SINOPSIS
Tia akhirnya dibawa oleh Mang Enjup untuk bernegosiasi
dengan Pak Walikota. Selain mereka, juga ada dua pihak lain yang turut
bersaing memperebutkan proyek. Sementara itu Bram memutuskan untuk
pulang lebih cepat…
Story codes:
M+/F+, anal, cons, reluc
DISCLAIMER
*
Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas
dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa,
harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya
adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah
fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah
kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita
ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku
dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum
tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan,
pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan
dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak
untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak
memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan
cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
CREDITS
Terima
kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty
Wife Tia. Terima kasih juga Anne, Linda, dan Anandika buat
saran-sarannya. Teriring salam untuk Ventros S dan teman-teman pembaca
seri ini di negeri seberang.
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Slutty Wife Tia 8 Tia dan Pesta Pak Walikota
-Ninja Gaijin-
-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia
mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram suaminya,
menjadi lebih seksi dan binal. Namun Mang Enjup, atasan Bram,
mengetahui perubahan Tia dan ikut-ikutan mendorong Tia menggunakan
pengaruh hipnotisnya agar perubahan kepribadian itu tidak
tanggung-tanggung. Pasalnya, Mang Enjup berencana memanfaatkan
kecantikan Tia, yang akan dilibatkan dalam persaingan mendapat satu
tender proyek besar…
*****
“Good girls gone bad, the city's filled with them”
--Empire State of Mind, Jay-Z
Pagi, di Salon Citra.
Ketika
Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan,
keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua gadis yang
orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan
mereka berbeda. Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Tia polos,
malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak
pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa
sampai orang-orang lebih tua. Tia tidak pernah menanggapi karena dulu
dia menganggap belum waktunya dia pacaran. Sedangkan Citra beredar dari
satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka.
Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan
lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi
bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga.
Pagi-pagi
Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu
acara. Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan
ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau
dilakukan adik iparnya.
“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.
“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.
“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala…”
“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting…”
Citra
tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia
tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu
reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus
sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram,
tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu… Tapi untuk saat itu Citra
memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya.
Tak lama
kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya,
Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern.
Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan
kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah
bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak
diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu.
Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus
pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya
berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi
payudara Tia dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Tia yang
terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up
yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena
keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal
terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.
Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.” Tia tertawa kecil. Citra merasa sedikit miris.
“Di
mana acaranya?” tanya Citra lagi. Tia menyebut nama satu hotel yang
terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama
hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi.
Dengan berbagai laki-laki.
“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.
“Bram belum pulang ya?”
Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.
“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.
“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan…”
Citra
diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan
terjadi pada Tia. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa
waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan
suaminya. Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya,
dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya.
Ketika Tia kembali
ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon
Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu.
Teleponnya tidak dijawab.
Tentu
saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang
sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.
*****
Tidak
lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil
berhenti di luar. Mang Enjup datang menjemputnya. Seperti biasa Mang
Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja. Reja menyetir
sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.
“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,”
puji Mang Enjup. Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan
tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari
pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah
Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua
kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor.
Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa
pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.
“Ayoh kita
langsung berangkat. Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup. Tia
mengangguk. “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia,
merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari.
Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju
pusat kota.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang
sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia. Dengan gemas Citra
kembali berusaha menelepon Bram. Belum juga berhasil.
*****
Sepanjang
perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan.
Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu
mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara
Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan.
Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk
melihat wajahnya. Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia
beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam
mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil
tangannya menggenggam tangan Tia. Genggaman itu kadang dilepas menjadi
belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.
Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?
Sejak
berubah penampilan, cara berpikir Tia ikut berubah. Kini dia menikmati
perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai
objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat
laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan
keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua
laki-laki. Dia tak menolak siapapun. Seperti seorang pelacur, Tia kini
bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak
perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya. Laki-laki
tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Kumis, si
tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang
menciduknya.
Tia sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan
diumpankan kepada Pak Walikota. Kata-kata terselubung yang disampaikan
Febby dan Jana kemarin membenarkan itu. Dan Tia sama sekali tak
keberatan. Dia sudah pernah meladeni manusia-manusia yang lebih tak
pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya.
Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang umurnya
sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding
Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena
pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa
daripada Mang Enjup, apalagi suami Tia sendiri, Bram.
Masih Tia
ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta. Tatapan seorang
laki-laki yang lapar. Yang menginginkannya. Yang seolah hendak
menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang
dipandangi seperti itu; dua perempuan lain yang ada di sana juga
dipandangi seperti itu. Tak apa. Tia menduga dia mungkin akan bertemu
dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja. Dia sudah merasa cukup
percaya diri untuk bersaing.
Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota!
Mereka
menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di
tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis
dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan
hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang
penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas
lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di
tengah sibuknya jam kerja.
Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu
gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya
tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Tia mengira
inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Tia baru
tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah
sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam
terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika—semua terjadi di balik
dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak
tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu,
baik uangnya maupun kegiatan usahanya.
Mobil berhenti di depan
lobi dan Mang Enjup turun bersama Tia dan Danang. Reja kemudian membawa
mobil ke tempat parkir. Tia dan yang lain melangkah masuk ke lobi
hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah
seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan
kacamata hitam dan pakaian serba hitam.
“Pak Jupri. Selamat
datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu. Mang Enjup
tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan
langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Tia dan
Danang mengikuti.
Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor
sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu
paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah
kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan
sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya
ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa.
Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi
seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya
muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu
lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat para hidung
belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal.
Terlihat seorang laki-laki botak berkumis memanggil seorang perempuan
paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki
botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau
memilih yang mana. “Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si
mucikari. Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa
sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di
sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.
“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Tia.
“Iya,” kata Mang Enjup. “Namanya Tia.”
“Non
Tia bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi. “Pak Jupri
boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa,
barangkali terlalu lama.”
“Kita tunggu di sini aja sebentar,”
kata Mang Enjup sambil menoleh ke Tia. “Neng, ikut sama bapak ini ya ke
atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat
perusahaan, buat kita semua.”
Mang Enjup menggenggam tangan Tia erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.
“Iya,
Mang,” kata Tia sambil tersenyum. Mereka berpisah di situ. Mang Enjup
dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Tia dan si cepak menuju pintu
lift.
Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa
pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya. Sementara Mang
Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya.
Benar saja, Simon Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap
bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang
seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian
dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda
dengan saingannya yang satu lagi, Majed. Majed yang ganteng dan
bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak
berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang
merubungnya mengintil seolah harem-nya.
Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enjup.
*****
Pintu
lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Tia dan si cepak
keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu—tanda bahwa di lantai ini
kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang
lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di
hotel itu.
Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua
laki-laki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya terlihat
teler dan mesti dipapah temannya. Tia dan si cepak menepi ketika kedua
laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di
dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin
teler. Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai
lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak
peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana,
asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan. Dalam
kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi
pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi.
Tia merasakan
jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang
terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu
beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di
pinggangnya.
“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.
“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.
Mereka
berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar
suite terbesar di hotel. Yang menyambut Tia di dalam adalah pemandangan
interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna
hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan
itu ada satu sofa lebar.
“Silakan duduk di sofa sama yang lain,”
kata si cepak kepada Tia, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.
“Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di
sofa. Dua perempuan yang sudah Tia lihat waktu pesta.
Dua saingannya.
Duduk
di sebelah kiri sofa, Gabriella Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin
yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak
tinggi yang juga merah, membuat Tia teringat telenovela yang dulu
ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh
utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian
seperti itu. Gaby berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening,
rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung. Kecantikannya memang
menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan
tercantik sedunia, Gaby sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia
sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan.
Keadaan itulah yang membuat Gaby terjerat iming-iming pekerjaan yang
ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara
asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang
jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai
penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam
Majed-lah yang bisa menanggap jasanya.
Sementara
di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shenny, yang
mewakili Simon Sunargo. Salah satu bisnis Simon adalah agen model,
namun Simon juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas
tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat
gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja. Shenny adalah salah
satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari
bakat” bawahan Simon yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan
tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shenny sedang diminati. Diminati,
oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari
kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang
banyak. Uang dan kehidupan glamor membuat Shenny sulit lepas dari
pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shenny
siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya
persis seperti ketika Tia pertama kali melihatnya, dikepang satu di
belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.
Dengan
hadirnya Tia, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang
akan bersaing memperebutkan proyek besar. Tia jelas berbeda dengan Gaby
dan Shenny. Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi
prosititusi kelas tinggi. Sementara Tia bukan. Tia seorang auditor
internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua
Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan
tugas Tia untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat
Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Tia-lah
yang membuat Tia berada di sana.
Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Tia temukan di HP Bram!
*****
Ketika
Tia datang, Gaby dan Shenny sedang ngobrol dengan bahasa Inggris.
Keduanya berhenti bicara sewaktu Tia mendekat. Shenny menatap Tia
dengan tatapan angkuh, sementara Gaby tersenyum lebar, berdiri, dan
menjulurkan tangan.
Shenny
“Hi there. I think I already saw you at the party?” “Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?” sapa Gaby dengan bahasa Inggris berlogat Latin.
Tia menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Gaby. “How do you do? I’m Tia.” “Apa kabar? Saya Tia.”
“Nice to meet you Tia. You’re here for the business also?”
“Senang bertemu kamu, Tia. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?”
sambut Gaby ramah. Gadis Latino itu sepertinya mudah akrab dengan
orang.
Kemudian Tia menyodorkan tangan ke arah Shenny, berusaha
berkenalan. Beda dengan Gaby, Shenny tampak meremehkan Tia dari tadi,
tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Tia juga bisa
ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Gaby.
Tia duduk di
antara Gaby dan Shenny di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia
tak terbanting oleh keelokan kedua saingannya.
“Udah biasa urusan begini?” tanya Shenny datar ke Tia.
Tia bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya… biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?
Jadi Tia menjawab dengan tersenyum saja.
Shenny tersenyum sinis. “Masih baru ya… Asal jangan minta diajarin aja entar.”
“Nice room they have here.” “Kamarnya bagus juga,” celetuk Gaby, yang tidak mau ketinggalan obrolan.
“I’ve seen better…” “Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus…” balas Shenny, seolah mau menyombongkan pengalamannya. “But this one seems really big. Too big.” “Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.”
Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang…
Ruang
depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang
dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia
setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban,
wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.
“Selamat datang, ladies,” katanya ramah. “Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu. Ayo masuk.”
Ketiga
perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke
ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip
suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah
yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang
mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh
lantainya tertutup karpet empuk.
Di ruang utama, Tia, Gaby, dan
Shenny disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak
Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan
seperti di depan tadi: Gaby di kiri, Shenny di kanan, Tia di tengah.
“Saya
rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Saya
mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling
pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting
yang akan kita garap. Jadi, silakan.”
Pak Walikota mendatangi
sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk. Pertama dia mendekati
Gaby. Tanpa disuruh, Gaby berdiri. “What’s your name?” “Namamu siapa?” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.
“Gabriella,
Pak. Di panggil Gaby,” kata Gaby dengan logat asing tapi lancar. Dia
sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja. Walikota tersenyum. “Good, good. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.” Gaby duduk kembali.
Kemudian
Pak Walikota ke orang di sebelah Gaby, Tia. Tia juga berdiri meniru
Gaby. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya. “Kita ketemu lagi,
Bu Tia… Boleh saya panggil Tia saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia
mencium tangan kanan Tia yang di jari manisnya tersemat cincin
pernikahan itu.
“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti
ini… semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota. Tia tak
paham apa yang dimaksud.
Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak
Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shenny.
Shenny juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga
perempuan itu, Shenny yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai
penghibur tak kalah dengan Gaby, apalagi dari Tia. Jadi dia tahu benar
cara bersikap di hadapan laki-laki.
“Saya Shenny, Pak Walikota,”
katanya sambil mengerling genit. Dilihatnya Pak Walikota balas
tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya. “Shenny ya.
Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota. “Makasih Pak,” ujar Shenny,
membalas basa-basi.
“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa
ketiganya. “Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita
semua mau apa di sini. Iya kan?” Gaby dan Shenny mengangguk dan
tersenyum.
“Nah, mesti saya beritahu… yang mau kita lakukan ini
mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya,
lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.
“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.
Dari
bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara.
Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang
Walikota.
Tia, Gaby, dan Shenny memperhatikan orang-orang yang
datang itu. Dan ketiga cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka
saksikan itu sekumpulan manusia paling jelek, menjijikkan, dan
mengerikan yang pernah mereka lihat. Entah dari mana asalnya mereka.
Preman? Gelandangan? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya
ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang
mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua
dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan
mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara
mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang
ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol,
dengan mata liar. Sekumpulan manusia-manusia bernasib kurang mujur
bertampang hancur. Untuk apa mereka ada di sana? Tia dan kedua yang
lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota.
Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk. “Gile, cakep-cakep banget. Beneran buat kita nih Pak?”
Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.
“Oke.
Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat
apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya.
Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang
yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya
punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian
persaingan ini.”
Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi ketika mendengar lanjutannya…
“Saya
mau lihat kalian layani orang-orang ini. Saya akan tentukan
pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”
Tia kaget. Shenny mengeluarkan suara menahan nafas. Gaby tidak bereaksi.
Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata, “Silakan, teman-teman.”
Orang
kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati teman-temannya,
menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan
duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar
karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya,
seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di
kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton
kegiatan yang akan terjadi.
Tidak butuh waktu lama untuk memulai.
Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan
di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa
dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik.
Si
gemuk yang maju ke depan itu mendekati Gaby. Berat badannya jelas lebih
daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Gaby. Kumis dan
jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga
seperti orang yang tidak mandi seminggu juga.
Tapi Gaby masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.
“Kamu suka aku ngga,” tanya Gaby kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.
Mana
bisa dia tidak suka? Gabriella, dengan rambut panjang coklat yang ikal
terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai
jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang,
kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak
tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap
laki-laki. Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi,
setubuhi aku.”
“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”
Gaby
meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana
training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang, “Ya. Dan kamu
boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!” Jari-jari Gaby mengelus
pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.
“Apa pernah di blowjob?” tanya Gaby.
“Enggak,”
jawabnya penuh semangat, sambil melihat Gaby meloloskan tali bajunya
dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan
cantik terlihat.
Gaby meremas payudaranya sendiri, memamerkan
ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi
nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak
tinggi. Lalu dia tanya si gemuk, “Mau ga aku isep?”
Si gemuk
hanya mengangguk sambil bergumam, “Gile, cakep banget…” Orang-orang
lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua
mata mereka tertuju ke tubuh indah Gaby.
Gaby berlutut di depan
si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si
gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki
kelebihan berat badan itu. Sementara itu si gemuk sedang membuka
kaosnya. Gaby melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut
menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana
dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin
ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk.
Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh
melayani manusia gemuk bau seperti dia. Tapi Gaby bertahan, karena dia
memang profesional. Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai
jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk
menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Gaby
mulai menjual diri di jalan, banyak juga manusia-manusia buruk rupa yang
pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi
belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Gaby. Gaby memang
naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat
klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu
“Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata
tidak suka.”
Gaby mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk
yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak
kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan.
Tapi Gaby tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya
ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.
“Mmmmm. Mmmm! I love it,” desah Gaby. Palsu.
Beberapa
orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak
percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk.
Selagi mereka menonton, Gaby mengangkat batang si gemuk untuk meraih
buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan
menyebar bau tak sedap. Gaby berbalik badan, lalu berposisi duduk di
bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus.
Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu. Kemudian
setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Gaby
benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan
jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia
goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya.
Sesudahnya Gaby bertanya, “You like?”
Gaby langsung meraih batang
si gemuk dan mulai memasturbasikannya. Si gemuk tak tahan dan dia
berteriak, “Anjrit… ngentot… Ga tahan!”
Beberapa detik kemudian
si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan
Gaby terhadap burungnya. Gaby agak lega, dia berhasil membuat si gemuk
cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si
gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan
posisi perut yang besar itu menindih tubuh Gaby… Tapi dia tahu
tugasnya belum selesai. “Siapa lagi?” ajaknya.
*****
Nah,
sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam
kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan
lain yang ada di sana, Tia dan Shenny, tak terjamah. Mereka jelas tak
mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati
perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam
mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti
sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan
anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang
berkedudukan rendah.
Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu
muncul, Shenny sudah deg-degan. Berbeda dengan Gaby yang mulai dari
bawah, Shenny selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia
mulai sebagai model di agen Simon Sunargo, dan yang membuat dia mau
membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak
dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shenny cukup tinggi, mungkin
senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja
mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis
keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya.
Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia
juga biasa pilih-pilih klien.
Waktu Simon memberitahunya untuk
meladeni Pak Walikota, Shenny menyangka dia sekadar akan melayani satu
orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun
hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan,
Simon berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak
Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan
tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek. Shenny tak dapat
memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan manusia tak
sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun
tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta.
Sementara orang-orang itu? Ih! Shenny selalu menganggap dirinya
anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena
batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci. Ketika Pak
Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shenny terpaku, tak tahu
harus berbuat apa. Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati
Gaby, Shenny sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya
bisa bersaing, tapi… apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri
seperti Gaby yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?
Persetan dengan tendernya Koh Simon!
Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.
“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.
“Tapi
tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet
atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal
hidung. “Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”
Mereka
melihat ekspresi Shenny yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah
nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan
mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shenny, sementara si codet pernah
ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam.
Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shenny
dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat
terpendam mereka.
Ketika tangan si bopeng terjulur, Shenny tak
tahan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel.
Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani
orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada
Simon Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka.
Si bopeng dan
si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti
Shenny yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu
keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.
“Minggir
Pak. Saya mau keluar!” teriak Shenny. Tapi si pengawal melihat Pak
Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser. “MINGGIR!”
Kembali Shenny berteriak, wajahnya amat kesal. Sesaat kemudian
teriakannya berubah. “JANGAN! LEPASIN!” Si bopeng dan si codet sudah
sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera
memegangi Shenny. Shenny shock merasakan tangan kasar mereka
mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram
pantatnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya
melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya
makin bernafsu.
“Lepas…in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Shenny
berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya
merubung. Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Shenny.
Si codet berbisik, “Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama
kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?” Nafasnya yang bau membuat
Shenny bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak
sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shenny, karena memang bukan
urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang
kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang
perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shenny yang
dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang
berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang
kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata
sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang
merubungnya. Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shenny dan memaksanya
menengok sehingga wajah mereka berhadapan.
“Mmmhh!!”
Melihat
sorot mata Shenny yang jijik, si bopeng gemas. Dilumatlah bibir tipis
Shenny dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Dia ingin
kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shenny
makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah
cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng
berhasil membuka paksa mulut Shenny dan menjulurkan lidahnya yang
menjijikkan ke dalam sana. Shenny terus berusaha, dia mau menahan
tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain
sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup
celana dalam. Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk
pahanya. Kalau Gaby tadi mengenakan stoking, paha Shenny tak terbungkus
apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan
basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya.
Kelompok
pengeroyok Shenny, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan
tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran
mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang
normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shenny
bersedia atau tidak. Mereka tarik Shenny kembali ke ruang tengah, ke
tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada
saat yang sama Gaby sedang menyepong dua orang sekaligus.
“Buka
dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa. Teman-temannya
tertawa, sepakat. Shenny tak berdaya menolak, dengan enggan dia
menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari
leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan
dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang
sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang
berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.
BRETTT!
“AIIIHHH!!” Terdengar jerit panik Shenny menimpali bunyi kain dirobek.
Saking tak sabaran, si bopeng dan si codet memutuskan untuk
mempercepat proses penelanjangan Shenny dan cheongsam sutra itu pun
mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus
Shenny pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam,
masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua
potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang
merubungnya.
Setelah Shenny telanjang, dan tubuh mudanya yang
indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun
menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi
tubuh Shenny. Meremas dan membelai payudara Shenny yang kecil, kencang,
dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan
sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan
incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shenny
tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan
menahannya.
“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Shenny meringis dan
menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya. Ini
sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal
halus pun terpapar jelas. Shenny menahan nafas selagi merasa bibir luar
vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan
menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang
karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shenny
bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas
rendah. Gaby lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara
Shenny sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang
merubungnya.
Lalu Shenny melihat si bopeng berlutut di depan
selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas.
Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng. Anunya cukup
panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani
Shenny. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah
mengeluarkan sedikit lendir. Si bopeng tak buang-buang waktu dan
beringsut maju; di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi
anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shenny
yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shenny yang rapat
pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa
masuk ke dalam.
“AAAHHH!”
“Aughhh…”
Si bopeng dan
Shenny mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan
Shenny yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang
kere tapi gede.
“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat
wajah si bopeng yang mupeng keenakan. Si bopeng tidak menjawab, dia
masukkan senjatanya makin dalam, menerobos memek Shenny yang sempit.
Shenny menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat
yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.
“Ssh…
uh… ugh…” Si bopeng mendesis keenakan. Dinding dalam kewanitaan Shenny
sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot
kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di
bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu
tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shenny terengah
dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus
mencengkeram bagian-bagian tubuh Shenny, membelai betis dan paha,
merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shenny masih
berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak
dikehendaki.
Penis besar si bopeng sudah merojok masuk
dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shenny saat si
bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya
menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis
itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan
terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal.
Si bopeng terus
mengentot Shenny. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai
sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi. Dia terlalu semangat
gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan
berfisik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia
tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi
orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan
dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental.
Shenny sendiri tak menyangka akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi
si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik
saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas
membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti,
memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya
lebih sering menumpuk di dalam. Senjatanya menyentak dan menyentak,
tiap sentakan melepas semburan peju. Shenny menendang-nendang dan
menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.
“Ahh… Nggaakk!! Jangan!!... Ah! AH!”
Akhirnya
selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya
yang berlumur peju dari dalam tubuh Shenny yang dinodainya. Shenny
gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa
rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan
tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek.
Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Melainkan
pemaksaan oleh sekelompok manusia yang di pandangannya hanya sederajat
di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya.
Shenny menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak
diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap
menggilirnya.
*****
Sesudah Gaby mulai melayani si gemuk
dan Shenny ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi
tiga. Sebagian mendekat ke Gaby, sebagian lagi ikut merubung Shenny.
Sisanya memilih Tia.
Tia memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.
“Selamat
siang, bapak-bapak,” sapanya sopan. “Saya butuh kerja sama kalian…”
katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan.
Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya
tak kalah dengan Gaby dan Shenny. “Ayo… jangan malu-malu,” rayunya.
Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para
laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata
seolah meminta.
“Tolongin yah…” bujuknya, “Saya butuh kontol kalian…”
Meski
kalah pengalaman dari Gaby dan Shenny, Tia jelas mendalami perannya,
berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup. Mereka yang
merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu
berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya
begitu anggun. Rambutnya digelung sehingga memperlihatkan lehernya yang
mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya
yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan
kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush
on. Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi
pembawaan Tia yang elegan membuat mereka segan. Biarpun mereka bisa,
mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Tia berbuat apa saja, seperti
pada Gaby, ataupun memaksa, seperti pada Shenny.
Tia melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih?
tapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu
tak terbendung. Tia tak langsung mengumbar diri seperti Gaby maupun
menunjukkan ketidaksukaan seperti Shenny. Dia tertawa kecil melihat
orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, biarpun mereka mengagumi. Mereka seolah rakyat jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa.
Sambil
tersenyum, Tia melepas satu per satu kancing kebayanya. Setelah
terbuka semua, Tia pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan
kebayanya meluncur ke lantai.
Tanpa menunggu reaksi lain-lain,
Tia kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik
sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi.
Tubuh bahenol Tia pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam.
Orang-orang
di sekeliling Tia kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan
mereka. Tia yang anggun berkebaya berubah menjadi Tia yang seksi
berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari
masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga
putih, dengan desain yang memikat birahi.
Tia berputar, melihat
reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa
yang akan dia layani. Di antara mereka, Tia memilih yang bertubuh
paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan
wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota. Tia tersenyum ke arah si
culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa.
Tia
berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini
kurang pengalaman asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya
saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Tia
berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah
pemuda jangkung itu lalu ditariknya… dan kemudian bibirnya mendarat di
bibir si culun. Si culun membalas dengan kaku; mungkin dia jarang atau
belum pernah ciuman. Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Tia.
Tia yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah
Tia menerobos menelusuri rongga mulut si culun. “Mmmnh…” Tia mendesah
ketika si culun membalas ciumannya. Si culun mulai berani menyentuh
Tia, dan Tia membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa
sungkan, Tia membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita.
Si culun menggenggam gumpalan payudara Tia yang sebagian masih
tertutup bra. Payudara Tia lebih kecil daripada milik Gaby yang montok,
dan lebih besar daripada milik Shenny. Si culun lalu menyelipkan
tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Tia dari bra. Tia
terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun. “Mmm…”
gumam Tia ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya
payudara. “Aah… enak… terusin ya?” Tubuh Tia tak berbohong, tiap
sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua
perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Tia bukanlah seorang
wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki.
Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri
yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari
segala laki-laki. Tia tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan
dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah
memujanya.
Tia kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.
“Kamu
suka?” tanya Tia manja. Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra.
Kedua buah dada Tia yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Tia
lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup
kemaluannya itu. Tia bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit
terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat.
Si culun langsung maju dan mengikuti isyarat Tia, dia berlutut di
antara kedua paha Tia. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama
ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film porno. Dia genggam kedua
pergelangan kaki Tia dan dia angkat keduanya sehingga Tia jadi
mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Tia,
dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat
Tia. “Mbak cakep banget,” bisiknya.
“Kenapa malu-malu? Jilatin
itu… dong?” Tia memberi saran sambil menunjuk vaginanya. Si culun
segera merespon. Tia langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati
celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya. Namun Tia
menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa
cairan kewanitaan. Tia cepat menyadari bahwa mungkin si culun tak
berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan
memperlakukannya seperti yang dia mau.
Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.
“Kalau
mau… mainin pantatku juga, ya? Boleh kok.” Tia mencoba mengarahkan
perhatian si culun ke pantatnya. Si culun tadi meremas dan menciumi
pantat Tia, jadi Tia pikir si culun mungkin suka. “Colok pake jari
kamu…” usul Tia.
Si culun mundur dari vagina Tia dan mulai
mengelus-elus pantat Tia dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati
melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Tia terlihat. “Emm… Beneran
boleh… dicolok, Mbak?” tanya si culun.
“Iya, silakan…” jawab Tia, lalu menyuruh, “Colokin.”
Si
culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di
lubang dubur Tia, lalu mendorongnya ke dalam. Tia sudah rileks dan
bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk. “Eunghh,” keluh Tia
dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur.
“Umh enak.” Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga
jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Tia
suka dibegitukan.
“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.
“Oh… iyah,” seru Tia.
Dia
kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit. Ketika
dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Tia mengerang makin
keras. Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Tia.
“Terusss… ah terus,” seru Tia. “Tamparin pantatku juga…”
Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Tia.
“Yang kencang!” kata Tia. “Ayo tampar!!”
Akhirnya, PLAKK!! Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Tia cukup keras.
“Segitu?” tanya si culun.
“Ya… ayo lagi!” perintah Tia.
Dia
berulangkali menampar pantat Tia dengan satu tangan, sementara jari
tangan satunya tetap dalam lubang dubur Tia. Tia terangsang ketika
merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Tia memperhatikan gembungan
di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.
“Ayo,” ajak Tia. “Entot aku yah?”
Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Tia turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.
“Ohh… aku pengen nih… masukin ya? Ayo dongg…”
“Ah… Mbak, saya, saya…” kata si culun ragu, “Belum pernah…”
Tia
meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium. “Kalau gitu
biar aku ajarin…” Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas
tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu.
Si culun gemetar ketika merasakan Tia menggesek-gesekkan kepala
kemaluannya ke belahan vagina.
“Sini… udah ada di sana, kamu
dorong pelan-pelan ya?” kata Tia sambil menatap si culun dengan mata
berbinar. “Yahh… uahh gede-nya…” kata Tia, menyenangkan ego laki-laki
si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan
wanita untuk pertama kali.
“Ayo… semuanya dimasukin… oohhh!”
Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Tia. Kenikmatan tiada tara
dirasakannya. Erangan Tia menambah panas suasana. “Ayohh… Kamu gerak…”
Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Tia.
Tia merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting
si culun. Payudara Tia bergoyang-goyang akibat gempuran si culun.
Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih
terpasang di kedua kaki Tia terayun-ayun. Si culun terengah-engah.
Si
culun terus menyetubuhi Tia selama beberapa menit, meremas payudara Tia
keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya
dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik
tapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama
ini dirasakannya pun terlupa. “Ah… Mbak… Mbak cantik banget… Ugh…
Seksi…” komentarnya.
“Entot aku… ahh… ah…” desah Tia. Tia senang
si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Tia,
kemaluannya menyeruduk vagina Tia. Pada saat yang sama dia memegang
wajah Tia dengan kedua tangan dan menciumi Tia, lidahnya kembali
menjelajah bagian dalam mulut Tia. Bisa terdengar dia mendengus dengan
setiap dorongan ke dalam lubang kenikmatan Tia. Tia mulai berseru,
“YAHH! Entot… akuhh! Terus! Kontol kamu enak banget! Uh!”
Lalu
Tia meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Tia langsung
menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Tia menatap si
culun. “Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si culun tak
bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.
“Apa kamu pernah
ngentot?” tanya Tia yang menyadari betapa girang si culun. Si culun
menggelengkan kepalanya. “Nggak… Ini pertama kali.”
Tia terus
mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa
membesar. “Keluarin yah…” pinta Tia. “Aku pengen peju kamu…” Gerak
tangan Tia makin giat. “Ayo, tunjukin kejantanan kamu… Aku pengen
disembur peju kamu!”
Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi
selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak
menyirami Tia. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental
sperma, mendarat mulai dari atas pusar Tia, belahan dada, pangkal leher,
sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Tia. Percikan yang jatuh
di bibir langsung dijilat Tia dan sambil menatap si culun, Tia
menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun. “Mmm… aku
suka peju…” komentar Tia. Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian
besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Tia, mengalir turun dari
dada dan perutnya.
*****
Beberapa jam sebelum segala
peristiwa yang dialami Tia terjadi, Bram mendarat di bandara. Dia
menuju tempat parkir di mana mobilnya dititip dan langsung menjalankan
mobilnya ke rumah. Masih siang, tapi dia memang sudah kangen sekali
dengan Tia. Apalagi sejak dia naik pesawat tadi, perasaannya tak enak.
Seolah dia merasakan bahwa istrinya itu sedang menghadapi bahaya.
Sesampainya
di rumah, didapatinya rumah terkunci dan Tia tidak keluar membukakan
pintu. Bram melihat ke salon Citra di sebelah dan hanya mendapati
kakaknya sedang duduk-duduk.
“Kak, Tia ke mana?”
Wajah
Citra berubah tegang. Apa yang harus dia bilang kepada adiknya? Bahwa
dia kira Tia sekarang sedang dipekerjakan Mang Enjup melayani Pak
Walikota demi tender proyek?
Tidak ada jalan lain, pikir Citra. Dia sendiri merasa ikut bertanggungjawab. Mau tidak mau, Citra harus bicara.
“Bram, ayo masuk dulu. Ada yang perlu kubilang.”
Di
dalam salon, Bram mendengarkan selagi Citra menceritakan apa saja yang
terjadi beberapa hari itu. Citra menceritakan bagaimana Mang Enjup
bertamu ke rumah, menemui Tia, dan esoknya Tia diajak Mang Enjup pergi
ke pesta Pak Walikota. Citra juga sempat melihat Tia diantar pulang
oleh beberapa orang yang kemudian ikut masuk ke rumah.
“Tadi pagi
aku habis ngerias Tia…” Citra mengaku. “Dia bilang mau ada acara di
Hotel V siang ini… Dia nggak bilang acaranya apa, tapi tadi yang jemput
dia itu mobilnya Mang Enjup.”
Bram tertegun. Mang Enjup. Pak
Walikota. Pesta. Acara di hotel. Banyak yang Citra tak katakan, tapi
Bram tahu bagaimana menyambungkan titik-titik dengan garis. Dia tahu
cara-cara yang biasa dilakukan bosnya itu, Mang Enjup. Dia tahu
mengenai tender proyek yang dimaksud, siapa saja saingannya, apa yang
biasa mereka lakukan untuk menggolkan proyek. Minggu lalu saja dia
masih terlibat lobi tender itu, menemani beberapa anggota DPRD
mabuk-mabukan di satu tempat hiburan malam. Dia tahu tokoh kunci
terakhir yang harus dilobi adalah Pak Walikota.
Berarti Tia sekarang diumpankan Mang Enjup kepada Pak Walikota…!
Bram
merasa kepalanya berputar, wajahnya berubah jadi keras dan geram.
Citra melihat reaksi adiknya dan merasa bersalah. Dia genggam tangan
adiknya itu sambil meminta maaf, nyaris menangis, “Bram… maaf… Kakak
ikut salah… Kalau saja dulu Kakak nggak ngajarin Tia jadi begini… hiks…”
Tapi kata-kata Citra itu tak terdengar, dan Bram membatin.
Apa harus seperti ini?
Bram
merenungkan praktek bisnis yang penuh tipu daya dan menghalalkan segala
cara. Dia sendiri beranggapan apapun layak dilakukan demi kesuksesan,
tapi kalau sudah seperti ini, ketika orang yang paling dia sayangi di
seluruh dunia ikut terjerumus demi bisnisnya, apakah itu masih layak?
Berhak-kah Mang Enjup memanfaatkan istrinya demi kesuksesan satu proyek
saja, sebesar apapun nilainya? Bagaimana perasaan Tia sendiri? Apa dia
terpaksa? Ataukah dia terbujuk, dan mengingat status Tia sebagai calon
pewaris perusahaan, apakah Tia merasa perlu membantu?
Di dalam
hatinya, Bram tak rela. Dia baru saja menyadari bagaimana Tia selama
ini dia sia-siakan karena dia terus mengikuti kebiasaan buruknya, dan
betapa Tia rela berubah—dibantu Citra—demi mengikuti kemauannya. Dan
sebenarnya Bram sudah bertekad akan menghargai perubahan Tia dengan
tidak lagi mencari perempuan lain. Ujian pertamanya sudah dia lalui
ketika dia berhasil menahan diri untuk tak menyentuh Difa kemarin.
Dan
selama ini Mang Enjup memang seperti menyembunyikan sesuatu darinya.
Bosnya itu rupanya memanfaatkan perubahan Tia demi kepentingannya
sendiri. Memang kalau dirunut, yang Mang Enjup lakukan ini demi
perusahaan milik orangtua Bram dan orangtua Tia juga, tapi apakah mesti
seperti itu caranya? Mengorbankan Tia? Dilema moral yang berbelit dan
ruwet itu akhirnya Bram tebas dengan satu tekad.
Aku harus selamatkan Tia. Dia istriku, tanggungjawabku. Masa bodo dengan tender, dengan kepentingan perusahaan.
“Kak,” kata Bram. “Aku mau ke sana.”
“Kamu
mau apa, Bram…? Kamu tahu kan bakal berhadapan dengan siapa?” kata
Citra khawatir. Citra takut Bram akan nekad dan menantang Pak Walikota.
Memang tindakan yang Citra bayangkan itu bakal bisa merugikan
perusahaan orangtua mereka, tapi Citra tak peduli itu. Kekhawatirannya
didasarkan rasa sayangnya kepada Tia dan Bram. Citra takut keselamatan
keduanya terancam kalau sampai harus konflik dengan pejabat tertinggi di
kota.
“Aku mau jemput Tia,” kata Bram dingin. Citra melihat
sorot mata adiknya begitu tegas. Sorot mata orang yang siap berbuat apa
saja demi membela kekasihnya.
Begitu Bram berbalik untuk pergi, Citra langsung menahan lengannya. “Bisa tunggu sebentar? Kakak mau ikut.”
*****
Kembali di kamar suite hotel…
Pak
Walikota berdiri dari tempat duduknya dan berjalan berkeliling seolah
sedang menginspeksi anak buahnya. Anak buahnya, kumpulan manusia buruk
rupa, sedang sibuk menikmati suguhan tiga perempuan yang dapat kejutan.
Suasana makin seru.
Gabriella pindah ke sofa, dia sedang
berlutut di dudukannya selagi lengannya bersandar di sandaran. Satu
orang sedang mengentotnya dari belakang, menyodokkan penisnya
dalam-dalam. Satu lagi kawannya, si muka hitam yang bergigi depan
ompong, sedang nyengir-nyengir tak jelas di depan wajah Gaby. Wajahnya
sungguh menjijikkan. Dia membungkuk mendekati Gaby dan bertanya,
“Senorita, mau isep kontolku? You wan’ suck my dick?” Dia kemudian
mencium paksa Gaby sambil memegang belakang kepala Gaby agar gadis
Latino itu tak bisa menghindar. Gaby merasakan bau busuk nafas si
ompong yang sungguh memuakkan, tapi dia tak menolak ciuman itu. Dia
bahkan mendorong lidahnya ke dalam mulut si ompong, bergulat dengan
lidah lawan ciumannya. Ketika ciuman mereka berakhir, Gaby berkata
dengan nada palsu bernafsu, “Fuck yes! Give me your dick I’ll suck it!”
Gaby
langsung menjepit kejantanan hitam si ompong dengan bibirnya ketika
disodori dalam keadaan belum keras. Alat kelamin si ompong langsung
tegang begitu disentuh bibir lembut si pelacur impor. Gaby melahap
batang keras itu, mengisap dan menyedot. Penis hitam itu sampai
menonjol urat-uratnya, dan bisa meledak kapan saja. Si ompong meracau
keenakan dengan bahasa yang kurang dikenal, mungkin bahasa daerah
asalnya, tapi apapun yang dia katakan jelas cabul dan tak perlulah
diterjemahkan. Beberapa saat kemudian mulut Gaby mendadak terisi cairan
hangat, dan Gaby menelan seluruhnya. Pada waktu yang sama orang yang
menyetubuhi Gaby dari belakang juga menyemprotkan cairan kelelakiannya
di dalam.
“Benar-benar hebat,” gumam Pak Walikota. Dengan
penasaran Pak Walikota menyimak aksi Gaby. Perempuan dari negeri
seberang laut itu seolah tak gentar menghadapi segalanya, dan tak punya
rasa jijik, bahkan terhadap orang-orang seperti si gemuk dan si ompong.
Seolah-olah bau badan menusuk tak membuatnya kapok, kulit hitam dekil
tak membuatnya ngeri, gelambir lemak tak membuatnya muak. Dia
menanggung semuanya tanpa mengeluh, sungguh profesional. Pak Walikota
jadi teringat masa dinasnya sebagai tentara dulu, ketika dia mengenal
seorang prajurit rekannya yang gigih, terus maju untuk melaksanakan
tugas biarpun sudah kecapekan, luka-luka, dan tidak mendapat bantuan.
Pak
Walikota berjalan lagi menuju kerumunan lain, yang terlihat lebih riuh.
Di situ Shenny, si model bisyar, sedang disetubuhi. Shenny mulai
kehilangan kendali, meraung dan mengerang kencang. Sudah dua orang yang
berejakulasi di dalam dirinya dan sekarang penis ketiga sedang
keluar-masuk vaginanya yang penuh cairan. Namun tubuhnya tidak bisa
dibohongi. Meski dia tak rela disetubuhi orang-orang jelek itu,
tubuhnya sudah di ambang klimaks. Penis yang sedang menusuk kemaluannya
itu cukup tebal dan menggenjot dengan gencar.
“Oh… ah… ah… Ahh!
AHH! AHHHHH!!!” seru Shenny. Penis besar itu menghajar vaginanya
sekali lagi, dan “OHHhhh!!...” Orgasme-nya dimulai! Shenny
menggelinjang tak terkendali, menjerit histeris, dikhianati tubuhnya
yang menyerah pada kenikmatan. Erangan keras bernada tinggi si gadis
keturunan menandakan betapa gengsinya sebagai penghibur kelas tinggi
hancur lebur di tangan manusia-manusia jelek yang bergiliran
menyetubuhinya.
Tidak ada lagi yang dipikirkan Shenny sesudah
itu. Dia tak bisa apa-apa, dan hanya bisa menunggu cobaan itu selesai.
Dia tergeletak lemas seperti boneka, mandi keringat sesudah mencapai
puncak, sementara orang yang menyetubuhinya belum juga klimaks.
Pak
Walikota memperhatikan tatapan mata Shenny yang kosong. Dia menduga
Shenny sedang shock. Tapi dia hanya tersenyum. Diangkatnya telepon
genggam yang sedari tadi digenggamnya. Dihubunginya satu nama.
“Halo?”
“Halo, Pak Walikota. Ada apa? Moga-moga berita bagus.”
“Pak
Simon. Sayangnya bukan kabar bagus. Sepertinya saya harus bilang
penawaran Anda dengan sangat menyesal tidak bisa diterima.”
Terdengar suara seperti mengeluh di telepon. Lalu Simon Sunargo, yang ditelepon Pak Walikota, berbicara lagi.
“Tidak
apa-apa Pak Walikota, mungkin kali lain kita bisa kerjasama lagi.
Mohon maaf kalau mengecewakan. Saya janji akan siapkan yang lebih
baik.”
“Tenang saja Pak Simon, toh sebelumnya kita juga sudah
pernah kerjasama, mungkin untuk proyek ini belum rezekinya Pak Simon.
Yang penting hubungan antara kita tetap baik kan.”
“Iya, iya Pak
Walikota. Saya juga mau kita tetap berhubungan baik. Makanya, buat
menunjukkan itikad baik saya, silakan Pak Walikota kalau mau bisa
manfaatkan jasa asisten saya si Shenny itu sepuas Pak Walikota. Tidak
usah pikir urusan lain-lainnya, biar saya yang traktir.”
“Oke. Sampai ketemu lagi, Pak Simon.”
Pak
Walikota menyudahi pembicaraan telepon dengan Simon. Satu dari tiga
peserta tender sudah gugur. Dia lalu melanjutkan ke perwakilan peserta
ketiga… Tia.
*****
“Sudah sampai,” gumam Bram sambil
menyetir memasuki tempat parkir hotel yang beberapa jam lalu didatangi
Tia. “Kak?” Ketika Bram menengok, Citra sedang memulaskan lipstik
merah tua di bibirnya. Citra tetaplah Citra. Ketika tadi dia minta
ikut, Citra ganti baju dulu, dan dia memilih berpakaian seksi, rok
pendek hitam ketat yang memeluk paha dan blus hitam yang juga ketat.
Sepanjang perjalanan tadi Citra sibuk membedaki wajah, melukis alis,
merias diri. Memang berdandan sudah kebiasaan Citra, tapi Bram tak tahu
apakah kakaknya itu punya rencana tertentu dengan menyiapkan
penampilan.
Bram menghentikan mobil di tempat parkir dan langsung
berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju ke dalam. Citra berlari
menyusul, hampir tersandung akibat sepatu hak tinggi-nya. Dan begitu
Bram masuk… dia bingung. Di mana dia akan cari Tia? Tanya ke
resepsionis?
Citra menggamit lengan Bram. “Bingung kan? Ini
bukan hotel biasa. Kakak tahu kamu pasti mau langsung tanya ke
resepsionis. Dia nggak bakal tahu. Makanya Kakak sengaja ikut. Ayo.
Kakak tahu di mana kita bisa cari info.”
Citra menarik Bram ke
arah pintu yang menuju lounge terbuka. Kakak beradik itu masuk ke
lounge yang masih tetap sepi seperti ketika Tia dan Mang Enjup
melewatinya. Tidak salah rupanya Citra memilih berpenampilan seksi.
Dia langsung bisa berbaur dengan perempuan-perempuan lain di sana, yang
juga berpakaian seksi dan menunggu tamu. Citra celingukan
kesana-kemari, mencari-cari. Lalu dia melihat seseorang yang
dikenalnya.
“Papi Patris!” panggil Citra ke arah seorang
laki-laki paro baya agak gemuk, berkepala bulat, berambut cepak, memakai
jas. Laki-laki yang dipanggil Papi Patris itu menengok dan langsung
tersenyum lebar. “Citra? Aih, sudah lama kamu nggak muncul! Ke mana
aja, sayang?”
Citra memeluk Papi Patris dan cium pipi kanan-kiri.
“Ah nggak ke mana-mana Pap, sekarang jadi perempuan baik-baik, buka
salon,” kata Citra sambil menjulurkan lidah.
“Hahaha, Citra
insyaf? Tanda-tanda dunia mau kebalik nih,” balas Papi Patris. “Itu
tamu kamu ya? Orang kantoran yang sama kamu?”
“Eish, ngaco, itu
adikku. Pap, aku mau tanya dong. Seharian ini lihat ada cewek pake
kebaya di sini nggak?” Citra segera bertanya.
“Iya, belum lama malah, paling sejam-dua jam lalu,” kata Papi Patris.
“Terus ke mana orangnya? Sama siapa dia datang?”
“Tadi
sih dia datang bareng om-om tua gendut ubanan dan cowok rambut panjang
merah sama orang gede yang tampangnya kayak bodyguard. Dia ke lift sama
si bodyguard, dua orang tadi nggak ikutan. Mereka berdua sih udah
pergi lagi. Kalau cewek yang pakai kebaya belum turun,” Papi Patris
menjelaskan. “LT barangkali.”
Citra berusaha mengorek info lebih lanjut sementara Bram tetap diam. “Ada lagi nggak yang nggak biasa hari ini?”
Papi
Patris memandangi Citra, wajahnya berubah serius. “Cit, kamu kayak
polisi aja. Nggak baiklah kita ikut campur urusan orang, daripada kita
nyikut orang yang salah, mending tau sama tau kan.”
Citra mengajak Papi Patris duduk dan mengubah pembicaraan. “Gimana bisnis, Pap? Masih lancar?”
“Di
sini sih lancar terus, ni aja ada anak baru yang lagi aku promosi-in.
He, sini!” Papi Patris memanggil salah seorang perempuan di dekatnya,
yang masih terlihat amat muda. Citra melihat kegugupan di mata gadis
muda yang didandani menor itu. “Kenalin ini Citra, dulu sempat jadi
anak buahnya Papi sebentar. Citra, ini Nurma.”
Citra menjabat
tangan Nurma, lalu langsung memberi tips. “Jangan pakai nama asli,
kalau bisa.” Papi Patris segera menanggapi. “Iya yah, emang belum
kepikiran namanya mau diganti siapa. Kamu ada usul, Cit?”
“Natasya,” kata Citra setelah berpikir sejenak.
“Cakep tuh, boleh,” kata Papi Patris. “Kesannya mirip impor Uzbek. Oke, Nurma mulai sekarang kamu pake nama Natasya, ya.”
Setelah
itu, Papi Patris menyuruh Natasya pergi. “Cit, langganan masih ada
yang suka nanyain kamu lho. Masih mau terima nggak? Ntar kita
sharingnya beda deh… Kamu dulu sebentar banget, tapi banyak yang
terkesan dan tanya terus sama Papi, mana tu Citra yang dulu, pengen sama
dia lagi,” kata Papi Patris.
Menanggapi penawaran, Citra pun berkata, “Sebenarnya aku nggak butuh lagi, Pap. Tapi aku mau aja… Asal…”
“Asal?”
“Asal Papi mau jawab pertanyaanku yang tadi.”
Papi
Patris tertawa terbahak-bahak. “Hahahahaha. Citra, Citra. Tetep aja
kamu jago tawar-tawaran kalau buat urusan beginian. Oke deh. Tapi
janji ya, mau terima klienku. Tenang aja, orang lama semua kok, kamu
udah tau mereka kayak gimana. Lima tamu aja, hitungannya seperti dulu.
Deal?”
“Tiga tamu, deal,” kata Citra sambil menjabat tangan Papi Patris.
“Hahaha,
iya deh, tiga. Aku nggak pernah bisa menang ngomong lawan kamu, Cit.”
Papi Patris dan Citra sama-sama tersenyum sinis.
“Oke Pap. Jadi… ada apa aja hari ini di sini?”
Dengan
suara berbisik, Papi Patris pun menjelaskan bahwa dia sudah ada di sana
sejak pagi, mengumpulkan beberapa anak buahnya yang di-booking
semalaman. Sesudah memulangkan mereka, dia terus nongkrong di sana
mengelola anak buahnya dan mencari tamu. Dia bilang, selain perempuan
berkebaya (yang Citra ketahui sebagai Tia), ada lagi dua perempuan yang
diantar bodyguard itu ke atas.
“Yang satu jelas impor, tampangnya
kayak artis telenovela. Kalau nggak Latin ya Uzbek. Yang satunya lagi
panda, nggak tau lokal apa cungkuo. Dua-duanya belum ada yang turun
lagi. Oiya, tadi ada klien Papi mau booking kamar suite paling gede
yang lantai lima, katanya mau bikin pesta bujang, tapi ga dapet soalnya
kata hotelnya itu kamar lagi dipake pejabat tinggi. Itu aja yang Papi
lihat.”
Citra tersenyum. “Makasih banyak, Pap. Aku tunggu
lanjutan deal kita tadi, tapi jangan hari ini yah. Nih nomor teleponku
yang baru,” kata Citra sambil kemudian menyebutkan sederetan angka yang
langsung dimasukkan Papi Patris ke HP-nya.
“Saran aja Cit,” kata
Papi Patris ketika Citra mau pergi, “Kamu udah tau bisnis ini. Jangan
sampai nyikut orang. Hati-hati ya sayang.”
Citra kembali ke Bram. “Kakak sudah tahu ancer-ancernya Tia ada di mana sekarang. Ayo ikut.”
Keduanya menuju pintu lift di seberang lounge. “Tadi siapa, Kak?” tanya Bram.
“Orang
dari masa laluku…” kata Citra, tak memberi jawaban jelas. Biarlah,
pikirnya, Bram belum perlu tahu tentang masa ketika dia sempat menjadi
anak buah Papi Patris, seorang germo…
*****
Pak Walikota merasakan organ kelelakiannya mendesak celana. Tangannya mengelus gundukan itu.
Dia
mulai berfantasi tentang Tia sejak dia hadir di pernikahan Tia dan
Bram. Memang, sebelumnya dia sudah kenal dengan kedua orangtua Tia, dan
ketika dia masih berdinas tentara dia sudah pernah melihat Tia yang
masih sekolah. Sebelumnya dia anggap Tia biasa-biasa saja. Namun entah
kenapa, dia mulai terobsesi dengan Tia sejak dia melihat Tia yang
menjadi “ratu sehari” pada hari pernikahannya. Gadis polos itu berubah
menjadi putri yang cantik luarbiasa pada hari itu, dan Pak Walikota
harus mengakui dia jadi menginginkan Tia. Tapi obsesinya terpendam
bertahun-tahun tanpa bisa diwujudkan karena dia jelas tak bisa
terang-terangan merebut Tia dari Bram. Apalagi dia punya keluarga,
jabatan, dan status. Ditambah lagi hubungan baiknya dengan dua keluarga
pengusaha, keluarga Tia dan keluarga Bram. Lalu pada suatu hari,
ketika melobi, Pak Jupri dari perusahaan keluarga Tia dan Bram
menyebut-nyebut Tia. Godaan untuk memanfaatkan kekuasaan demi memuaskan
nafsu menjadi sukar ditolak, dan Pak Walikota pun sengaja mempersulit
upaya lobi Mang Enjup dan para pesaing. Uang suap ditolaknya dengan
alasan takut penyidikan lembaga pemberantas korupsi. Perempuan
penghibur kelas tinggi pun ditolaknya dengan alasan bukan seleranya.
Tapi Pak Walikota tetap memberi angin kepada ketiga juru runding
perusahaan, terutama Mang Enjup. Mang Enjup yang berpengalaman pun bisa
menangkap maksud Pak Walikota, dan dia pun mulai merancang rencana
untuk melibatkan Tia. Kebetulan sekali, pada saat yang sama Tia sedang
berusaha berubah demi mengikuti selera Bram. Di situlah kepentingan
bisnis dan obsesi pribadi bertemu. Keinginan Pak Walikota bertemu Tia
dipenuhi oleh Mang Enjup.
Namun Pak Walikota memang sengaja
mengadakan acara pesta seks antara tiga perempuan cantik versus
sekumpulan laki-laki jelek. Ada alasan…
Saat itu, Tia sedang
menungging di sofa sementara si codet, yang sebelumnya ikut mengeroyok
Shenny tapi keduluan terus oleh teman-temannya, berdiri sambil mengocok
kemaluannya. Tia menoleh. Sepotong daging keras siap memasuki
tubuhnya. Si codet berbisik ke Tia.
“Gue mau ngentotin pantat Non ya.”
Dan…
Tia mengangguk sambil tersenyum! Si codet dengan penuh semangat
mengambil posisi di belakang Tia, menaruh kejantanannya di lubang dubur
Tia, dan menerjang maju. “UHHHH~H!” Tia menjerit seksi ketika penis si
codet meretas lubang belakangnya. Liang kecil sempit itu merentang
untuk memuat penis yang masuk, dan Tia bisa merasakan batang yang keras
itu meluncur di saluran duburnya.
“Gimana rasanya Non?” tanya si
codet, menyadari bahwa kemaluannya berhasil meregang lubang sempit itu.
“Berani taruhan, belum pernah ada yang masuk sana ya?”
Tia tak
menjawab, hanya meneruskan jeritan-jeritan seksinya, “Oh, ohh!” tapi
andai dia benar-benar diajak taruhan, si codet bakal kalah taruhan
karena sebelumnya Tia sudah beberapa kali melakukan seks anal. Si codet
berhasil menjejalkan tiap bagian batang penisnya ke dalam pantat Tia.
Namun kekencangan jepitan saluran itu, ditambah waktu menunggu yang
cukup lama, mengakibatkan dia tidak tahan. Setelah beberapa menit dia
menyerah kalah, “Uh… sialan… gue keluar!” dan penisnya mulai muncrat di
dalam bokong Tia, berdenyut berulangkali dan mengisi saluran dubur Tia
dengan benihnya.
Nah, sejak tadi Pak Walikota memperhatikan bahwa
meski sudah ada tiga orang yang menyetubuhi Tia, tak seorang pun yang
diizinkan berejakulasi di dalam vaginanya. Orang pertama, si culun,
dikocokkan dan dibikin berejakulasi di atas tubuh Tia. Orang kedua tadi
berejakulasi di mulut. Sementara yang ketiga, si codet, berejakulasi
di pantat Tia.
Selain itu ada lagi satu hal yang menarik bagi Pak
Walikota. Tadi, orang pertama yang dipilih Tia, si culun, tak lain
adalah keponakan Pak Walikota. Dan Pak Walikota suka bagaimana Tia
“mengajari” keponakannya yang masih polos soal menyentuh wanita itu.
Sungguh dia tak menyangka Tia yang diidamkannya ternyata tak hanya seksi
tampilan luar, tapi juga di dalam. Aksi Tia yang percaya diri dan
menguasai keadaan lebih dinikmatinya daripada Gaby yang terkesan bekerja
sesuai setoran tanpa menghayati (biarpun sebaik-baiknya), apalagi
Shenny yang sok jual mahal sehingga malah terpaksa. Pendek kata, Pak
Walikota puas sekali setelah mengetahui apa yang Tia bisa.
Walaupun dia sebenarnya tak berhak atas Tia.
Pak
Walikota mendekati Tia yang sedang berubah posisi, dari menungging
menjadi duduk di sofa. Melihat Pak Walikota mendekat, orang-orang lain
mundur.
Pak Walikota menjulurkan tangannya meraih tangan Tia.
*****
“Sekarang
kita mau gimana?” tanya Citra sambil menjepit rokok di bibirnya. Dia
baru mengeluarkan korek gas ketika pintu lift di depan dia dan Bram
terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lift.
“Dilarang merokok di
sini, Kak,” Bram merampas korek gas dari tangan kakaknya sambil menunjuk
tanda dilarang merokok dalam lift. Citra melengos.
“Kamu punya rencana nggak?” tanya Citra lagi.
Bram
tidak bisa menjawab. Keputusan spontannya untuk segera menjemput Tia
tak dipikirkan matang. Sesudah mendengar evaluasi situasi dari Citra,
dia jadi tahu bahwa mungkin Tia ada di satu kamar di hotel tersebut,
bersama Pak Walikota.
Lalu Bram merasakan kepalanya ditoyor Citra.
“Adikku
goblok,” cela Citra dengan nada datar. “Emangnya kita mau nggerebek
orang selingkuh? Cuma berdua pula? Ini yang kita hadapi pejabat.
Gimana caranya kita mau ambil Tia dari Pak Walikota?”
Bram memegangi kepalanya dengan kedua tangan dan meringis. Citra menepuk-nepuk punggung adiknya.
“Hhhh… Tenang aja. Kita pikir sama-sama,” kata Citra berusaha membesarkan hati Bram, sambil mulai memutar otak.
Pintu lift terbuka di depan mereka berdua. Lantai lima.
Home
Cerita Eksibisionis
Penulis Lain
Tia
Cerita Eksibisionis Tia : Slutty Wife Tia 8 : Tia dan Pesta Pak Walikota
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar