Dana memasuki dapur. Dana melihat mamanya sedang mencuci piring
dengan telanjang. Dana merasakan tubuhnya seperti dijalari perasaan
hangat. Sudah sering Dana melihat mama telanjang, tapi kali ini beda.
Dana melihat mama dengan peraasaan yang lain. Dengan penuh cinta.
Dana
kemudian berpikir tentang pelayan dan malam penuh percakapan telepon.
Dana benar – benar ingin mengenal Sendi lebih jauh lagi. Tapi kenyataan
ini tak menghilangkan perasaan cinta kepada mamanya. Dana memang cinta
mama, tapi Sendi, Sendi merupakan hal lain.
Dana mulai membayangkan seandainya Sendi melalukan semua yang mama lakukan. Tapi pertama – tama Dana ingin kenal dahulu.
Dana
kembali memperhatikan mama. Mama bahkan bersenandung. Dana sungguh
beruntung pagi ini, bahkan mama tak minta apa – apa setelah itu. Tapi
Dana merasa berutang nikmat, dan ingin membalasnya. Pelan – pelan Dana
mendekati mama dari belakang, lalu langsung memegang susunya.
“Aw..” Diana terkejut hingga membuat piring yang dipegangnya terjatuh.
Tangan
Dana mengelus susu mama. Jemarinya pun tak lupa memainkan pentilnya.
“Mmm.. Geli nak…” Kata Diana sambil memutar kepalanya lalu mencium leher
anaknya. Dana lalu mengangkat tangan untuk meraih dan mengelus rambut
anaknya.
Lembutnya sentuhan anaknya membuat Diana tak
tahan untuk menggigit kecil leher anaknya sambil mengerang. Diana mulai
menggesekkan pantatnya yang menempel pada kontol anaknya. Akhirnya Diana
melepas tangan anaknya lalu berbalik menghadapnya. Diana menatap mata
anaknya.
“Oh… Sudah sangat lama mama menanti. Kamu udah bikin mama kayak gini.”
Dana menyeringai. “Duduk mah di meja.”
Diana
lalu duduk di meja. Dana berada diantara dua kaki mama yang terjuntai.
Dana meraih kepala mama lalu menciumnya sambil meremas rambut mama.
Tangan Diana pun meremas rambut anaknya. Elusan tangan Dana bermain di
susu mama, lalu beranjak turun ke perutnya. Diana mengerang di sela –
sela ciumannya. Hembusan nafas mama makin terasa saat Dana mulai
menyentuh jembut mama. Dana merasakan kaki mama bergetar saat ia angkat
dan meletakkan di bahunya. Tangan Dana kini berada di tempat yang lembab
dan hangat.
“Oh.. Oh…” Nafas mama mengenai bibir Dana.
Ciumanya makin liar. Tubuh merespon kenikmatan yang ia terima. Tubuh
Diana bergetar saat jari anaknya mencoba memasuki memeknya. Dana
merasakan kaki dan tubuh mama bergerak seirama gerakan jari di memek
mama. Dana menambah satu jari lagi, hingga kini dua jari sedang bermain
di memek mama. Jari – jari itu kini ditekuk ke atas. Dana juga membuka
dan menutup jari – jarinya bergantian mencoba melebarkan memek mama.
“Aaaahhhh,”
teriakan Diana teredam oleh mulut anaknya. Diana mengangkat tubuh
hingga membuat Dana jatuh. Keduanya lalu terduduk di lantai, Diana
gemetar. Kepalanya kini disandarkan di bahu anaknya.
“Dimana kamu belajar itu nak?” Diana mencium bahu anaknya.
“Dari imaji nasi dong mah.”
“Cewek yang nanti kamu ajak tidur pasti gak kan biarin kamu lepas. Makasih nak.” Diana menoleh menatap anaknya.
“Mama
berhak menerimanya kok.” Dana kembali menggerakan tangan membelai
punggung mama. “Gimana rasanya mah setelah bertahun – tahun?”
“Kayak disurga. Mama gak mau pindah lagi.”
Dana memeluk mama erat, “Dana gakkan kemana – mana mah.”
Diana kembali menjilati leher anaknya, “Mama sangat mencintaimu.”
Ibu dan anak itu tetap pada posisi untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu, keduanya tertawa, merasa canggung lalu berdiri.
Telepon
tiba – tiba berbunyi. Diana menyadari mata anaknya menyipit, “Semalam
kamu ngomong sesuatu tentang cewek ya?” Kata Diana sambil melihat
anaknya yang berlari menuju telepon.
Dana lari lalu mengangkat telepon, “Iya bu, mama gak apa – apa kok. Mah, telepon dari bu Dewi.”
Diana
menatap anaknya kecewa, “Jangan kabur dulu. Mama mau dengar ceritamu.”
Lalu mengambil telepon dari anaknya. “Halo… Gw normal kok. Udah gak
ngefek lagi… Gak, gw gak marah… cuma kecewa… Gw jadi males liat dia…
Dana… Ya dia luar biasa… Apa, lu liat? Hehehe… Gw kasih tau, perjanjian
gw sama anak gw udah tamat. Gw udah yakin ama anak gw, jadi gak perlu
aturan lagi. Lagian tadi gw dibikin lemes ama dia. Apa? Gak, pake jari
doang. Lu mesti liat wajah dia sekarang. Apa, lu juga mau? Ah gak
percaya gw. Inget Wi, gw udah kasih tau lu. Lu juga mesti cerita
abisnya. Si Dana mesti cerita, kayaknya ada cewek baru nih. Ya udah, met
senang – senang aja. Yu…”
Diana menutup telepon sambil
tersenyum ke arah Dana. “Ada kabar baru nih. Kamu mau yang mana dulu,
kabar aladin atau kabar aladin?”
Dana mengernyitkan
alisnya, “kabar aladin?” Dana lalu tertawa, “kabar aladin dulu deh.”
Dana kembali mengernyitkan alisnya, seperti bingung. “Kabar aladin
dulu.”
“Ternyata, bukan kamu saja yang aladin beruntung.”
“Mama ngomong apaan sih mah? Aladin siapa sih?”
“Ntar sore, Dewi sama lakinya, Jefri, bakalan ngajak si Dewo main kartu, kayak kita semalam.”
Dana tertawa, “Aladin,” katanya sambil mengacungkan jempolnya.
“Kayaknya virus kita mulai menyebar.” Diana mendekati anaknya lalu memeluknya. “Sekarang cerita atau mama paksa kamu.”
“Iya deh, Dana nyerah.” Kata Dana sambil mengajak mamanya duduk di sofa.
***
“Wo, sini Wo.”
Dewo
sedang duduk di depan monitornya. Namun bukannya senang, Dewo malah
merasa jenuh. Tak ada lagi yang dapat diperbuatnya selain bengong, gak
ada kerjaan. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Beri aku uang… Beri
aku uang…” Pikirnya saat suara mamanya memanggil. “Daripada terbunuh
sepi…” Pikirnya sambil melangkah.
Dewo mencari sumber suara itu. Ternyata mama sedang sama ayah di meja. “Apa mah?”
“Lagi sibuk gak ?”
“Emang kenapa mah? Gak sibuk sih.” Kata Dewo sambil duduk di kursi.
“Kamu bosan gak?” mama mengedipkan sebelah mata pada ayah.
“Iya.”
“Mau main gim gak?”
Dewo menatap ayahnya. Heran karena dia tertawa.
“Widia lagi pergi, mama juga bosan sama kayak ayah. Kamu mau ikut maen kartu gak? Yang kalah mesti buka pakaian?”
Dewo terkejut, “apa?” Dewo menatap ayah dan mama bolak – balik.
“Kamu
kan udah besar,” ayah akhirnya angkat suara. “Ayah denger kamu dan
temenmu suka bicarain mamamu dan mama temenmu. Nah, sekarang kamu punya
kesempatan. Tapi, kalau gak mau ya gak apa – apa.”
“Pasti bercanda nih.” Dewo mulai senyum.
“Mama yakin kamu bakal telanjang duluan sebelum bisa liat mama,” kata Dewi sambil mengambil kartu. Lalu mulai mengocok.
“Jangan
gitu. Meski ayah seneng liat anak kita dipermalukan, tapi ayah ingin
liat mama telanjang lebih dulu.” Kata ayah sambil menepuk bahu Dewo.
“Silakan berharap. Ingat aja yang, mama bisa nelanjangin si Diana sama anaknya sebelum akhirnya mama telanjang.”
“Apa?” Dewo lemas hingga menggelosor ke lantai dari kursinya. Ayah tertawa melihatnya.
“Mama lagi ngobrolin kamu. Terus Diana malah nantangin main sama anaknya.”
“Bajingan itu malah gak kasih tahu Dewo.” Dewo memukul meja.
“Jangan marah sama dia. Dia gak salah, mamanya otak dari semua ini.”
“Kacau… Bener – bener kacau…”
Ayah kembali bicara, “Bukan kacau Wo, tapi menikmati hidup. Kayak ayah dan mamamu dulu, sebelum pada punya anak.”
“Gak usah terjebak masa lalu Yah. Pasti ntar Diana sama Dana juga kebagian lawan ayah.”
“Yakin?”
“Iya
dong. Mama yakin kalian akan segera telanjang asal kamu bisa tutup
mulut,” Dewi menatap Dewo. “Jadi cepat ambil kartu dan mainkan.”
Ketiganya lalu bemain hingga Dewo dan Jefri hanya tinggal bercd saja. Sedang Dewi hanya memakai cd dan bh.
Putaran
berikutnya Dewi kalah. “Sial,” katanya sambil tangannya menjangkau
punggung untuk melepas bh. Akhirnya susu Dewi terlihat oleh anaknya
untuk kali pertama.
Dewo hanya bisa melongo melihatnya.
Dewi meraih pentil susu dan menariknya, “kamu ingat dulu gak?” katanya sambil menatap anaknya.
“Ayah gak inget terakhir anak kita gak bisa bicara gitu. Hehehe.”
Dewo
geleng – geleng sambil meraih lalu mengocok kartu. Setelah pertarungan
yang cukup sengit, Dewi kalah. Jefri tertawa senang. Dewi lalu berdiri,
melepas cd, menggoyang – goyangkan pantatnya ke arah anaknya. Setelah
itu kembali duduk.
“Ee… Sekarang apa?” bengong Dewo.
“Karena
mulut mamamu gak ada gunanya lagi, gimana kalau mama kalah mesti
nyepong dia yang menang. Setuju sayang?” jefri menatap Dewi.
Dewi menatap anaknya, “semoga aja Dewo menang,” lalu menatap suaminya, “karena kalau ayah menang, mama pake gigi mama.”
Dewo kembali terjatuh dari kursi akibat lemas. Ayah dan mama hanya tertawa.
Kartu
kembali dibagikan. Namun yang menang adalah Jefri. Jefri lalu berdiri
dan menatap anaknya, “perhatikan nak. Liat bagaimana ahlinya mamamu!”
Jefri berharap soal gigi tadi hanyalah candaan.
Dewo
melihat pantat mama bergoyang – goyang saat mulut mama sibuk di
selangkangan ayah. Dewo mendekati mama biar bisa lebih jelas melihat.
Mama melepas kulumannya lalu menoleh ke anaknya, “pantat bergoyang artinya undangan. Kamu gak homo kan?”
“Tentu tidak.”
Jefri tersenyum pada anaknya, “lepas celanamu nak. Ayo lakukan.”
Dewo langsung melepas celana hingga telanjang lalu berlutut di belakang mama. Dewo memasukan kontol ke memek mamanya.
“Oh…” kata Dewi di sela sepongannya.
Dewo
merasakan betapa nikmatnya memek mama hingga mulutnya mengerang dengan
sendirinya. Pompaan kontol Dewo semakin lama semakin cepat. Tangan ayah
memegang kepala mama saat ayah orgasme di mulut mama. Aku pun orgasme
dibarengi mama yang bergetar. Rupanya mama ikut orgasme.
Dewo
mencabut kontol lalu duduk dikursi sambil memperhatikan lepasnya kontol
dari mulut mama. Mama lalu menatap ayah, “gimana, senikmat
imajinasimu?”
“Iya sayang.”
Dewi duduk lalu menatap
anaknya. “Setelah mama main sama Diana dan Dana, mama langsung pulang
dan bergumul sama ayahmu. Abis itu mama ceritain semua. Terus ayahmu
malah punya ide ini.”
Jefri menatap anaknya, “jadi, kira – kira setelah ini kamu bakal sering bosan gak?”
“Tidak komandan!” jawaban Dewo membuat ayah dan mama tertawa.
***
“Maksudmu, gadis yang dulu nganter makanan ke rumah kita trus ngelayanin kita di restoran?”
“Iya.”
“Gila, terus gimana caranya kamu mau nerangin kalau saat itu kamu sama mama?”
“Entahlah. Biar waktu yang menjawabnya.” Mata Dana menerawang sambil mengelus meja
“Gimana
kalau mama kembali berpakaian aja dan kita kembali normal seperti
dulu?” Perut Diana bereaksi melihat anaknya yang jelas sedang jatuh
cinta.
“Tentu tidak.”
Diana tertawa, “Terserah kamu. Kita
tunggu saja, jika hubungan ini makin serius, maka kamu mesti memikirkan
cara untuk memberitahukannya. Gak boleh ada rahasia jika mau
berhubungan, bisa ricuh.”
“Dana tahu. Ntar Dana pikirkan suatu cara.”
Diana
bangkit lalu mendekati anaknya. Diana duduk di pangkuan anaknya lalu
menciumnya. Beberapa saat kemudian Diana melepas ciuman lalu menatap
anaknya. “Mama sangat cinta sama kamu. Tapi suatu saat jika kamu sudah
menemukan belahan jiwamu, mama akan merelakanmu. Gak perlu kamu
khawatirkan perasaan mama.”
Tangan Dana mengelus bahu
mama, sedangkan tangan lainnya memainkan jemari di susu mama. Mata Mama
mulai terpejam. Erangan kecil mulai keluar dari mulut mama.
“Dana sangat bersyukur punya mama seperti mama.” Dana lalu mencium leher mama.
Diana
menjerit saat Dana merangkulnya lalu mengangkatnya hingga ke atas meja.
Dana lalu melebarkan kaki mama, “kamu mau lagi ya?” kata mama.
“Tentu.”
Kring… Kring…
“Biarkan saja mah.”
“Kalau dari sendi gimana?”
“Oh iya,” Dana bergegas meraih telepon.
“Halo,
Cip,” mata Dana menatap betis mama. Meski betis mama tak bercahaya
seperti ibu para raja zaman dahulu, namun sungguh terlihat seksi. “Gak,
gw udah siapin semua. Tinggal lu aja sama Dewo. Telpon aja sama lu. Gw
kira cewek. Ya cewek asli lah. Gak, gw gak bakalan cerita sekarang. Yo.”
Tubuh
mama masih tergeletak di meja, menatap jalang pada anaknya. Dana
menghampiri dengan antusias. Tangan Dana mulai mendekati kaki mama…
Kring… Kring…
“Sial… Sial…” Dana kembali meraih telepon.
“Halo. Oh, kamu Sen. Iya, aku juga seneng semalem ngobrol sama kamu. Apa? Iya sip. Jadi besok, jam tiga. Sampai jumpa.”
“Wah.. wah… Ada yang janjian nih?” tawa Diana menggoda anaknya saat anaknya mendekat.
Dana tersenyum, “hehe…”
Masih
berbaring di meja, Diana melorotkan celana pendek anaknya, “berarti
kamu milik mama malam ini.” Diana menjulurkan lidah perlahan untuk
mengenai kontol anaknya.
Kring… Kring…
Diana melepas kontol dari tangan dan menjatuhkan kepalanya saat Dana memukul meja. “Hehehe…” Diana cengengesan.
“Apa
lagi? Eh, halo bu Dewi. Tidak, sedang santai kok. Mau ngomong sama
mama? Kata mama ibu lagi main kartu? Sudah? Siapa yang menang?
Maksudnya, semua? Mantap. Tentu, ada rencana sih. Ya seperti itu. Ibu
kan temen mama, rasanya obrolan ini agak janggal. Ibu yakin? Tentu Dana
percaya. Siap bu. Iya.”
Dana kembali menghampiri mama.
Tangan mama disilangkan di meja, dan dagu mama bersandar di tangan itu.
“Katanya bu Dewi sekeluarga mau ke sini ntar malem.”
Diana langsung duduk, kakinya menjulur dari meja. “Mau ngajak keluar?”
“Enggak, katanya mau makan di sini.”
“Apa kamu yakin gak keberatan kita kedatangan tamu?”
“Gak, bu Dewi kedengeran semangat. Katanya bakal tak terlupakan bagi kita.”
“Bisa jadi malam yang sangat menarik. Kamu siap?”
“Mungkin saja, kita lihat nanti.”
***
Saat
yang dinanti para pembaca pun tiba, pintu diketuk. Dana membuka pintu.
Munculah bu Dewi dan suaminya, paman Jefri. Dana menyalami mereka. Diana
lalu datang. Jefri memandang Diana yang memakai kaos penuh keringat.
“Ku akui, aku mesti berterimakasih atas bantuanmu,” senyum Jefri saat menyalami Diana.
“Pantesan kamu senyum terus…” balas Diana.
“Jadi, tumben – tumbenan nih maen ke sini…”
“Iya,
gw inget lu tanya apa gw pingin balik lagi kayak dulu. Nah gw omongin
dah ke laki gw. Kalau lu oke, setidaknya gw dan laki mau ngucapin
makasih udah nyalain lagi api yang pernah pudar.”
Diana
menatap anaknya, “Dana baru dalah hal ini. Jadi kalau lu setuju, kita
pelan – pelan saja. Gw juga gak mau sampai main kecuali sama anak gw. Gw
baru sadar, rasanya gw sengaja nunggu. Duh.”
Ketiga orang paruh baya tertawa, sementara Dana celingukan sendiri bingung.
“Dari
dulu juga gw tau lu orangnya punya komitmen. Gimana anak lu, apa dia
udah punya inceran buat masa depannya? Kalau anak gw sih, tadi sore gak
kesulitan.” Dewi tertawa menatap Dana yang makin merah karena malu.
Jefri
tertawa, “Jangan biarkan mereka melahapmu nak. Udah tugas wanita buat
bikin kita senang – senang, setidaknya salah satu wanita ini udah
melakukannya. Si Dewo mulai beruntung sama mamanya, Paman jadi
khawatir.”
“Dewo sih gak pernah susah kalau soal cewek, tapi jangan bilang kalau saya kasih tahu,” kata Dana terlihat kikuk.
“Jadi, mau di mana nih?”
“Di
dapur aja, sambil duduk. Kita ngobrol normal – normal dulu. Pelan –
pelan untuk remaja kita.” Dewi sambil menggandeng bahu Dana.
“Mana makanannya, katanya lu mau bawa?” Diana meyiapkan piring ke meja.
“Udah gw pesen.” Tok.. Tok… “Nah, itu datang pesenannya.” Jefri menarik uang dari dompet sambil berjalan menuju pintu
“Tunggu, pesan dari mana paman?” Dana meraih tangan Jefri hingga
“Tempat rekomendasi Dewo, kenapa emang?” Jefri menatap Dana heran.
“Oh, pacarnya kerja di sana. Suka nganterin juga,” Diana menimpali sambil tersenyum.
Jefri menyerahkan uang ke Dana, “kalau gitu, kamu ambil saja.”
Saat pintu dibuka, Dana dan Sindi sama – sama tersenyum.
“Hay, aku ingat alamat ini, jadi sengaja aku antar.”
“Ya, setidaknya kali ini aku sengaja berpakaian kumplit.”
Sindi tertawa. Dana melirik ke samping melihat mamanya pun tertawa.
“Bener – bener gak ada privasi di sini ya?”
Diana mengangkat tangannya, “cuma ngecek, kali aja butuh bantuan bawain makanan.”
“Ya… ya… percaya deh…”
Sindi memandang ke dalam, “bilang padanya agar jaga tangannya di tempat yang terlihat,” tawa Sindi.
Diana lalu muncul di pintu, antara Dana dan Sindi. “Halo, kamu pasti Sindi ya.”
“Ya, kalau anda?”
“Diana, tenang saja cantik. Saya bukan sainganmu dalam remaja ini.”
“Udahlah Na, mending sana deh.”
Bukannya
menghilang, Diana malah membuka pintu lalu meraih makanan dari Sindi.
“Tante tau tante gak diharap ada di sini. Tapi jangan ngambek kalau
nanti kamu kembali makanan udah gak bersisa.” Diana lalu masuk sambil
tertawa.
Dana memperhatikan mama hingga berada di dapur, lalu kembali ke Sindi.
“Dia makan sebanyak itu, tapi masih kelihatan cantik?”tatap Sindi ke Dana.
“Oh, tentu tidak. Di dalam ada teman kami.”
“Kami? Aku tak sabar dengar ceritanya. Dia tampak menawan.”
“Ya, dia hanya senang saat tahu aku lagi dekat sama wanita. Tapi dia juga enak orangnya. Eh, ntar mau nonton apa?”
“Gak tahu, kita liat aja nanti apa yang sedang diputar. Terus kita putuskan bareng, biar sama – sama menikmati.”
“Bagus. Oh iya, nih uangnya. Mumpung ingat.” Dana mengeluarkan uang lalu memberinya ke Sindi.
“Makasih. Aku mesti kembali, biar tetap kerja. Hehehe…”
Tanpa
berpikir, Dana mendekati Sindi lalu mencium pipinya. Setelah itu Dana
melihat Sindi berbalik dan menjauh, langkah Sindi seperti langkah mama
saat mama senang. Saat akan masuk, Dana melihat sesuatu di jendela.
“Tukang intip di mana – mana.” Teriak Dana, Dewi dan Diana hanya tertawa.
“Paman udah bilang ke mereka jangan ngintip,” kata Jefri dari dapur.
“Iya, makasih udah ngelarang mereka paman.”
“Jangan marah dong, lagian siapa yang tahan liat anak lucu…” kata Dewi sambil memeluk Dana.
“Makanan udah mulai dingin nih,” teriak Jefri sambil mengunyah.
Ketiganya lalu menuju dapur. Makanan sudah tersaji di meja. Ada satu botol kosong dan satu botol penuh.
“Lu minum sendirian?” tanya Diana ke Jefri yang sudah agak mabuk.
“Kan mau ngajarin anak ini. Pelan – pelan saja kan.”
Diana tertawa, “putar botol?”
Dewi tersenyum pada Diana, “pelan – pelan saja.” Lalu menatap Dana, “Gimana nak, tertarik?”
“Boleh bu, tapi jangan harap Dana mau menyetuh paman Jefri, najis tralala…”
“Tenang, ini versi pasangan. Makanya kami gak bawa Dewo.”
“Entahlah… Dana masih merasa gak enak sama Dewo.”
“Gak usah khawatir, sore tadi Dewo udah bahagia. Apalagi esok lusa. Siapa tahu kapan – kapan kita main gim ibu dan anak bareng.”
Dana menggeleng, “Kacau… bener – bener kacau…”
“Ngeluh? Kayak yang iya aja,” Diana tertawa.
Keempat
insan itu makan, minum dan tertawa. Setelah makan selesai, meja
dikosongkan hingga hanya terdapat satu botol. Dewi memutar dan botol itu
berhenti tepat menunjuk Dana.
“Cium sang gadis,” teriak Dewi.
Diana tersenyum lalu mencium anaknya.
Jefri menyeringai, “setelah bertaun – tahun, lu gak lupa caranya kan?”
Setelah
beberapa saat, Diana dan Dana kembali duduk di kursi masing – masing.
Dana memutar botol. Botol menunjuk ke mama temannya.
“Gantian,” tawa Diana.
Jefri dan Dewi berciuman. Terkadang lidahnya menjulur keluar.
“Babak
pertama usai. Selanjutnya yang kalah mesti lepas pakaian. Jika kembali
kalah, maka lanjut ke tes jujur.” Cukup bicara, Dewi lantas memutar
botol. Ironisnya botol itu mengenai dirinya sendiri.
“Sial,
gw mesti pertama telanjang lagi .” Dewi lalu melepas kaosnya. Tangan
Dewi meraih ke punggung lalu melepas bh. Setelah itu Dewi berdiri dan
melepas celana jins, akhirnya Dewi melepas cdnya. Dana dengan antusias
melihatnya.
Botol kembali diputar, berhenti menunjuk Diana. Diana berdiri lalu melepas bajunya. Kedua pria bertepuk tangan.
Jefri tertawa, “masih seperti dulu, liar dan cantik.”
Berikutnya Dana yang harus melepas pakaian.
“Sejauh ini masih aja pemalu?” jefri geleng – geleng melihat Dana yang terlihat malu. Para wanita hanya cekikikan.
Akhirnya
giliran Jefri yang melepas pakaian. “Kali ini yang tertunjuk mesti
ngocok atau ngelus pasangan dengan tangannya. Katanya kamu pintar Dan.”
Dewi merujuk kepada Dana sambil memutar botol. Botol menunjuk Dana.
Diana
berdiri dan jalan mendekati meja lain, “kita ulangi saja yang tadi.”
Diana lalu duduk di meja dan melebarkan kaki, sementara Dana kini
berdiri diantara kaki Diana.
Diana lalu membungkuk untuk mencium anaknya. Tangan anaknya mengelus susu Diana, serta punggungnya.
Dewi
menggeser kursi hingga di sebelah suaminya. Tangan Dewi lalu mengelus
kontol suami, sementara tangan Jefri memainkan pentil istrinya.
Perlahan tangan Dana menuruni tulang rusuk hingga berputar di perut mama. Sementara tangan satunya membelai pantat mama.
Dewi bisa mendengar erangan Diana, “Enak nak.”
Diana
mengejang kembali saat jemari anaknya mengelus memek sambil tetap
berciuman. Diana lantas membuka mata melihat Dewi sedang memainkan
kontol suaminya, “Woy, sabar dong tunggu giliran.”
“Gak usah didengar, terus sayang hhh,” rintih Jefri. Dewi memajukan kepala untuk mencium suaminya.
Diana
merebahkan kepala di bahu anaknya sambil menonton temannya. Kini Diana
memeluk erat anaknya sambil gemetaran dan menggigit bahu anaknya saat
Diana akhirnya keluar.
Perlahan Diana turun dari meja dan
kembali mencium anaknya. Kini semua orang kembali duduk. Karena terkena
guncangan oleh salah – satu tubuh, botol menggelinding. Sebelum jatuh,
Diana menangkap botol.
“Rehat dulu, gw mau ke kamar mandi. Ntar gw ada ide buat ronde akhir.”
Semuanya
kembali ke meja. Diana berdiri lalu menunjuk Jefri, “lu hutang muasin
bini lu, tapi sebelumnya gw mau lanjutin apa yang tadi dipotong sama
telepon.”
Diana lalu naik meja dan berbaring. Tangannya
lalu meraih kontol anaknya dan menariknya hingga masuk ke mulutnya.
Kontan saja Dana terkejut atas aksi mama. Tangan Dana memegang pinggir
meja. Sementara matanya melihat kepala mama yang maju mundur. Tangan
mama sepertinya memegang dan mengelus pantat Dana.
Dewi
bangkit, mendekati Diana lalu membungkuk untuk melihat temannya sedang
nyepong anaknya sendiri. Jefri bangkit dan berlutut di belakang
istrinya. Tangan jefri lalu mulai mengelus pantat istrinya.
Dewi
mengerang saat lidah suaminya mulai bergerilya. Erangan Dewi
menyebabkan Diana berhenti, mencabut kontol anaknya lalu mencium Dewi.
Kontol yang masih dalam pegangan Diana diarahkan ke mulut Dewi. Dewi
menghirup kontol teman anaknya, lalu menoleh ke belakang, “masukin ke
anus yang.” Setelah itu, Dewi memasukan kontol teman anaknya ke
mulutnya.
Jefri berdiri, melebarkan pantat istrinya lalu mulai
menusuk kontol ke pantatnya. Dewi melepas kontol dari mulut, bangkit
berdiri lalu mencium mulut teman anaknya sendiri. Sementara kontol Dana
kembali bersarang di mulut mamanya.
Dana mengerang di sela
ciumannya saat kontolnya menyemburkan peju di mulut mama. Dewi meracau
tak jelas saat keluar. Jefri makin cepat memompa hingga menyemburkan
peju di anus istrinya.
Mereka lalu berbaring di lantai.
Diana kembali mencium Dana, Jefri mencium punggung Diana. Dana lalu
melepas ciuman dan memandang ketiga orang itu, “Dana jadi penasaran,
pelan – pelan saja sudah gini. Gimana kalau yang ekstrim?”
Ketiganya tertawa mendengar pertanyaan remaja itu.
Home
Cerita Eksibisionis
Diana
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Diana : Ibu Eksibisionis | Cara Memotivasi Anak VII
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar