagina yang mulus, malah bulu-bulu
sisa guntingan tampak bopak sana-sini, seperti hasil tukang cukur yang tidak
profesional. Menggigit bibir kuletakkan gunting di dekat celana dalamku. Aku
bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Seperti kuduga sebelumnya, aku memang
seharusnya memakai krim dan spatula. Walaupun akan iritasi beberapa jam, namun
hasilnya sempurna.
Di
kamar mandi, kutanggalkan baju kaos dan BH, pakaian terakhir yang masih
kukenakan saat mencukur di ruang tamu tadi. Sukurlah kamar mandiku masih
menyisakan ventilasi yang menghadap ke barat, hingga cahaya masih masuk
membantu cahaya lampu yang kunyalakan. Lagipula aku tak terlalu membutuhkannya.
Menggunakan krim dan spatula tak butuh pencahayaan yang terlalu banyak.
Aku
duduk telanjang di lantai kamar mandi, merenggangkan kedua pahaku
selebar-lebarnya. Kububuhkan krim di jari tangan kananku, sementara jari tangan
kiriku kugunakan untuk menutup liang vagina dan clitorisku, tentu saja aku tak
ingin bagian-bagian ini terkena krim. Dengan hati-hati kubalurkan seluruh bibir
vaginaku yang ditumbuhi bulu dengan krim hingga tertutup seluruhnya.
Rasa
hangat membakar kurasakan, sementara pegangan jari pada liang vagina dan
clitorisku tak berani kulepaskan, tak ingin tiba-tiba krim nyasar ke
sana.
Bibir vagina yang tak begitu sensitif saja rasa membakarnya begitu
panas,
bagaiman lagi jika bagian tersensitif itu terkena krim. Namun begitu,
bagian sensitif itu justru mendapat pengaruh lain, tak urung sensasi
akibat jari yang kutahan di area itu mengalirkan rasa geli yang nikmat
di
kelaminku.
Setelah
waktu menunggu cukup, kekerik krim dengan spatula, hingga bulu-bulu di bibir
vaginaku ikut luruh bersama krim yang tergerus spatula, meninggalkan bibir
vagina yang kini mulus tanpa bulu, mengkilat memantulkan bekas krim yang belum
dibersihkan.
Dengan
telaten dan pelan kuselesaikan pekerjaanku. Namun semakin banyak aku bergerak
menyelesaikan aktivitasku, semakin intens pula gerakan-gerakan menekan dan
menggoyang tak sengaja jari-jariku di clitori dan liang vaginaku. Di antara
rasa hangat akbiat krim di bibir vaginaku, menyeruak rasa nikmat di tengah-tengahnya,
menggugah birahiku yang telah lama tak disentuh lelaki.
Semua
krim telah kukerik, seluruh bulu-bulu kemaluanku juga telah licin tandas, aku
tinggal membilas sisa-sisa krim, namun aku masih bertahan pada posisi
mengangkang, masih menekan jariku di celah vaginaku, meresapi kenikmatan
dan membayangkannya sebagai tekanan penis lelaki, membayangkan.... Mas Adit?
Oh...
tak kusangka pada saat bergairah seperti ini aku teringat Mas Adit. Kuakui,
selama ini, sejak Mas Adit mulai sibuk dengan bisnisnya, kami jarang bercinta.
Namun kami saling memahami kebutuhan biologis kami masing-masing. Tanpa diberitahu
Mas Adit, aku tahu affairnya dengan perempuan-perempuan yang mudah dijangkaunya
saat berbisnis, entah sekretarisnya atau partner bisnisnya. Aku rasa Mas Adit juga tahu, kalau di saat-saat sepiku, aku
juga kadang mengumbar kemesraan dengan beberapa teman kantorku. Namun kami tak pernah
mempermasalahkannya. Sedangkan aku, tetap saja sex terbaikku adalah Mas Adit.
Bercinta dengan Mas Adit, walau dalam frekuensi yang jarang, adalah saat-saat
paling menggairahkan dalam kehidupan sexku.
"Auhh..."
Aku mengejang memuncaki ledakan orgasmeku, walaupun hanya dengan
menekan-nekankan jariku ke clitorisku. Rasa hangat membakar bekas krim, berbaur dengan
rasa hangat nikmat aliran orgasme yang makin menghangatkan celah kemaluanku.
Kubersihkan
sisa krim yang telah tercampur dengan lendir gairah dan lendir orgameku.
Sekalian saja aku mandi dengan perasaan sedikit lega telah memuaskan hasratku
walaupun hanya dengan sentuhan jari.
Dengan
berbalut selembar handuk tak begitu lebar yang kuikat sesenti di atas puting payudaraku dan
hanya menutup seadanya kemaluanku, aku melangkah keluar kamar mandi. Alangkah
terkejutnya aku ketika menemukan di ruang tengah, tempatku tadi mencukur
kemaluanku, Dino tengah duduk dengan wajah tepat di hadapan bulu-bulu
kemaluanku yang lekat di lembaran tisu.
"Dino?"
panggilku.
"Hah!!"
kagetnya terlonjak. Kemudian tanpa kata ia langsung kabur ke pintu. Sempat
kulihat gelembung di celananya saat bangkit berdiri tadi.
Kuurungkan
niatku mengejar anak itu, mengingat keadaanku yang hanya berbusanakan handuk.
Aku sebetulnya ingin mengatakan ia tak perlu takut, karena aku tak marah. Ini
semua sepenuhnya adalah keteledoranku.
Memang semenjak
kematian Mas Adit, entah mengapa Dino hampir setiap hari ke rumahku. Jarak
rumah kami memang hanya beberapa blok. Dino biasanya mengantarkan apa saja,
entah itu makanan, entah itu keperluan sehari-hari. Aku rasa Yesi ingin
berterima kasih padaku yang tak menuntut perusahaan warisan Mas Adit. Saking
seringnya Dino datang, kadang aku kasihan jika ia datang saat aku tak ada di rumah, ia akan setia menunggu di depan pintu. Aku kemudian memberikan sebuah kunci padanya agar bisa
masuk jika aku tak ada di rumah. Mungkin tadi aku tak mendengar ia mengetuk
pintu hingga ia masuk sendiri dengan kunci yang ia bawa hingga menyaksikan
segalanya. Aku yakin anak seusia Dino sudah memahami arti semua yang dilihatnya
di sana, jika satu set bikini teronggok di sofa, kemudian celana beserta celana
dalam yang berserakan begitu saja, ditambah lagi tissu yang dipenuhi bulu-bulu
di atas lembarannya.
Aku
ke kamarku, melepaskan handuk yang merupakan satunya penutup tubuhku saat itu.
Kuambil antiseptik dan mengoleskannya di bibir vaginaku yang terasa iritasi
setelah dikerik krim tadi. Kukangkangkan selangkanganku agar cairan antiseptik
tak terlalu perih dengan diangin-anginkan. Sejuk kurasakan mengurangi perih di
kelaminku. Hmm... aku siap menghadapi bikini party di hari Sabtu.
Hari
Sabtu, segala pengorbananku mengikis seluruh bulu di vaginaku memperlihatkan
hasil memuaskan. Aku dengan percaya diri memamerkan lekuk-lekuk tubuhku
berbalut bikini super sexy yang dikirmkan padaku. Aku puas menyaksikan tatapan
iri teman-teman sekantorku. Sangat menggelikan ketika melihat Lilis tak
mencukur kemaluannya, sehingga rumbai-rumbai bulu terlihat mengintip sana-sini
di sela-sela bikininya. Kumaklumi karena Lilis tengah memiliki anak kecil, mungkin
terlalu sibuk baginya memperhatikan dirinya.
Senja
sudah cukup tua ketika party berakhir. Setelah membilas tubuhku bekas air kolam
renang, aku berkemas pulang. Bikini yang kukenakan hendak kubilas di rumah saja
karena tak membawa detergen. Saat akan memasuki bis rombongan, ponselku
berdering, Yesi menelepon.
"Hallo...," sapaku.
"Dian...,"
Suara di seberang sana biasa selalu bersemangat. "Gimana weekend kamu?
Denger-denger kantor kamu adain bikini party? Gila-gilaan enggak?"
"Ih.
Mbak Yesi ada-ada aja. Pesertanya cewek semua kali," jelasku
"Oo...
kirain," katanya
"Ada
apa, Mbak. Dian ini lagi mau jalan pulang."
"Iya...
kebetulan, Dian. Tadi sore aku suruh Dino ke rumahmu. Barusan kutelepon dia
bilang sendirian di sana. Heran tuh anak, dua hari ini kayaknya ogah-ogahan
kusuruh ke rumahmu."
Aku
teringat peristiwa Kamis kemarin. Pasti itu penyebab Dino enggan ke rumahku
lagi.
"Dian...,
masih di sana kan?" Yesi mengira hubungan terputus.
"Iya,
Mbak."
"Aku
suruh Dino malam ini nginap di rumahmu. Nggak ngerepotin kan? Lagian Si Dino
kan sudah gede gini."
"Nggak
apa-apa, Mbak. Dino malah suka bantu-bantu di rumah," kataku tak
keberatan.
"Emang
ada acara apa di rumah, Mbak Yesi?"
"Ah,
kamu. Beneran mau tahu?" timpalnya. "Ini... kemarin sore kan Yolanda
kakak Dino hangout, mau nginep di puncak sama temen-temennya katanya. Nah, Si
Dino perlu Mbak ungsikan dulu, udah lama Mbak nggak gila-gilaan sama Mas Bram.
Tuh obatnya udah diminum, ntar malem pasti udah bereaksi. Kira-kira abis berapa
ronde ya?" Panjang lebar Yesi menjelaskan.
"Mbak
mabuk, ya?" Aku menahan senyum.
"Hmmm...
entahlah, Dian. Perasaan baru segelas deh wine yang Mbak minum. Udah dulu
yaaa... mau bersih-bersih dulu... daaaah. Titip Dino ya."
Aku
mendesah menahan senyum menutup ponsel, menikmati semilir sejuknya AC bis yang
mengantar kami ke alamat masing-masing.
Aku
sampai di rumah sudah jam sembilan lewat. Sunyi keadaan rumahku seperti tak
berpenghuni. Jika saja Yesi tadi tak menelepon, aku tak akan tahu kehadiran
Dino di rumahku. Saat memasuki rumah, keadaan tak kalah sunyi. Kupikir Dino
sudah tidur. Anak lugu dan rajin sepertinya biasanya tidur cepat. Apalagi rumah
sesepi rumahku.
Kulepaskan
seluruh pakaian yang kugunakan bepergian tadi, digantikan hanya selembar daster
tanpa dalaman. Setelah banyak bergerak di party tadi, aku ingin membebaskan
pori-poriku malam ini, tak ingin terhalang oleh ketatnya BH dan celana dalam.
Kubilas set bikini yang tadi kukenakan. Tak butuh waktu lama karena memang
begitu minim kain yang digunakan untuk membuatnya. Aku ke halaman belakang
menjemurnya. Keadaan rumah yang sunyi, dengan tembok tinggi mengelilinginya,
aku merasa aman melakukan beberapa gerakan peregangan.
"Eh,
Dino!" kagetku ketika melihat Dino sudah berdiri di dekat kursi taman.
"Belum
tidur?" tanyaku mendekatinya.
"Enggak
bisa tidur, Tante," katanya malu-malu.
"Ya
sudah. Ayo duduk di sini sama Tante." Kutarik tangannya untuk duduk di
sampingku yang telah lebih dahulu duduk.
"Tante
kemarin enggak marah kok." Sengaja kudahului menyinggung peristiwa di ruang tamu itu, karena kuyakin anak ini tak
akan bisa memulainya. "Itu salah tante kok sembarangan naruh
barang-barang. Dino lari kenapa emangnya?"
"Anu...
itu... Pas liat celana dalam sama BH tante... Dino... eee..."
"Tititnya
tegang ya," potongku melanjutkan dengan menghadiahkan senyum yang paling
manis padanya.
"He
he..." Dino memaksakan tawanya.
"Itu
wajar kok. Lagian itu bukan celana dalam sama BH, itu namanya bikini, pakaian
renang."
"Pakaian
renang kok sekecil itu, apanya yang ditutupin?" Dino menatap lurus pada bikini
yang kini terjemur.
"Memang
dibuat sekecil itu, Dino. Hanya untuk menutup puting sama garis kemaluan saja.
Makanya Tante kemarin cukur bulu-bulu kemaluan Tante."
"Hah!?"
Aku geli melihat wajah Dino melongo mendengar kata-kataku yang tanpa tedeng
aling-aling itu.
"Jj...jj...
jadi yang Dino liat kemarin itu benar-benar bulu anu Tante?"
"Iya.
Emang kenapa, Dino?"
Dino
tak langsung menjawab, namun menunduk malu-malu.
"Ayo,
cerita aja. Tante nggak marah ini."
"Gini,
Tante. Dino pernah liat gambar cewek bugil. Tapi sumpah, Tante. Bukan punya
Dino, punya teman. Dino cuma liat."
"Iya..
iya... udah dibilang Tante enggak marah kok."
"Terus..."
Dino mulai nyaman bercerita. "Dino rasanya gimanaaa gitu liat...eee... itunya....eee...
anunya cewek yang berbulu..."
"Liat
memeknya," tegasku menghilangkan keraguan Dino.
"Kalo
sudah dewasa emang memeknya berbulu, Dino. Kamu juga ntar ada bulunya."
"Iya,
sih. Kalo itu Dino udah tau... tapi..."
"Tapi
apa, Dino?" tanyaku lembut melihat dia kembali ragu.
"Kalo...
mmm kalo dicukur.... Ntar kayak memek anak-anak dong," lanjutnya polos.
"Ha,
ha, ha," Aku tak dapat menahan tawaku mendengarnya. "Ya bedalah,
Dino," lanjutku di sela-sela tawaku.
"Ih,
dulu Dino liat memeknya Yolanda pas nggak ada bulu, Dino nggak apa-apa.
Sekarang..." Dino menutup mulutnya seperti orang keceplosan.
"Kamu
udah pernah liat memek Yolanda kakakmu ya?" Aku berusaha seceria mungkin
mengatakannya agar Dino tak malu mengakui bahwa ia pernah melihat kemaluan
kakaknya. "Kamu liatnya sampe tititnya tegang yaaa...."
"I...ii...
iya. Tapi enggak sengaja kok. Yolandanya aja yang sembarangan ganti baju nggak
nutup pintu."
"Ya...
kan sekarang Yolanda udah dewasa, sebentar lagi tamat SMA. Beda lah sama pas
anak-anak."
"Emang
tetap beda biar bulunya dicukur?" tanyanya.
"Iya
lah."
"Bedanya
gimana?" tanyanya lagi.
"Ya
beda lah pokoknya." Aku tak tahu lagi menjelaskannya. "Yang namanya
udah dewasa pasti bedalah sama punya anak-anak."
Dino
diam saja, namun aku masih melihat sejenis ketidak mengertian di wajahnya. Saat
itulah tiba-tiba aku merasa ada dorongan gila dari hatiku.
"Gini,
Dino," kataku pelan menjelaskan. "Perbedaannya hanya bisa dimengerti
saat kamu sudah liat langsung. Itu pun kamu yang bisa bedakan. Gini... bedanya
cewek anak-anak sama cewek dewasa cuma bisa diliat cowok, trus bedanya cowok anak-anak sama cowok dewasa cuma bisa diliat cewek."
"Dino
makin nggak ngerti," timpalnya mulai frustasi.
Aku menarik nafas sekejap sebelum melanjutkan.
Aku menarik nafas sekejap sebelum melanjutkan.
"OK...
sekarang coba Dino liat sendiri."
Aku
akhirnya nekat. Berdiri di hadapannya yang duduk di kursi taman, kuraih tepian
bawah daster yang kupakai dan mengangkatnya, memperlihatkan kemaluanku yang
tempo hari kucukur plontos, yang sebetulnya persis punya anak kecil.
Dino
menatap lekat pada selangkanganku, melongo seperti terhipnotis, tak menduga
akan mendapat pemandangan itu pada jarak tak sampai semeter.
"Gimana?
Udah tahu bedanya?" tanyaku lembut, mencoba menekan gemuruh jantungku
juga.
Aku
turunkan lagi dasterku setelah melihat anggukan Dino. Duduk di samping Dino,
aku berusaha mengatur nafasku yang mulai memburu setelah melakukan hal yang
sangat erotis tadi. Tak dapat kutahan mataku berkali-kali melirik tepat pada
gembung di balik celana tidur Dino,yang setengah mati ditutupi oleh pemiliknya.
"Dino...,"
panggilku. Tak pelak suaraku serak menahan gemuruh hatiku.
"Ya,
Tante," jawabnya tak kalah serak.
"Mmm...
Tante yakin kamu sudah dewasa... jadi... mmm kan kalo cewek, yang tau bedanya
cowok. Truss....mmm kalo cowok, tentu yang tau bedanya cewek.... nah Tante
nanti yang tau bedanya kalo titit Dino udah dewasa ato masih anak-anak."
Lidahku terasa kelu menyampaikannya pada Dino.
"Dino
nggak ngerti, Tante." Wajah polos anak ini malah membuatku frustasi.
Kutarik
nafas dan menarik tangan Dino, menuntunya agar berdiri di depanku yang duduk di
kursi taman. Kuraih karet celana tidurnya dan menatap wajahnya yang tampak
bernafas memburu.
"Tante
pengen tahu titit kamu dewasa atau belum," bisikku.
"Tapi
belum ada bulunya, Tante," bisiknya pula.
"Biar
tante yang liat bedanya," kataku seraya melorotkan celana tidurnya. Serta
merta penis yang tadi terpenjara melonjak mengacung di hadapanku. Hatiku makin berdebar
menyaksikan penis yang begitu muda namun penuh gairah, seakan penis itu sedang menatap
tajam pada binalnya perilaku yang kutunjukkan saat itu.
"Hah!!!"
pekikku kaget ketika tanpa kuduga Dino mendorong tubuhku hingga jatuh
terlentang di kursi taman. Secepat kilat Dino telah melepaskan celananya dan
naik ke kursi taman. Detik berikutnya ia sudah menindihku, sementara dasterku
telah disingkap hingga ke perut, memamerkan kembali belahan segitiga plontos
di selangkanganku.
Aku
sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tak secepat ini. Dino sudah di ujung
nafsunya hendak melampiaskannya. Aku tak memberikan perlawanan apa-apa di bawah tindihannya. Saat kurasakan penisnya menusuk-nusuk di selangkanganku, aku sebetulnya hendak memberi jalan pada anak
yang sudah tak terkendali ini dengan merenggangkan pahaku, namun tak bisa kulakukan karena kedua paha Dino yang menunggangiku mengapit kedua pahaku.
"Khhkkhh..."
Dino menggeram ketika mendorongkan pinggangnya ke depan. Kurasakan penisnya
menusuk ke bibir vaginaku. Namun posisi pahaku yang rapat menyebabkan penis itu
salah alamat malah berbelok menerobos ke jepitan selangkanganku.
"Dino..."
Aku mencoba mendorong tubuh anak ini, hendak memberitahu bahwa ia salah
melakukannya. Namun ia malah memeluk erat tubuhku dalam tindihannya dan
mendorong lebih dalam hingga kurasakan ujung penisnya mencapai paha belakangku,
dekat belahan pantatku.
"Aaakkkhhh..."
erangan keras Dino mengiringi saat kurasakan penisnya mengembang dan
berdenyut-denyut di jepitan selangkanganku, diiringi rasa basah pada luberan
sperma di bagian belakang dasterku dan belahan pantatku. Anak itu rubuh setelah
ejakulasi di atas tubuhku.
"Dino...,"
panggilku selembut mungkin agar tak membuat anak ini takut. Namun yang terjadi
tak kalah mengejutkanku. Ia seperti tersadar sesuatu dan terkaget, bangkit
secara tiba-tiba dan berlari kencang ke dalam rumah setelah memungut celananya.
Aku
bangkit setelah kepergiannya, menyaksikan dengan geleng-geleng kepala pada
sperma yang membasahi daster dan selangkanganku. Aku berjalan ke kamarku dengan
paha lengket-lengket sperma. Di kamar, kulepaskan dasterku dan menggantinya
dengan daster lain setelah kubersihkan bekas sperma Dino di badanku. Aku telah
berbaring di ranjang ketika kudengar ketukan pintu. Dino menghambur memeluk
lututku ketika kubuka pintu.
"Ampun,
Tante... Dino tadi enggak bisa nahan diri.... Jangan bilangin Mama... Dino nggak mau
dipenjara... hu hu hu..." Dino tersedu-sedu.
"Shhh...
sudah, sudah.... ayo, sini." Kuraih tangan anak ini dan menuntunnya ke
tempat tidur.
"Sudah,
diam. Siapa yang bilang kalo Tante mau bilangin ke Mamamu, hm?" Kubelai pipinya menenangkannya.
"Tante
enggak marah." Dino masih sesenggukan.
Aku
menggeleng.
"Tapi
kan, tadi Dino perkosa Tante. Nanti Dino dipenjara, ditangkap sama
polisi."
"Idih,
siapa yang bakal masuk penjara sih. Ngaco kamu ah." Aku merangkak ke
tengah tempat tidur dan membaringkan diri.
"Daripada
ngaco gitu, mending kamu tidur dah sini sama Tante." Aku menepuk tempat
kosong di sampingku. "Sini..., kamu cerita aja sama Tante sini..."
Dino
beringsut dan berbaring di sampingku.
"Maafin
Dino, ya, Tante... soalnya... sejak liat bulu memek Tante tempo hari, Dino jadi
terus kepikiran," cerita Dino. Ia mulai santai saat berbaring.
"Sampai-sampai
kebawa mimpi," lanjutnya. "Dino jadi mimpiin masukin titit ke memek
Tante." Dino menutup mukanya malu. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
"Gara-gara
itu Dino mimpi sampe keluar sperma," katanya.
"Kok
Dino tau itu sperma?"
"Kan
ada di pelajaran, Tante."
"Ooo."
Aku ber oo panjang menyadari kebodohanku. Tentu saja ini sudah diajarkan
disekolah. Aku menguap dan hampir terlelap ketika Dino menggenggam tanganku.
"Maafin
Dino, ya, Tante...."
"Hmmm,"
balasku malas karena mengantuk.
"Abis
enak sih, Tante."
Aku
geli mendengar kepolosan anak ini, namun aku terlalu mengantuk hingga hanya
mencubit lembut lengannya sebelum terlelap.
Tengah
malam aku, entah jam berapa, aku terjaga ketiga merasakan geli di
selangkanganku. Ketika membuka mata, kutemukan diriku dalam posisi memeluk Dino
seperti guling, lututku naik begitu tinggi di pinggangnya yang tengah terlentang
hingga membuat dasterku tersingkap sampai ke pinggulku, memamerkan pantatku yang terasa
dingin ditiup hawa malam. Geli yang kurasakan ternyata bersumber dari tangan
Dino yang gelisah karena tertindih tepat di vaginaku. Terasa di betisku celana
anak itu mengeras di bagian kelaminnya. Kaget dengan posisi ini, segera kutarik
lututku.
"Maaf,
Tante. Dino nggak berani bergerak. Tadi Tante tiba-tiba sudah meluk Dino."
Dino bangkit duduk menyamping bertumpu tangan kanannya, berusaha meminta maaf
lagi.
"Udah....
nggak apa-apa. Salah Tante juga kok." Kudorong lembut tubuhnya agar
kembali berbaring. "Lama ya Tante posisi gitu?"
Dino
mengangguk membenarkan. Ketika kulihat tonjolan di celananya setelah ia
kembali terlentang, hatiku berdesir. Suasana sejak tadi yang terkesan mesum membuatku
sedikit bergairah. Apalagi tadi aku sempat merasakan penis itu di
selangkanganku walaupun tak sempat memasuki ragaku.
"Tante
enggak marah?" Wajah anak itu masih saja khawatir. Aku beringsut
mendekatinya, berbaring miring menghadapnya bertumpu pada sikuku. Kupandang
wajahnya dengan senyumku dan menggelengkan kepala lembut. Kemudian kucium
kening anak itu menenangkannya, namun yang kurasakan justru ciuman penggugah
gairah. Tak dapat kukontrol ciumanku malah berpindah ke bibirnya. Saat aku
hendak mengulumnya, anak itu menarik wajahnya.
"Kenapa?"
bisikku.
"Ciuman
Tante kok beda dari ciuman Mama?" herannya.
"Kamu
nyaman, nggak?" Kutahan nafasku yang memburu. Saat kulihat anggukan kecilnya,
kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Pelan kumulai memainkan bibirku,
mengulumnya, memainkan lidahku. Aku senang sekali ketika menyadari anak ini
belajar dengan cepat, ia ikuti semua yang kulakukan hingga tanpa sadar kami
sudah hanyut dalam ciuman yang panas.
"Suka?"
tanyaku dengan nafas terengah penuh gairah ketika melepaskan ciuman. Ia lagi-lagi mengangguk.
"Tante
akan kasih kamu hadiah kalo kamu janji enggak main tubruk kayak di taman tadi.
Mau?"
"Hadiah
apa, Tante?" Ada getar yang kudengar pada suara Dino.
"Kamu
janji dulu," kataku seraya bangkit duduk. Ketika aku menoleh Dino
tersenyum.
"Iya...
janji," katanya mantap.
Aku
tersenyum dan meraih pinggiran bawah dasterku. Saat kutarik keatas, kuangkat
sedikit pantatku, kemudian kuloloskan keatas semuanya.
"Ttt...Tante..."
gagap Dino saat kulemparkan begitu saja daster di ranjang, meninggalkan tubuhku
yang kini polos sepolos wajah anak yang langsung bangkit duduk di sampingku.
"Eit...,
ingat janjimu," tangkisku ketika ia hendak memelukku. Kemudian kudekatkan
lagi wajahku ke wajahnya, mencium lembut bibirnya kemudian mulai mengulumnya
seperti tadi lagi.
"Hmm....mch....
aahh." Ciuman kami terlepas dengan dengusan nafas memburu.
"Ttante..,
boleh Dino pegang?"
Aku
mengangguk dan meraih tangannya, menuntunnya menuju dadaku.
"Auh...pelan-pelan,
Dino," pekikku lembut ketika Dino meremasnya. Sukurnya anak itu segera
tanggap dan tak meremasnya lagi. Kutelusupkan tanganku dari bawah kaos yang
dikenakan anak itu, merabai putingnya dan memelintirnya.
"Ah,
Tante.... uhmmm." Kukulum bibir anak itu meredam erangannya. Detik
selanjutnya kurasakan jemari anak itu melakukan hal yang sama pada puting
payudaraku. Secara naluriah ia melakukannya lebih baik karena putingku tentu
lebih besar dari putingnya.
"Hmmhh...
mmh.. mmh..." Erangan kami saling teredam dalam kuluman yang semakin
panas.
"Mmmh...
ahhh.." Kulepaskan kuluman bibirku dan mendorong kepala anak itu ke
dadaku, mengarahkan mulutnya pada puting sebelah kiriku. Bukannnya mendapat
jilatan dan kuluman seperti yang kuharapkan, Dino malah mencaplok dan menghisap
putingku seperti anak kecil menyusu, dasar amatir. Kubiarkan anak itu memuaskan dirinya
menyusu tanpa ASI sebelum akhirnya kudorong kepalanya dan mengarahkannya duduk
tegak di hadapanku. Kuangkat pinggiran bawah kaosnya untuk meloloskannya. Tak
kusangka anak itu malah meloloskan juga celananya, hingga kini kami berdua
sudah duduk berhadapan bugil.
Aku
tersenyum dan membelai dada Dino. Kuelus dan kupelintir lembut puting kirinya,
sementara wajahku mendekati dada kanannya. Kujulurkan lidah dan menjilat-jilat
puting yang begitu kecil itu mengeras, kukulum lembut, kuhisap-hisap, kemudian
kembali kujilati. Dino mengerang nikmat dan melampiaskannya meremas payudaraku.
Untunglah ia sudah tahu batas antara remasan nikmat dan remasan yang
menyakitkan.
Ketika
kulihat ke bawah, batang kemaluan Dino yang duduk mencuat ke atas, tegang
sempurna menatapku yang tengah mengulum puting susu tuannya. Kuraih batang
penis itu, kubelai lembut dan kukocok-kocok tanpa menghentikan aktifitasku di
dadanya.
"Auhhh...,
Tante!!!" Kuhentikan kocokanku dan kujepit erat leher penis Dino dengan
jari telunjuk dan jempolku saat ia hampir saja meledak ejakulasi. Penis itu
mengembang dan berkedut-kedut tanpa memuntahkan isinya yang kusumbat erat.
Kulepaskan
penis itu dan mengangkat wajahku dari dada Dino, menatap lembut dan memberikan
senyum padanya yang baru saja menggapai puncak walau baru setengah rasa.
"Enak?"
tanyaku menggoda.
"I...
iyahhh..." jawabnya menderu.
"Lihat,"
kataku memegang kembali penisnya yang masih tegang. "Kamu bisa
menikmatinya lebih lama, tanpa menghentikannya terlalu cepat seperti tadi...
Kamu suka kan kalo enaknya lebih lama?"
Dino
mengangguk dan menyentuh dada kiriku, membelainya menirukan tingkahku padanya
beberapa saat lalu, memelintir putingnya membuatku mendesah tak tertahan. Ia
julurkan kepalanya ke payudara kananku dan mencucupnya, menjilatnya,
mengulumnya, menghisapnya pelan. Gila... anak ini cepat belajar.
Tangannya
menjulur ke selangkanganku, tampaknya ingin menirukan aku tadi yang mengocok
penisnya. Ditusukkannya satu jari pada sedikti sisa garis belahan vaginaku.
Pasti ia mengira menemukan lubang vaginaku, padahal hanya menari-nari di ujung
atas clitorisku.
"Ahh...,
Dino," erangku, tak tahu rangsangan yang mana yang menstimulasi aku lebih
kuat, hisapan dan jilatan di putingku atau tusukan jemari di clitorisku.
Kurapatkan pahaku menahan geli nikmat di sana, menyebabkan tangan Dino terjepit
tak bisa bergerak. Kuangkat wajah Dino dan menciumnya dengan gemas.
"Dino,
jangan cepat-cepat berhenti ya. Tahan yang lama," bisikku sebelum
menggelosorkan kepalaku, mencaplok penis yang sejak tadi mengacung tegak ke
atas, menghisap-hisap dan memainkan lidahku pada ujung penisnya.
"Akhh,
Tante." Dino menarik kepalaku ingin melesakkan penisnya sedalam-dalamnya
di mulutku.
Kugelengkan
kepalaku kuat-kuat membuat penis itu terlepas dari mulutku, secepatnya menjepit
leher penis itu lagi sebelum menyemburkan isinya, membuatnya berkedut-kedut
tanpa daya melepaskan sperma yang kusumbat.
"Nah...
kan..." kataku sambil tetap menjepit leher penisnya, membuat Dino meringis
sedikit kesakitan. "Apa Tante bilang tadi? Jangan hentikan secepat itu.
Emangnya kamu enggak kepengen masuk ke sini?" tanyaku melepaskan penisnya
dan menunjuk vaginaku sendiri.
"Mem...
memangnya bb... boleh, Tante?" Dino surprise seperti tak percaya.
"Asal
kamu janji, tidak bakal cepet-cepet selesai, ditahan sampai Tante izinkan. Gimana?"
"Tt..
tapi, Tante..." Dino tampak ragu. Aku sebetulnya maklum karena masih tak
ada pengalaman sama sekali.
"Nggak
apa-apa. Kamu pasti bisa. Mmmh," ciumku sebelum aku menelentangkan diri di
sampingnya.
Dino
menjulurkan tangannya pada vagina plontos yang tempo hari kucukur. Saat ia
hendak menusukkan jarinya pada garis vaginaku, secara tiba-tiba kurenggangkan
pahaku selebar-lebarnya, memperlihatkan letak lubang yang sebenarnya pada anak
ingusan ini.
"Hah..."
Dino melongo menemukan kenyataan indah yang berbeda dari yang ia tahu, matanya
tak lekat menatap lubang vagina yang kini merekah. Wajahnya mendekat hingga
hanya beberapa senti di depan liang vaginaku, mengeksplorasi bagian terindah
wanita yang telah terekspose dari tempat persembunyiannya.
"Ahhh..."
Aku hampir tak mempercayai yang terjadi, entah belajar dari mana Dino tiba-tiba
menjilat vaginaku, menghisap-hisapnya.
"Ahh...."
Sekali lagi aku terkejut saat sebuah jarinya menusuk tepat pada lubang vagina
licinku. Aku hampir percaya dia sudah memahami segalanya, jika saja tak
menyadari bahwa jilatan dan hisapannya tak terfokus pada clitorisku, bahkan
terkesan ia mengabaikan bagian itu. Rupanya dia hanya meniru apa yang kulakukan
padanya, tak mengerti sesungguhnya letak ternikmat kelamin wanita.
"Dino...,"
panggilku, membuat ia menghentikan kegiatannya dan mendongak menatapku.
Dengan
kedua tanganku kurekahkan bibir vaginaku bagian atas, sementara satu jariku
menunjukk ke tonjolan di tengah-tengah ujung belahan vaginaku. "Di
sini," lanjutku.
"Akhkhkh...."
Begitu cepat Dino memahami keinginanku membuatku menggelinjang tak berdaya
ketika ia mulai menjilat, mencucup, menghisap dan mengulum kacangku itu,
sementara jarinya secara naluriah tetap mengocok-ngocok lubang vaginaku.
"Hupp..."
Kutangkap tangan Dino yang mengocok vaginaku dengan satu tanganku dan mendorong
kepalanya dengan tanganku yang lain. Ia mengangkat kepalanya dari vaginaku dan
menatap wajahku.
"Kok
disuruh berhenti, Tante?" katanya heran.
Aku
tersenyum dan meraih tubuhnya yang dalam posisi duduk di sampingku. Kugiring
tubuhnya ke tengah-tengah pahaku yang kubuka seleber-lebarnya lagi.
"Ttt...
Tante..." Dino menatap tak percaya pada dua kelamin kami yang kini
berhadapan, ujung penisnya hanya beberapa senti dari lubang vaginaku. Ia
menatapku masih tak percaya pada kesempatan yang akan kuberikan padanya. Aku
mengangguk menghilangkan keraguannya.
Dino
beringsut mendekatkan penisnya ke mulut vaginaku. Hatiku berdebar kencang
ketika merasakan kepala penisnya menempel tepat di lubangnya.
"Sini..."
kataku menarik tubuhnya menindihku saat ia kesulitan memasukkan penisnya dengan
posisi duduk karena tak ada ganjalan di pinggangku. Penisnya meleset dari
lubang vaginaku karena berubah posisi. Kuraih batang penis yang ada di antara
selangkangan kami itu.
"Dino,"
bisikku, "Coba kamu kenali rasanya, biar kamu bisa temukan lubangnya tanpa
melihat."
Dino
mengangguk ketika dengan perlahan kugeserkan batang penisnya. Sengaja
kutekan-tekan ujung penisnya di permukaan kulitku agar ia bisa mengenali
rasanya. Terus kugeser hingga ujung penisnya kembali menemukan lubang dengan
tepat.
"Dor.....ooohhhhhnngggg....
ohhhhh." Tak dapat kuselesaikan kata-kataku dengan sempurna ketika Dino
inisiatif sendiri mendorong, melesakkan penisnya, menyesaki dinding-dinding
vaginaku.
"Aukhkh!!!"
pekikku kaget ketika Dino tiba-tiba menarik penisnya saat aku sedang meresapi
kenikmatan yang baru kurasakan. Berlutut di antara pahaku, Dino menegakkan
tubuhnya menjepitkan jari jempol dan telunjuknya pada leher penisnya sendiri.
Aku tersenyum sendiri melihat penis itu berkedut-kedut tanpa ejakulasi.
"Tante...?"
Dino menatapku dengan pandangan berat. Rupanya kenikmatan yang baru sekali ia
rasakan ini terlalu banyak.
"Nggak
apa-apa," kataku menenangkannya.
"OK,
sekarang kamu tarik nafas panjang beberapa kali..." lanjutku mengarahkan.
Dino nurut hingga ia tampak mulai agak tenang setelah beberapa kali mengatur
nafasnya.
"Kamu
bisa lanjutkan saat kamu benar-benar siap lagi. Jangan buru-buru. Oke?"
Kugosok-gosok sendiri clitorisku, mempercepat rangsanganku sendiri, tak ingin
terlalu berharap pada kemampuan anak ini.
"Oh..."
Aku sedikit kaget ketika Dino kembali menindihku karena saat itu aku tengah
menikmati gesekan jariku sendiri di clitorisku. Tanpa kuarahkan dia bisa
mencari sendiri lubang yang tepat dan melesakkan kembali penisnya.
"Ahhh...,"
desah kami bersamaan. Kupejamkan mata meresapi kembali persenggamaan kami ini.
Namun beberapa saat kemudian waktu untuk meresapinya terasa terlalu lama dalam
diam. Kubuka mata dan menatap wajah Dino di atasku yang juga tengah menatap
wajahku.
"Kok
belum digoyang?" tanyaku dalam bisikan birahi.
"Digoyang?"
Dino balik bertanya.
Aku
tersenyum mendapati begitu polosnya anak ini. Tanpa banyak kata kuraih kedua
belah pinggannya kemdian menggoyangkannya depan belakang hingga penisnya
mengocok-ngocok liang vaginaku menimbulkan kenikmatan. Mengerti apa yang harus
dilakukan, Dino menggoyangkan sendiri tubuhnya, merojok memberi kenikmatan
dalam gesekan-gesekan tautan kelamin kami.
"Auuu!!!!"
Saat aku tengah menikmati goyangan persetubuhan kami, tiba-tiba Dino kembali
menarik penisnya dari vaginaku, menegakkan badannya dan menjepit leher penisnya
kembali. Tanpa dapat kucegah otomatis tanganku segera menggantikan penis itu,
menggosok-gosok clitorisku sendiri agar tak terhenti kenikmatan ini.
"Ah..."
Kembali Dino menusukkan penisnya dan bergoyang, namun tak berapa lama ia
mencabutnya kembali, membetot penisnya sendiri dan menarik nafas
panjang-panjang.
"Tunggu..."
cegahku ketika ia hendak menusukkan kembali penisnya setelah tusuk cabut yang
kesekian. Tak kuhiraukan wajah keheranan Dino saat aku menggosok clitorisku
semakin intens mengejar orgasmeku sendiri. Aku kasihan melihat usaha anak ini.
Sebagai perjaka ia sudah menunjukkan kualitas pejantan sempurna.
"Dino...,"
panggilku saat orgasmeku menjelang. Tanpa menghentikan gosokan di clitorisku,
kukaitkan kedua kakiku di pinggangnya.
"Sekarang
Tante izinkan kamu masukkan sampai selesai. Tapi, kamu jangan cabut, jangan
berhenti goyang, sampai Tante suruh." Kuberikan instruksi tanpa
menghentikan aktifitasku. Saat Dino menganggukkan kepalanya, barulah tanganku
meraih penisnya cepat dan menusukkannya ke vaginaku. Kutarik tubuhnya
menindihku dan menggoyang sendiri pinggulku di bawah, mengimbangi goyangan Dino
mengocok-ngocok vaginaku.
Semakin
lama goyangan Dino semakin cepat. Nyata sekali ia ingin mencapai orgasmenya
sendiri. Dengan kalap aku pun menggesek-gesekkan sendiri clitorisku di tulang
pubis pangkal kelaminnya, ingin pula segera mencapai orgasmeku.
“Ahhh….”
Tak dapat kuresapi saat Dino tampaknya sudah orgasme. Ia begitu taat tak
menghentikan goyangannya walaupun ia sedang ejakulasi. Ingin rasanya berhenti
sejenak meresapi semprotan hangat di rahimku, namun itu akan menghilangkan
kesempatanku meraih orgasme dari sisa-sisa ketegangan penis Dino setelah ia
ejakulasi.
“Goyang
yang cepat, Dinooo!!!” perintahku makin kalap, takut penis itu menciut sebelum
aku orgasme. Untungnya Dino menurutinya. Goyangan cepatnya yang meninggalkan
suara ketepok segera menghadiahkan orgasme padaku, yang sukurnya terjadi
sebelum penis itu melemas.
“Ahh….”
Akhirnya kulepaskan segala rasaku. Kukepit erat pinggang Dino yang hendak
melanjutkan goyangannya karena mulutku tak mampu berucap untuk menyuruhnya
berhenti. Mengunci Dino dalam belitan kakiku, kupejamkan mata saat
dinding-dinding vaginaku berkedutan, berlomba menarikan puncak orgasme.
“Ih…
titit Dino kayak dihisap-hisap.” Kucubit punggung Dino yang
sempat-sempatnya mengeluarkan kata-kata
polosnya saat aku tengah diombang-ambing orgasme. Kulonggarkan belitan kakiku
saat orgasmeku mereda. Dapat kurasakan penisnya melemah dan terlepas dari
vaginaku. Ia bangkit duduk berlutut di antara kedua pahaku yang masih menganga,
menyaksikan vagina yang baru saja ia puaskan memuntahkan sisa-sisa sperma yang
begitu banyak ia semprotkan di dalamnya.
Masih
dimabuk orgasme, kurapatkan pahaku, berbaring menyamping membiarkannya masih
duduk di dekat pantatku. Kupejamkan mata menikmati rasa lega setelah
persetubuhan kami tadi. Kurasakan ranjang bergerak dan kurasakan selanjutnya
Dino membaringkan diri di belakangku
Aku
sudah sedikit terlena dalam lelap ketika kurasakan Dino memelukku dari
belakang.
“Tante,”
bisiknya memanggilku. Kusadari malam ini akan menjadi malam yang panjang ketika
kurasakan tegang penisnya di pantatku. Aku menoleh padanya dengan senyum yang
dibalut berahi yang pelan-pelan mulai menyala lagi.
0 komentar:
Posting Komentar