"Okay Pak, saya mengerti," kupotong omongan Bossku, supaya dia tak
tambah bertele-tele nyerocos tentang kondisi perusahaan yang mendekati
bangkrut ini.
Sekilas wajah Boss nampak rasa kurang senang karena Aku memotong pembicaraannya. Aku tak peduli.
"Saya tahu semua Pak, justru sekarang ini saya kemari mau mengundurkan
diri," lanjutku seperti menantang. Wajah yang tertekuk itu tambah kaget.
"Kita langsung saja bicara tentang pesangonku," tantangku lagi. Mata itu
masih terbelalak kaget. Mungkin pikirnya, sementara pegawai lain
menghiba-hiba supaya jangan diPHK, Aku malah nantang mau berhenti.
"Anda serius, Sam?"
"Saya kira sekarang bukan saatnya bercanda, Pak."
"Terus rencana Anda selanjutnya gimana?"
"Itu urusan saya Pak." Tentu saja sebelum menemui dia Aku sudah dapat
pekerjaan baru yang lebih prospektif, bukan di Jakarta atau kota lain di
Indonesia, tapi di Singapura.
Aku telah mempersiapkan semuanya. Isteri dan anakku (seorang, lelaki 3
tahun) Aku pulangkan ke rumah orang tuaku di Jawa Timur untuk sementara,
menunggu rumahku yang di Jakarta laku. Rencananya Aku akan membeli
rumah di kampung saja. Di saat seperti ini menjual rumah memang tak
gampang. Uang pesangon yang kudapat cukup untuk hidup selama setahun
tanpa kerja dan untuk modal awal Aku hidup di Singapura. Aku telah
membuat keputusan penting dalam hidup kami. Perubahan drastis yang harus
kulakukan untuk menghadapi multikrisis berkepanjangan di negeri ini.
***
Setelah mendapat kepastian Aku diterima bekerja di financiing company di
kawasan -----, Aku baru mulai mencari tempat tinggal. Atas
pertimbangan beberapa sahabat di Jakarta dan Boss baruku, Aku memilih
apartemen di daerah Jurong. Ada ratusan gedung hunian bertingkat di
kawasan ini. Dua minggu penuh Aku menjelajah kawasan ini sebelum
akhirnya memilih satu di antara 4 pilihan terbaik sesuai kondisiku yang
hanya sendirian dan keuangan yang cukup, tak berlebih benar. Suatu
space dengan dua kamar di lantai 5, kira-kira mirip T-36 di Jakarta,
tapi sedikit 'lux' dan lingkungan yang bersih. Pokoknya yang nyaman
buat tinggal dan Aku masih mampu mengirim dollar ke rumah setelah
dipotong sewa apartemen dan bermacam tagihan lainnya serta biaya
hidupku. Hanya satu masalah yang belum terpecahkan, yaitu memenuhi
kebutuhan seks. Tentu saja Aku tak bisa pulang kampung setiap bulan.
Terakhir ketemu anak isteri sekitar dua bulan lalu, ketika mereka
berkunjung melihat tempat tinggalku di negeri orang ini.
Mulailah Aku menjalani kehidupan rutin yang baru. Berangkat dan pulang
kerja menggunakan MRT, makan pagi hanya roti dan sebangsanya yang
kusiapkan sendiri, makan siang di kantor, makan malam berganti-ganti, di
sekitar kantor, di shopping mall, atau restoran dekat apartemen.
***
Di stasiun berikutnya, Orchard, Aku harus turun untuk ganti kereta yang
menuju utara. Demikianlah rutinitas pagi yang harus kujalani. Sepasang
paha panjang itu masih tergolek di depanku, belahan dadanya hanya
sedikit terlihat kalau dari depan. Sebelum turun, sekali lagi Aku
puaskan mataku menatapi seluruh juluran kakinya. Tapi oops, paha itu
kalau tidak sedang menyilang ya lurus merapat. Yang membuat jantungku
serasa berhenti berdetak, kali ini sedikit membuka. Dan... oh tidak, aku
tak melihat segitiga kecil warna cream atau putih, tapi semburat
kehitaman. Tak mungkin. Tak mungkin dia berani tak berCD di ruang publik
begini. Tapi mataku yang masih tajam menangkap warna kehitaman yang
bukan kain. Aku yakin itu. Gila! Dalam beberapa detik ke depan ini Aku
harus membuat keputusan, turun di Orchard atau menikmati bulu-bulu.
Kenyataannya sampai kereta beranjak dari Orchard Aku masih terpaku di
tempat dudukku, masih menatapi helai-helai berombak --yang pemiliknya
acuh beibeh--sambil sesekali menelan ludah. "Dasar" keputusanku untuk
tetap duduk bukan semata karena bulu-bulu itu, tapi Aku juga ingin tahu
di stasiun mana dia turun dan di mana dia ngantor. Di Somerset, stasiun
setelah Orchard, "Si Bulu" ini tetap bergeming. Matanya masih
terpejam, earphone-nya masih terpasang. Nah, ketika kereta melambat
mendekati stasiun Dobyghout, Si Langsat ini melepas earphone dan
bangkit.
Aku menahan keinginan untuk ikut bangkit, nanti saja, supaya tak
ketahuan banget menguntitnya. Aku baru turun ketika pintu otomatis wagon
itu hampir menutup kembali. Cepat-cepat aku ikuti dia dari jarak
sekitar 10 meteran.
Wow! Indah nian gerakan sepasang "bola" yang bergantian naik-turun di
pantatnya. Cara jalannya memang tak persis benar dengan peragawati yang
harus menapak kedua kaki di garis maya lurus. Bentuk pantatnya yang
membulat dan menonjol ke belakang itulah yang membuat gerakan jalannya
indah. Ini kayanya memang bentuk pantat khas para Singaporean, bulat dan
menonjol ke belakang (kubayangkan, jika menyetubuhi body seperti ini
akan memberikan respons "lentingan" pada setiap tusukan!). Aku
"menemukan" ciri ini ketika baru seminggu menetap di sini. Tentunya atas
bantuan mata jelalatan dan "biologis" kelaparan!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar