Cerita Eksibisionis Dinda : 7 Remasan Kak Chandra

Kecanggungan kembali terjadi. Aku tidak dapat menutupi rasa malu ku setelah mengetahui ada yang salah dengan bajuku. Di depanku, Kak Chandra berdiri menanti sebuah jawaban dariku. Sedangkan aku sendiri hanya dapat menundukkan kepala, tanpa berani menunjukkan wajahku kepadanya. Tatapan kosong mataku hanya tertuju pada kedua tanganku yang sedang memainkan kancing bajuku yang tidak masuk ke lubang yang seharusnya, sembari menutupi celah yang dihasilkannya.
"Hmmm... anu.." aku hanya dapat menggumam karena belum mendapatkan alasan yang tepat.
Apa yang harus kukatakan ke Kak Chandra?
CEKREEKK...
Suara dari pintu rumahku tiba-tiba memecah kesunyian, dan sesaat kemudian mamaku keluar dari pintu tersebut.
"Lho Dinda kok baru pulang...?" tanya mamaku.
"Maaf mah..." jawabku sambil tidak berani memalingkan tubuhku yang saat ini membelakanginya.
"Lho ini siapa?" tanya mamaku lagi.
"Saya Chandra tante..." kata kak Chandra yang langsung mendekati mamaku dan menyalaminya.
"Kak Chandra ini pacarnya Kak Naya mah..." sahutku sebelum mamaku berpikir macam-macam soal Kak Chandra.
"Oohhh....  barusan yang nganter Dinda pulang?" kata mamaku.
"Iya tante... harusnya sih Naya yang nganterin, tapi karena Naya lagi ada kuliah, jadi saya yang dimintai tolong buat nganter Dinda...." jelas Kak Chandra.
"Oh gitu... duh maafin Dinda ya... jadi ngerepotin...." jawab mamaku.
"Oh, gak papa kok tante... tadi kebetulan saya juga lagi deket sekolahnya Dinda, dan kebetulan satu arah juga sama rumah saya..."
"Oh... yaudah masuk dulu yuk..." ajak mamaku.
"Makasih tante... saya langsung pulang aja... takut keburu hujan....." jawab Kak Chandra yang langsung menuju motornya.
"Yaudah... hati-hati ya..."
"Mari tante.... dinda..." pamit kak Chandra.
Aku hanya dapat membalasnya dengan senyum sambil melihatnya pergi dari halaman rumah kami.
"Kamu laper sayang? tuh mamah udah masakin kesukaan kamu..." tanya mamaku.
"Iya mah... tapi Dinda mau pipis dulu... udah kebelet...." jawabku mencari alasan agar dapat segera pergi ke kamarku sebelum mamaku tahu ada yang aneh dengan bajuku.
"Hati-hati... gausah lari gitu...." tegur mamaku melihatku yang berlari menuju tangga ke lantai 2.
Pada saat aku hampir sampai di ujung tangga, aku terjatuh sehingga membuat lututku terbentur anak tangga. Seketika aku meringis kesakitan karenanya, sebelum aku menyadari aku terjatuh karena ternyata kakiku tersangkut oleh rokku sendiri karena melorot!
Pasti karena rokku tidak terkancing sempurna, membuat kancing tersebut terlepas dan membuat rokku melorot hingga ke paha. Aku seperti mati rasa karena menyadari aku tidak memakai apa-apa lagi dibalik rokku, sehingga posisi jatuhku ini membuat pantatku terlihat dari belakang terutama dari bawah tangga. Tidak hanya memperlihatkan kedua bongkahan pantatku, posisi seperti ini juga mempertontonkan kemaluanku yang terselip diantaranya.
Astaga! Apakah mamaku melihatnya?
Dengan jantung yang berdegup kencang, aku mencoba memalingkan kepala untuk melihat ke arah bawah tangga. Sementara itu aku masih tetap dengan posisi jatuhku yang seperti orang merangkak, dengan pantat tanpa penutup yang langsung mengahadap siapapun yang ada di belakangku.
Syukurlah, ternyata mamaku sudah beranjak dari posisinya sebelum aku menaiki tangga. Jika saja mamaku masih di depan pintu seperti tadi, pastilah mamaku akan melihatku dan berhadapan langsung dengan pantatku. Entah apa yang akan kujelaskan ke mamaku jika hal tersebut terjadi. Mencari alasan untuk Kak Chandra saja susah, apalagi mencari alasan kepada mamaku yang selalu menyuruhku untuk menutup aurat.
Dengan masih merintih kesakitan, aku mencoba berdiri. Namun lututku masih terasa sangat sakit. Aku terpaksa harus 'mengesot' untuk mencapai kamarku yang tinggal beberapa meter lagi. Rasa dinginnya lantai keramik yang menyentuh kulit pantatku masih kalah dengan rasa sakit yang aku rasakan di lututku. Sementara itu rok seragamku yang sebelumnya masih 'nyangkut' di pahaku kini semakin melorot ke bawah seiring dengen gerakan ngesot yang kulakukan.
Dengan perjuangan yang kulakukan, akhirnya  aku dapat mencapai kamarku. Rokku kini tinggal tersangkut di ujung kaki kiriku, karena aku sengaja mengeluarkan kaki kananku dari rok agar aku dapat bergerak lebih leluasa. Sementara aku merasakan pahaku kotor karena debu yang tersapu selama perjalanan dari tangga hingga pintu kamarku.
Setelah aku masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, kulepaskan rokku dan langsung berguling-guling di lantai sambil meringis kesakitan memegangi lutut kananku. Air mataku tak terbendung ketika menahan sakit yang kurasakan. Aku tidak peduli dengan kondisiku sekarang yang setengah telanjang dan tergeletak di lantai.
Setelah menenangkan diri sejenak dan menunggu rasa sakit di lutut hilang, aku kembali mencoba untuk berdiri. Meskipun masih sedikit terasa sakit dan harus berpegangan ke meja untuk berdiri, aku segera meraih gagang pintu dan menguncinya. Aku tidak mau mamaku memergokiku dengan kondisi setengah telanjang seperti ini.
Aku kembali merebahkan tubuhku, namun kali ini kurebahkan tubuhku ke tempat tidur. Setelah menarik jilbabku hingga terlepas dan melepas kancing-kancing bajuku, aku hanya menatap langit-langit kamarku sambil meratapi betapa sialnya diriku hari ini. Jika langit-langit kamarku hidup, mungkin saat ini dia juga sedang menikmati tubuh telanjangku.
Sesaat kemudian, aku kembali teringat dengan Kak Chandra. Kejadian yang baru saja terjadi mengingatkanku akan kejadian beberapa waktu lalu ketika Kak Chandra tidak sengaja melihat dadaku. Untung saja mamaku menyelamatkanku. Kalau tidak, entah apa yang harus kujelaskan pada Kak Chandra.
Namun meskipun momen tersebut tidak sampai terjadi, bukan berarti aku telah merasa tenang. Aku yakin Kak Chandra memiliki banyak pertanyaan di benaknya setelah melihat 2 kejadian yang tidak seharusnya dia lihat. Aku juga merasa sudah seharusnya aku memberi penjelasan kepada Kak Chandra. Namun apa yang harus kujelaskan? Haruskah aku mengarang cerita untuk mencari alasan? Ataukah aku harus bercerita jujur tentang apa yang sedang kulakukan? Semuanya memiliki konsekuensi. Dan konsekuensi terbesar yang harus aku terima adalah berubahnya pandangan Kak Chandra tentang diriku.
"Dindaaa...! Sayurnya keburu dingin lho...!" teriak mamaku, memecah lamunanku.
"Iya mah... bentar...."
Aku pun segera memakai bajuku dan bergabung dengan mamaku di meja makan.
****
Gara-gara kejadian tersebut, aku selalu terbayang-bayang bagaimana rasa malunya ketika Kak Chandra memergokiku berpakaian tidak wajar, atau ketika aku hampir saja mempertontonkan pantatku ke hadapan mamaku sendiri. Namun seperti sebelum-sebelumnya, pada awalnya aku memang menyesali perbuatan tersebut. Tapi semakin sering aku mengingatnya, ingatan-ingatan tersebut berubah menjadi fantasi liar yang membuat rasa sesalku menghilang.
Fantasi liar yang hadir antara lain bagaimana jika teman-temanku memergokiku ketika aku sedang bermasturbasi di dalam kelas hingga mereka menontonku melakukannya. Atau bagaimana jika membonceng Kak Chandra dalam keadaan telanjang sambil memeluknya dari belakang hingga dadaku bergesek-gesekan dengan punggungnya. Hingga bagaimana jika mamaku melihat pantat telanjangku dan menghukumku dengan cara manampar pantatku.
Membayangkan hal-hal tersebutlah yang selalu memicuku untuk melakukan masturbasi. Dan pada akhirnya, rasa sesal yang sebelumnya kurasakan berganti dengan keinginan untuk melakukannya lagi dan bahkan dengan aksi yang lebih gila lagi.
Beberapa hari kemudian, aku mempunyai janji dengan Kak Naya. Aku berjanji untuk menemaninya jogging di hari Minggu pagi. Sebenarnya aku tidak terlalu suka melakukan lari pagi seperti ini. Namun karena Kak Naya bilang kalau kegiatan ini bisa sekalian 'beraksi', maka kupertimbangkan kembali ajakan tersebut. Entah apa yang direncanakan Kak Naya. Dia hanya menyarankanku untuk tidak memakai pakaian dalam, selebihnya terserah aku mau memakai apa. Menurutnya, cukup dengan tidak memakai pakaian dalam saja sensasi yang didapat cukup luar biasa.

Minggu pukul 6 pagi, aku sudah bersiap untuk berangkat jogging. Aku diminta untuk menjemput Kak Naya di kosnya terlebih dulu. Seperti perintah kak Naya, aku tidak mengenakan pakaian dalam sama sekali sejak dari rumah. Untuk luarnya sendiri aku tetap memakai pakaian tertutup seperti kaos lengan panjang, celana panjang berbahan katun, dan tidak lupa dilengkapi dengan jilbab. Semuanya memang seperti pakaian yang biasa kupakai sehari-hari. Bukan hanya karena aku tidak ingin mengundang perhatian saja, tapi juga karena aku tidak mempunyai pakaian seksi untuk memamerkan tubuh. Bahkan kaos yang kupakai pun berbahan tebal dan longgar, dengan tujuan agar puting dadaku tidak tercetak dengan jelas di kaosku.
Dengan mengendarai motor maticku, aku menembus dinginnya pagi menuju tempat kos Kak Naya. Meskipun sebagian besar kulitku tidak merasakan langsung hembusan udara dingin ini, namun tetap saja bajuku tidak dapat melindungiku dari hawa dingin ini. Hingga kurasakan putingku mengeras karenanya. Beberapa kali kulihat pantulan diriku sendiri di kaca spion ketika berhenti di lampu merah hanya untuk memastikan tidak ada tonjolan yang terlihat di kaosku. Karena jika aku meraba dadaku dari luar kaos, terasa sekali tonjolan kecil yang mengeras itu.
Sesampainya di tempat kos Kak Naya, aku terkejut karena aku melihat ada sosok yang sangat familiar berdiri di depan gerbang rumah kos tersebut.
"Kak Chandra?!" batinku. Tentu saja aku terkejut dengan kehadirannya. Aku tidak menyangka jika bakal bertemu lagi dengannya. Dan yang kulihat dari pakaiannya, sepertinya dia juga hendak jogging. Apakah Kak Naya juga mengajaknya? Kenapa dia tidak memberitahuku jika kak Chandra ikut?
Tentu saja hal ini membuatku ingin mengurungkan niatku untuk lari pagi dengan mereka. Ingin kuputar balik arah motorku, namun sudah terlambat. Kak Chandra sudah melihatku, dan bahkan dia menyapaku.
"Dinda? Kamu ikut jogging juga?" tanyanya.
"Eee... iya kak..." jawabku gugup.
Suasana pun tiba-tiba hening. Terlihat dari kami sama-sama tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tentu saja aku gugup, karena seketika aku teringat dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Mungkin Kak Chandra juga merasakan hal yang sama denganku. Pada akhirnya kami saling diam, berdiri terpaku menatap layar handphone masing-masing. Mungkin saja Kak Chandra sedang menyuruh Kak Naya agar cepat keluar kamar, sedangkan aku hanya  memencet asal-asalan layar handphone agar terlihat sibuk di mata Kak Chandra.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun keluar juga.
"Eh sorry ya lama.... maklum, cewek hehe...." kata Kak Naya sambil menutup kembali pintu gerbang rumah kosnya.
Aku tak menjawabnya, sedangkan Kak Chandra juga langsung menaiki motornya. Setelah itu Kak Naya terlihat bingung, karena kini ada 2 motor didepannya. Dan pada akhirnya dia menaiki jok belakang motor Kak Chandra. Tentu saja kak Naya memilih membonceng pacarnya, siapalah aku? Gerutuku dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju tempat jogging, aku mengendarai motorku tepat di belakang mereka. Aku lihat mereka terlihat bercanda mesra di atas motor. Sedangkan aku? Mungkin hanya dianggap sebagai obat nyamuk bagi mereka. Sementara itu, aku merasa jengkel dan marah sekali pada Kak Naya, lantaran dia tidak memberitahuku jika Kak Chandra ikut jogging bersama kami. Ah, atau aku hanya cemburu karena melihat Kak Naya yang beruntung dapat membonceng Kak Chandra?
Rasa kesal ini membuatku berpikiran untuk membelokkan arah motorku dan pergi diam-diam meninggalkan mereka berdua. Namun kuurungkan niat tersebut karena pasti mereka akan menyadari dan mencariku. Pada akhirnya aku terpaksa ikut menemani mereka berpacaran.
Sesampainya di tempat jogging, kami langsung memakirkan motor kami. Tak kusangka jika suasana akan seramai ini. Kak Naya mencoba mengajak bicara denganku, namun tidak kuhiraukan. Ini adalah bentuk kekecewaanku terhadapnya. Aku hanya menyuruh mereka untuk berlari terlebih dulu, sedangkan aku akan mengikutinya dari belakang.
Ketika aku baru memulai lari kecilku, aku merasakan sesuatu yang aneh pada dadaku. Pada saat itulah aku baru ingat jika aku sedang tidak memakai pakaian dalam. Mungkin karena aku sudah biasa tidak memakainya, terkadang membuatku tidak dapat membedakan rasanya memakai pakaian dalam atau tidak.
Setiap langkah dari lari kecilku, membuat payudaraku berguncang karena tidak adanya bra yang menahannya. Guncangan tersebut membuat kedua putingku bergesekan dengan kaos yang kupakai. Apalagi putingku sedang sensitif-sensitifnya karena dalam kondisi mengeras akibat udara dingin.
Namun apa yang dirasakan oleh kedua putingku masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan siksaan kenikmatan yang dialami kemaluanku. Kemaluanku memang tergolong sangat sensitif terhadap sentuhan. Hanya dikarenakan bergesekan dengan celanaku saja, dapat membuatku bergelinjang menahan rasa geli yang dialami kemaluanku.
Bahkan secara diam-diam, aku sedikit melorotkan celanaku. Dengan tujuan agar bagian dalam celanaku tidak menempel dengan kemaluanku. Namun sepertinya hal ini sia-sia, karena celanaku masih tetap saja menyentuh kemaluanku.
Sebenarnya aku menikmati sensasi ini, namun tetap saja aku merasa risih. Aku seperti sedang masturbasi di tengah kerumunan orang-orang. Mungkin ini yang dimaksud Kak Naya soal sensasi lari pagi tanpa mengenakan pakaian dalam.
Baru sekitar 20 meter dari tempatku memulai lari ini, aku sudah tidak kuat untuk melanjutkan lariku. Tidak hanya karena aku kecapekan, tapi juga untuk mengatur nafasku. Dengan bermasturbasi saja, nafasku bisa tersengal-sengal akibat energi yang terbuang dari aktivitas tersebut. Dan kali ini bisa dibilang energiku terkuras 2 kali lebih cepat, karena aku tidak hanya berlari, namun juga masturbasi meski tidak dilakukan dengan sesungguhnya. Ditambah lagi, kedua kakiku masih terasa pegal akibat masturbasiku semalam sebelum tidur.
Sambil tetap berjalan, kulihat jauh didepanku Kak Naya juga berhenti. Sedangkan Kak Chandra masih melanjutkan larinya. Dari posisi kak Naya yang sedikit jongkok, sepertinya dia sedang membetulkan tali sepatunya.
Dari posisi yang sedikit menungging tersebut, membuat kaos dan celana panjangnya sedikit tertarik. Sehingga membuat celah yang sedikit memperlihatkan bagian tubuhnya, yaitu bagian atas pantatnya. Terlihat Kak Naya tidak mengenakan apa-apa dibalik celananya tersebut.
Sengaja atau tidak, celah tersebut memeperlihatkan belahan pantat miliknya dengan begitu jelas bahkan dari jarakku. Untungnya tidak ada seorangpun yang berada dekat di belakangnya untuk menyadari adanya pemandangan tersebut. Sepertinya Kak Naya sengaja melakukan hal tersebut dan sudah memperhitungkannya.
Tak begitu lama melakukan aksi tersebut, Kak Naya kembali melanjutkan larinya. Sementara aku mengikuti di belakangnya dengan lari kecil yang lebih didominasi dengan berjalan. Kak Chandra sendiri sudah jauh di depan.
Kami berlari mengitari sebuah lapangan. Ah entah sudah berapa kali aku berhenti berlari hanya untuk menahan geli. Bahkan aku mencuri-curi kesempatan untuk memasukkan tanganku ke dalam celana hanya untuk mengecek sudah seberapa basah kemaluanku. Sebenarnya tanpa dicek pun aku sudah merasakan sesuatu yang licin di selangkanganku ketika aku menggerakan kaki. Yang kukhawatirkan adalah bagaimana jika lendir kewanitaanku tersebut membasahi celanaku.
Kenikmatan kurasakan pada akhirnya berubah menjadi siksaan. Itu disebabkan aku tidak dapat menuntaskan apa yang kurasakan sekarang. Rasanya seperti serba nanggung. Ingin sekali melakukan masturbasi saat itu juga untuk menuntaskannya. Namun pada akhirnya aku hanya dapat menahannya hingga hampir 1 putaran lariku. Sementara itu aku sudah tidak dapat melihat keberadaan Kak Naya dan kak Chandra karena aku sudah tertinggal terlalu jauh dari mereka karena terlalu sering berhenti.
Ketika aku hampir menyelesaikan 1 putaran, aku ragu apakah aku lanjutkan lariku ke putaran kedua atau sudahi sampai disini saja. Kulihat ikatan tali sepatu sebelah kiriku terlepas sehingga aku berhenti untuk mengikatnya kembali. Namun ketika aku hendak mengikatnya, tiba-tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.

"Semangat din!" kata orang yang menepuk punggungku tersebut, yang selanjutnya kuketahui suara tersebut merupakan suara Kak Chandra. Mungkin karena saking pelannya aku berlari, sampai-sampai aku di-overlap olehnya.
Tepukan dan teriakan tersebut membuatku terkejut, sehingga tubuhku sedikit terdorong kedepan dan membuat kakiku menginjak tali sepatuku yang tidak terikat. Karena tersandung, otomatis aku tidak dapat menahan keseimbangan tubuhku dan aku pun terjatuh kedepan. Namun dengan sigap Kak Chandra menahan tubuhku. Meski lututku sudah sampai membentur aspal, setidaknya tubuhku tidak sampai terhempas ke jalanan.
Kejadian tersebut terjadi begitu cepat, aku hanya sedikit berteriak kecil dan memejamkan mataku ketika aku merasa tubuhku akan terhempas ke aspal. Hingga kusadari ternyata aku tidak jadi merasakan kerasnya aspal, namun aku merasakan sesuatu yang lain di bagian tubuhku yang saat itu sedang sensitif-sensitifnya, yaitu dadaku.
Kak Chandra berhasil mendekapku agar tidak jatuh, tapi posisi telapak tangan kirinya saat itu tepat berada di payudara sebelah kananku. Tidak hanya memegang, kurasakan tangannya begitu menekan dadaku. Mungkin karena berat tubuhku sendiri yang membuat tangannya teras begitu kuat di dadaku.
Dunia terasa berhenti. Dada kananku benar-benar sedang diremas oleh Kak Chandra.
Aku begitu shock ketika hal tersebut terjadi. Tak lama kemudian, setelah Kak Chandra membantu tubuhku berdiri lagi, tangannya pun lepas dari dari dadaku. Sementara itu Kak Naya datang dari arah belakang.
"Kamu kenapa din?" tanya Kak Naya menghampiri kami.
"Ee.. ini kak... aku gak sengaja nginjek tali sepatu..." jawabku. Aku tidak menjelaskan bagaimana aku bisa menginjak tali sepatuku tersebut, karena aku merasa tidak enak dengan Kak Chandra. Aku tidak mau menyalahkannya.
"Yaelah, kirain kenapa..." kata Kak Naya.
Sementara itu Kak Chandra hanya diam saja. Dia hanya membantuku membersihkan lututku yang kotor karena terkena aspal.
"Gausah kak, biar aku aja.." kataku ketika melihat Kak Chandra mau mengikatkan tali sepatuku.
Aku pun mengikatkan lagi tali sepatuku, sementara mereka berdua berdiri menungguku.
"Udah? Yuk lanjut lagi..." kata Kak Naya setelah aku selesai mengikat tali sepatuku.
"Eee... aku udah gak kuat kak... kalian lanjut aja, aku nunggu disini aja hehe...." jawabku.
"Yah... lemah kamu... yaudah yuk sayang..." jawab Kak Naya sambil menarik tangan Kak Chandra untuk berlari lagi.
Sementara mereka berlari lagi, aku menunggu dengan duduk termenung di sebuah trotoar. Aku masih merasa shock dengan kejadian barusan. Walau bagaimanapun, itu adalah pertama kalinya dadaku dipegang oleh lawan jenisku, meski masih dari luar bajuku.
Aku masih merasakan sedikit nyeri di payudara kananku. Itu karena kerasnya cengkraman tangan Kak Chandra. Apakah Kak Chandra dengan sengaja meremas dadaku? Ah, sepertinya tidak mungkin. Jika memang dia sudah berniat bejat kepadaku, harusnya dia sudah melakukannya dari kemarin-kemarin, dan bukan di tempat umum seperti ini. Dan terlebih lagi, Kak Chandra tidak mungkin sebejat itu. Namun kenapa telapak tangannya terasa begitu "pas" mencengkram dadaku? Ah, mungkin juga karena kebetulan.
Jika memang kejadian tadi tidak disengaja olehnya, apakah dia sadar jika dia telah memegang dadaku? Dan kenapa dia diam saja setelah kejadian tersebut? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku dibarengi dengan perasaanku yang campur aduk. Seperti layaknya perempuan lain, aku juga merasakan marah ketika salah satu "barang" berharganya dilecehkan orang lain.
Dengan masih duduk termenung sambil menekuk kedua kakiku, tanpa sadar tanganku mengelus-elus dadaku yang diremas Kak Chandra tadi. Dan aku baru ingat jika aku sedang tidak memakai bra. Jika Kak Chandra sadar telah memegang dadaku, berarti dia juga tahu jika aku sedang tidak memakainya? Ah, satu lagi pertanyaan yang muncul di kepalaku.
****
"Eh kamu aku cariin, tahunya malah disini... bagi minum dong..." kata Kak Naya ketika menghampiriku.
Aku sudah berpindah posisi dari dudukku tadi. Itu karena aku mengambil botol air mineral yang kutaruh di motorku yang memang sudah kubawa dari rumah. Kini aku duduk di sela-sela motor yang terparkir di bagian luar area jogging.
Tanpa menjawabnya, kusodorkan botol air mineral ke Kak Naya yang langsung ditenggaknya setelah dia ikut duduk di aspal di depanku.
"Ah... segeer.." katanya setelah meminum air yang kubawa.
Sambil duduk dengan meluruskan kedua kakinya, Kak Naya terlihat clingak-clinguk melihat ke sekitar. Setelah itu, dia menurunkan resleting jaket sportnya hingga setengah. Terlihatlah belahan dadanya dengan bulir-bulir keringat yang mengalir di kulitnya. Memperlihatkan jika dia tidak memakai apa-apa lagi di balik jaket tersebut. Dengan tangan kirinya menopang tubuhnya ke belakang, tangan kanannya menyibakkan ujung jilbabnya dan dilanjutkan dengan menggerakkan bagian depan jaketnya yang mungkin dimaksudkan untuk mendinginkan tubuhnya. Gerakan tersebut membuat putingnya sedikit terlihat meski hanya sekilas.
Aku tidak terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Kak Naya sekarang. Tidak hanya karena aku tahu itu 'kebiasaannya', tapi juga karena posisi kami memang strategis. Karena pandangan orang akan terhalang oleh motor-motor yang berada di sekeliling kami.
"Kamu kenapa sih kok cemberut gitu?" tanya Kak Naya memecahkan lamunanku.
Aku tidak menjawabnya, aku hanya menatap wajahnya sebentar lalu kupalingkan lagi tatapanku ke arah orang-orang yang sedang jogging di belakang Kak Naya.
"Pasti gara-gara Chandra kan?" celetuknya.
Aku terkejut dengan ucapan Kak Naya tersebut. Apakah dia mengetahui kejadian tadi? Apakah Kak Chandra cerita ke Kak Naya kalau dia tadi baru saja memegang dadaku?
"Maaf deh...  soalnya si Chandra juga dadakan bilang mau ikutnya..." jelasnya. Aku lega, karena yang dimaksud Kak Naya bukan kejadian tadi, melainkan masalah kehadiran Kak Chandra di antara kami.
"Lain kali kalo mau pacaran gausah ajak-ajak aku kak..." jawabku ketus.
"Iya maaf... ni aku kan udah minta maaf... makanya ini aku mau pulang bareng kamu aja.. soalnya aku gak enak sama kamu...." jawabnya.
Tiba-tiba Kak Naya mendekati tubuhku.
"Aw..." aku kaget karena tiba-tiba saja Kak Naya mencubit pelan putingku dari luar kaosku.
"Haha... gak pake juga kamu? Gimana? enak kan?" kata Kak Naya.
"Enak apanya.... kesiksa tau.." jawabku.
"Kesiksa, tapi enak kan.... haha" ledeknya.
"Udah ah yuk... pulang aja.." kataku.
"Yah... nanti dulu lah..." jawabnya.
"Aku udah gerah banget kak... pengen mandi..."
"Serius pengen mandi? Atau.... pengen masturb? haha" ledeknya.
"Yaudah, aku pulang dulu kalo gitu. Kalo Kak Naya masih mau disini, silahkan..." jawabku kesal. Meskipun apa yang dikatakan Kak Naya ada benarnya.
"Iya-iya.... eh, kalo kita renang aja gimana?" kata Kak Naya yang sekarang sudah berdiri dan menutup resleting jaketnya lagi.
"Mau renang dimana? Lagian aku gak bawa baju ganti...."
"Ada kok kolam renang deket kosku... kamu orang sini harusnya tau dong... nanti aku pinjemin bajuku, tapi kita mampir kekos dulu buat ambil baju... gimana?" jelasnya.
"Ah gak ah kak.... aku capek... pengen istirahat aja..."
"Ayolah pliss... kamu gak usah ikut renang gakpapa kok... temenin aku aja..." bujuk Kak Naya.
"Hmmm..." aku masih ragu untuk mengiyakan ajakannya.
"Ayo dong..... nanti aku pijitin deh... atau kamu minta apa, aku traktir deh...."
"Yaudah iya deh iya..."
"Nah, gitu dong..."
Kami pun berkendara menuju tempat kos Kak Naya untuk mengambil baju. Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempatnya.
"Kamu tunggu sini aja, gausah ikut naik." katanya sambil menyuruhku untuk tetap di motor di depan kosnya.

Tak lama kemudian Kak Naya sudah keluar dari kosannya sambil membawa ransel di punggungnya. Kami pun langsung menuju tempat renang yang dimaksud Kak Naya.
Dengan menyusuri jalan perumahan, sampailah kami di tempat yang dimaksud Kak Naya. Seperti Kak Naya bilang, tempat ini memang tidak terlalu besar untuk ukuran kolam renang umum. Dari luar terlihat tembok setinggi mungkin sekitar 2 meter yang menutupi area kolam. Sedangkan di sebelahnya terdapat GOR untuk bermain badminton.
Setelah memarkir motor, kami menuju ke pintu masuk satu-satunya kolam renang tersebut. Sialnya kami mendapati pintu tersebut masih terkunci rapat.
"Lah, gimana ini? Kolamnya gak buka?" tanyaku pada Kak Naya.
"Dah, kamu tunggu sini dulu..." kata Kak Naya sambil melenggang menuju GOR.
Tidak lama kemudian, Kak Naya kembali dengan seorang cowok yang kalau dilihat dari kostumnya sedang bermain badminton. Kulihat mereka berdua bercengkrama selayaknya sudah mengenal satu sama lain.
"Eh ini kenalin, adek aku..." kata Kak Naya.
"Oo... adek kandung?" tanya cowok tersebut.
"Bukan... sepupu." jawab Kak Naya.
Aku pun menerima jabatan tangannya sambil mengucapkan namaku. Dia pun juga mengucapkan namanya, namun karena aku tidak terlalu memperdulikannya, aku sudah tidak ingat namanya.
Dengan kunci yang dipegangnya, cowok tersebut membuka gembok yang mengunci pintu area kolam.
"Eh, kalian mau lama gak renangnya?" tanya cowok tersebut.
"Hmmm... paling sejaman lah..." jawab Kak Naya.
