Di eskalator panjang menuju keluar stasiun, Aku berdiri hanya beberapa
anak tangga di bawahnya. Aku berharap ada angin nakal yang menerpa
roknya, sedikit hembusan saja sudah mampu memperlihatkan kulit
pantatnya. Rok mininya terlalu ketat untuk diterpa angin, sekaligus
membuatku yakin, tak ada "garis" apapun yang tercetak di sana kecuali
bulatan. Dia benar-benar tak berCD! Sialan benar.
Keluar dari stasiun dia menyusuri Orchard Road, memberiku peluang untuk
menyapa dan berkenalan. Tapi kok rasanya cara kenalan yang kuno banget
ya, Aku jadi ragu. Tepatnya, tak menemukan cara yang "elegan" untuk
berkenalan. Ketika menunggu lampu hijau buat penyeberang, dia sempat
menoleh sekejap. Tapi Aku tak yakin apakah dia melihatku, matanya
tertutup sun-glasses. Ayo Sam! Gunakan akalmu!
Sampai dia menyeberang perempatan, Aku belum menemukan caranya. Ah, toh
pagi ini Aku tak punya waktu, Aku harus ngantor. Masih banyak
kesempatan lain. Itulah, kalau orang tak berhasil mencapai maksudnya,
keluarlah alasan sebagai rasionalisasi kegagalannya. Anak-anak yang
gagal menjangkau benda yang menarik hatinya lalu mengatakan benda itu
jelek. Engga! Dia istimewa, jauh dari jelek.
Aku masih menguntitnya ketika dia menyeberangi taman di ujung Orchard
Road itu dan lalu menuju gedung 8 lantai. Cukuplah buat hari ini. Dia
berkantor di hotel yang di lantai satunya terpampang nama restoran
cepat-saji terkenal itu. Kelihatannya hotel ini semacam youth hostel
kalau menilik namanya. Aku balik ke stasiun menuju kantor.
Di kantor aku coba meng"evaluasi" perilaku Si Paha Mulus itu untuk
menghitung peluangku. Hampir tiap hari ketemu dan Aku selalu
mengamatinya, mustahil kalau dia tak tahu tingkahku ini. Rekanku cewe
pernah bilang, dia tahu benar kalau ada orang mengamati tubuhnya di
kendaraan umum. Aku rada yakin, tadi pagi dia tahu Aku menguntitnya.
Hanya Aku tak yakin, gerakan membuka kakinya (dan memperlihatkan
bulu-bulu kewanitaannya) tadi disengaja atau tidak. Aku akan segera
mendapatkan jawabannya.
***
"Damn!" lagi-lagi umpatku. Kali ini bukan karena paha yang tergoler,
lebih dari itu. Gerakan membuka kaki yang bertahap sedikit demi sedikit
mempertegas ketelanjangan selangkangannya. Lumayan lebat miliknya.
Seperti beberapa hari lalu, "gerakan" inipun dilakukan menjelang Aku
seharusnya turun. Dan lagi-lagi Aku memilih untuk terus menikmati
bulunya ketimbang turun terus ke kantor. Yang berbeda adalah tak ada
earphone di kupingnya. Matanyapun terbuka. Ada lagi yang berbeda.
"Hai!". Cukup pelan suara itu, tapi bagiku seperti suara kanon. Siapa
yang disapa? Akukah? Matanya lurus tajam menatapku. Ada sunggingan
senyum di bibirnya. Tak salah lagi. Dia menyapaku. Tiba-tiba Aku merasa
bersalah telah "tertangkap" basah meneliti bulu-bulu selangkangannya.
"Biasanya turun di Orchard," Kanon itu terus menyerangku sebelum Aku
sempat merespons. Bahasa Inggrisnya logat khas orang sini. Logat
"Singlish", Singapore English, kata orang Inggris. Kalau orang Singapore
bilang: "You can't say like that" misalnya, terdengar dikupingku
sebagai: "Yu can-no' se laik de' laa". Begitulah Singlish.
"Oh, emm..." Nah lo Aku gelagapan.
"Atau mau ikuti saya lagi?" serangnya. Mampus lu Sam. Ketahuan
tingkahmu. Senyum kecil tadi itu melebar menjadi tawa penuh kemenangan.
"Ya. Aku mau ikut kamu ngantor di NNN (nama hotel tempatnya kerja)," balasku.
"Oh yeah, siap-siap turunlah". Memang, kereta ini telah memasuki stasiun Dobyghout.
Di escalator panjang itu kini Aku di anak tangga yang sama, sejajar.
Pake sepatu dengan hak sedang tinggi badannya hampir sama denganku.
Tiba-tiba lidahku kelu, tak keluar sepatah katapun dari mulutku. Bingung
memulainya, boo.
Lepas dari tangga berjalan, Aku merasa lebih santai.
"Kenalkan, Aku Sammy," kataku menjulurkan tangan.
"Jeanny," balasnya sambil menyambut tanganku. Telapak tangan yang halus
banget. Jeanny membuka tasnya dan mengeluarkan kartu nama berlogo hotel
itu. Jeanny, Marketing Manager. Akupun memberikan kartuku.
"Saya pikir kamu harus ngantor kan? Telepon saya jam istirahat ya," katanya.
"Okay."
***
"Sorry, terlambat," katanya sambil menyeret kursi dan duduk. Sepersekian
detik waktu dia membungkuk sebelum duduk, Aku sempat menangkap bulatan
buah dadanya melalui leher blusnya yang super rendah. Aku menelan
ludah.
"Gak pa-pa, cuman 5 menit." Dalam telepon tadi kami janjian makan siang
bersama di food center yang terletak di basement Wisma Atria, Orhard
Road. Tempat ini kami pilih melalui kompromi dengan pertimbangan
letaknya kira-kira di tengah antara kantorku dan kantor Jeanny, juga
pilihan makanannya beragam. Obrolan sambil makan siang diisi dengan
saling membuka diri masing-masing. Aku ceritakan terus terang tentang
diriku yang jauh dari keluarga. Tapi masih menyembunyikan niatku
mendekati dia. Lihat-lihat dulu perkembangannya.
Jeanny tinggal sendiri di apartement di Jurong juga, 2 stasiun lebih
jauh dari tempatku. Tiga tahun sebagai marketing manager di hotel itu
dia rasakan mulai membosankan dan berniat pindah kerja. Kini sedang
lihat-lihat lowongan kerja. Aku rasa cukuplah informasi yang kuperoleh
tentang dia untuk pertemuan pertama ini.
Kini Aku pulang kerja tak sendiri lagi. Jeanny duduk di sebelahku. Duduk
merapat (kereta memang selalu penuh) dengannya merupakan kesenangan
tersendiri. Aku bisa menghirup aroma wangi tubuhnya. Kulit langsatnya
memang benar-benar halus. Tak ada reaksi penolakan ketika tanganku
"mampir" di pahanya. Bahkan dia berani menyandarkan kepalanya ke bahuku
sambil tiduran. Kesempatan yang amat bagus untuk menikmati bulatan
dadanya. Sayangnya dia tak selalu bisa makan siang di luar.
"Kita makan siang bersama lagi?" ajakku lewat telepon.
"Oh, sorry, hari ini Aku harus makan siang di sini sekalian meeting. Gimana kalo pulang kantor saja?"
"Okey, ketemu di Orchard?"
"Yup"
***
"Kamu udah lapar?" tanyanya begitu ketemu.
"Belum," jawabku jujur.
"Good. Kita tunda makan malam, jalan-jalan aja," katanya sambil
menggamitku menuju taxi-stand. Gila, dia main tarik saja tanpa menunggu
persetujuanku.
"Kemana kita?" tanyaku setelah kami duduk di taksi. Jeanny menyebutkan
tujuan ke sopir taksi menggunakan bahasa Mandarin, jelas saja Aku tak
paham percakapan singkatnya dengan sopir.
"Nanti kamu akan tahu."
Busyet, tadi dia membawaku tanpa kesepakatan, sekarang tujuannya pun Aku
belum boleh tahu. Jeanny begitu percaya diri bahwa orang akan
menurutinya. Rada kurang "sopan" sebenarnya untuk seseorang yang baru
dikenalnya. Tapi Aku tak mempedulikannya. Apalagi duduknya juga "kurang
sopan". Dengan menyandarkan tubuh sepenuhnya ke sandaran, hampir
seluruh pahanya terbuka. Dan, entah disengaja atau tidak, kancing
blousnya yang paling atas terbuka. Tentu saja belahan dan sebagian
bukit kembarnya juga terbuka. Aku langsung mengkhayal yang
"engga-engga". Mungkin Aku dibawanya ke suatu tempat yang
memungkinkanku menyalurkan segala yang tertahan sejak beberapa hari
lalu.
Taksi terus melaju menyusuri jalan-jalan besar dan kecil, menembus
kemacetan. Aku belum hafal jalan-jalan di business district ini,
sehingga ketika taksi berhenti di pinggir jalan agak kecil dan tak
begitu ramai, Aku gagal mengidentifikasi daerah mana ini. Yang jelas,
kami berdua memasuki pintu diskotik NNN. Lamunan nakalku buyar. Jeanny
lebih sigap menyodorkan uang di ticket box.
"Ini ideku, jadi Aku yang bayar. Nanti kamu bayar makan malam aja," jelasnya.
"Okay, what ever you say laa," kataku meniru dialeknya. Jeanny ketawa lebar. Gembira benar dia sore ini.
Walaupun masih sore diskotik itu lumayan banyak pengunjungnya.
Kebanyakan orang kantoran. Musik hingar bingar mengiringi beberapa
pasangan yang turun di tengah ruangan. Jeanny memilih meja agak di
tengah dengan lampu yang lumayan terang, dekat lantai dansa. Pilihanku
sebenarnya di meja pinggir yang cahayanya temaram. Apa boleh buat,
Jeanny telah menyeretku ke meja tengah yang terang itu lalu pesan
minuman.
Jeanny membuka blazernya dan digantung di sandaran kursi. Gila! Blazer
tak berlengan itu mencuatkan pinggiran buah yang langsat padat. Leher
blouse tipis yang rendah dan kancing yang dilepas satu menyuguhkan
"cetakan" buah kembar yang bulat.
"Ayo turun," ajaknya. Aku nurut saja. Musik yang terdengar bertempo
cepat, Jeanny langsung larut dengan iramanya. Aku mulai menggoyang tubuh
mengikuti irama musik, gaya "standar", tapi... Jeanny, lagi lagi Aku
harus menyebut gila. Tak ada bagian tubuhnya yang tak bergoyang. Kedua
susunya berguncang ke mana-mana, pinggulnya berputar hebat. Pahanya yang
makin terbuka berloncatan bergantian.
Gaya menari yang gila, bentuk tubuh yang serba menonjol, dan pakaian
yang minim atas bawah membuat Jeanny segera saja jadi pusat perhatian
pengunjung. Suitan nakal dan tepuk tangan sering terdengar dari
pengunjung. Bahkan cowo-cowo yang sedang asyik menaripun "melupakan"
pasangannya untuk menatapi goyangan tubuh Jeanny. Aku yakin Jeanny sadar
bahwa dia menjadi pusat perhatian. Dia malah meningkatkan gaya
tariannya dengan menggoyang-goyang susunya. Nampaknya dia amat menikmati
kondisi ini. Keringat yang mulai membasahi tubuhnya makin membuatnya
"bersinar".
Sekitar 2-3 lagu disko panjang telah terlewati, badanku mulai pegal-pegal sebenarnya, padahal hanya goyangan biasa.
"Kita istirahat dulu," teriakku mecoba meningkahi bunyi musik.
"What?" teriak Jeanny. Kuulangi teriakanku, lebih keras.
"Okay, okay," kami menuju ke meja. Tepuk tangan panjang pengunjung menggema.
Jeanny minum birnya sambil terengah. Tubuhnya basah. Blouse tipis yang
basah itu menempel ke tubuhnya makin mempertegas "cetakan" bulatan
kembar dadanya yang turun-naik. Pemandangan indah yang membuatku tegang
di bawah dan tambah ngos-ngosan.
"Gimana tarianku," tanyanya.
"Gila!". Jeanny ngakak.
"Tapi orang-orang pada senang."
"Benar. Dan kamu menikmatinya."
"Memang," ngakak lagi dia.
Hanya beberapa saat duduk ketika irama musik berubah lembut, Jeanny
menarik tanganku lagi. Inilah yang kutunggu. Kami bergabung di antara
pasangan-pasangan yang berpelukan bergoyang pelan.
Kedua tangan Jeanny menggantung di leherku. Pinggangnya kuraih lebih
mendekat lalu menempel erat. Tak peduli penisku yang menegang ini
menempel ketat di perut bawahnya. Aku yakin dia bisa merasakannya.
Bulatan padat yang menekan dadaku menambah keteganganku. Tiba-tiba
Jeanny mempererat tekanan pinggulnya di selangkanganku dan... dengan
nakalnya dia memutar pinggul. Letak penisku yang tegang ke atas serasa
digilas-gilas. Ampun, dia malah ketawa, matanya menatapku. Aku mengambil
aksi, kucium bibirnya dan kulumat. Jeanny membalas lumatanku. Kami
"bersilat lidah" beberapa saat sampai akhirnya Aku malu sendiri karena
tingkah kami dipelototi pedansa lain. Aku melepas.
"Kenapa?" tanyanya.
"Engga enak ah, dilihatin orang."
"Gak apa-apa, acuh aja." Kami berlumatan lagi sampai dia melepas karena kehabisan nafas. Aku makin tinggi.
"Kamu terrangsang ya?" Lagi-lagi pinggulnya "menguyek" penisku. Aku meremas pantatnya. Kali ini dia memakai celdam.
"Sorry ya, membuatmu begini," katanya kemudian.
"Tak apa, Aku senang kok. Tapi kamu harus bertanggung jawab." Aku nekat, mulai menyerang.
"What do you mean..." nanyanya tak serius, sambil senyum sih.
"Aku ingin ada kelanjutannya."
"Ha... ha... ha..." Sialan, cuma ketawa dia.
"Aku serius, menginginkanmu."
"Lihat-lihat keadaan dulu ya."
"Apa maksudmu?"
Lagi-lagi dia hanya ketawa.
Benar-benar tak ada capeknya dia. Ketika musik berganti keras lagi
Jeanny langsung menghambur ke tengah meninggalkanku sendirian di meja,
menggoyang tubuh seksinya dengan lebih sensual. Lagi-lagi dia menjadi
tontonan orang, dan tampaknya dia menikmati sorotan puluhan mata ke
tubuhnya.
***
Kami meninggalkan diskotik jam 9, masih sore sebenarnya untuk ukuran
hiburan malam. Tapi Aku masih banyak acara (yang kurencanakan) bersama
Jeanny. Aku mengharapkan selesai makan malam nanti Aku bisa menyalurkan
"kebutuhan dasar"-ku yang telah seminggu tertahan, dengan menyetubuhi
tubuh seksi Jeanny. Dia tadi, setidaknya menurut penilaianku, telah
memberikan sinyal lampu hijau.
Taksi yang kami tumpangi berhenti di pinggir Orhcard Road.
"Makan di mana kita?"
"Ummm, kamu benar-benar udah lapar?"
"Belum begitu lapar." Rangsangannya di diskotik tadi menghilangkan nafsu makanku.
"'Kay, kalau begitu, Aku masih ada yang harus kuselesaikan di kantor.
Aku duluan, nanti susul Aku 5 menit kemudian," katanya sambil memberikan
sesuatu ke tanganku. Sebuah kunci kamar, di gantungannya tertulis
nomor kamar dan logo hotel tempat kerjanya. Aku bersorak!
"Okay, terima kasih."
Mungkin inilah gerak jarum jam yang paling lambat di dunia. Bagiku lima
menit serasa 5 jam. Dengan menenangkan diri Aku masuk pintu utama hotel
itu. Aroma makanan dari restoran fast food di lantai satu tak sanggup
menggodaku untuk makan, padahal perutku belum terisi makanan sejak 7
jam lalu. Aku langsung menuju lift.
Kamar yang tak begitu luas, tapi bersih. Seperti kamar hotel standar
lainnya ada 2 tempat tidur single, meja kerja, dan satu set sofa kecil.
Jendela kaca lebar ke arah taman di depan hotel. Koden dan viltrage-nya
terikat rapi di kedua pinggiran jendela. Di kejauhan tampak
gedung-gedung jangkung yang bersiram cahaya lampu. Di kamar mandi tak
ada bath tube, hanya douce yang dilengkapi pemanas air. Semuanya bersih
dan rapi. Yang membedakan dari kamar hotel lainnya adalah, di meja rias
ada seperangkat alat make-up wanita dan ada satu set mini compo music
equipment. Sekarang Aku mau ngapain? Lagi-lagi menunggu. Tegang. Dering
telepon mengagetkanku.
"Oh, kamu udah sampai. Sorry ya membuatmu menunggu. Bentar lagi kerjaanku selesai."
"Aku tunggu. Jangan lama-lama ya!"
"Lapar ya?"
"Iya. Tapi bukan lapar secara fisik."
"Ha..ha...ha... pesan makanan aja."
"Engga mau."
"Okay deh, bye." Telepon ditutup.
Tadinya Aku hanya bermaksud cuci muka saja, tapi air hangat dari pemanas
air begitu nyaman. Aku mencopoti pakaianku. Singletku basah keringat.
"Sabar ya," kataku kepada penisku yang masih menyisakan ketegangan.
Celdamku juga basah, plus noda-noda "cairan pendahuluan". Di tengah Aku
mandi, kudengar pintu terbuka, lalu tertutup lagi, dan suara langkah
kaki. Mungkin Jeanny yang masuk. Aku cepat-cepat menyelesaikan mandiku
dan dengan hanya berbalut handuk di pinggang Aku keluar. Benar, Jeanny
tampil segar, bersih dari keringat. Masih mengenakan blazer yang tadi,
dan terkancing rapi.
"Hai, sorry ya kelamaan." Aku tak menjawab, langsung memeluknya, erat.
Jeanny membalas pelukanku, tapi hanya sebentar terus melepaskan diri.
Kurasakan ada yang berbeda tadi. Gumpalan daging kembarnya langsung
menekan dada telanjangku. Jeanny tak memakai bra.
"Sebentar ya," katanya sambil menghidupkan mini compo. Terdengar musik
keras, musik disco dari CD (bukan celdam, lho). Lalu tubuhnya mulai
bergoyang. Huh, tak puasnya dia menari-nari. Aku hanya berdiri diam
menontoninya. Tonjolan penisku menekan handuk, seperti anak yang baru
disunat memakai sarung dengan ganjalan. Jeanny terus bergoyang mengikuti
irama musik. Matanya menatapku, bibirnya tersungging senyum. Lalu
sebelah tangannya ke dada melepas kancing blazernya yang paling atas.
Baru kusadari dia tak mengenakan blouse lagi. Belahan dadanya segera
nampak. Masih sambil menari tangannya mencopot kancing kedua. Pinggir
kiri kanan bulatan dadanya terbuka. Okay, Aku nikmati dia memperagakan
tarian strip tease sambil tegang. Gumpalan daging yang
berguncang-guncang itu benar-benar bulat. Lalu kancing ketiga yang
merupakan kancing terakhir. Puting dadanya sebentar nongol sebentar
ngumpet. Dan... blazer itu benar-benar terlepas. Tiba-tiba dilemparnya
blazer itu ke arahku. Aku tak sempat menangkap, blazer itu jatuh ke
lantai. Kini tubuh Jeanny dari pinggang ke atas telanjang. Padahal
jendela kaca terbuka lebar dan lampu kamar menyala terang. Buah dadanya
benar-benar menggiurkan. Aku tak tahan lagi. membuang handuk lalu
menubruknya. Jeanny tak berhenti menari. Berkali-kali mulutku
tergelincir dalam usaha menangkap bulatan daging susunya. Di luar
dugaanku, Jeanny menolak tubuhku.
"Tetap di tempatmu, ya. Nonton aja."
"Engga!" protesku.
"Nanti tiba giliranmu, OK?" Sekilas dia melirik senjataku, senyum.
Baiklah, lagi-lagi Aku nurut, walaupun dengan rasa heran. Putingnya
sudah menegang, tanda dia juga telah terangsang, tapi menolakku. Dengan
telanjang bulat Aku menonton pertunjukannya. Masih tetap menari, kedua
tangannya ke belakang, sepertinya sedang melepas rits roknya. Wow!
Posisi tubuh yang begini mengakibatkan dadanya makin menonjol. Gilaaaa,
Aku tak tahaaaan!
Rok itu mulai turun, bulu-bulu kelaminnya mulai tampak. Turun lagi,
jelaslah, seluruh permukaan kewanitaannya memang ditumbuhi bulu, tapi
tipis, pendek, dan merata. Jeanny melangkahi roknya yang sudah
tergeletak di lantai. Tubuh telanjang yang nyaris sempurna. Hampir tak
ada guratan atau "flek". Gerakannya berubah menjadi erotis. Kakinya
kadang membuka lebar seolah menunjukkan bahwa dia memiliki lubang dan
clit. Kadang memperagakan gerakan-gerakan senggama gaya doggie. Jeanny
sama sekali tak terganggu, kemungkinan ada orang lain yang menonton
tubuh telanjangnya dari jendela gedung seberang. Lalu Jeanny
mendekatiku. Inilah saatnya, pikirku.
Sambil masih bergoyang Jeanny mendekat sampai ujung penisku menyentuh
bawah perutnya, lalu digeser-geserkan. Lalu menjauh lagi. Huaaaa.....!
Gerakan tadi diulang lagi. Tubuhnya merendah, bangkit lagi, merendah
lagi sehingga kepala penisku menyapu-nyapu dari rambut kemaluannya ke
dada.
Aku sungguh tak mengerti. Setiap Aku mencoba merengkuh tubuhnya, Jeanny
menghindar. Ketika Aku pasif, kembali dia menggeser-geserkan ujung
penisku ke tubuhnya. Sesekali Aku berhasil menangkap tubuhnya dan
memeluknya erat. Jeanny membuat gerakan memutar pinggul menguyek penisku
seperti tadi waktu kami berdansa. Tapi ketika Aku menikmati sensasi
ini sambil merem dan pelukanku mengendor, Jeanny cepat-cepat melepaskan
diri.
Tak ada jalan lain. Aku harus memaksa, kalau perlu memperkosa. demikian
terlintas di pikiranku. Pikiran seorang lelaki lapar, yang tak mungkin
menunda lagi, sementara makanan sudah siap terhidang di depan hidung.
Pada suatu saat dia lengah, Aku menangkap tubuhnya, memeluk erat sambil
bertahap menggeser ke tempat tidur. Jeanny bertahan, balas mendorong
memepet tubuhku sampai punggungku menyandar di dinding.
"Sabar ya sayang." Mana bisa sabar.
Tubuhnya merendah. dielusnya batang penisku. Mataku terpejam menikmati
elusannya. Pada saat posisinya berlutut, kusodorkan penisku ke mulutnya.
Jeanny menggeleng lembut. Tangannya makin intensif mengelusi
kelaminku, hanya sebelah tangan, sedangkan tangannya yang lain
menjangkau sesuatu di meja rias. Jeanny melumuri telapak tangannya
dengan cairan body lotion, lalu mengocok batang penisku. Caranya
mengocok sungguh merangsang. Tubuhnya sambil menggeliat-geliat dan
mulutnya mengeluarkan erangan. Sesekali penisku ditempelkan ke dadanya
lalu telapak tangannya "menggiling". Tanpa sadar Aku mulai ikut
mengerang. Pembaca, kondisiku yang sudah demikian tinggi, stimulasi
pada kelaminku demikian intensif, telah seminggu tak ejakulasi,
akhirnya aku tak mampu menahan diri, jebol juga. Aku mencapai puncak.
Cepat-cepat Jeanny memeluk pinggulku, Aku meledak di dadanya, Kuat
sekali Jeanny mencekram pinggulku. Aku berdenyut-denyut di dadanya.
Banyak sekali aku menumpahkan cairan mani di dada Jeanny. Maklum, telah
"menabung" seminggu. Pelukannya mulai mengendor setelah dirasakannya
Aku tak berdenyut lagi. Jeanny melepas. Di"periksa"nya cairan putih
yang menumpahi buahnya. Lalu, tanpa kuduga, dengan telapak tangan dia
meratakan cairan itu ke kedua buah dadanya.
"Bisa menghaluskan kulit," katanya ketika dia melihatku bengong atas
tingkahnya. Aku membantunya. Baru kali ini telapak tanganku tanpa
gangguan meremasi payudaranya. Kenyal.
***
Aku mencoba me-refresh ingatanku tentang perilaku Jeanny sejak pertama
kali melihatnya. Naik kereta selalu pamer paha dan bagian dada, beberapa
kali Aku menangkapnya tak berceldam dan menunjukkannya kepadaku,
menari erotis di tempat umum dan menikmati jadi tontonan, dan terakhir
bertelanjang bulat menari di depan hidungku dengan membiarkan jendela
kamar terbuka lebar. Aku yang mulai menduga sejak beberapa hari lalu
semakin merasa yakin, bahwa Jeanny memang EXB, alias (sexual)
exhibitionist, orang yang suka memamerkan tubuhnya di depan umum.
Selain itu, Jeanny begitu mandiri dan independent, hidup dan tinggal
sendiri, punya pekerjaan dengan posisi bagus. Mandiri mungkin menjadi
ciri umum cewe Singaporean. Beberapa cewe teman kantorku juga begitu.
Ada satu lagi sifatnya yang menonjol (selain dadanya he..he..) dia
otoritatif, maunya orang menuruti kehendaknya.
Begitulah sosok seorang perempuan yang bernama Jeanny, yang baru kukenal tapi seolah sudah begitu dekat.
"Mikirin apa," tanyanya mengejutkanku. Kami berdua masih telanjang. Aku terlentang Jeanny tiduran di dadaku.
"Ah, engga. Cuma capek, dan lapar."
"Wah iya, kamu belum makan ya?" Jeanny bangkit, dadanya berguncang indah.
"Yuk, kita makan dulu," ajaknya sambil memungut blazernya dan dipakai.
Lalu roknya. Hanya kedua potong pakaian itu saja yang dikenakannya.
Dengan agak malas Aku bangkit berpakaian. Aku sebenarnya mengharapkan
tinggal lebih lama di sini sehingga bisa menyetubuhinya.
"Belum waktunya," jawabnya ketika Aku mengutarakan niatku.
"Kapan?"
"Tunggu saja setelah Aku siap."
"Kapan siapnya?" kejarku.
"Sudahlah, sudah larut nih, kita makan trus pulang."
Akhirnya kami cuma makan fast food di lantai 1 hotel ini.
"Kuantar sampai apartmentmu," usulku ketika kereta hampir sampai di stasiun tujuanku.
"Tak usahlah."
"Aku ingin mengantarmu."
"Belum waktunya, honey."
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar