Kami jadi semakin akrab, berangkat dan pulang kantor bersama-sama. Tapi
kesempatan makan siang bersama jarang kudapatkan. Dia begitu sibuk dan
harus makan di kantornya. Aku tak rikuh lagi mencumbuinya di dalam
kereta --kalau tak kebagian tempat duduk-- seperti laiknya pasangan ABG
yang sering kujumpai.
Pernah suatu ketika berdua kebagian berdiri di pojok. Jeanny memutar
tubuhnya membelakangiku, lalu dituntunnya tanganku ke balik blousenya.
Tangan kiriku berpegangan pada "gelang-gelang" yang tergantung di atas,
sementara tangan kananku memerasi susunya. Beberapa kali kami pergi
lagi ke diskotik itu dan seperti biasanya "penyakit" exhibitionist-nya
muncul di sana. Hanya kali ini tanpa "pertunjukan kamar" seperti tempo
hari. Dia menolak memberikan kunci kamarnya dengan alasan yang tak
jelas. Meskipun telah mengenali sifat-sifatnya, bagiku Jeanny tetap
sebuah misteri.
Suatu saat sebulan lewat setelah pertama kali kami ke diskotik, ketika waktu istirahat baru saja habis, Jeanny meneleponku.
"Sudah makan?" tanyanya.
"Sudah, barusan."
"Oo, Aku berharap kita bisa makan siang sama-sama."
"Kenapa tadi pagi gak bilang?"
"Memang sih, soalnya Aku juga belum yakin bisa. Bisa ke sini gak?" tanyanya.
"Umm... Aku khawatir tak bisa." Sebagai karyawan yang relatif baru Aku tak bisa seenaknya meninggalkan kantor dalam jam kerja.
"Aku pengin bicara."
"Gak bisa bicara lewat telepon aja?" tanyaku.
"Gak. terlalu panjang, nanti."
"Aku punya waktu, hanya tak enak kalau ke luar kantor."
"Okay deh, nanti sore saja pulang kantor kamu ke sini."
"OK."
"Nanti telepon dulu ya sebelum pergi."
Mendadak Aku berdebar-debar ketika kereta berhenti di Dobyghout. Tak
biasanya Jeanny mengajakku ke sini hanya untuk bicara. Pasti sesuatu
yang penting. Sayangnya Aku tak bisa menebaknya. Ah, mengapa harus
dipikir? Apapun yang akan dia bicarakan, Aku sudah siap menerimanya. Aku
sempat membayangkan the worst case seperti: Kita cukup di sini saja,
jangan lagi menghubungiku. Siapkah Aku?
Tadi dia pesan, Aku langsung saja naik ke lantai 6, ke kamar yang dulu.
Ternyata dia sebagai Manager memang "menguasai" kamar itu sebagai kamar
pribadinya. Hanya dia harus siap memberesi barang-barangnya kalau
suatu ketika hotelnya mengalami full book.
Kuketuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Kuulangi ketukan lebih keras.
Juga tak ada balasan. Aku coba memutar handle pintu, tak terkunci, pintu
terbuka. Aku melongok.
"Anybody home?" Sepi.
"Jean!" teriakku. Masih tak ada sahutan. Aku menutup pintu kembali dan
melangkah masuk. Melewati pintu kamar mandi, dan 2-3 langkah lagi...
jantungku berhenti.
"Oh!" seruku otomatis.
Jeanny berdiri di jendela kaca yang terbuka korden dan viltrage-nya,
agak di pinggir (sehingga tadi Aku tak melihatnya), menghadap ke luar,
dan... telanjang bulat! Gila! Anak ini benar-benar exhibitionist gila!
Dari belakang sosok tubuhnya begitu indah. Lengkungan yang nyaris ideal.
Dari punggung lengkungan itu dimulai, berpuncak paling dalam di
pinggang, terus menggelembung lagi di pinggul. Sepasang bulatan
pantatnya begitu "nyedit" (apa bahasa Indo-nya ya Mas Wir?), khas
Singaporean, Lalu sepasang paha panjang itu, ditopang sepasang betis
yang juga panjang, dan sepasang kaki yang juga telanjang. Jeanny tetap
berdiri memandang jauh ke gedung seberang, tak menengok sedikitpun,
seolah memberiku kesempatan untuk menikmati lengkungan tubuhnya.
"Jeanny," panggilku beberapa saat kemudian setelah Aku puas meneliti tubuhnya dari belakang.
Dengan amat perlahan Jeanny memutar tubuhnya, menghadapku. Standing lamp
di sebelahnya yang menyala mempertegas bulatan-bulatan di dadanya.
Bahkan bayangan puting yang "jatuh" di buahnya memberikan informasi
bahwa kedua benda itu menegang. Lampu itu juga membantuku mengamati
bulu-bulu kewanitaannya. Matanya tajam menatapku.
Aku mendekat. Lebih dekat. Kubelai pipinya dengan punggung jari-jariku.
Matanya menutup. Hembusan nafasnya menerpa wajahku. Kurabai bibirnya
dengan ujung telunjukku. Bibirnya terbuka. Mengemoti jariku. Tak lama.
Lalu telapak tanganku menelusuri lehernya, dengan "teknik" telusur
mengambang, antara menyentuh dan tidak. Turun lagi ke dadanya. Kedua
telapak tanganku secara "full coverage" ber-rotasi di kedua belah
dadanya, masih dengan teknik mengambang. Puting itu memang telah
mengeras. Lalu ketika kedua tanganku mengikuti alur lengkungan
pinggangnya, bibirku kusentuhkan di puting dadanya, sebelum akhirnya
mulutku ikut menelusuri seluruh permukaan buah itu. Jeanny melenguh,
matanya masih terpejam. Ketika surfing mulutku berakhir di puting dan
mengemotnya, Jeanny merintih. Kali ini mulutku begitu leluasa menciumi,
menjilati, bahkan menggigiti buah ranum itu. Sebulan lalu, di tempat
ini juga, hanya sempat mendarat di beberapa bagian saja. Kali ini
Jeanny menjadi penurut, tidak sambil menari-nari, hanya geliatan pelan.
Penelusuran berlanjut. Sambil jongkok dan berpegangan pada pinggiran
pinggulnya, mulutku mulai menjelajah permukaan kewanitaannya yang
ditumbuhi merata bulu-bulu pendek. Erangan dan lenguhan Jeanny makin
sering terdengar. Tiba-tiba Jeanny mengangkat sebelah kakinya dan
ditumpangkan ke bahuku. Posisi tubuh yang memungkinkan lidahku
menjangkau selangkangannya lebih dalam. "Nyanyian" Jeanny makin keras
dan makin tak karuan.
Jeanny menurunkan kembali kakinya, lalu dengan agak terburu dia membukai
kemejaku. Aku membuka celanaku. Aku telah bugil. Penisku telah siap.
Jeanny menyandarkan diri ke kaca dan mengangkat kakinya lagi.
"Disini?" bisikku. Jeanny mengangguk-angguk.
Tangan kananku menopang paha kirinya. Kuarahkan ujung penisku, Aku
menekan, dan "kepala"ku masuk. Jeanny mengerang lagi. Tekan lagi,
penisku telah sempurna memasuki tubuhnya. Aku mulai memompa. Di jendela
kaca itu. Tak peduli mungkin saja ada orang yang melihat dari jendela
gedung seberang. Mana sempat peduli?
Rasa maluku telah hilang, ditimpa rasa nikmat. Nikmat yang agak asing
karena telah lama tak merasakan. Rasa nikmat yang ditimbulkan oleh
sensasi gesekan batang penisku ke dinding-dinding vagina Jeanny. Rasa
nikmat yang ternyata tak begitu lama kunikmati (salah sendiri kenapa
"menabung" terlalu lama?). Jeanny membiarkan Aku ejakulasi di dalam
tubuhnya. Semprotan yang berkali-kali dan melimpah.
Oh Jeanny, MLA, ML juga Akhirnya.
"Nah, sekarang Aku siap mendengar," kataku setelah kami membersihkan
diri masing-masing dan berdua tidur-tiduran di salah satu single bed,
masih sama-sama telanjang, seperti bulan lalu sehabis Aku dimasturbasi
olehnya, Aku terlentang dan kepala Jeanny di dadaku.
"Tak ada yang perlu dibicarakan," sahutnya.
"Lho, tadi kamu pengin bicara."
"Sebenarnya tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu, sudah waktunya."
Dengan gemas kuciumi wajahnya.
"Laparnya ya?" katanya. Perutku berkeroncong, Jeanny mendengarnya. Tanpa
minta persetujuanku Jeanny menghubungi room service lewat telepon
minta makanan, lalu rebah lagi di tubuhku.
Lalu ketika beberapa saat pintu diketuk dan terdengar teriakan "Room
service", Jeanny bangkit, memberesi seluruh pakaianku, menarikku ke
kamar mandi, menciprati tubuhnya dengan air, menyambar handuk dan
dililitkan ke tubuhnya. Handuk itu kurang lebar buat menutupi tubuhnya.
Separuh buah dadanya bagian atas terbuka, sementara seluruh pahanya tak
tertutup. Jembutnya nyaris terlihat.
"Diam dulu di sini ya. Jangan bersuara." Jeanny menutup pintu kamar mandi.
Dasar Jeanny, menemui pelayan hotel dengan hanya berbalut handuk sempit.
Terbayang, pelayan itu mungkin tersipu sambil menelan air liur
menatapi buah dada dan seluruh panjang kaki mulusnya.
"Ayo, makan," katanya setelah pelayan lelaki itu pergi. Aku keluar kamar
mandi mendapati Jeanny sudah membuang handuknya. Kami makan sepiring
berdua, dengan bertelanjang bulat. Tak mungkin kan dia pesan makanan dua
porsi. Menghindari kecurigaan.
Bermula dari memperhatikan gerak tubuhnya sewaktu Jeanny menyisir
rambutnya di depan kaca rias, Aku menjadi terangsang lagi. Kudekati dia.
Kucium kuduknya. Jeanny bergidik. Lengan atasnya mendadak
berbutir-butir tanda merinding. Kucium belakang telinganya. Jeanny
melenguh. Diraihnya tanganku dan dituntun ke dadanya. kuusapi dadanya.
Jeanny merintih. Aksi berlanjut.
Kutuntun badannya menuju kasur, tapi Jeanny memaksaku terus melewati
kasur dan menuju jendela. Dibukanya salah satu bilah kaca jendela, suara
bising lalulintas langsung terdengar. Ditariknya salah satu kursi
menyender ke jendela yang terbuka tadi. Lalu Jeanny naik ke kursi dan
menelungkupi sandarannya. Kepala dan bahu Jeanny ada di luar jendela.
Pahanya membuka. Aku mengerti maksudnya. Aku juga manaiki kursi itu.
Jeanny menginginkan doggie style di sandaran kursi. Aku masuk dari
belakang. Memompa maju-mundur. Mulut Jeanny menceracau tak karuan. Sudah
kuduga, di second round ini Aku bisa lebih lama. Entah sudah berapa
puluh pompaan Aku belum merasakan tanda-tanda mencapai puncak. Aku tak
bisa menduga apakah Jeanny sudah "selesai" atau belum. Aku tak melihat
wajahnya. Pahaku pegal sekali, Aku menyerah.
"Jean, kita pindah yuk, di tempat tidur."
"Okay," Aku melepas. Dengan buru-buru dia melompat ke kasur, menelentang
dan kaki terbuka lebar. Aku masuk lagi. Aku memompa lagi. Naik-turun
dan maju-mundur. Pinggul Jeanny bergoyang liar maju-mundur dan berputar
horisontal. Sampai kurasakan dalam dekapan kencangku tubuhnya
berguncang teratur. Sampai kurasakan getaran tubuhku sendiri seirama
pancaran air mani.
Oh Jeanny, bagiku engkau tetap misteri.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar