Cerita Eksibisionis Hani : Aku, Budak Nafsu Pacar Anakku 3 | Perkenalan Dengan Ardo Dan Pak RT Yang Beruntung

Aku terbangun ketika ku dengar diluar ada suara-suara seperti orang sedang berbicara. Ku lirik jam, menunjukkan pukul 14.00. Itu artinya sudah dua setengah jam aku tertidur setelah masturbasi tadi. Sepertinya itu suara Yona, mungkin dia dengan teman-temannya sedang belajar kelompok.

Akupun beranjak dari kasur dan menyambar daster panjang yg lebih mirip kimono itu untuk ku gunakan kembali. Sejenak ku perhatikan tubuhku didepan cermin. Sudah tertutup semua. Tidak akan ada yang sadar bahwa aku tidak memakai apa-apa lagi dibalik daster ku ini. Sebelum aku keluar kamar tak lupa ku sambar jilbab hijau yg ku gantung di dekat cermin. Sempurna, semua sudah terlihat normal. Akupun berjalan kearah pintu, dan cleck! Oh God! ternyata aku lupa mengunci pintu kamarku. Untung saja sewaktu aku tertidur tadi tidak ada yang masuk. Karena kalau ada yang masuk dan melihatku terkapar telanjang, habis sudah aku.

Akupun keluar dari kamar dan berjalan ke arah ruang tamu, dan benar saja disana sudah ada Yona dan empat orang temannya, 2 cowo dan 2 cewe. Satu per satu Yona memperkenalkan teman2nya itu. Ada Selvy, dan Mitha. Mereka memang sahabat dekat Yona, rumah merekapun di komplek ini, hanya saja beda blok, saking dekatnya mereka bahkan hampir tiap kerja kelompok mereka selalu bareng. Sedangkan dua orang lagi sepertinya baru kali ini kesini, mereka bernama Dio, dan Rizky. Dua lelaki muda itu melihatku tak berkedip ketika Yona memperkenalkanku pada mereka. Aku tidak ambil pusing, toh hampir semua teman cowo anak2ku bereaksi yang sama dengan mereka ketika bertemu denganku. Bahkan terkadang aku merasa bangga diperhatikan seperti itu, karena itu artinya aku masih sangat menarik, bahkan untuk ukuran anak SMP sekalipun.

“kalian mau minum apa?”, aku mulai menawarkan minum untuk membuka pembicaraan ke mereka.

“apa aja deh tan, yang penting dingin, abisnya panas banget siang ini”, Selvy menyahut duluan.

“iya bener kata Selvy tan”, Mitha membenarkan pendapat Selvy. Sedangkan dio dan Rizky tidak berkata apa-apa, hanya diam menatapku.

“Ooh ya udah, tante ke belakang dulu ya”, aku pun berlalu meninggalkan mereka. Baru beberapa langkah, aku mendengar salahsatu diantara mereka berbisik ke Yona, anakku.

“mama mu cantik juga ya na, kayak anak kuliahan mukanya”, bisikan itu terdengar seperti suara Dio, ya kayaknya itu suaranya. Aku hanya tersenyum. Dalam hati tersanjung juga dipuji sama anak SMP.

Lima menit kemudian aku sudah kembali dengan baki di tanganku. Muka teman-teman Yona langsung berubah cerah.

“ma, tadi kata Dio mama cantik”, ucap Yona ketika aku meletakkan minuman itu diatas meja.

“iya dong, kan mamanya Yona, Yona nya juga cantikkan?”, aku menjawab sambil tersenyum ke arah Dio. Anak itu cuma bisa memamerkan gigi-gigi putihnya sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara itu Yona terlihat sangat senang ketika ku puji.

“ya udah ya, mama mau mandi dulu, gerah nih”, aku berkata pada Yona. “kalian yg serius ya ngerjain tugasnya, biar dapet nilai bagus”, “iyaa tanteeee”, koor mereka berempat.

Akupun meninggalkan anakku dan teman-temannya itu. Masuk ke kamar, mengunci kamar, dan langsung menuju kamar mandiku.


*******

Sore itu, pukul 17.30, aku sedang di dapur, memasak untuk makan malam. Sementara itu di ruang tamu teman-teman Yona sedang berkemas untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Tiba-tiba Dio meminta izin ke toilet dan Yona mengarahkannya untuk ke toilet yg ada di dapur. Sejenak hatiku berdebar karena sebentar lagi Dio, yg tadi bilang aku cantik akan kesini. Entah karena aku memang sedang merindukan belaian suamiku, atau kenapa, yg jelas tiba-tiba aku membayangkan bocah SMP itu menjamahku. Pikiranku mulai melayang.

“tant, lg masak kok ngelamun?”, aku dikagetkan oleh suara Dio yg suda berada tepat di belakangku.

“eeh.., ooh…engga kok”, aku tergagap menjawabnya.

“tante masak apa sih, kok baunya enak banget?”, Dio bergeser lebih dekat, bahkan sangat dekat, hingga pantatku merasa ada benda hangat yang entah sengaja atau tidak menggesek pantatku.

“ini, tante lg bikin tumis kangkung, kamu mau ngapain?”, aku sudah bisa mengendalikan diri lagi. Aku berpura-pura seolah tidak merasakan gesekan di pantatku.

“oiya hampir lupa, aku ijin ke toilet dulu tant”, Diopun langsung berjalan ke toilet. Tak lama terdengar suara orang sedang buang air kecil di dalam toilet. Aku menoleh ke toilet. Oh my God! Ternyata anak itu tidak menutup pintu.

Dari tempatku berdiri aku bisa melihat penisnya. Memang tidak terlalu besar, tapi sepertinya 9cm untuk anak seumuran dia sudah cukup bagus, apalagi penisnya kelihatan gemuk. Aahhh, kenapa aku jadi seperti ini?, kenapa otakku jadi nakal gini? Mas, istrimu mulai error nih, kangen kamu. Pikiranku masih saja berkecamuk, nafsuku sepertinya berdebat dengan hati nuraniku. Hatiku menyalahkanku tapi nafsuku mengatakan itu wajar, Karen sudah tiga bulan aku tak dijamah.

“tant, aku pulang dulu ya”, lagi-lagi anak itu mengagetkanku. Ternyata perdebatan dalam diriku membuatku tak sadar kalau dia sudah keluar dari toilet.

“ehh, iyaa…hati-hati yaa”, aku menjawab tanpa melihat kearahnya.

Aah gila!, nafsuku benar-benar tak tertahan, aku harus telpon suamiku. Segera setelah selesai masak, akupun masuk ke kamar dan berniat menelepon suamiku.

“halo sayang, ada apa yang, tumben nelpon jam segini”, terdengar suara suamiku diseberang sana.

“mas, aku horny nih. Pengen maen sm kamu, gimana dong?”, aku mulai menceritakan kegelisahanku.

“keluarin sendiri aja ma”

“udah pa, tapi makin hari makin horny”, nada suaraku mulai merajuk.

“waah gimana yaa? Oiya, kemaren waktu papa keliling disini papa lihat banyak yang jualan sex toys, nanti papa kirimin itu aja biar mama bisa puas yaa”, suamiku memberikan solusi.

“aah, papa ga ngerti aah!”, akupun mematikan hapeku.

Sedikit kesal dengan suamiku karena dia ga ngerti maksud omonganku. Ya, aku hanya ingin dia meladeni aku buat phonesex itu aja, bukan minta dibeliin sex toys, HUH!. Mana puas aku dengan sex toys, aku maunya kamu segera pulang mas! Aku cuma bisa membatin.

*****

Hari ini, aku baru saja pulang dari pengajian di masjid dekat komplek. Ku lihat didepan rumah terparkir motor Satria FU, entah punya siapa. Aku masuk ke dalam, disana sudah duduk seorang pemuda yg cukup tampan. Selang beberapa saat Dian muncul membawa dua gelas minuman.

“eh, mama udah pulang”, Dian menghampiriku setelah meletakkan minum. Dia menciumku kemudian memperkenalkan sosok pemuda tampan yang saat ini sedang duduk.

“maa, ini Ardo, pacar Dian”, pemuda yang ternyata bernama Ardo itupun mengulurkan tangannya.

“Hany, mamanya Dian”, aku menyambut tangannya dan tersenyum. Sekilas wajahnya tersenyum ramah. Aku sedikit terkesan dengannya. Beda dari kebanyakan teman anak2ku, yang suka menatapku penuh nafsu. Ardo menatapku dengan ramah, tak terlihat ada nafsu dalam pandangannya.

Setelah itu akupun mulai duduk menemani Dian dan pacarnya itu, dan sedikit menginterogasi Ardo tentang asal usul keluarga serta kegiatannya di kampus.

Dari hasil obrolan itu, aku dapat menyimpulkan bahwa Ardo adalah cowo baik-baik. Tidak salah Dian memilihnya jadi pacar. Ardo adalah anak salah seorang anggota Dewan. Di kampus, dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) debat. Dan Dian ternyata mulai mengenal Ardo melalui UKM tersebut.

****

Sejak hari perkenalan itu, Ardo hadir sebagai pengganti suamiku di rumah kami. Jika ada yang rusak di rumah ataupun hal-hal lain yang membutuhkan tenaga lelaki maka yang pertama kali kami hubungi adalah Ardo. Hari ke hari, hubungan Ardo dan Dian semakin dekat. Dan hubungan dengan Ardo dan dua anakku yg lain juga semakin dekat. Aku? Ya, akupun tak bisa pungkiri mulai menganggap Ardo seperti anakku sendiri. Bahkan karena dekatnya hubungan kami, beberapa kali aku mengizinkan Ardo untuk menginap di rumahku. Selama ini tidak ada yang aneh dari sikap Ardo.

****

Siang ini aku capek sekali, cuaca sangat garang dan aku baru saja selesai senam di tempat fitness depan komplek. Benar-benar perpaduan sempurna. Capeknya terasa banget.

Aku masuk ke rumah, tidak ada siapa-siapa. Akhirnya aku memilih untuk duduk sejenak di sofa ruang tamu sambil membuka hape. Tadi saat aku senam memang ada beberapa sms yg masuk tapi belum sempat ku cek.

Sender : Hendro My Love
Sayang, paket sex toys nya udah aku kirim, tunggu ya, paling lama juga seminggu udah nyampe ..
Selamat bersenang2 ya sayang, maaf ya sayang aku belum bisa pulang dalam waktu dekat ini
mudah2an ga sering sakit kepala lagi.
Peluk cium, :* {[]}
Sender : Dita My Love
maaa, aku lg di rumah Monic ngerjain tugas.
Sender : Yona My Love
maa, aku main ke rumah Mitha yaa, ntar jam 18.00 udah di rumah kok
masak makan malam yang enak yaaa :*
Ternyata sms dari suami dan anak2ku. Ah, suamiku. Tau banget aku lagi kesepian. Ku piker tadinya cuma becanda waktu dia bilang mau beliin aku sex toys biar ga tersiksa horny terus2an. Ahh, suamiku emang the best.
Aku membalas sms itu satu per satu. Baru beberapa menit, tiba-tiba Dian datang bersama Ardo. Sepertinya baru pulang kuliah.

“ma, aku ijin mau ke rumah sakit jenguk Shinta ya, dia kecelakaan, diantar Ardo kok”.

“iya tant, Ardo yang anter, ntar Ardo anterin lagi pulang”, Ardo menyahut agar aku memberi izin.

“iya sayang boleh, asal pulangnya ga malam-malam banget, paling lambat jam 22.00 udah di rumah”, aku tersenyum kearah Dian. Kemudian melirik Ardo dan berkata “kamu hati-hati bawa motornya, jangan sampe kecelakaan”. Ardo hanya tersenyum.

“ya udah, aku ganti baju dulu ya ma”.

“ya udah sana, buruan”

“yang aku tinggal bentar ya”, Dian berlalu ke kamarnya.

“tant, aku ijin ke toilet bentar ya”, Ardopun berdiri meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

Ku lihat di meja ada sebotol Coca cola dingin. Akupun tergoda untuk meminumnya. “Ini punya Dian kayaknya, soalnya tadi Dian yang megang botol minuman”, pikirku.

Tanpa menunggu lama aku pun meminum coca cola tersebut. Ternyata aku sangat haus, hingga tanpa sadar coca cola itu habis ku tenggak. Tak berapa lama Dian muncul dari kamarnya.

“sayang, tadi coca colanya mama minum, gpp kan?”, aku langsung memberi tahu Dian sebelum dia bertanya.

“iya gpp ma, itu tadi dibeliin Ardo, ntar Dian bisa beli lagi kok, oia Ardo mana ma?”, belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Ardo sudah muncul dari arah dapur.

“udah siap berangkat sayang?”, Ardo bertanya pada Dian. Anak gadisku itu hanya mengangguk.

“tant, aku sama Dian berangkat dulu ya”, Ardo pun berpamitan sambil mencium tanganku.

“iya, hati-hati, dan ingat, jangan pulang larut malam”, aku mengingatkan kembali janji yang kita sepakati.

“siap bos cantik”, Dian menjawab sambil mencium ku. Kemudian mereka berduapun berangkat.

Setelah kepergian mereka, aku memutuskan untuk berbaring di sofa ruang TV, lelah sekali rasanya hingga ku putuskan untuk bersantai sejenak.

Dua puluh menit setelah kepergian Dian dan Ardo, aku yang masih duduk di sofa merasa badanku sangat gerah.
Tak cuma itu, putting susuku terasa agak gatal. Aneh, tak biasanya aku merasa tiba-tiba terangsang seperti ini. Awalnya ku coba untuk menahan tapi makin lama makin meningkat rasa gatalnya, dan bukan itu saja kini aku merasakan hal yang sama pada vaginaku. Ku coba berusaha menahan tapi sudah hampir tidak kuat, dudukku pun jadi gelisah. Ku coba goyangkan badanku agar rasa gatal itu hilang bergesekan dengan bahan bra lembut yg kupakai dibalik pakaian senamku. Tapi rasa gatalnya tidak berkurang, bahkan kini seluruh daging kenyal payudaraku terasa gatal. Kakiku pun ku coba silangkan, tapi rasa gatalnya semakin menjadi.

“Ouuugghh..” aku sudah tidak tahan, aku mulai menggaruk sedikit kedua payudara dengan tanganku, saat ku garuk terasa nyaman sekali karena gatalnya berkurang tapi sulit untuk berhenti menggaruk. Aku pun terus menggaruk sambil memejamkan mata karena keenakan.

“Uuuuuffh..ssshh…” aliran darah ku berdesir cepat karena sensasi menggaruknya itu selain menghilangkan rasa gatal juga membuat birahi terus bangkit. Aku terus menggaruk, aku mencoba bangkit dari sofa tapi rasa gatal itu makin menghebat yang akhirnya membuatku teduduk kembali sambil terus menggaruk. Aku terus menggaruk tanpa sadar di depan pintu sudah ada seorang lelaki paruh baya yang mengintip.

“permisi, ada orang?”, terdengar suara tepat di depan pintu rumahku. Aku tersentak, seperti kembali ke alam sadar. Ku lihat ke arah pintu depan, tampak Pak Muluk disana sedang mencoba mengintip ke dalam rumah. Aduh, apa dia tadi sempat melihatku yang sedang menggaruk-garuk ya? Hatiku berdebar memikirkan itu.
Bergegas ku berjalan ke depan. Kubukakan pintu dan kupersilakan dia masuk.

“Silakan Pak duduk dulu ya, saya ambil uangnya”, senyumku ramah sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu. Aku tahu pak RT datang untuk meminta iuran kebersihan.

“Kok sepi sekali mbak, anak-anak pada kemana?”

“Dian sedang mejenguk temannya yang kecelakaan, Dita sedang belajar kelompok di rumah temannya dan Yona juga sedang di rumah temannya, sepertinya mereka hari ini pulangnya malam”, dengan bodohnya aku menjawab detail seolah-olah ingin mengatakan bahwa sampai nanti malam aku hanya sendiri di rumah ini.

Seperti biasa matanya selalu saja menatapi tubuhku, terutama bagian dadaku yang sangat membusung. Aku juga sadar kalau dadaku sempat diintip olehnya waktu menunduk untuk menaruh segelas teh untuknya.

“Minum Pak”, tawarku lalu aku duduk di depannya. Rasa gatal di dada dan vaginaku belum hilang. Hal ini membuat vaginaku terus mengeluarkan cairan cintaku.

Lama berbincang dengan Pak Muluk, nuansa pun mulai terasa cair di ruang tamuku yang nyaman itu. Dia menanyaiku sekitar masalah anak-anakku, seperti kuliah, hoby, kegiatan keluarga, dan tentu saja tak lupa menanyai kabar Hendro yang sedang di luar negeri, tapi matanya terus menelanjangiku.

“Mbak habis olah raga ya?, soalnya badannya keringatan gitu terus mukanya merah lagi” katanya.

“Iya nih Pak, biasalah pak, wanita harus menjaga badan lah, biar suami gak tergoda sama yang lain”, ucapku. Padahal mukaku memerah karena sudah sangat horny.

“cuma bapak lihat sekarang mbak kelihatan cape banget, pengen dipijat ?, Bapak bisa bantu pijitin kok?”, kaget juga aku mendengar keberanian Pak Muluk menggodaku.

“enggghh,,ga usah deh pak, saya mau istirahat aja”, akupun menolak secara halus. Aku berdiri untuk mengisyaratkan agar Pak Muluk segera pergi. Pak Muluk memang ikut berdiri, tapi kemudian dia berkata

“bapak tadi lihat lho, kamu menggaruk2 dada dan memek mu itu, dan bahkan bapak sempat videoin sebentar”, kata-katanya terasa seperti petir di siang bolong. Aku kaget, tapi berusaha menyembunyikan kekagetanku. Sementara Pak Muluk tersenyum penuh kemenangan. Aku duduk kembali diikuti oleh Pak Muluk yang berpindah duduk ke sebelah ku.

“bapak bisa saja menyebarkan video ini ke orang-orang komplek sini, bahkan bapak bisa upload di internet”, Pak Muluk berkata pelan seperti berbisik.

"Jangan! Jangan, pak. Jangan sebarkan, tadi saya hanya sedikit khilaf…!” ucapku. Suaraku gemetar. Membayangkan jika video itu benar-benar disebar. Mataku mulai berkaca-kaca, membuat rasa horny ku tadi sedikit hilang.

“Hmmm, bisa saja saya tak sebarkan video itu, bahkan kalau mbak mau saya bisa hapus video itu, tapi tentu saja nggak gratis toh?!”, Pak Muluk mulai melancarkan serangannya. Ya, serangan ke arah psikologisku.

“Berapa saja saya berikan pak, bapak mau berapa saya langsung kasih, asal video itu dihapus”, aku semakin gugup menjawabnya.

“bukan berapa mbak, tapi apa, hehehe…”, Pak Muluk mulai terkekeh.

“Hmmmm…” Pak Muluk pura-pura berpikir. “gimana kalau saya bantuin mbak buat masturbasi dan mbak juga bantu saya?”, belum sempat aku menjawab, tangan halusku digenggam olehnya.
Hatiku berontak tapi tak mampu memberi perlawanan yang berarti melawan gertakan Pak Muluk yang mengancam akan menyebarkan video itu.

“sepakat kan?”, Pak Muluk bertanya seolah-olah ingin ketegasanku. Akupun terpaksa mengangguk lemah.

“Nah, kalau udah sama-sama sepakat kan enak”, Pak Mulut tersenyum buas. “Mari mbak, kesinikan kakinya biar Bapak pijat”, ucapnya lagi.

Aku lalu mengubah posisi dudukku menjadi menyamping dan menjulurkan kakiku ke arahnya. Dia mulai mengurut paha hingga betisku. Uuuhh..gilaaa pijatannya benar-benar enak, telapak tangannya yang kasar itu membelai pahaku yang putih mulus hingga semakin membangkitkan birahiku. Akupun mendesah-desah sambil menggigit bibir bawahku.

“Pijatan Bapak enak nggak mbak?” tanyanya.

“Iya Pak,.. enak nih.. emmhh!”, nggak sadar aku menjawab seperti itu, mulutku terus mendesah membangkitkan nafsu Pak Muluk, desahanku kadang kusertai dengan geliat tubuh.
Dia semakin berani mengelus paha dalamku, bahkan menyentuh pangkal pahaku dan meremasnya.

“Enngghh.. Pak!” desahku lebih kuat lagi ketika kurasakan jari-jarinya mengelusi bagian itu.
Tubuhku makin menggelinjang sehingga nafsu Pak Muluk pun semakin naik dan tidak terbendung lagi. Celana sportku yang seperti legging mulai diperosotkannya beserta celana dalamku.

“Aawww..!” aku kaget sambil menutupi kemaluanku dengan telapak tanganku, bagaimanapun ini pertama kalinya bagiku membiarkan orang lain selain suamiku melihat vaginaku.

Melihat reaksiku yang seperti itu membuatnya makin gemas saja, ditariknya celanaku yang sudah tertarik hingga lutut itu lalu dilemparnya ke belakang, tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya sehingga kemaluanku yang berambut lebat itu tampak olehnya, klitorisku yang merah merekah dan sudah becek siap dimasuki. Pak Muluk tertegun beberapa saat memandangiku yang sudah bugil bagian bawahnya itu.

“Kamu memang sempurna mbak, dari dulu Bapak sering membayangkan tubuh kamu, akhirnya hari ini kesampaian juga”, rayunya.

Dia mulai melepas kemejanya sehingga aku dapat melihat perutnya yang berlemak dan dadanya yang berbulu itu. Lalu dia membuka sabuk dan celananya sehingga benda dibaliknya kini dapat mengacung dengan gagah dan tegak. Sejenak aku ternganga melihat penis Pak Muluk, panjang, berurat dan tebal. Lebih panjang dari punya suamiku. Aku menatap takjub pada benda itu. Pak Muluk mulai membuka pahaku lalu membenamkan kepalanya di situ.

“Hhmm.. wangi, pasti mbak rajin merawat diri yah” godanya waktu menghirup kemaluanku yang kurawat dengan apik dengan sabun pembersih wanita.

Sesaat kemudian kurasakan benda yang lunak dan basah menggelitik vaginaku, oohh.. lidahnya menjilati klitorisku, terkadang menyeruak ke dalam menjilati dinding kemaluanku. Lidah tebal dan kumisnya itu terasa menggelitik bagiku, aku benar-benar merasa geli di sana sehingga mendesah tak tertahan sambil meremasi rambutnya. Kedua tangannya menyusup ke bawah bajuku dan mulai meremas buah dadaku, jari-jarinya yang besar bermain dengan lembut disana, memencet putingku dan memelintirnya hingga benda itu terasa makin mengeras.

“Pak.. oohh..duuhhh, kenapa jadi giniihhh.. Pak!” desahku tak tahan.

“Enakkan mbak?”

“Hmmmmm…nggh…”, aku hanya mengerang dan memejamkan mata. Nafsu, malu, marah dan benci bercampur menjadi satu. Namun, nafsuku masih lebih berkuasa. Jilatan itu terasa makin nikmat, aku sampai tanpa sadar menggoyang-goyangkan pinggul ku ketika Pak Muluk berhenti sebentar. Aku sudah benar-benar dikuasai nafsu birahi. Aku sudah seperti wanita-wanita murahan yang suka menjajakan dirinya. Tidak sampai 10 menit aku sudah merasakan akan keluar.

“Ouuh..gilaaa..paaakkh..oouuuhhhhhhhhh..”, aku mencapai klimaks, badanku terus menggeliat menikmati sisa sisa orgasme ku. Gila ! Aku orgasme oleh lidah Ketua RT ku, istri macam apa aku ini? Hatiku terus menyerang pikiranku dan menyalahkanku.

“sekarang gantian yaaa”, Pak Muluk menarik tanganku ke arah penisnya. Aku menurut saja, dengan lembut ku elus-elus penis besar itu. Desahan terdengar dari mulut Pak Muluk. Baru dua menit, tiba-tiba Pak Muluk melepas genggamanku pada penisnya. Ia berdiri dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Ditampar-tamparkannya penis itu ke pipiku.

“mulutnya dibuka mbak”, Pak Muluk berkata pelan tapi tegas. Pak Muluk sudah menggesek-gesek penisnya ke mulutku yang masih terkatup. Aku masih belum mau membuka mulutku. Apakah harus sampai sejauh ini? Apa tidak bisa aku kocok saja sampai keluar?, batinku masih terus saja berperang.

“ayolah mbak, kita sudah setengah jalan, daripada videonya saya sebar?”, kata-kata itu akhirnya meluluhkan perlawananku. Sedikit demi sedikit mulutku membuka menerima kehadiran batang penis bandot tua itu.

“Aaaahh.. ”, Pak Muluk mulai mendesah. Terasa hangat ketika rongga mulutku penuh oleh penisnya. Dipegangnya kepalaku yang masih terbungkus jilbab putih, lalu pelan-pelan digerakkannya kepalaku maju mundur, memompa penisnya. Lama-lama, seperti sudah terbiasa tanpa dorongan darinya kepalaku tetap bergerak-gerak sendiri.

“Hmmmhhh…” Pak Muluk kembali mengerang. Aku memang sudah terbiasa melakukan blow job untuk suamiku, wajar saja kalau RT brengsek ini keenakan dengan serviceku. Selain mengulum dan memompa penisnya, aku juga menjilati dan mengulum buah pelirnya. Hal ini ku lakukan tak lain hanya agar dia segera tuntas dan pergi dari rumah ini. Pak Muluk tampak tersenyum melihatku yang terus memompanya. Mungkin sensasi tersendiri baginya ketika melihat wanita yang masih berjilbab menjilat-jilat penisnya dan mengemut-emut buah zakarnya dengan wajah merah padam. Marah, malu, risih, takut, namun juga birahi, membuat wajah cantik berjilbabku ini semakin cantik dimatanya.

“Aauh.. Uuhhhh.. Uuuhhhh..”, Pak Muluk terus merintih menahan kenikmatan, semantara aku sibuk dengan aktivitas mengulumku.

“Aahhh.. Hmmhh.. Ayo, mbak! Saya sudah mau keluar ini…” rintihnya, sepertinya dia merasa sudah mau meledak.

Aku tak menjawab, semakin hebat ku sedot penisnya. Tubuhnya mengejang dan tanpa bisa dibendung lagi, muncratlah cairan putih itu. Aku segera melepas mulutku sehingga cairan itu berserakan mengenai kepala dan wajahku. Tubuhnya terhempas di sandaran sofa.
Aku segera menjauh dari tubuh dan penisnya yang masih berkedut-kedut, lalu meraih tissue di meja dan mengelap bibir, wajah, serta kepalaku yang terkena semprotan spermanya.

“Saya sudah melayani bapak, sekarang tolong bapak berikan video itu untuk kuhapus!” kataku tegas. Tubuhku masih bergetar. Nafasku masih memburu. Aku sadar bahwa diriku masih ada dalam genggaman nafsu birahi, getaran-getaran nafsu itu masih menjalari tubuhku. Namun aku tidak ingin RT bejat itu berbuat lebih jauh. Segera ku rapikan pakaianku. Celana dalam dan celana sportku kupakai lagi. Ku lihat Pak Muluk memungut bajunya dan memakainya kembali.

“hahaha…video apa?”, Pak Muluk tertawa mengejekku.

“jangan macam-macam ya Pak, saya sudah turutin kemauan bapak, sekarang waktunya bapak turutin kemauan saya!”, suaraku mulai meninggi. Emosi, karena merasa dipermainkan.
“mbak Hany yang cantik, saya memang nggak punya video apa-apa, tadi saya kesini dan mengintip ke jendela, saya lihat mbak sedang menggesek-gesek memek mbak dengan tangan mbak sendiri, makanya saya bisa tahu kalau mbak sedang birahi tinggi, hehehe”, Pak Muluk terkekeh sendiri. Dia lalu berjalan meninggalkan ruang tengah hendak keluar.

Aku hanya diam mematung. Merutuki bodohnya diriku yang percaya saja ketika dia bilang bahwa dia punya video aku yang sedang masturbasi. Ahh, harusnya aku minta bukti dulu. Arrghhhh..tiba-tiba aku merasa kesal sendiri dengan kebodohanku.

“mbak, ternyata sedari tadi kita main, pintu ini masih terbuka lho!”, Pak Muluk yang sudah berada di depan pintu berujar lagi. Degg! Lagi-lagi,,ah, dasar Hany bodoh!, bagaimana jika ada yang lihat permainanku dengan Pak Muluk tadi? Huh! Aku lagi-lagi merutuki kebodohanku.

“Saya pulang dulu mbak, makasih jamuannya, memeknya enak”, Pak Mulukpun berlalu meninggalkan rumahku.

Setelah kepergiannya, akupun segera mengunci pintu dan masuk ke kamarku. Ku kunci kamarku dan segera ku masuk ke kamar mandi. Ku nyalakan shower, dengan masih berpakaian senam tadi ku guyur tubuhku. Ku menangis sejadi-jadinya karena sudah melakukan hal terkutuk dengan ketua RT bejat itu. Aku menangis, karena sudah mengkhianati suamiku. Satu jam lebih aku baru keluar dari kamar mandi. Ku keringkan tubuhku. Ku lihat layar hapeku seperti ada sms yg masuk.

Sender : 08566361xxx
Ga nyangka ya, bu Hany ternyata nakal juga.
Aku terpaku membaca sms itu, hapeku langsung jatuh begitu saja. Itu jelas-jelas bukan nomor Pak Muluk. Nomor siapa itu? Apa benar ketakutanku tadi? Ada yang melihat ketika aku melayani Pak Muluk tadi. Berbagai pertanyaan mengalir di kepalaku. Aku menangis lagi. Oh Tuhan, kenapa cobaan ini datang bertubi-tubi? Siapakah itu? Dan apa yang diinginkannya dariku?

to be continued
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar