Aku duduk di meja makan warung sambil memperhatikan mama yang sedang
sibuk melayani pelanggan-pelanggannya yang datang untuk makan siang. Tak
seperti biasanya, warung makan kali ini tampak lebih ramai daripada
hari kemarin. Jangan-jangan salah satu pelanggan mama ada yang tahu
kalau mama pernah berjalan kaki bugil ke sekolahan?
Dua orang pemuda berbisik-bisik di meja makan. Karena aku duduk di dekat mereka, aku jadi tahu apa yang mereka bicarakan.
"Bibi itu pernah jalan kaki gak pakai baju," bisik salah satu pemuda.
"Waktu itu aku baru saja mau pergi berkebun dan aku melihatnya jalan
kaki bertiga dengan dua orang anak kecil. Salah satunya anak ini."
"Wah enaknya," bisik pemuda satunya. "Kalau aku jadi anaknya, aku pasti
tiap hari bisa pegang-pegang tetek bibi itu. Coba lihat tubuhnya.
Seperti pemain bokep saja."
Mereka berdua lalu tertawa.
Aku juga tertawa dalam hati. Siapa yang tidak senang memiliki mama
dengan tubuh yang menggairahkan? Sementara orang lain hanya bisa
mengkhayal tentang mamaku, aku sudah bisa menelanjanginya.
Menjelang sore hari, mama menutup warungnya karena makanan sudah habis.
Mama tersenyum saat menghitung uang. "Lumayan, hari ini laris manis,"
kata mama. "Mama hari ini mau pergi arisan di tempat Ibu Tuti. Kamu jaga
rumah dulu ya."
"Aku mau ikut," kataku.
"Ya gak apa-apa kalau mau ikut."
"Kapan mama berangkat?"
"Mama mandi dulu, habis itu berangkat."
Lima belas menit kemudian mama sudah siap berangkat. Mama mengenakan
jilbab berwarna abu-abu dan daster bercorak bunga. "Kamu sudah siap?"
tanya mama.
'Sudah ma. Mama gak ada pakaian lain selain daster ya?"
"Mama lebih suka pakai daster. Ayo berangkat."
Tempat Ibu Tuti hanya sekitar 20 meter dari rumah. Di depan rumah sudah
banyak ibu-ibu berdiri sambil asik bergosip. Ketika melihat aku dan mama
datang, mereka berhenti bicara dan memandangi mama dengan pandangan
sinis. Sepertinya mereka baru saja membicarakan mama.
"Halo bu apa kabar. Wah anaknya sudah gede ya," kata salah satu dari
mereka berbasa-basi. "Denger-denger ada wanita yang suka jalan sambil
telanjang loh. Kamu hati-hati ya nak kalau ketemu orang gila seperti
itu."
Air muka mama langsung berubah. Aku tertawa cekikan. Memang benar mereka
sedang membicarakan mama. Tak lama kemudian mama sudah bergosip ria
dengan para ibu-ibu tersebut sementara aku duduk di beranda rumah Ibu
Tuti sambil makan kue. Arisannya belum dimulai, dan Ibu Tuti masih
menata kue-kue camilan di atas piring. Aku bisa melihatnya dari beranda
sini. Ini pasti akan lama.
"Ah bosan!" teriakku. Aku melihat mama yang masih bergosip dengan para ibu-ibu. Aku langsung mendapat ide.
Aku mendekati mama yang membelakangiku. Begitu dekat, aku langsung
menyibak daster mama ke atas. Pantat mama yang terbalut oleh sempak
hitam terpampang jelas di hadapanku. Mama diam saja, jelas ia ingat akan
janjinya.
"Aduh bu anaknya kok dibiarin buka-buka daster mamanya?" tanya salah
satu ibu-ibu itu sambil memperhatikan aku. "Malu, bisa dilihat orang
lain nanti."
"Gak apa-apa bu, memang dia suka mainan kayak gitu," kata mama beralasan.
Aku mengendus-endus pantat mama. Setiap kali aku bergerak, daster mama
pasti merosot turun. Daripada kesenanganku terganggu, aku segera melipat
ujung dasternya ke atas sampai ke perut mama. Mama seperti tidak sedang
memakai celana.
"Ibu ini gimana sih!" seru ibu-ibu itu terkejut. "Anaknya kok dibiarkan!"
Aku terus mengendus-endus pantat mama dengan lebih leluasa. Aku memeluk
mama dari belakang sambil memainkan udelnya dengan jari telunjukku.
Belum puas sampai di situ, aku menurunkan sempak mama sampai mata kaki.
Ibu-ibu itu semakin kaget melihat memek mama yang dipenuhi jembut tebal
dipamerkan di depan mereka.
"Bu... ini... ini sudah keterlaluan."
"Ti... tidak apa-apa. Ini sudah biasa kok," mama terus beralasan. Aku
bisa merasakan paha mama sedikit bergetar karena malu atau grogi. Dengan
menggunkan kedua tanganku, aku membuka pantat mama sampai anusnya yang
kecokelatan muncul dari sela-sela belahan pantatnya. Aku langsung
menjilatnya.
"Aaaaah..." desah mama pelan.
Seorang ibu yang juga membawa anaknya langsung menutup kedua mata
anaknya. "Ayo kita masuk ke dalam rumah, di sini berbahaya," serunya
kesal. Tepat di saat seperti itu, Ibu Tuti menepuk tangannya dan
menyuruh kami masuk. "Ayo ibu-ibu, arisannya mau dimulai," katanya dari
beranda rumah.
Kami pun segera masuk. Mama menaikkan sempaknya, sebelum ia menurunkan
lipatan dasternya, aku langsung melarangnya. "Biarkan saja ma, mama
lebih seksi kalau sempaknya kelihatan gitu."
Aku menambah lipatan daster mama dan aku melipatnya ke atas hingga di
atas pusar. Aku mencium perut mama, lalu berujar, "Ayo ma kita masuk."
Aku dan mama terakhir masuk ke rumah. Melihat daster mama yang terlipat
sampai perut dan menampakan sempaknya, membuat Ibu Tuti menegur mama,
"Ya ampun bu, apa ibu gak malu berpenampilan kayak gitu?"
Wajah mama memerah, "Anakku suka kalau aku begini, kalau gak begini dia bisa nangis seharian."
"Ya sudah kita gak ada waktu lagi, ayo dimulai arisannya."
Arisan dimulai. Aku rebahan di pangkuan mama dengan wajah menghadap ke
memeknya. Sesekali aku menurunkan karet sempaknya dan memainkan jembut
mama yang mencuat keluar. Ibu-ibu yang duduk di sebelah mama langsung
menjauh. Mereka tak henti-hentinya berbisik. Cuma Ibu Tuti yang sabar
melihat tingkahku dan mama. "Sudah sudah, gak apa-apa. Toh itu demi
anaknya juga. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain juga. Kalian
harusnya mengerti," katanya sambil membuka buku catatan arisan.
Aku menjilat-jilat udel mama. Sedikit asin tetapi aku suka dengan perut
mama yang sedikit berlemak dan tidak sampai berlipat. Tanganku meraih
kait behanya dari celah lipatan dasternya, lalu dengan sekali gerakan,
aku melepasnya. Tek! Suaranya sampai kedengaran. Dengan sigap, aku
melepas beha mama dan meletakkannya di lantai.
Tetek mama kini tergantung di hadapanku. Aku menyibak dasternya lebih ke
atas lagi sampai dibawah lehernya agar tetek mama bisa dilihat oleh
ibu-ibu di arisan. Jelas saja arisan itu dipenuhi kegaduhan; semua mata
ibu-ibu itu terpaku ke kedua tetek mama yang sebesar pepaya dan uratnya
terlihat sampai ke pentil.
Ibu-ibu di sekeliling mama terus memandang mama dengan jijik. Aku tidak
peduli dengan itu. Aku langsung melahap pentil mama dan menyedotnya
kuat-kuat. "Ssssss..." mama mendesis tertahan. Sementara aku menyusu,
tangan kananku memuntir-muntir pentil mama satunya. Tidak sampai
beberapa menit, pentil mama sudah mengeras. Aku jadi tambah semangat.
"tapi teteknya ibu bagus ya," ujar ibu yang duduk di sebelah kanan mama.
Ia tadinya sedikit menjauh dan sekarang sudah mendekat kembali. "Apa
benar kalau payudara bisa besar kalau selalu diremas?"
"Eh mungkin saja," jawab mama sambil menggigit bibir bawahnya.
"Boleh aku pegang teteknya ibu?" kata ibu itu. Aku tidak menyangka ibu
itu cukup terbuka dengan tingkahku. Mama mempersilahkan ibu itu untuk
memegang teteknya. Tangan ibu itu pun memegang tetek mama lalu
meremasnya. "Wow, beda sama punyaku. Yang ini lebih berisi," serunya.
Aku berhenti menyusu. "Coba ibu pegang pentil mamaku ini. Ini yang
terbaik," kataku mempersilakan. Tanpa ragu, ibu itu langsung menarik
pentil mama dan tersenyum. "Benar-benar payudara yang bagus."
Karena ibu itu mau bersikap terbuka, ibu-ibu yang lain akhirnya melunak
dan berhenti berbisik-bisik. Ibu Tuti akhirnya bisa dengan tenang
mengeluarkan gulungan kertas dari dalam botol plastik dan mnyebut nama
yang keluar keras-keras, "Yang mendapat arisan hari ini adalah Ibu
Deni."
Sayang sekali mama tidak mendapat arisan kali ini. Semua orang
mengucapkan selamat kepada Ibu Deni. "Selamat ya bu," ucap mereka.
Arisan itu berakhir dengan damai, meski beberapa ibu-ibu masih
menggunjingkan mama. Seusai acara, Ibu Tuti mendekati mama dan
berujar,"Lain kali jangan seperti itu lagi ya bu, ibu boleh melakukan
apa saja demi menyenangkan anak ibu; tetapi ibu juga harus melihat
kondisi di sekitar ibu. Ibu-ibu yang lain pasti sudah mencap ibu sebagai
wanita yang gak bener."
"Iya bu, nanti anakku akan aku beritahu," ujar mama sambil merapikan
daster dan jilbabnya. Aku memungut beha mama dan memutar-mutarnya ke
udara. Mama pamit ke Ibu Tuti dan kami bergegas pulang karena hari mulai
gelap.
Home
Cerita Eksibisionis
Para Mama
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Para Mama : Memperbudak Para Mama 2
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar