Tak kusangka akan bertemu Rendi lagi... Si
Brengsek itu menjadi tetanggaku. Ia mengontrak rumah Pak Emil yang kini telah
dipindahtugaskan ke kampung halamannya. Rendi mendapatkan rumah kontrak itu
dengan harga murah.
Aku dan Rendi sebenarnya memiliki masa lalu
waktu kuliah dulu. Yah... lucu juga kalau diingat. Aku pernah berpacaran dengan
Rendi. Singkat saja, hanya tiga bulan.
Aku bisa menerima Rendi waktu itu hanya
karena alasan sederhana, hanya karena Rendi adalah tipikal orang yang yang akan
dengan mudah dicampakkan jika sudah tidak diperlukan lagi. Aku sedang jomblo,
dan gengsi dong aku tak punya kekasih, maka Rendilah waktu itu yang menjadi
tumpuan sementara.
Tapi kalau dipikir-pikir, justru dengan Rendilah
aku melakukan hal-hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Dengan Rendi aku
mencoba meneguk minuman keras dan pernah ditilang sekali karena mengemudi di
bawah pengaruh alkohol. Dengan Rendilah aku pernah mencapai orgasme dalam waktu
tak lebih dari dua menit bercinta. Bagaimana tidak itu terjadi, jika Rendi itu
seperti lokomotif yang minta, minta dan selalu minta untuk bercinta. Tak
terhitung aku hanya menjadi alat pemerah sperma dari penis Rendi, bercinta
tanpa kepuasan. Situasi seperti itu kadang membuat aku harus mengejar sendiri
kepuasanku saat bersamanya. Kalau dilihat dari segi jumlah, memang aku dan
Rendi memiliki angka bercinta yang kalah banyak dengan pacar-pacarku yang kadang-kadang
jalan sampai tahunan. Tapi kalau dilihat dari persentase, perbandingan jumlah
bercinta dibanding dengan waktu pacaran yang hanya tiga bulan, sepertinya Rendi
yang paling banyak bercinta dengan aku, bahkan lebih banyak dari suamiku yang
persentase bercintanya rata-rata dua atau tiga kali seminggu.
Satu lagi hal yang tidak dilakukan
pacar-pacarku tapi buat Rendi malah terjadi. Dengan pacar-pacarku aku tidak
pernah mengizinkan untuk mengeluarkan sperma di dalam vaginaku tanpa kondom.
Dan Rendi...., hanya nasib baik yang menghindarkan aku dari kehamilan selama
tiga bulan pacaran dengannya. Nafsunya yang selalu bergejolak dengan penuntasan
yang semaunya, tak pernah mau memperhatikan saat-saat ejakulasinya saat
bercinta denganku.
Hampir semua sesi bercinta dengan Rendi adalah
sesi yang singkat dan hanya memperhatikan kepuasan Rendi saja. Tapi anehnya,
hanya dengan Rendi aku pernah bercinta lebih dari dua jam non stop. Itu terjadi
sekali, seminggu sebelum aku memutuskan hubungan dengan Rendi. Itu pula yang
menguatkan aku untuk segera putus dengan Rendi. Malam itu Rendi mengajak ke
club tapi aku tolak, takut mabuk dan ditilang lagi. Walaupun pernah ditilang
karena mabuk, aku tidak pernah mengizinkan Rendi mengemudikan mobilku. Karena
tidak mau ke club, Rendi malah minta aku menginap di kost-kostannya. Dan malam
itu aku dibuat mabuk habis-habisan, menelan pil yang entah apalah, dan aku
mengalami malam sex yang paling panjang dalam hidupku. Penis Rendi yang ereksi
sepanjang malam, entah karena mengkonsumsi apa, betul-betul membawa aku ke
pengalaman yang tak ingin kuulangi lagi. Orgasme berkali-kali, bahkan salah
satu orgasmeku berlangsung lama sekali, aku tak pasti, tapi sepertinya lebih
dari dua menit aku berkedut-kedut, tubuh terguncang mengalami gelombang getaran
orgasme yang membuat aku seperti mau mati.
Dan sekarang si Brengsek itu menjadi tetanggaku.
Tak seberuntung aku, dia masih menganggur sampai saat ini dan hanya
menggantungkan kehidupan sehari-hari dari penghasilan istrinya yang telah
bekerja di sebuah perusahaan swasta. Rendi bekerja serabutan membantu
orang-orang yang tinggal di komplek tempat aku tinggal. Sialnya, suamiku malah
menyukainya. Alasannya sederhana, dia adalah orang yang paling dekat yang bisa
dimintai bantuan apa saja dengan imbalan seperlunya. Sukurnya Rendi tahu diri
untuk tidak memberi tahu suamiku kalau kami dulu pacaran.
Karena kami berdua bekerja dan tidak
memiliki pembantu, maka Rendi sebagai tetangga dekat hampir tiap hari ada di
rumahku. Ada saja yang harus dikerjakan atas permintaan suamiku, mencuci mobil,
mengecat pagar, bahkan tak terhitung berapa kali aku harus menahan risih karena
dia pagi-pagi sudah mulai mengepel di rumahku padahal aku baru bangun tidur
dengan baju tidur yang kadang-kadang terlalu sexy. Apalagi aku tak pernah tidur
dengan pakaian dalaman.
Ada satu hal yang aku anggap tak wajar
juga. Walaupun aku tahu dari tatapannya bahwa Rendi belum berubah, bahkan tak
jarang aku menemukan gejolak nafsu di matanya saat menatapku, aku tak merasa
terancam sama sekali. Aku begitu merasa aman, hanya sedikit risih manusiawi
jika aku terlihat dengan baju tidur tanpa dalaman. Aku tahu dari tatapan Rendi bahwa
dia memiliki keinginan terpendam untuk menikmatiku seperti dulu, namun
kenyataan bahwa ini adalah rumahku, bahwa aku telah bersuami, bahwa Rendi juga
telah beristri membuat aku mengabaikan hal itu dan tetap merasa aman, padahal
aku tahu Rendi adalah lokomotif nafsu.
Hingga pagi ini....
Pagi di hari sabtu... aku terbangun dari tidur yang begitu
panjang. Semalam aku tak menyambut week end ini dengan aktifitas apapun.
Beberapa jam setelah makan malam aku langsung ke tempat tidur. Semua itu agar
aku bisa menikmati hari sabtu dan minggu dengan energi penuh. Dan pagi ini,
ditingkahi angin pagi lembut dan singsingan matahari yang hangat dari jendela,
aku terbangun dan merasa...
HORNY?!?!?!
Aku mengerjapkan mata dan menarik nafas untuk mengumpulkan
energi setelah bangun tidur. Namun ketika dadaku terasa segar, justru detak
jantung dan gairahku semakin terasa. Sialan... kenapa aku pagi ini merasa
begitu bergairah?
Aku menerawang mengingat-ingat keadaan diriku, mencoba
memahami gairah yang tiba-tiba menggebu pagi ini. Apakah ini berkaitan dengan
siklus masa suburku? Tapi tak biasanya aku merasa setegang ini saat masa subur.
Kutelusupkan tanganku ke dalam daster dan mendapati vaginaku yang tak tertutup
celana dalam seperti biasa. Selangkanganku terasa lebih hangat dari biasa,
gejala masa subur biasa. Dan ketika tanganku mencapai bagian tengah belahan
kemaluanku, aku tersengat ketiga jariku tak sengaja menyentuh clitorisku. Awww,
begitu sensitif. Aku sampai mengapit erat tanganku dengan kedua pahaku menahan
geli yang terasa lebih dari biasanya. Hei... sehorny inikah diriku? Dengan
menarik nafas mencoba menahan geli, perlahan jariku menelusup ke dalam belahan
vaginaku. Dan benar saja... di sana sudah begitu basah. Hhhhh... tak kuasa aku
menahan desah nafas ketika aku mencoba menelusuri tiap bagian lubang vaginaku.
Aku hanya sekedar ingin tahu seberapa basah di sana, namun gerakan tanganku
justru melipat gandakan geli nikmat di sana. Aku tak lagi hanya mengepit
tanganku dengan paha, bahkan aku kini sudah meringkuk ke kiri menjepit tanganku
dan melipat tangan sebelah lagi di depan dada. Aku terpejam, ingin melepas
tanganku, namun dorongan yang lain dari tubuhku menginginkan tangan itu lebih
lama di sana. Baiklah, aku turuti, biar ia diam di sana, merasakan jepitan
hangat, dan basah di sana atau .... sebaliknya, biarlah tangan itu di sana
menghadirkan nikmat pada vaginaku sebentar saja, ya hanya sebentar saja, aku
menikmatinya dengan memejamkan mataku.
Ketika aku sudah merasa cukup aku buka mataku dan
terhenyak... tadi ketika aku memejamkan mata hari belum begitu terang, kini
terasa pagi sudah meninggi. Berapa lamakah aku terbuai dalam nikmat tadi?
Bahkan aku belum berubah dari posisi meringkuk. Aku mencoba bangkit dan kembali
terhenyak ketika menarik tanganku dari selangkanganku. Aww... gesekan itu
membuat aku sampai terkedut sekali. Dan pahaku basah? tanganku kuyup? sebasah
itukah aku? Tidak, tidak, ini tak boleh. Seiring tekanan yang terasa di kandung
kemihku, aku bergegas ke kamar mandi. Buru-buru aku duduk di toilet hanya
mengangkat baju tidurku yang membelah di depan, dihubungkan hanya dengan tali
di pinggang.
Serrrrr.....
Aku sampai terpejam, kencing yang begitu panjang dan aku
seperti merasakan setengah orgasme. Ada apa ini? Kencing memang nikmat, tapi
tak senikmat ini. Aku tak percaya terkedut sekali lagi ketika kencingku habis,
kedutan yang nikmat membuat sisa air kencingku tersemprot dengan crot yang
kuat. Herannya malah aku seperti belum merasa lega. Seperti ada gumpalan di
dada yang menyesakkan, seperti sumbatan yang menahan sesuatu yang mendorong
dengan kuat. Apa aku sesak? Aku tarik nafas dan menghembuskannya dengan kuat.
Aku termenung di dudukan toilet, tak peduli dengan aroma
kencingku yang telah menyeruak naik. Yahh... aku mengalah, aku memang horny,
itu karena beberapa hari ini aku belum bercinta dengan suamiku. Eh, tidak...
yah mungkin seminggu ini aku belum bercinta. Tapi, sepertinya minggu ini aku
tak bercinta, kami begitu sibuk. Yah, aku memang belum bercinta selama... Apa?
aku ingat kembali bahwa aku tak bercinta sejak haidku pada siklus ini...
berarti sudah tiga minggu. Sialan... pantas saja aku begitu horny. Setelah
lepas dari tekanan pekerjaan baru aku bisa memperhatikannya. Bagus...
setidaknya gairah ini memuncak di hari libur. Aku akan habiskan week end ini
dengan bercinta dengan suamiku.
Bergegas aku membersihkan vaginaku dan menyiram toilet.
Sambil melangkah ke kamar aku buka ikatan baju tidurku. Aku berjalan dengan
bagian depan tubuh sudah terbuka melangkah ke tempat tidur. Aku telah begitu
horny, aku ingin penyelesaian. Biarlah aku orgasme terlebih dahulu sebelum
suamiku. Aku bisa melayaninya sambil menyongsong orgasme yang kedua.
Dengan baju tidur yang tersingkap jauh ke belakang, aku
mengangkangi suamiku yang terlentang pulas. Dengan ganas aku melumat bibir dan
wajahnya, lehernya dengan rakus aku cumbu.
'oh... hmmm... Rini...'
Suamiku tampak kaget dan sedikit membuka matanya. Aku
berharap dia akan membalas seranganku hingga aku memberikan senyum termanisku
saat ia membuka mata. Ia hanya membalas senyumku dan memejamkan mata lagi,
dengkurnya langsung terdengar lagi.
'Mas... Mas...' panggilku dengan bisikan menggoda.
Malah dengkurnya semakin terdengar. Suamiku memang kalau
tidur seperti kerbau. Aku baru ingat, tadi malam dia pasti nonton bola yang
sudah ia tunggu-tunggu jadwalnya. Dengan putus asa aku mencoba menggoyangkan
bahunya. Sia-sia.
Aku menarik nafas dengan ganjalan yang masih terasa. Masih
dengan mengangkangi suamiku tanganku menelusuri dadanya makin kebawah, terus
melewati perut dan sampai pada karet celana tidurnya. Aku sudah segairah ini,
tak apalah aku memuaskan diri dengan meminjam miliknya, semoga saja dia tak
memakai celana dalam.
Kutarik karet calana tidurnya ke bawah. Hatiku bersorak, tak
ada celana dalam, di bawah sana penis suamiku sudah langsung berhadapan dengan
vaginaku yang sedang mengangkangi tubuhnya. Penis itu tampak tergeletak
menggantung tak berdaya. Perlahan kuraih batang penis itu dengan kedua
tanganku, mencoba memberikan belaian untuk membangkitkannya. Lembut kuusap dan
kukocok dengan tangan kananku, sementara mengurut-urut dua biji bola di
bawahnya.
Lama kulakukan seperti itu, penis itu hanya memanjang
sedikit. Tak putus asa aku membasahi tangaku dengan ludahku, mencoba melumuri
penis itu agar licin. Kembali aku mengurut dan mengocoknya dengan gerakan yang
lebih nikmat.
'Hmmm... Riiin... tunggulah beberapa jam lagi aku tidur
dulu.. nyam.. nyam ..nyam' Suamiku berbicara dalam igauannya diiringin
dengkurnya yang kembali terdengar. Sialnya, penisnya malah mendukung
pemiliknya, tak bergeming dan segera menggelepar tidur menggelantung tiap aku
lepaskan.
Dengan sedih aku mencoba meraihnya kembali dan mencocokkan
kepalanya dengan lubang vaginaku, berharap penis itu masuk. Kupikir tak apalah
penis itu tak tegang, jika sudah masuk mungkin bisa kugunakan untuk menggaruk
vaginaku yang entah kenapa terasa ingin sekali digaruk, padahal tidak ada rasa
gatal di sana.
Kulesakkan kepala penis suamiku ke dalam vagianku, geli
nikmat kurasakan saat kepala itu masuk. Kudorong vaginaku menyongsong agar
masuk lebih dalam, malah penis itu tergelincir jatuh dan vaginaku bergoyang
dengan isi kosong. Kuraih kembali batang bandel itu, mencoba melesakkannya
kembali ke lubang vaginaku. Kueratkan otot vaginaku mengenggam kepala penis itu
agar tak tergelincir lagi, kemudian kudorong vaginaku agar masuk lebih dalam.
Penis itu memang menempel menggelantung karena kepalanya terjepit vaginaku,
namun ketika kudorong malah menekuk, kugoyang malah penis itu mengikuti ke arah
mana vaginaku bergoyang, meliuk-liuk lemah tak berdaya. Dengan putus asa
kujatuhkan pantatku ke atas penis itu berharap jika aku duduki maka penis itu
segera melesak ke dalam. Penis itu malah melipat dan kepalanya terlepas dari
lubang vaginaku. Di saat-saat seperti inilah aku merasa pujian suamiku selama
ini yang mengatakan lubang vaginaku begitu sempit justru tidak menyenangkan.
Putus asa aku menghempaskan badanku di samping suamiku,
menarik nafas menahan gejolak di dalam tubuhku, memejamkan mata dan menunggu suamiku
bangun seperti janjinya. Dan dia mengatakan... BEBERAPA JAM LAGI?!?!.
Tengah aku mencoba mengatur nafas, tiba-tiba terdengar pintu
gerbang rumahku terbuka... siapa yang bisa membuka pintu gerbang rumahku?
Apakah ada perampok?
'Mas... Mas...' kucoba membangunkan suamiku lagi.
'Sabar, Riinn.... nyam, nyam, nyam...' dia bahkan tak
membuka matanya.
'Ada orang, Mas... Ada orang masuk gerbang...' bisikku
tegas.
'Hmmm paling si Rendi... mau cuci mobil. Semalem Mas kasi
kunci... nyam, nyam..'
Aku heran suamiku bisa bicara dalam tidurnya tapi tak bisa
ereksi. Dalam urusan sex memang suamiku tak terlalu maniak. Pernah ketika kami
bercinta terinterupsi oleh telepon penting dari bosnya. Entah bagaimana penisnya
yang kendur saat menerima telepon, bisa tegang dalam sekejap untuk lanjut lagi.
Jika kuingat-ingat dalam setiap urusan bercinta suamiku memang luar biasa. Tapi
yang menjengkelkan, buat suamiku urusan bercinta itu seperti pekerjaan, harus
ada perencaannya. Selama perkawinanku dengannya tak pernah aku merasakan
bercinta yang spontan. Pernah aku tergoda bercinta di kolam renang dan
mengajaknya bercinta di ruang bilas. Memang sih dia luluskan permintaanku, tapi
ujung-ujungnya aku harus tak enak hati karena dia menghentikan sesi bercinta
saat aku orgasme, 'aku nggak usah' katanya dan segera penisnya tunduk lemas.
Aku masih ragu jika yang masuk gerbang benar-benar Rendi.
Sambil membenahi baju tidurku dan mengikat talinya, aku melangkah ke pintu
depan. Sebelum keluar kuintip lewat jendela. Memang benar tampak Rendi sedang
mencoba-coba satu persatu anak kunci dari gulungan kunci di tangannya untuk
membuka garasi. Kubuka pintu dan keluar.
“Hai, Rendi,” sapaku.
“Oh…, Hai, Rini.” Rendi menoleh dan memandang aku lekat.
Saat itulah kusadari bahwa jubah tidur yang kugunakan tak mampu menyembunyikan
lekuk tubuhku yang tak terlindung pakaian dalam di baliknya.
“Mau cuci mobil, ya?” tanyaku basa-basi, padahal jelas-jelas
ia tengah mengambil selang air dan hendak menyambungkannya ke kran air yang
biasa digunakan untuk mencuci mobil.
“Iya. Mas Doni kemarin suruh,” jawabnya.
Aku melangkah dan duduk di pinggiran lantai beranda, di
undakan yang menghubungkan lantai teras dengan lantai garasi. Namun undakan itu
begitu rendah, hingga aku hampir jongkok saja, walaupun pantatku masih bisa
terduduk di pinggir undakan. Posisi duduk seperti itu membuat bawahan jubahku
yang longgar terangkat ke paha, segera kugelung di tengah-tengah antara pahaku,
melindungi agar selangkanganku tak terekspose di depan Rendi, membuat justru
pahaku yang terbuka hampir seluruhnya, menyisakan gelungan di sekitar
selangkanganku.
Rendi mengerjakan tugasnya dalam diam, sesekali melirik ke
arah pahaku yang terbuka. Bukannya aku tak sadar, namun entah mengapa, tak ada
ancaman sama sekali yang kurasakan dari lelaki di hadapanku, tak ada rasa
takut, hanya ada rasa aman.
Tiba-tiba ponsel Rendi berdering.
“Hallo… di rumah Mas Doni… cuci mobil… tapi… iya, iya…”
Tanpa pamit, bahkan menoleh pun tidak, Rendi bergegas meninggalkan mobil yang
hendak dicucinya, melangkah ke gerbang.
“Rendi, kenapa?” Panggilanku tak digubrisnya ketika ia
menghilang di balik gerbang.
Aku termangu sendiri sepeninggal Rendi, hingga mataku
menangkap ujung selang cuci mobil mengucurkan air dari ujung shower yang memang
agak rusak. Dasar Rendi, ia meninggalkan begitu saja selang rusak itu tanpa
menutup keran air. Aku melangkah ke arah kerang yang kucurannya sengaja di
arahkan ke depan, bukan ke bawah, karena memang difungsikan untuk memasang
selang saat mencuci mobil. Saat tanganku terulur hendak menutup keran air,
mendadak selang air terlepas, rupanya Rendi dengan ceroboh memasang selang tak
terlalu kuat.
“Auuu…. Sial! Sial! Sial!” Aku mengumpat-ngumpat ketika air
dengan deras mengucur ke arahku yang sedang jongkok hendak menutup keran. Tak
ayal lagi tubuh bawahku dari perut basah kuyup. Walaupun aku bisa menutup kerang
dengan cepat, kucuran air itu telah cukup membuat seluruh bagian bawah baju
tidurku dari perut basah kuyup, bahan kain yang tipis menyerap seluruh air yang
tersemprot ke tubuhku, membuatnya mencetak lekuk tubuh bagian bawahku dengan
nyata. Warna baju yang terang malah membuat warna kulitku menerawang karena
basah. Dengan kesal aku bangkit dan merasakan kain bajuku menempel erat di
bokong, selangkangan dan pahaku. Ketika merunduk, aku geleng-geleng kepala
melihat gundukan tulang pubisku menerawang di selangkanganku, memamerkan
bulu-bulu kemaluanku ditempeli erat oleh kain yang basah kuyup.
“Kriuukkk…. Kriuukkk….” Bagus! Pagi ini berlangsung ‘makin
baik’ saja. Bangun pagi dengan horny yang begitu menyiksa, mendapat penolakan
bercinta dari suami, basah kuyup disemprot keran air, sekarang perutku
memberontak minta diisi. Menghentakkan kaki kesal aku melangkah cepat ke dalam
rumah, bergegas ke pantry dapur yang terletak di seberang sofa ruang tamu, tak
peduli pada tetesan air dari bajuku yang membasahi lantai.
Menahan dongkol kuambil selembar roti dan mengolesinya
dengan mayonise, kuambil sosis untuk disandwich tanpa mematangkannya, dengan
dendam kujejalkan batang sosis itu di antara roti, melampiaskan kesalku pada
batang ‘sosis’ suamiku yang dengan kejam mengabaikanku. Dengan sandwich
sederhana buatanku, kuberbalik hendak memakannya di sofa kamar tamu.
“Hah!!!” Hampir saja sandwich yang kupegang terjatuh ketika
melihat Rendi sudah berdiri di dekat sofa, menatapku dengan pandangan penuh
arti.
“Rendi! Bikin kaget aja. Sejak kapan kamu di situ?”
Meredakan kekagetanku, aku melangkah ke sofa di hadapan Rendi.
“Gluk… mmm… da… dari tadi… kamu sibuk buat rr…roti… gluk…”
Rendi gagap dan menelan ludah beberapa kali.
“Kamu kenapa?” kataku menghempaskan diri di sofa. Namun aku
tak memerlukan jawaban, gembung di celana Rendi sudah menjawab. Mungkin tadi ia
melihat bokongku saat membuat roti. Bukannya takut, aku malah berdeseir sendiri
membayangkan penis di balik celana itu.
“R… Rin, aku… mmm… bisa kita bercinta?”
Deg! Aku terhenyak, kunyahanku pada sandwich terhenti
sejenak, kurasakan otot mataku menegang, mungkin aku melotot.
“Tidak… tidak, jangan marah…. mmm… maaf…” Rendi
menggoyang-goyang tangannya.
“A… aku salah bicara… mmm…maaf… aku lama tak bercinta…
Istriku tak menginginkannya. Aku malu minta… aku belum dapat kerja.”
Jika bukan Rendi yang mengatakannya, aku tak akan percaya.
Tapi aku tahu Rendi. Kelemahan Rendi adalah ia mudah dicampakkan. Namun jika
dipikir-pikir, itu sebetulnya ‘kelebihannya’, orang seperti itu mudah untuk
dicintai.
“Lalu… kenapa kamu tidak malu minta padaku?” Kulanjutkan
mengunyah sandwichku, berbicara seceria mungkin, menghilangkan ketegangan yang
sempat muncul barusan.
“He he…” Rendi cengengesan salah tingkah. “Kamu kan
pacarku,” lanjutnya.
“Mantan…” koreksiku.
“Kita nggak pernah putus,” debatnya.
Aku mengingat-ingat kembali. Memang benar, aku meninggalkan
Rendi begitu saja saat menemukan cowok yang pas, suamiku saat ini.
“Ayolah, Rini. Ini bukan hal yang luar biasa, kita pernah
melakukannya, bahkan sering.”
Rendi mengingatkan kembali peranku sebagai pemerah sperma
untuknya. Sangat kurang ajar, apalagi aku kini bersuami. Namun mengingat aku
pun tak kalah kejam, ditambah atmosfer erotis antara kami, di mana tubuhku
hanya tertutup baju tidur yang basah di tempat yang sangat tepat, sementara
selangkangannya dengan tanpa aling-aling memamerkan gembung penis yang sedang
bergairah, aku hanya bisa menggeleng.
“No.” Hanya itu kata yang terucap sementara aku tetap
mengunyah.
“Plisss, Rin. Bagaimana kalo sekedar blowjob?”
“No.”
“Ayolah…. Riiin. Okey, handjob?”
“Rendi!!” Aku membentak kecerewetan laki-laki ini mengganggu
sarapanku. Walau tak marah sepenuhnya, kutatap matanya melotot dan
menghempaskan tubuh pada sandaran sofa.
“Okey… kurasa itu cukup,” ucapnya dan mulai menurunkan
celananya. Tak dapat kutahan ekor mataku melirik ke arah penis yang menegang
sempurna itu. Aku tak sepenuhnya paham ‘cukup’ yang diucapkan Rendi jika saja
aku tak mengikuti arah pandangan matanya saat ia mulai mengocok lembut penisnya
sendiri. Ternyata mata laki-laki ini menikmati selangkanganku yang terekspose
saat membanting diri ke sandaran sofa. Baju tipis yang kuyup mencetak dengan
nyata segi tiga di selangkanganku, membuat bulu pubisku menerawang karena kain
basah berwarna terang tak mampu menyembunyikannya.
“Whatever…” keluhku membuang muka, tak berusaha melipat
pahaku untuk menyembunyikan auratku. Aku teruskan sarapanku, ditingkahi
tontonan penis yang kini dikocok si empunya dengan penuh gairah. Penis itu
begitu tegang, begitu siap menerobos warangka belahan vagina, penis yang
sesungguhnya aku perlukan. Perutku mual bergairah menyaksikannya. Dan sialnya
membuat nafsu makanku hilang. Debarang di dadaku mencekik kerongkonganku,
terasa kering namun tak memerlukan air, aku seperti haus hendak menelan batang
penis itu. Lemah kulemparkan sandwich yang tinggal sedikit itu dan menyerah
pada godaan gairahku, bersandar di sofa sepenuhnya memanjakan mataku memandang
penis itu…. Oooohhhh.. penis itu.
Rasa hangat di liang vaginaku menggodaku untuk merenggangkan
pahaku, membuka akses pada bibir vaginaku yang memamerkan belahannya di balik
kain tipis kuyup itu. Dengan mata lekat pada penis yang tegang itu, tanganku
bergerak ke arah ikatan tali piyamaku. Satu tarikan membuatnya terlepas,
kusibakkan ke kiri dan kanan hendak memberikan tubuh polosku untuk dinikmati
Rendi.
“Aaakkhkhkh….!” Tak kuduga, begitu piyama kusibakkan, penis
Rendi berkedut memuntahkan sperma yang bermuncratan ke lantai di dekat kakiku.
Rendi terus mengocoknya, menghabiskan sisa sperma di dalam batang penis yang
kini tampak mengendor.
Aku gamang, di antara rasa bangga ternyata seorang laki-laki
bisa dengan mudah bertekuk lutut dan memuntahkan sperma hanya dengan melihat
tubuhku, namun di sisi lain justru menambah siksa gairahku yang sejak tadi
berkobar tak terlampiaskan. Aku tahu Rendi, dia adalah lokomotif nafsu, mudah
memuaskannya. Namun demi melihat penis Rendi layu, trauma penghinaan dari penis
suamiku yang tadi mengabaikan godaanku mendera. Tidak… apa aku sejelek itu
hingga tak mampu membangkitkan gairah batang-batang penis para lelaki yang
sejatinya mencintaiku, atau pernah mencintaiku?
Namun tatapan terpana Rendi pada tubuku yang sudah bugil di
antara piyama yang sudah tersibak memberikan jawaban menyakitkan, karena
tatapan itu tak dibarengi penis yang bangkit bergairah, penis itu tetap layu.
Sial… aku tak terima penghinaan ini, aku tak sejelek itu,
payudaraku masih kencang, tak pernah kendur karena menyusui, puting susuku yang
dalam keadaan bergairah mencuat menantang, menjadi makin tegang diterpa semilir
pagi yang hangat. Apa vaginaku tak menarik? Apa bulu-bulu yang selama ini
kugunting rapi menyembunyikan keindahan belahannya?
“Rendii….” Dalam frustasi kupanggil Rendi dengan nada sangat
erotis. Kujulurkan lidah melingkar, menjilati seluruh bibirku hingga basah
merona nafsu. Kerling birahi kuberikan pada pada Rendi. Sementara tangan kiriku
meraih payudaraku sebelah kiri, membelai gundukan gunungnya, memelintir putting
yang semenjak tadi sudah mengeras.
“Ahh…” Tak dapat kutahan desahku sendiri. Aku kaget dengan
lengkingan suaraku yang tak dapat menyembunyikan gairahnya. Namun tak
kuhentikan aktifitasku. Di bayangi tatapan terpesona Rendi, kuangkat kakiku
yang tadi menapak lantai, kutekuk berlawanan, memamerkan vagina yang kupastikan
kini merekah. Dengan jari-jari tangan kananku, kurekahkan lebih lebar lagi
bibir vaginaku, seakan kangkanganku tak cukup, aku ingin Rendi melihat jauh ke
dalam lorong vaginaku yang sebetulnya kini sudah basah, bergairah, dan berkedut
mengharapkan penis tegang yang merojok, menerjang dan menelusup
sedalam-dalamnya.
“Hello…, Rendi…” panggilku erotis.
“Ri… Ri… Rini…” balasnya terbata.
Dan aku kembali tersiksa, terhina, segala yang kulakukan
sia-sia. Penis Rendi tak menunjukkan reaksi yang kuharapkan, tetap layu
terbuai. What’s wrong, Rendi?
Aku nekat, pikiranku gelap. Cukup! Cukup aku mendapatkan
penghinaan diabaikan oleh bagian terlemah para lelaki. Aku cantik, aku seksi,
ini penghinaan. Maka aku bangkit dari sofa, meluncur berlutut di hadapan penis
Rendi. Saat penis layu redam itu di depan mataku, mulut mungilku segela
mencaploknya. Terasa kenyal penis itu di mulutku, lucu juga rasanya, mengulum
penis yang masih lemas.
“Auhh…, Riiin. Ngilu…” Rendi merem melek menerima
perlakuanku.
“Ini… mmm srruuuppp…. hukuman karena kamu… mmmm sruuuppp…
muntah sembarangan….. mmm sllruruppp… mengotori lantai….sluurppp…” Kuhisap
habis bahkan kutelan masuk ke kerongkonganku ujung penis Rendi, membuatnya
gelagapan.
“Glup… glup… Huahhh….” Kulepas sedotanku menarik nafas, hanya
untuk kembali kecewa. Penis itu tak kunjung menegang.
“Ren…, kok gini?” Tak dapat kutahan mengeluhkan resahku yang
bergairah.
“Sabar, Rin. Kan aku baru crot. Tunggulah sekitar setengah
jam lagi, pasti perkasa.”
Setengah jam? Ini bukan Rendi yang kukenal. Aku merasa
seperti terkutuk. Aku kalap, dan kembali memberikan teknik oral pada tingkat
tertinggi yang kumampu. Harga diriku tertantang jika tak mampu merangsang penis
ini.
Tengah aku asik pada aktifitasku, sementara Rendi masih
kelojotan menerima serangan beruntun di penisnya, sebuah suara mengagetkan kami
berdua.
“Hmmh… kuminta menunggu dan kalian sudah selingkuh… bahkan
di rumahku…”
Datar suara itu, pelan, namun mampu menghenyakkan kami.
Bahkan aku sampai tersentak berdiri saking kagetnya.
“Mas… Mas Doni!” kaget kami
“Jangan coba-coba bergerak!” bentak Mas Doni ketika Rendi
hendak menaikkan celananya dan aku hendak mengikat tali piyamaku. Ia melangkah
melewati kami hendak ke sofa.
“Oh… Sial! Apa yang telah kulewatkan?!” umpatnya ketika
kakinya menginjak sperma Rendi di lantai.
“Ma… maaf Mas Doni. Ini nggak kayak yang Mas kira.” Rendi
mencoba membela diri.
“Oh… tak seperti yang kukira. Ketika seorang perempuan
menghisap kelamin seorang laki-laki, aku harus menganggap apa? Katakan, sejak
kapan kalian berselingkuh.” Mas Doni menghempas di Sofa.
“Mas…ini… ini …” Aku tak tahu berkata apa. “Ini baru sekali
ini terjadi… dan…. dan…” aku tercekat kelu mengakui.
“Huh! Yang kulihat kalian bahkan seperti sepasang kekasih.
Apa yang kalian rahasiakan hah?”
“Rahasia kami?” Aku terhenyak mendengar Rendi tiba-tiba
berani bersuara setinggi itu. “Asal tahu saja, Mas Doni. Rini pacarku,
kekasihku, kami tidak pernah putus. Mas Doni lah yang merebut Rini dariku.”
“Oh… Shit! Shit! Shit!” Mas Doni bangkit dan mencengkram
tengkukku, mendorongnya ke bawah hingga aku jatuh berlutut.
“Aku tak tahu apa yang kamu harapkan dari laki-laki lemah
yang bahkan tak mampu bangkit dari kuluman perempuan cantik. Hisap!” bentaknya
pada akhirnya, menyongsongkan wajahku pada penis Doni yang terkulai.
“Hisap!” bentaknya sekali lagi melihat aku diam saja. Saat
aku mulai mengulum penis itu lagi ia kembali duduk di sofa.
Di bawah tekanan Mas Doni, kami lanjutkan aktifitas kami
tadi. Aku, entah mengapa bisa kembali memberikan oral terbaikku. Rasa takut,
penasaran, gairah dan ribuan rasa bercampur menjadi satu. Saat sesekali kulirik
Mas Doni, tak dapat kutebak apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Sementara
Rendi, sekuat tenaga menahan desahannya. Sialnya, penis itu tak kunjung
menegang juga.
“Hah… kontol pecundang!” umpat Mas Doni pelan. Ia menjangkau
piamaku dari belakang dan menarikku ke arahnya. Aku beringsut mendekat, tak
berani berdiri.
“Buka!” perintahnya menunjukk celananya. “Tunjukkan padanya
bagaimana kontol yang sebenarnya.”
Bergetar tanganku menarik karet celana tidur Mas Doni. Dan
entah mengapa, di antara takut dan sedihku, hatiku justru bersorak melihat
penis Mas Doni mencuat tegak persis seperti yang kurindukan.
“Eit… eit…” cegah Mas Doni ketika aku hendak mengulurkan
wajahku pada penisnya.
“Mulut jalangmu seharunya membuat kontol pecundang itu
bangkit, cantik,” lanjutnya seraya melambai agar Rendi mendekat.
Seperti terhipnotis, Rendi mendekati kami dengan celana
melorotnya. Di antara bingung dan gairah, kembali kami melanjutkan oral.
Mas Doni menjulurkan tangannya pada vaginaku, membelai liang
yang tadi kuyup penuh birahi itu, menusukkan satu jarinya mencongkel sari cinta
yang mengharap nikmatnya sebatang penis.
“Ahhhh… Mas Doni, ampun…” erangku, entah karena takut, entah
karena nikmat.
“Hei… siapa yang suruh berhenti nyepong” tegur Mas Doni
ketika aku terhenti mengulum penis Rendi karena tingkah tangannya di vaginaku.
“Ahmmm… hmmm… hmmm…” Akhirnya eranganku teredam oleh penis
Rendi yang kembali memenuhi rongga mulutku. Aku benci sekali melihat muka bloon
Rendi yang tampak malah menikmati momen-momen ini.
“Huh… benar-benar kontol pecundang,” cela Mas Doni ketika
melihat penis Rendi tak kunjung tegang.
“Kau lihat… memek jalang ini sudah sangat lapar,” katanya
seraya mengacungkan jarinya yang basah kuyup ke hadapan Rendi.
“Sini…” lanjutnya menarik pinggulku dari lantai ke arahnya.
“Lihatlah bagaimana seharusnya kontol bekerja, Rendi.”
Aku terjebak rasa ketika di belakangku, perlahan Mas Doni
mengarahkan pantatku ke pangkuannya. Antara bingung, takut, namun ditingkahi
gairah yang meletup hendak terpuaskan tak bisa kutahan tatapanku merunduk pada
penis yang mendekati vaginaku yang merekah basah di liangnya.
“Akhkhkh!!!!” Aku berteriak nyaring ketika akhirnya penis
itu menyeruak, melesak memenuhi seluruh ruang lorong vaginaku, menekan
bagian-bagian tersensitif kewanitaanku, memberikan nikmat dari kokoh dan
kerasnya penis, seperti seharusnya.
“Heh… jangan terlena, Jalang.” Mas Doni menangkap daguku dan
mengangsurkannnya kembali pada penis Rendi yang berdiri mematung di hadapan
kami.
“Ajari kontol kekasihmu itu agar menjadi berguna,”
lanjutnya.
Sialaaaaan. Aku terhina, aku pecundang, namun aku memiliki
gairah yang hendak meledak. Aku tak peduli lagi. Berpegangan pada pinggang Rendi,
kugerakkan pantatku secepat kilat, menggeseki setiap sisi kelaminku, memuaskan
dahaga birahi pada tiap senti alat reproduksiku. Sementara mulutku mengulum,
menghisap, bahkan menelan penis Rendi.
“Ahmm… sluururpp… sluururuppp…”
Berahiku
benar-benar membuai, rangsangan ini begitu nikmat, apalagi kini tangan
Rendi tak tinggal diam, mulai menjamah, menggerayangi, meremas gundukan
payudaraku, dan memelintir putingnya. Aku tak peduli lagi kemarahan
Mas Doni, tak peduli lagi… Dan tiba-tiba kurasakan mulutku mengulum
benda yang
semakin keras, dan tenggorokanku seperti tertekan benda keras.
“Huahhh…” Nafasku memburu ketika melepaskan penis Rendi yang
kini telah tegak mengacung seakan menatapku. Dibarengi gerakanku mengocok penis
Mas Doni dengan vaginaku, kokocoki penis Rendi yang kini telah mengeras itu
dengan tanganku, dengan tatapan penuh arti pada mata mantan kekasihku itu.
“Okey, bitch! You did it… lihatlah kontol kekasihmu itu,”
bisik Mas Doni dari belakangku.
Aku terlalu nikmat untuk menanggapinya. Dua penis di pagi
hari telah membuat aku terlalu payah untuk berbicara. Aku tetap bergoyang di
pangkuan Mas Doni mengejar orgasmeku yang semakin dekat.
“Stop!” Mas Doni menangkap pantatku dan mendorongnya ke atas
hingga aku berdiri.
“Aku sudah cukup. Kalian lanjutkan,” katanya datar tanpa
ekspresi. Tak dapat kutebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun aku hampir
menangis ketika menoleh ke arahnya, melihat penis Mas Doni telah lemah terkulai
lagi. Benar-benar tipikal Mas Doni, dialah pengendali gairahnya sendiri. Mas
Doni bangkit dari sofa dan melangkah ke pantry di belakang sofa.
“Apa yang kalian tunggu?” serunya tanpa menoleh menuangkan
minuman ke gelas. “Jangan harap aku akan memuaskanmu hari ini, jalang.”
Saat itulah mendadak Rendi mendorongku hingga terhempas ke sofa.
Ia berlutut di antara kedua pahaku dan melesakkan penis tegangnya pada vaginaku
yang telah berdenyut ingin menuntaskan birahinya.
“Akhhkhh…. Anjrit! Jancuk!” kuluahkan segala perasaanku
dengan mengumpat sekasarnya saat Rendi mengaduk-aduk vaginaku dengan cepat.
Rendi tak ingin membuang-buang waktu melakukannya. Benar-benar tipikal Rendi,
mengejar kepuasannya sendiri.
Dan aku di sini, akhirnya pasrah memanjakan birahiku,
membiarkan diri diselimut rasa nyaman yang mengantarkanku pada orgasme yang
kudambakan, betul-betul kudambakan, yang sialnya akan aku dapatkan dari
pengkhianatan, dari pelecehan. Kupejamkan mata ditingkahi kocokan cepat Rendi
di vaginaku, meresapi orgasme yang perlahan datang. Tanpa kusadari air mataku
mengalir meresapi ribuan ironi yang harus aku nikmati.
Kurasakan Rendi menghentikan kocokannya. Tangannya mengusap
air mata di pipiku saat kubuka mata.
“Jangan berhenti,” bisikku lirih. “Lanjutkan.”
Wajah Rendi tampak bingung. Matanya bergantian memandang
wajahku dan Mas Doni di belakang sofa. Kuraih pipinya dengan kedua tanganku,
mencegahnya melihat ke arah lain, hanya melihat ke mataku.
“Ayo…
selesaikan…” bisikku mesra memberikan senyum menenangkannya seraya
menekuk lututku dengan lebar ke kiri dan kekanan, memberi akses
seluas-luasnya untuk Rendi.
Ia melanjutkan goyangannya, semakin lama semakin cepat, menggedor
birahiku yang
hampir mencapai puncak. Kutarik wajahnya ke wajahku, kukulum bibirnya
penuh
rasa menyongsong orgasmeku.
“Hmmm…..mmmm…” Kami menggeram bersamaan saat aku
terhempas dalam orgasme, membuat pinggangku mengejang, dan kedutan-kedutan
kurasakan di rongga vaginaku, entah kedutan milik siapa, namun aku terbuai
merasakan pancaran cinta dari ujung penis Rendi, menebar benih-benih hangat di
seluruh rahimku. Ya… ini nikmat, dan aku tak peduli lagi bagaimana week end ini
akan berlalu.
0 komentar:
Posting Komentar