"Ini kalo pintunya aku kunci lagi gak papa ya... soalnya aku masih mau main lagi... ini kalo gak dijagain nanti banyak bocah yang masuk... yang jaga paling jam 8an baru kesini.. kalo aku sih paling sejam lagi baru kesini lagi..." jelas cowok tersebut.
"Oh.. yaudah, kunci aja gak papa kok..." jawab Kak Naya.
Setelah di dalam, kulihat kolamnya memang tidak terlalu besar. Dalamnya sendiri kata Kak Naya antara 1-2 meter. Di seberang kolam, terdapat bangunan yang sepertinya tempat untuk ganti baju & bilas. Sementara itu, tempat ini dikelilingi tembok seluruhnya seperti yang terlihat dari luar.
"Itu tadi siapa kak? Selingkuhannya kakak ya? Kok kayaknya akrab banget..." celetukku.
"Hush... itu temen kuliah. Papanya yang punya kolam renang ini sama GOR di sebelah tadi." jelasnya.
"Ooh... Kak Naya udah sering kesini?"
"Gak sering-sering amat sih... cuma kalo lagi pengen aja..." jawabnya.
Aku curiga dengan kata 'pengen' yang dimaksud Kak Naya. Aku punya firasat jika Kak Naya sering berbuat yang aneh-aneh di tempat ini.
Kami pun menuju tempat untuk berganti pakaian. Bangunan ini terdiri dari 1 buah ruang memanjang yang mana salah satu sisinya terdapat sebuah cermin lebar lengkap dengan 2 buah wastafel yang mirip dengan toilet di mall. Di sisi lainnya, terdapat 4 buah bilik yang masing-masing terdapat shower namun tidak dengan closet. Tidak ada tanda untuk membedakan mana untuk laki-laki, mana untuk perempuan. Itu artinya siapa saja bisa memakai salah satu dari keempat bilik tersebut. Padahal sekat yang membatasi antar bilik tersebut terbilang cukup rendah. Bagi orang yang memiliki tubuh tinggi tidak akan susah untuk melihat semua apa yang sedang dilakukan oleh orang di bilik sebelahnya. Belum lagi bagian bawah pintunya tidak menutup hingga lantai. Terdapat jarak sekitar setengah meter antara bagian bawah pintu dengan lantai. Jadi semisal aku sedang di dalam bilik untuk kencing dengan posisi jongkok, maka siapapun yang berada di luar bilik akan dengan mudah melihat kemaluanku.
Sementara aku mengamati seleuruh bagian ruangan bangunan ini, Kak Naya malah sudah mulai melucuti pakaiannya. Tanpa masuk ke dalam bilik, dia mulai membuka jilbab, jaket dan celana panjangnya dengan menghadap ke cermin yang berada di atas wastafel.
"Kakak serius ganti baju disini?" tanyaku.
"Kamu liat sendiri kan, pintu masuknya dikunci. Jadi gak bakal ada orang yang masuk. Ngapain harus sembunyi-sembunyi kalo toh gak ada yang liat?" jawabnya santai.
"Lah. Kalo gitu ngapain Kak Naya gak sekalian renang bugil aja?"
"Nanti liat situasi dulu.. hehe" jawabnya dengan senyum liciknya.
Tidak berlama-lama dengan tubuh telanjangnya, Kak Naya mulai mengambil sepasang kaos lengan panjang dan celana pendek selutut dari dalam ranselnya. Tentu saja, tanpa pakaian dalam.
"Kakak gak pake pake jilbab?" tanyaku setelah melihatnya berpakaian seperti itu di tempat umum.
"Gak" jawabnya singkat.
"Trus aku gimana? Gak pake juga?" tanyaku.
"Iya... aku gak bawa ganti jilbab... udah... gausah pake gak papa kok... masih sepi juga kolamnya..." jawabnya santai sambil berjalan menuju kolam.
Dengan penasaran, aku pun langsung mengecek ransel Kak Naya. Dan aku terkejut, karena aku hanya mendapati sebuah tanktop dan celana hotpant di dalamnya. Tentu saja aku tidak terima. Karena baju ini terlalu terbuka. Bahkan jika dibandingkan dengan pakaian yang dipakai Kak Naya sekarang saja masih lebih 'sopan' punya Kak Naya.
Kubawa baju tersebut dan menghampiri Kak Naya yang sudah berada di kolam.
"Kak! Yang bener aja! Masa aku suruh pake ginian?" protesku.
"Ya maaf.... aku tadi ngambilnya buru-buru... gak tau kalo yang keambil itu..." jawabnya.
"Yaudah, aku gak jadi renang kalo gitu!" gerutuku.
"Coba aja dulu... belum dicoba udah marah-marah gitu..." katanya.
Dengan sedikit kesal, aku kembali ke tempat ganti pakaian. Seperti kata Kak Naya, aku ingin mencoba baju ini terlebih dulu. Aku meniru Kak Naya untuk tidak berganti pakaian di dalam bilik, karena aku ingin melihat penampilanku seperti apa di cermin.
Kulepas kaos lengan panjangku tanpa melepas jilbabku terlebih dulu, ini kumaksudkan agar kalau nantinya aku mengurungkan niatku untuk memakai baju ini aku tidak perlu repot-repot lagi memakai jilbabku. Setelah bertelanjang dada, aku pun mencoba tanktop berwarna biru dongker punya Kak Naya. Setelah kupakai ternyata bahannya sedikit tebal, setidaknya putingku tidak tercetak di atasnya. Bagian depannya pun tidak terlalu memperlihatkan belahan dadaku. Namun tetap saja tanktop ini mengekspos sebagian besar tubuhku.
Selanjutnya, kuturunkan celana panjangku hingga terlepas. Aku sempatkan untuk membelai kemaluanku yang masih basah. Ini karena aku masih belum dapat menuntaskannya dengan bermasturbasi setelah dirangsang oleh gesekan celanaku sendiri pada saat jogging tadi.
Tanpa berlama-lama, langsung kupakai hotpant putih punya Kak Naya. Dan benar, hotpant ini terlalu mini. Bahkan seluruh bagian pahaku tidak tertutup olehnya. Dan yang membuatku ragu untuk memakainya adalah bagian lubang kakinya yang sangat lebar. Lubang yang lebar tersebut membuat kemaluanku dapat terlihat dari celah tersebut jika aku mengangkang. Dan aku yakin, dengan warna putih seperti ini, celana ini akan membayang memperlihatkan kemaluanku jika basah terkena air.
Meskipun hanya ada kami berdua di dalam area kolam renang ini, aku tetap ragu untuk memakai pakaian yang diberi Kak Naya. Sebenarnya aku berharap Kak Naya membawakanku pakaian yang tertutup, karena aku belum pernah renang dengan baju yang sangat terbuka seperti ini.
Pada akhirnya aku mengurungkan niatku untuk ikut berenang dengan Kak Naya. Lagi pula aku memang sedang tidak ingin berenang. Kulepas lagi tanktop dan hotpant milik Kak Naya hingga hanya menyisakan jilbabku.
Dengan kondisi hampir telanjang, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku sempat mondar-mandir mengecek setiap bilik untuk mencari closet, namun aku tidak menemukannya. Sepertinya aku memang harus kecing di lantai. Namun ketika aku melihat ke arah cermin, aku mempunyai ide konyol.
Setelah mengecek area kolam dan memastikan hanya ada Kak Naya di sana, dengan hati-hati aku menaiki area wastafel. Area yang berbentuk meja memanjang ini terbuat dari beton, dan seharusnya kuat menahan berat tubuhku. Posisinya sendiri tidak terlalu tinggi, sehingga aku mudah untuk menaikinya. Lalu untuk apa aku susah payah naik ke wastafel dengan kondisi hampir telanjang seperti ini?
Dengan menghadap cermin, aku berjongkok dan mengangkangkan kakiku sambil mengarahkan lubang kemaluanku ke wastafel. Ya, aku kencing di atas wastafel. Memang terlihat sangat konyol, namun seperti inilah ketika tubuh dikuasai oleh nafsu yang belum tertuntaskan. Pikiran waras hampir tidak bekerja sama sekali.
Dari pantulan cermin, aku dapat melihat kemaluanku mulai mengucurkan air berwarna kekuningan. Dengan bantuan jariku, sengaja kuarahkan kucuran air kencingku untuk langsung mengarah ke lubang pembuangan wastafel. Setelah air kencingku habis, aku menyalakan kran wastafel. Derasnya air kran tersebut langsung mengarah ke kemaluanku. Ah.... aku begitu menikmati sensasi ini. Selain bermasturbasi dengan tanganku sendiri, aku juga terbiasa melakukannya dengan mengarahkan air kran atau air shower ke kemaluan ketika mandi.
Sambil memejamkan mata, kuremas-remas dadaku sendiri. Sementara jari-jari tanganku yang lainnya membuka bibir kemaluanku agar semprotan air kran dapat lebih dalam mengenai vaginaku. Aku juga sedikit menggoyangkan pinggulku dengan maju mundur karena sensasi ketika hantaman air kran mengenai lubang kemaluanku menjadi lebih nikmat ketika semprotan tersebut sesekali mengenai kelentitku.
"Ah...ah.. ah..." aku telah hanyut dibawa kenikmatan hingga aku lupa dimana diriku sedang berada.
Tiba-tiba...

"Hahahaha...." sebuah suara tawa meledak dari arah belakangku yang sontak membuatku kaget dan menghentikan aksiku. Kubuka mata dan melihat pantulan Kak Naya di cermin sedang tertawa terbahak-bahak.
"Kamu ngapain din?? ahahaha!" tanya Kak Naya di sela-sela tawanya.
Aku tidak menjawabnya. Dengan perasaan malu, aku turun dari atas wastafel. Mukaku mungkin sekarang ini sedang merah padam karena saking malunya.
"Bugil, tapi masih pake jilbab. Trus pake naik ke wastafel, maju-mundur kayak orang ngentot gitu... nafsu sih nafsu.... tapi gak gitu juga kali din.... aahahahahaha..." ledek Kak Naya.
Dengan berdiri mematung dan menundukkan kepala, aku hanya pasrah menjadi bahan tertawaan Kak Naya. Kedua tanganku menyilang menutupi kemaluanku yang basah kuyup oleh air hingga mengalir ke pahaku. Aku hanya diam, tanpa membalas ledekkannya. Tentu aku tidak punya alasan untuk mengelaknya, karena apa yang aku lakukan barusan memang benar-benar konyol.
"I..ii.ni gara-gara Kak Naya..." kataku.
"Loh kok gara-gara aku?"
"Ya..ya... pokoknya gara-gara Kak Naya..."
"Oh... aku nafsuin ya? Sampe-sampe bikin kamu pengen masturb? ahahaha!" guraunya sambil mengangkat kaosnya hingga memperlihatkan dadanya dan menggoyang-goyangkannya untuk meledekku.
"Ini gara-gara kak Naya nyuruh aku lari gak pake daleman...." jawabku.
"Oh itu.... pasti geli ya? hihihi.... jadi itu alesan kamu gak ikut aku renang, biar ada kesempatan buat masturb gitu? ahaha"
"Gak! Aku gak mau ikut renang soalnya baju yang kakak kasih kebuka banget...!" belaku.
"Lah kamu, gak mau renang pake baju minim tapi malah bugil disini... pake acara gerak-gerakin pantat di wastafel lagi... ahahahahaha... sumpah din, kalo inget tadi bawaannya pengen ketawa terus.... hahahaa" jawabnya sambil tertawa meledekku.
"Di...disini kan ketutup.. gak ada yang liat...." belaku lagi.
"Ya kan sama aja... di luar juga gak ada orang.... kenapa gak sekalian goyang-goyang di laur aja...."
"Yaudah, kalo kakak berani, sana renang bugil!" tantangku.
"Hahaha... siapa takut... liat nih.." jawabnya dengan melepas kaosnya yang sebelumnya sudah terangkat separuh dan melorotkan celana pendeknya hingga telanjang bulat.
Aku tak menyangka Kak Naya akan menerima tantangan tersebut.
"Eh kita disini baru setengah jam kan?" tanya Kak Naya tiba-tiba.
"Tuh kan... kak naya takut...." ejekku.
"Eh siapa yang takut... aku cuma waspada... eksib kan juga harus liat kondisi dulu..."
"Yaudah sana keluar... pake banyak alesan..." suruhku.
"Oke, tapi aku renang sampe ujung sana aja trus balik lagi ya..."
"Iyaaaa...."
Kak Naya lantas sedikit berlari ke arah kolam renang. Dengan hanya memperlihatkan kepalaku, aku melihatnya langsung melompat ke arah kolam dan berenang dengan gaya bebas ke sisi kolam yang lain.
Aku sebenarnya merasa was-was dengan apa yang dilakukan Kak Naya. Dan aku yakin Kak Naya juga merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak, aksi Kak Naya ini benar-benar nekat. Dia tidak hanya sedikit memeperlihatkan bagian tubuhnya, tapi benar-benar memperlihatkan semua bagian tubuhnya dengan bertelanjang di tempat yang sebenarnya adalah tempat umum dimana orang dapat sewaktu-waktu masuk ke dalam area kolam dan memergokinya sedang bertelanjang.
Dengan deg-degan, aku menyaksikan bagaimana Kak Naya dapat meraih sisi kolam yang lain dan langsung melanjutkan renangnya ke arahku. Hingga akhirnya aku merasa lega setelah Kak Naya sampai di sisi dimana dia memulai renangnya.
Tanpa beristirahat, dia langsung naik ke sisi kolam. Dengan sesekali melihat ke arah pintu masuk, dia berjalan ke arah ruang ganti baju dengan nafas tersengal-sengal dan wajah yang puas. Namun di tengah langkahnya dia berhenti.
"Eh liat din.... disini juga ada kran air lho..." katanya sambil menunjuk kran air yang berada di dekat kolam.
Entah apa maksud Kak Naya dengan menunjukkan kran air tersebut. Namun dengan melihat apa yang dilakukannya selanjutnya aku tahu jika tujuannya adalah kembali mengejekku.
Dia menyalakan kran tersebut. Dan setelah kembali melihat ke arah pintu masuk, Kak Naya mulai berjongkok. Tubuhnya melengking ke belakang dengan kedua tangan yang menahan tubuhnya. Sementara kedua kakinya dibuka lebar-lebar dengan mengarahkan kemaluannya ke pancuran air kran tersebut.
"Nih din.... disini enak juga lho... ah...ah..." ejeknya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya seperti apa yang aku lakukan tadi.
Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk kolam renang.
"Kak! Awas!" teriakku memeperingatkannya.
Kak Naya langsung panik. Setelah mematikan kran, dia langsung berlari sangat kencang ke arahku. Bahkan ketika hampir sampai di tempatku, dia terpeleset hingga terjatuh dan menabrakku. Kami berdua jatuh tersungkur di lantai. Namun kami langsung buru-buru berdiri dan masuk ke dalam sebuah bilik secara bersamaan.
Setelah menutup pintu bilik, kami berdua meringis kesakitan. Kak Naya memegangi lututnya, sedangkan aku merasakan sakit di dadaku yang sepertinya gara-gara terseruduk oleh Kak Naya.
"Nay? Kamu disini?" terdengar suara dari luar bilik yang sepertinya suara teman Kak Naya.
"Iyaa..." teriak kak Naya.
"Lho? Kamu udahan renangnya?"
"Iya.. soalnya airnya dingin.... kamu sendiri katanya sejam baru mau kesini..." jawab Kak Naya mencari alasan.
"Hmm.. soalnya aku juga pengen renang.... pengennya sih renang bareng kamu, eh kamunya malah udahan...." jawabnya.
"Hehe.. sorry ya... lain kali deh kita renang bareng...." jawab Kak Naya.  Dasar Kak Naya. Dalam keadaan darurat seperti ini, masih sempat-sempatnya dia menggoda temannya.
"Jangankan renang bareng... ke pelaminan bareng aja aku juga mau.... hihihi" jawab teman Kak Naya.
Aku kaget dengan jawaban tersebut. Ternyata teman kak Naya juga merespon dengan godaan. Entah apakah dia tidak tahu jika Kak Naya sudah punya pacar, atau memang orangnya yang seperti itu. Aku sendiri malah merasa risih dengan obrolan mereka berdua.
"Ehem!" aku berpura-pura batuk untuk menghentikan percakapan aneh tersebut.
"Eh iya aku lupa kalo ada adekmu nay... hehe... Eh! kalian berduaan di dalam?" tanya teman kak Naya.
"Iya, emang kenapa?" jawab Kak Naya.
"Ya gakpapa.... cuma kan kamarnya masih banyak yang kosong... tapi kok kalian malah sempit-sempitan bareng di dalem..."
"Iya.... soalnya biar anget.. haha" jawab Kak Naya.
"Wah, aku ikut juga dong... biar tambah anget...."
"Hush! Sorry ya... ini khusus cewek...."
"Iihh.. aku kan juga cewek...." jawab teman Kak Naya dengan mengecilkan suaranya hingga terdengar seperti suara cewek.

Lama-lama aku makin muak dan jijik dengan teman Kak Naya ini. Ditambah lagi dengan kondisi kami yang terjebak didalam bilik dengan sama-sama telanjang dan hampir telanjang. Sialnya, semua baju kami tertinggal di wastafel. Pilihan kami cuma 2, yaitu menunggu teman kak Naya pergi lalu mencuri kesempatan untuk mengambil baju kami, atau minta tolong teman kak Naya untuk mengambilkan baju untuk kami. Namun sepertinya kak Naya sudah memilih rencananya sendiri.
"Man... kamu masih disitu?" tanya Kak Naya.
"Iya, kenapa?" jawabnya.
"Boleh minta tolong ambilin tasku gak?"
"Bentar ya.. aku lagi ganti baju..." jawabnya.
"Lho kamu didalam bilik juga?" tanya Kak Naya.
"Iya.."
"Yaudah, aku ambil sendiri aja... tapi kamu jangan keluar dulu ya... aku bugil nih keluarnya..." kata Kak Naya.
Aku menggerutu dalam hati. "Ngapain sih pake ngomong lagi bugil juga. Kan bikin dia bayangin yang aneh-aneh aja...". Kak Naya mulai bersiap-siap membuka pintu, sedangkan aku memposisikan diri bersembunyi di belakang pintu.
"Jangan!" teriak temen Kak Naya dari bilik yang sepertinya berada di bilik paling ujung. Ketika dia berteriak, Kak Naya sudah membuka pintu.
Tiba-tiba Kak Naya langsung menutup pintu kembali.
"Kenapa kak?" bisikku.
"Ada orang di luar...." jawabnya lirih.
"Temenmu?"
"Bukan.."
Deg. Aku seperti merasakan apa yang yang dirasakan Kak Naya sekarang. Rupanya teman kak Naya tidak sendiri disini. Itulah kenapa dia berteriak 'jangan' ketika Kak Naya bilang ingin keluar. Dan parahnya lagi sepertinya orang tersebut berhasil melihat ketelanjangan Kak Naya.
Tiba-tiba suasana jadi hening. Kak Naya yang tadinya terlihat santai-santai saja berubah jadi diam. Kedua tangannya menutup mukanya sendiri. Tak pernah aku melihat Kak Naya sepanik ini ketika dia melakukan aksinya. Mungkin hal ini memang berada diluar dugaannya.
"Gimana nay? Udah diambil?" teriak temannya.
"Belum." jawab Kak Naya singkat.
"Tasmu yang di wastafel ini nay?" tanya teman Kak Naya dari luar bilik.
"Iya man..."
Lalu dengan sedikit membuka pintu, tangan kak Naya keluar untuk meraih tas tersebut dan langsung menutup pintu lagi.
"Trus ini baju basah di lantai, punyamu juga nay?" tanyanya.
"Eh, iya.. Ini si dinda... malah becanda... bajuku dilempar-lempar..." jawab Kak Naya. Biarlah aku menjadi kambing hitam asal Kak Naya punya alasan untuk menutupi kekonyolannya.
Akhirnya dengan sedikit berdesak-desakan, kami sudah memakai kembali pakaian kami. Pada saat kami keluar dari ruang ganti, kulihat teman kak Naya sedang berenang. Sedangkan ada 1 orang lagi yang sedang mengepel lantai di sekitar kolam. Orang tersebutlah yang tidak sengaja melihat ketelanjangan Kak Naya. Sepertinya dia yang bertugas menjaga kolam renang ini.
Kami berpamitan dengan teman Kak Naya saat melintasi pinggir kolam. Kami berdua bersalaman dengannya. Aku sebenarnya tidak mau bersalaman dan ingin cepat-cepat keluar dari area kolam karena risih dan ikut mau dengan kejadian barusan. Aku pun terpaksanya menyalaminya dan langsung keluar, sedangkan Kak Naya masih mengobrol dengan temannya. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka, karena mereka berbicara seperti berbisik-bisik.
"Kami duluan ya mas..." kata Kak Naya ke penjaga kolam renang. Dasar kak Naya, sempat-sempatnya pamitan ke orang tersebut setelah kejadian tadi.
Kami pun pulang menuju tempat kos Kak Naya dengan mengendarai motorku. Selama perjalanan, kami pun membahas apa yang kami lakukan barusan.
"Kak, orang tadi sempet liat kakak?" tanyaku penasaran.
"Gak kok... untungnya dia tadi lagi gak liat ke arahku..." jawabnya santai.
"Syukurlah.... kirain dia liat... aku ikut deg-degan tau...."
"Iya, sama... aku juga deg-degan banget tadi...." katanya.
"Kakak sih... pake aneh-aneh segala...."
"Yang mulai kan kamu... ngapain juga kamu pake masturb di wastafel.... hahaha" ejeknya.
"Plis kak... jangan bahas itu lagi... malu-maluin sumpah...."
"Haha... iya iya...." jawabnya.
"Eh, itu temenmu somplak juga ya? Sampe eneg dengernya..."
"Haha... iya tuh..."
"Dia gak tau kalo kak Naya udah punya cowok?" tanyaku.
"Ya tau lah..."
"Kok dia nggodain kakak kayak gak punya dosa gitu?"
"Ya emang gitu orangnya.... sinting... tapi kaya hahahaa..." jawabnya.
"Ganteng juga sih sebenernya... hehe"
"Ciee... kamu naksir ya... haha" ledeknya.
"Ih... hueek.." jawabku.
"Kamu mau tau hobinya gak?"
"Emang apa hobinya?"
"Tapi jangan ngomong siapa-siapa ya..."
"Iyaa..."
"Dia suka ngoleksi daleman cewek" bisik Kak Naya di dekat telingaku.
Aku terkejut mendengar kata Kak Naya tersebut hingga motorku sedikit oleng.
"Ha?! Kok kakak tahu? Berarti dia suka beli daleman cewek gitu?" tanyaku.
"Dia pernah curhat ke aku kalo dia punya kebiasaan itu... Awalnya sih tak kira bercanda.. eh tapi ujung-ujungnya dia minta dalemanku..." jelas Kak Naya.
"Trus? Kakak kasih?"
"Ya... karena emang kita udah kenal deket sih ya jadi aku kasih aja... malahan waktu itu lagi di kampus aku sempetin ke kamar mandi buat ngelepas daleman, trus aku kasih ke dia..."
"Serius? Kak Naya ngasih daleman bekas pake ke dia? Kok Kak Naya mau-mau aja sih?"
"Ya gimana ya... aku juga gak tau kenapa aku tiba-tiba mau... katanya udah ada beberapa cewek yang ngasih dalemannya ke dia"
"Eh, trus itu dalemannya dibalikin?"
"Ya nggak lah... namanya juga dikoleksi..."
"Ih, kok aneh sih... trus, dia pernah minta lagi gak?" tanyaku.
"Gak. Cuma itu aja. Beha sama CD itu aja"
"Ih... buat apa ya dia..." tanyaku.
"Tau lah. Dipake kali... haha" jawab kak Naya.
"Iya sih... dia pantes kok jadi banci... haha"
"Itu namanya fetish din...."
"Hah? Maksudnya?" tanyaku. Aku memang tidak mengerti dengan istilah yang disebutkan kak Naya tersebut.
"Dia pake daleman cewek buat fantasinya dia...."
"Itu artinya...."
"Dia onani sambil bayangin yang punya daleman..."
"Hah?! Berarti dia bayangin kakak? Kok kakak mau-maunya sih digituin?"
"Yah, jelas aku mau lah... aku malah suka... kamu sendiri pasti seneng kan kalo ada cowok yang diem-diem bayangin kamu..."
"Ya, tapi ini kan bayanginnya yang enggak-enggak kak.... pantes aja dia kalo nggodain kakak kayak gak ada filternya..."
"Tenang aja... dia gak bakal sampe kelewatan aku kok... aku percaya dia.... lagian aku juga gapernah sampe nunjukin tubuhku ke dia... mentok paling cuma paha kalo lagi renang di kolamnya..."
"Tapi kan..."
"Udah, percaya deh sama aku... yang penting jangan sampe kamu cerita ini ke Chandra... oke?"
"Terserah kakak lah" jawabku.
"Eh, dia tadi sempet ngomong ke aku. Katanya aku suruh mintain dalemanmu... ahahaha..." kata Kak Naya.
"Ih! Ogah! Kalo mau, suruh minta sendiri! Nanti aku suruh nyopot sendiri..."
"Serius? Aku omongin ke dia ya... ahaha"
"Jangan! Awas ya kalo kakak ngomong itu ke dia. Pokoknya aku gak mau ngasih daleman ke dia. Titik. Gak kebayang deh kalo dalemanku dipake dia. Ih..." jawabku.
"Bayangin deh din... cd kamu kan kecil... trus dipake dia... gak muat deh tuh... trus tititnya sampe keluar kayak gini... ahahaha" bisik Kak Naya sambil menunjukkan jari-jarinya di depan mukaku seolah-olah itu adalah penis dari temannya.
"Ih... stop kak! Jijik tau!"
"Hahaha... Kok ada-ada aja ya hobinya... aneh" katanya.
"Kak Naya gak ngerasa aneh juga? Yang lain pengen pake baju buat nutupin auratnya kakak malah pengen liatin anunya" cibirku.
"Iya... aku emang aneh..... kamu juga aneh.... ahaha" jawabnya sambil disertai cubitan di putingku yang sebenarnya masih sakit gara-gara diremas Kak Chandra dan di tabrak Kak Naya tadi.

Sesampainya di kamar kos Kak Naya, kami sama-sama langsung melucuti pakaian kami. Karena memang baju yang kami pakai sudah basah oleh keringat.
"Aku pinjem kamar mandinya ya kak..." kataku.
"Mau ngapain kamu? Mau ngelanjutin yang tadi ya? haha"
"Kalo iya, kenapa?" jawabku kesal sambil membanting pintu kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, aku memang benar-benar mandi. Namun tentu saja didahului dengan masturbasi yang sempat tertunda dari tadi. Dengan duduk di atas toilet duduk, kubuka kakiku dan mengarahkan semprotan shower tepat ke arah kemaluanku. Jari-jariku juga tidak tinggal diam untuk membelai permukaan kemaluanku.
Tidak butuh waktu lama olehku untuk mendapatkan orgasme, karena aku memang sudah terangsang sejak tadi.
****
Keesokan harinya.
Ketika aku bangun pagi, tubuhku terasa pegal sekali, terutama kedua kakiku. Namun tidak hanya itu, aku juga merasakan nyeri di dada kananku. Aku langsung teringat dengan kejadian kemarin. Apakah ini gara-gara remasan Kak Chandra kemarin? Karena biasanya ketika kuremas dadaku sendiri rasanya tidak akan sampai senyeri ini. Semalam, aku kembali dihantui oleh bayang-bayang Kak Chandra. Aku selalu teringat dengan kejadian dimana Kak Chandra meremas dada kananku. Dan seperti sebelum-sebelumnya, ketika aku membayangkan Kak Chandra, ujung-ujungnya aku akan melakukan masturbasi. Itu adalah masturbasi ketiga jika dihitung dengan masturbasiku kemarin malam. Ini dalah baru pertama kalinya aku masturbasi sebanyak itu dalam sehari. Karena biasanya aku hanya akan melakukannya sekali dalam sehari, itupun tidak setiap hari. Mungkin inilah kenapa tubuhku terasa benar-benar lemas.
Aku segera bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju cermin. Aku takut jika ternyata dada kananku bengkak dan membuatnya terliaht besar sebelah. Namun untunglah, dada kananku tidak bengkak. Hanya saja terlihat kemerahan.
Setelah melepas celana training yang merupakan satu-satunya penutup tubuhku ketika tidur waktu itu, aku pun beranjak mandi. Meski dengan kondisi tubuh yang kurang fit, aku tetap harus sekolah.
Siangnya, aku pulang sekolah mendapati rumahku kosong. Entah kemana mamaku. Namun aku tetap dapat masuk ke rumah dengan kunci yang disembunyikan di tempat yang biasa kami pakai untuk menaruh kunci.
Setelah masuk rumah, kulempar tasku ke sofa di ruang tengah dan langsung menuju ke dapur. Kuambil segelas air putih dingin dari dalam kulkas dan kembali ke ruang tengah. Setelah menyalakan tv dan kipas angin, kunikmati segelas air tersebut sebagai penawar panas akibat cuaca yang begitu terik. Kulepas jilbabku, dan kubuka 2 kancing teratas baju seragamku sambil menikmati hembusan angin yang langsung menyentuh kulit dadaku. Kurebahkan tubuhku di atas sofa sambil mengganti-ganti channel tv.
Tiba-tiba kurasakan tasku bergetar. Kucek, rupanya smartphoneku yang masih dalam mode silent. Sebuah panggilan telepon masuk. Namun aku seperti tidak percaya dengan nama yang muncul di layar smartphoneku.
"Kak Chandra."
Orang yang tidak saja pernah melihat dadaku, namun juga pernah meremasnya.
bersambung
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

1 komentar: