“Yes” Diana berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot
wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh
berguncang tak mau diam.
Dana menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.
Diana
membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya.
Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa
pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela
kakinya Diana melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan
kepala ke sofa.
Pun Diana mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.
“Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama.”
“Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?”
“Kesal kenapa?”
“Bener mama mau tau?”
“Iya dong sayang,” kata Diana sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.
“Dana seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Dana merasa gak seneng juga temen Dana ikut.”
Semakin
hari Diana merasa anaknya semakin Dewasa, semakin berpandangan terbuka.
Kesepakatan ini sepertinya hal yang sangat disukuri Diana.
“Kok gitu?”
“Mama
kan mama kandung Dana. Akhir – akhir ini Dana bener – bener seneng main
sama mama. Tapi, tentu ini gakkan selamanya. Apa pun yang terjadi, Dana
tetap anak mama, gak akan pernah jadi pria, atau bahkan suami mama.
Tapi tentu teman Dana gak akan seperti Dana. Apalagi saat kita liburan
nanti.”
“Emang kamu mau mulai ngerayu mama ntar pas liburan?”
“Ya
enggak dong. Dana juga kan tau batas. Meski kadang tak kenal kompromi,
keras hati dan setegar besi. Cuma, Dana akui, dan juga meski sama – sama
kita akui, rasanya sangat berat dilarang menyentuh apalagi
membicarakannya kepada seseorang. Meski kini bu Dewi tahu, tapi itu kan
temen mama.”
“Memang kenapa? Hanya karena mama bisa dengan mudah
hidup tanpa sehelai benang di sini, bukan berarti di tempat lain juga
sama. Lagian, tubuh ini telah mengalami pelbagai macam cobaan hidup.
Tubuh mama kini tak seindah tubuh mama yang dulu.”
“Omong kosong.
Justru mama sangat seksi. Coba perhatikan. Tiap kali kita jalan, pasti
banyak mata lelaki menatap mama. Apalagi temen Dana pasti juga suka.”
“Kamu mau mama batalin ngajak temenmu gak?”
“Entahlah.
Kalau batal ngajak mereka, mungkin Dana jadi bakal terlihat brengsek di
mata mereka. Tapi kalau jadi, mungkin bisa memulai ke hal – hal lain.”
Hening. Keduanya menghela nafas berbarengan meski tak pernah membuat janji. Menyadari itu keduanya pun saling menatap.
“Gimana semalam, kamu seneng kan liat dua wanita telanjang?”
“Yang satu sih gak telanjang. Apa bu Dewi bener – bener pingin ngulang lagi?”
Diana memukul anaknya, “Kamu gak pernah puas ya?”
“Dana hanya gak enak sama Dewo,” kata Dana sambil menunduk.
“Tinggal
kamu pikir aja sama Dewi. Memang gak enak nutupin sesuatu dari
seseorang. Bahkan pada titik tertentu, bisa membuat seseorang kecewa dan
atau marah. Meski kamu tak bisa disebut curang. Mending kamu biarkan bu
Dewi menanganginya. Lagian, dia lebih paham hal ginian disbanding kamu.
Mama yakin kalau memang sudah pada waktunya, dia bakal memberi tahu
Dewo. Tinggal kamu siapin aja mentalmu setelah Dewo tahu. Siapa tahu dia
malah bersyukur.”
“Main kartu lagi, cuma ditambah Dewo. Dana sih seneng, kecuali liat Dewo telanjang. Najis tralala…”
“Mama yakin bu Dewi juga bakalan kembali seperti dulu. Kayak mamamu ini.”
“Maksud bu Dewi tentang ganti pasangan tuh apaan sih mah?”
“Ya beberapa pasangan bersetubuh bersama, kadang saling berbagi pasangan. Namanya swinger.”
“Emang di sekitaran kita ada mah?”
“Iya dong. Kami kadang melakukannya. Anggap saja hiburan orang dewasa.”
“Trus kira – kira ke depan bakal ngelakuin kayak gitu lagi gak?”
“Mama
ragu. Kita gak semuda kayak dulu lagi. Sekarang udah pada sibuk sama
keluarga masing – masing. Mama kira kamu hanya akan melihat hal kayak
semalam aja, serta yang kita sering lakuin.”
“Kalau bu Yanti gimana mah?”
“Haha… Kamu gak puas ya cuma liat dua wanita…”
“Gaya
hidup dia udah bikin dia bahagia. Mama ragu dia mau ngikuti mama sama
Dewi. Dewi sama Jefri mungkin saja bisa diajak tukar pasangan. Kalau
sampai terjadi, emang kamu mau?”
“Apa? Dana sama bu Dewi? Entahlah
mah, bisa – bisa Dana dimutilasi Dewo. Tapi tak mungkin, ku tak
berdaya, hanya mampu menunggu jawabnya.”
“Mari berandai – andai. Kita anggap tiada yang namanya Dewo. Setau mama, Dewi bahkan kemungkinan besar gak keberatan.”
“Entahlah
mah, aneh juga kalau Dana pikir. Terlalu ganjil. Bu Dewi memang masih
menarik, tapi rasanya pasti aneh. Mungkin juga mama bakalan marah, iya
kan?”
“Pertanyaan yang bagus. Yang pasti mama gakkan cemburu. Mama
masih menunggu seseorang yang tepat untuk mengisi hidup mama. Mumpung
kamu masih perjaka, sebaiknya wanita yang bakal jadi istrimulah yang
jadi yang pertama dan satu –satunya bagimu. Biar lebih intim. Itulah
alasannya mama sama ayahmu tak pernah berbagi pasangan. Meski ayahmu
bukanlah yang pertama, tapi dialah satu – satunya lelaki mama. Tapi
kalau kamu memang mau sama bu Dewi, mama takkan melarang kamu. Bukan
juga berarti mama menyuruh kamu. Mesti kamu ingat, dia itu masih punya
suami juga ibu dari temenmu. Meski kamu pikirkan Dewo jika kamu ingin
pertemanan abadi.”
“Itulah yang bikin Dana bingung.”
“Mama bangga sama kamu nak. Apa yang telah kita lalui kamu lakukan tanpa melanggar aturan awal kita.”
Tangan
Diana kini bergerak membuat anaknya kini berada dalam pelukannya. Namun
setelah beberapa saat, anaknya berontak hingga pelukan itu pun lepas.
Diana menatapnya.
“Dana juga normal mah. Dana gak bisa lama – lama bersentuhan sama susu kembar mama tanpa didinginkan dulu. Mandi misalnya.”
Dana
tertawa mendengar penjelasan anaknya lalu menatap payudaranya sendiri.
Meski tidak besar, namun terlihat pas proporsional. Sambil melihat
putingnya, Diana melirik benjolan di celana anaknya yang baru saja
disadarinya kini muncul.
“Nih special buat kamu lihat,’
kata Diana sambil mengangkat susu dengan tangannya lalu mengarahkannya
ke anaknya. “Emang kamu rela berbagi pemandangan ini ntar?”
“Udah ah. Mending maen lagi yuk.”
Keduanya bangkit lalu mengambil remot wii masing – masing. Keduanya kembali bermain voli sambil jingkrak – jingkrak.
Namun
Dana terus kehilangan point karena matanya tak bisa berkonsentrasi.
Mata muda itu terpecah perhatiannya antara boli voli di monitor dengan
bola daging di dada mamanya yang berkilauan karena penuh peluh
bercucuran. Diana tahu anaknya sedang memperhatikannya. Namun, bukannya
risih, Diana malah sengaja bergerak kian kemari supaya susunya ikut
bergerak – gerak.
Pertandingan menjelang detik – detik
terakhir. Saat Dana akan melakukan upaya terakhir, tiba – tiba mamanya
memanggil membuat Dana menoleh. Saat Dana menoleh, terlihat mamanya
sedang nungging dimana celana dalamnya melorot sebatas lutut sehingga
nampaklah pantat mamanya yang basah oleh keringat itu bergerak – gerak
ke kiri kanan sambil bergoyang. Disuguhi pemandangan seperti itu maka
buyarlah sudah konstentrasi Dana.
“Yes, mama menang lagi,” teriak Diana kegirangan sambil menggoyangkan pantatnya.
“Mama
doyan bener nampilin asset mama. Bikin Dana mesti kerja keras nih di
kamar,” kata Dana sambil melangkah meninggalkan mamanya.
“Tunggu nak.”
Dana menghentikan langkah lalu berbalik menatap mamanya.
“Mama
paham betapa kerasnya,” kata Diana sambil menatap gundukan yang tiba –
tiba muncul di celana anaknya, “kamu mencoba menahan diri. Mama tahu
kamu gak mau melewati batas perjanjian ini, baik itu perjanjian lama
maupun perjanjian baru, apalagi melewati batas cakrawala. Tapi mama
justru bangga dengan sikapmu yang tak kenal kompromi, keras hati dan
setegar besi.”
Diana menghentikan dulu ocehannya sebentar, nampak berhati – hati sebelum memulai lagi.
“Maka,
atas dasar keteguhanmu itu membuat mama ingin memberi hadiah. Suatu
hadiah yang secara teknis tidak melanggar atau bahkan menembus batas –
batas yang telah kita sepakati bersama. Kalau kamu mau, kamu boleh
mengolah ragakan tanganmu di sini sambil melihat mama yang mencoba
memberi inspirasi.”
Setelah berkata – kata, Diana lalu
membalikan badan hingga membelakangi anaknya. Setelah itu tangannya
mengelus – elus pantat dan sesekali meremasnya.
Mata Dana membesar dan tangannya reflek mengelus selangkangannya yang masih terbungkus celana.
“Udah
gak usah malu, lepas aja tuh celananya. Kayak mama gak pernah lihat
aja,” kata Diana sambil terus meremas pantat. Namun kini tangan kanan
Diana mulai bergerak ke arah susunya dan terus bermain di situ sementara
tangan kirinya tetap di pantatnya.
Dana menggeleng sambil melepas celananya hingga nampaklah teman kecil mamanya itu.
Diana
menatap kontol anaknya lalu berlutut di depannya. Dana terlihat sekali
ingin menyentuh tubuh mamanya namun berusaha semaksimal mungkin untuk
tidak melakukannya.
“Dasar kamu nakal. Sekarang hadiah
yang tadi mama janjikan. Ingat gak kesepakatan kita. Kamu sama sekali
gak boleh menyentuh. Tapi gak ada poin yang melarang mama. Jadi dengan
kata lain, kamu gak boleh menyentuh sedang mama boleh. Paham?”
“Enggak mah, Dana gak paham. Tapi terserah mama dah.”
“Dasar kamu kalau udah nafsu otaknya mendadak buntu. Nih liat, tangan mama gak menyentuh kamu.”
Diana
lalu memengan susu kanan dengan tangan kanannya. Serta susu kiri dengan
tangan kirinya. Lalu belahan susunya itu dimajukan hingga kini menempel
ke kontol anaknya. Tak hanya itu, kini ditekannya susu itu hingga
kontol anaknya berada di antara susunya. Setelah berada di antara susu
itu, tangan Diana bergerak – gerak seolah menekan membuat kontol itu
seperti diremas – remas oleh susunya.
Gosokan serta
remasan susu mama pada kontolnya membuat Dana serasa melayang. Meski
Dana sadari dia tak pernah melayang. Ingin tangan Dana mengelus dan
meremas rambut mamanya, namun Dana tak ingin menembus batas. Alhasil,
tangan itu kini meremas rambutnya sendiri menahan kenikmatan tak
tertahankan yang dihadiahkan mama kepadanya.
Diana
terlihat bersemangat saat memainkan kontol anaknya dengan susunya. Suara
anaknya makin tak jelas namun nalurinya sebagai seorang ibu membuat
Diana paham bahwa anaknya akan segera orgasme. Begitu muda, begitu penuh
semangat, batin Diana. Diana merasakan kontol anaknya mengejang, lalu
sekejap kemudian menyemburlah lahar panas dari kontol anaknya yang
langsung mendarat di rambut serta pipinya. Namun di saat – saat akhir
lahar itu mengalir pelan dari kontol hingga membasahi susunya.
Diana
mundur sedikit hingga lepaslah kontol anaknya dari susunya. Diana
menyentuh peju anaknya lalu meratakannya hingga seluruh susunya
terolesi. Diana agak lama mengusap – usap putingnya. Diana lalu menyeka
peju yang ada di pipi dan rambutnya dengan jemari. Setelah jemari itu
dipenuhi peju, jemari itu lantas dijilatinya hingga bersih.
“Mama suka banget ya peju Dana?”
Diana
menatap kontol anaknya yang masih bergetar. Diana lalu kembali
membungkuk mendekatkan kepalanya ke kontol anaknya. Diana lalu menjilat
kontol anaknya sebentar lalu menatap anaknya.
“Yah, kamu orang ketiga yang pernah mama cicipi rasanya tapi, mama ya suka aja.”
Kontol Dana tekejut hingga kembali tegang dibuatnya setelah mendapat kejutan jilatan meski hanya sekejut saja.
Akhirnya
Diana menyenderkan tubuh ke sofa sambil melihat kontol anaknya yang
kembali tegang dan berkedut – kedut. Diana lalu memberi ciuman lembut di
bibir anaknya. Setelah itu Diana bangkit menuju kamarnya.
“Udah ah mama mau mandi dulu. Ntar mau ngumpul sama temen mama. Kalau kamu belum puas, lanjutin aja sendiri.”
Mamanya pun hilang dari pandangan. Kini pandangan itu beralih ke kontolnya sendiri. Dana langsung duduk di sofa.
Hm… Meski hanya berdua dengan mama, namun sepertinya takkan sampai bosan hidup.
***
“Gimana penampilan mama?” kata Diana sambil berdiri di pintu kamar anaknya.
“Tergantung.
Kalau mama ingin menggaet lelaki, pasti banyak yang tertarik sama
penampilan mama. Tapi kalau mau ngumpul sama temen, mungkin ya biasa
aja.”
“Tapi kan mama hanya pake blus dan jin,” kata Diana sambil melihat tubuhnya yang berbalut blus dan celana jin.
“Kalau pake jaket tambah cantik deh.”
“Dasar kamu. Eh, lagi liat apa tuh?”
Dana menggeser tubuhnya sehingga mamanya bisa melihat dirinya sendiri di monitor sedang masturbasi.
“Kok kamu gak bosen sih nonton gituan terus?”
“Bosan? Liat mama kayak gini? Tentu tidak.”
“Ntar malam kamu mau ngapain?” Diana berjalan dan duduk di kasur.
“Munkin maen sama temen mah, kan mama juga mau ngumpul sama temen mama. Makan mungkin, kan Dana gak bisa masak. ”
“Kayaknya
kamu mesti nikah sama yang pintar masak dan suka beres – beres.” Diana
diam saat menatap adegan kursinya penuh dengan baby oil di monitor.
“Bahkan gak keberatan sering beres – beres.”
“Lho, itu kan ulah mama, bukan Dana.”
“Ya selama kamu mau bantu beres – beres, mama gak keberatan bikin ulah lagi.”
“Besok Dana gak ada acara mah.”
Diana tertawa mendengarnya.
“Ya udah. Selamat bersenang – senang mah,” kata Dana sambil menepuk pantat mamanya.
#####
Beberapa saat kemudian, Dana sedang berada di jalan, di luar sebuat restoran. “Cari yang lain aja yuk!”
“Yang lain gimana? DI sini enak makanannya.”
“Lagian, pelayannya bening – bening di sini.”
Akhirnya
mereka memutuskan duduk di sudut. Pelayan datang membawa menu. Ternyata
yang melayani merupakan pelayan yang dulu melayani Dana dan mamanya.
“Tuan celana. Pacarnya mana?” kata pelayan kepada Dana.
Dana menatap pelayan itu, melotot sambil menggeleng.
“Eh, maaf. Saya kira teman saya.” Rupanya pelayan itu paham arti tatapan Dana. “Mau pesan apa?”
“Mau pesan no hp anda boleh?” kata Cipto bersemangat.
“Tidak
boleh, maaf. Silakan dipilih, menunya ada di daftar, bukan di dada
saya.” Kata pelayan sambil menatap Cipto. Setelah itu pelayan itu pergi.
“Pantes lu gak pernah punya pacar,” kata Dewo pada Cipto.
“Lu bikin masalah aja. Ntar gw ngomong dulu sama dia minta maaf.” Kata Dana sambil berdiri, lalu pergi.
Agak jauh dari mejanya, Dana mendapati pelayan itu dekat dapur.
“Makasih tadi udah bilang gitu.”
“Jadi, yang dulu binor ya? Bahaya…”
“Binor, apaan tuh?”
“Bini orang.”
“Oh, enggak dong. Dia janda.”
“Oh, kamu punya pacar, jadi kamu gak mau temenmu kasih tau ini ke pacarmu ya.”
“Gak juga. Saya masih lajang kok.”
“Trus, wanita yang kemarin?”
“Dia itu spesial. Hubungan kami memang rumit. Lagian dia gak mau mereka tahu.” Kata Dana sambil menunjuk ke mejanya.
“Jadi,
biar gak ada kesalah pahaman diantara kita. Kamu punya hubungan dengan
wanita cantik berumur, namun kamu gak mau temanmu tahu. Jujur saya akui
saya terkesan. Biasanya cowok suka koar – koar omong kosong sama
temennya. Tenang saja, saya gak akan buka mulut.
***
Cipto dan Dewo menatap Dana saat kembali.
“Gimana?”
“Gw udah minta maaf. Gw takut dia nambahi sesuatu ke makanan kita kalau gak minta maaf.”
***
Sementara itu, Diana sedang bersenang – senang di sebuah tempat hiburan malam bersama teman – temannya.
“Lu kok keliatan seneng sih, kayak Diana?” Tanya Yanti ke Dewi.
“Ya seneng dong. Kita kumpul lagi kayak dulu.”
“Hanya saja, sekarang kayaknya gakkan ada yang sampai teler,” kata Lisa.
***
“Lu ngerti gak maksudnya celana kata si pelayan?”
“Mungkin dia kira petinju.”
“Gak bakal ada yang percaya lu bisa tinju,” kata Cipto tertawa.
Dewo menunjuk pintu, menatap Dana, “Lu mau gw bawa dia keluar, biar kita tentuin siapa yang lebih jago kelahi?”
“Ntar, kalau dia ngomong aneh lagi ke cewek saat liburan ntar.”
“Bahkan, gw bisa bantuin pegangin dia nanti.”
“Gw masih gak percaya kita bakal liburan bareng. Apalagi sama mamanya Dana. Seksi bro.”
“Kayak mama lu pada jelek aja.”
“Serius, ruginya kita.” Dewo tertawa. “Lagian lu pikir, mamamu bakal bebasin kita gak?”
“Maksudlu?”
“Ya, misalnya cewek, minum. Kan lagi liburan.”
“Kayak bakal dikasih aja.”
“Gw gak tau gimana mama. Tapi kayaknya mama gakkan larang selama kita gak bikin kacau.”
Pelayan
tadi mendekat dan memberi bill. Anak – anak itu mengumpulkan uang, lalu
Dana pergi ke kasir. Dewo dan Cipto keluar. Setelah membayar, pelayan
tadi sedang berdiri diam. Dana menghampiri. Dia melihat tag nama
bertuliskan Sendi di dada pelayan itu.
“Makasih ya atas pelayanannya. Sendi ya.”
Sendi
tersenyum. “Iya, sama – sama.” Sendi lalu menarik bon dari tangan Dana.
Mengambil pulpen dari sakunya dan menuliskan sesuatu di bon itu.
“Jangan sampai temenmu dapat nomor ini. Kalau kapan – kapan bosen main sendirian, hubungi aja nomer ini.”
***
“Dah malem nih. Gw mesti pulang dulu.” Kata Dewi.
“Iya, setuju. Kalian sih enak gak punya laki.” Yanti menimpali.
“Ya udah, sekali lagi aja.” Kata Lisa lalu bangkit.
Rupanya
Lisa memesan minuman lagi. Namun saat minuman siap, dia mengambil
sesuatu dari tasnya dan memasukan ke minuman. Lisa kembali, memberikan
minuman itu ke Dana. Dana langsung menelannya.
“Gw juga mau cabut ah.” Kata Diana.
Lisa panik. Lisa gak menyangkan Diana bakal langsung pulang. “Jangan dulu don Na, temenin gw dulu.”
“Lain kali aja.”
Yanti mulai membenahi pakaiannya, Dewi menatap Lisa yang kebingungan. Sedang Diana sudah mulai melangkah keluar.
“Sialan.”
“Lu kenapa sih?” tatap Dewi ke Lisa.
Lisa
mengabil botol yang sudah setengah isi dari tasnya, lalu menyerahkan ke
Dewi. “Gw udah kasih Diana ini. Biar dia bisa agak relaks. Eh malah
pulang duluan.”
“Lu bener – bener sial ya. Sengaja lu bawa ginian?
Pantes aja lu sendirian terus. Lu bener – bener butuh bantuan. Gw cabut
dulu.”
Dewi ingat, Diana akan pulang. Dewi tahu
kesepakatan mereka. Kini Dewi juga tahu Diana sedang dibawah pengaruh
sesuatu. “Sial. Kacau.” Bisiknya.
***
Dana menutup telepon saat mendengar pintu dibuka.
“Gimana acaramu nak?” kata Diana berseri – seri.
“Dana
dapet cewek mah. Barusan abis telepon – telponan.” Dana berhenti bicara
saat melihat mamanya berjalan sempoyongan. “Mama kenapa nih? Mama mabuk
ya?”
“Enggak. Mama cuma minum tiga sloki. Tapi mama merasa aneh, melayang bagaikan terbang ke awan.”
“Apa mama ditraktir minum pria?” Dana menghampiri mama dan memegangnya.
“Gak ada yang nyamperin mama. Mereka pecundang, gak kayak kamu. Mungkin mama cuma capek. Anter mama ke kamar sayang.”
Diana dibimbing anaknya ke kamar. “Makasih nak.”
Dana
duduk di kasur mengamati mamanya. Diana menatap dan tersenyum. “Kamu
cemas ya? Jangan khawatir, mama gak apa – apa kok.” Kata Diana sambil
berputar.
“Mama bener – bener cantik.”
“Makasih sayang,”
kata Diana sambil melepas pakaiannya. Kini bhnya pun dilepas. “Para
wanita pasti seneng liat kamu.” Diana terus tersenyum hingga telanjang.
Diana
menghampiri anaknya lalu mendorongnya hingga terlentang di kasur.
Diana lalu menaiki tubuh anaknya. Lengan Dana bergetar menahan hasrat
untuk menyentuh mamanya. Diana merasakan getaran tubuh anaknya.
Ibu dan anak itu tak mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.
Dana
melingkarkan tangan untuk memeluk mamanya. Dapat Dana rasakn sisa –
sisa al – qohol di bibir mamanya. Dana berguling sambil tetap mencium
mamanya.
“Dana sangat mencintai mama. Tapi Dana gak bisa gini. Gak sekarang.”
“Gak apa – apa nak. Mama gak teler. Mama ingin ini.” Tangan Diana mengelus tubuh anaknya yang penuh peluh.
Dana
melepas pelukan dan berguling hingga berbaring di samping mamanya.
Tangan Dana memegang pundak mama, lalu turun hingga mengelus – elus susu
mama. Dana mendekatkan mulut lalu mencium mamanya, “sebaiknya kita
bicara mah.”
“Kenapa nak?” kata Diana sambil tetap mengelus – elus tubuh anaknya.
“Apa
yang kita lakukan merupakan sebuat langkah besar mah. Sebaiknya kita
nikmati dulu momen ini. Mama juga dulu gak langsung gini dengan papa
kan?”
Tangan Diana berhenti mengelus, “Tentu tidak. Butuh
waktu lama bagi kami.” Diana tersenyum. “Mama kasih tahu rahasia ini,
sebenarnya papamu bersikeras agar mama menunggu hingga kami menikah.”
Dana melihat mama mulai menangi, “Mama bener – bener rindu papamu nak.”
Dana
merangkul mama hingga kepala mama berada di bahunya. Air mata mama
menghangatakn bahu Dana seiring dengan isak tangisnya. Dana hanya
memeluk mamanya. Saat Dana menggerakan kepala, Dana melihat Dewi sedang
berdiri di ambang pintu menatap mereka.
Dewi melihat
mereka dengan keprihatinan yang mendalam. Namun Dewi memutuksan untuk
tidak berkata “Saya prihatin.” Dewi hanya menggeleng sambil mengacungkan
jempol ke arah Dana. Setelah itu Dewi tersenyum, mundur lalu menutup
pintu kamar.
Sebelum Dewi keluar dari rumah itu, Dewi
menulis catatan untuk Dana. Dia menjelaskan apa yang terjadi serta
merasa bangga akan sikap Dana.
Dana diam di kasur hingga
mama berhenti menangis dan tertidur. Setelah itu Dana bangkit dan keluar
kamar. Namun, hingga Dana ke kamarnya sendiri, Dana tak menemukan
catatan yang dibuat Dewi.
***
Dana terbangung esok paginya. Beberapa saat kemudian, mama datang sambil tersenyum. “Mama baik – baik saja?”
Diana
mendekati Dana. Diana memakai daster pendek sambil memegang kertas.
Tangan satunya membelai rambut anaknya. Diana menatap anaknya yang
khawatir akan dirinya. “Mama gak apa – apa kok. Makasih kamu udah peduli
sama mama.”
Diana memutuskan untuk duduk di kasur anaknya, “kamu baca catatan bu Dewi?”
“Catatan apa? Enggak tuh mah.”
“Sepertinya semalam mama dalam pengaruh sesuatu.”
“Sebaiknya kita segera ke dokter mah.”
“Gak perlu. Dewi udah nanya Lisa. Katanya tanpa efek samping. Tidak seperti efek rumah kaca.
“Kenapa bu Lisa ngelakuin itu mah?”
“Maksudnya biar mama relaks dan bersenang – senang. Mama jadi kecewa dibuatnya.”
“Maafin Dana mah.”
“Kamu hebat nak, gak perlu minta maaf. Kamu benar – benar dewasa, lebih dewasa daripada mama. Mama bangga padamu.”
Dana
melihat daster mamanya. “Tau gak mah. Mama mending pake baju kok. Kita
sebaiknya gak ngelakuini ini. Liat akibatnya ke mama. Apa yang hampir
mama lakuin. Memang menyenangkan, tapi harus kita hentikan sebelum
menembus batas.”
Diana berdiri dan tersenyum ke anaknya.
“Mama senang dengan pikiranmu. Tapi mama pake baju bukan karena itu.
Mama takut Dewi masih di sini.”
Diana melepas daster hingga telanjang, lalu naik ke kasur.
“Mah?”
Diana
tertawa. “Liat ekspresimu. Mama serius kok, mama udah gak dibawah
pengaruh lagi. Lagian ini hampir siang. Kamu aja yang suka malem
bangun.”
“Iya deh. Tapi, mama ngapain sih?”
“Kamu benar –
benar luar biasa, selain papamu. Kamu selametin mama dari kemungkinan
rasa bersalah. Kini mama benar – benar bisa mempercayai kamu. Kita tak
lagi butuh aturan dan kesepakatan. Apa pun yang terjadi, mama yakin kamu
bisa mengatasinya. Apalagi yang kita lakukan ini penuh cinta dan
kepercayaan.”
Diana menatap mata anaknya dalam – dalam.
“Maka dari itu, gak usah lagi ada kesepakatan.” Setelah itu Diana
menindih tubuh anaknya lalu menciumnya.
Dana balas
mencium. Namun kira – kira satu menit kemudian, Dana menghentikan
ciumannya. “Udah dulu mah. Mama jangan marah ya, tapi Dana rasa Dana
belum siap untuk seks mah. Kayaknya terlalu cepet.”
Diana menatap
anaknya sambil tersenyum, “udah mama duga kamu bakal ngomong gitu. Kamu
bener – bener mirip papamu. Bukan berarti kamu mesti jadi penggantinya.
Kamu harus jadi diri sendiri.
Diana merebahkan kepalanya di dada Dana sambil mengusap tubuh anaknya. “Banyak hal yang bisa kita lakukan nak.”
Dana
meletakan kepala di bantal sambil menikmati sensasi berbaringnya mama
ditubuhnya. Dana sangat menikmati elusan tangan mama.
Pelan saja, Diana berbisik, “mama suka elusan tanganmu semalam nak.”
Dana
terkejut, tangannya langsung bergerilya mencari susu mama. Setelah
dapat, dieluslah susu mamanya itu. Sambil mengelus, Dana menggerakan
kepala hingga kembali mencium mamanya. Kali ini lidahnya disambut lidah
mama. Sedang kontolnya dielus tangan mama.
Diana merasakan
anaknya mulai bergetar, maka dia hentikan ciumannya. Diana lalu menatap
anaknya, “ini caranya biar kita gak mesti beres – beres lagi.” Setelah
itu Diana mengangkat kepalanya hingga mendekat ke selangkangan anaknya.
Diana
langsung memasukan kontol ke mulutnya sambil mengelus peler anaknya.
Saat itu juga Diana merasakan semburan peju di mulut yang langsung dia
telan.
Setelah itu, Diana kembali berbaring di tubuh
anaknya. Kepalanya di dada hingga bisa merasakan detak jantung anaknya.
“Jadi, hari ini kamu mau ngapain?”
“Gak tau mah. Tapi Dana udah gak sabar nih.”
Home
Cerita Eksibisionis
Diana
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Diana : Ibu Eksibisionis | Cara Memotivasi Anak VI
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar