SINOPSIS
Kehidupan Tia mulai bergeser setelah dia mengubah penampilan
dan kepribadiannya dipermak tanpa dia sadari. Beginilah contoh satu
hari yang dialami Tia dengan penampilan dan kepribadian barunya…
Story codes
MF, MMF, MFF, bi, cons, reluc, slutwife, veg
DISCLAIMER
*
Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas
dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa,
harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya
adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah
fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah
kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita
ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku
dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum
tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan,
pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan
dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak
untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak
memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan
cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
CREDITS
Terima
kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty
Wife Tia dan gagasan untuk satu adegan bab 3, dan untuk Diny Yusvita
atas diskusinya.
Philip Pullman, seorang penulis panutan saya,
pernah berkata “Penulis itu seperti burung gagak yang suka mencomot
benda-benda berkilau di manapun ditemukan untuk dibawa pulang ke
sarangnya. Kami juga mengumpulkan potongan-potongan informasi dan
gagasan yang menarik di manapun berada.” Teriring salam dan permohonan
maaf buat rekan-rekan sesama penulis yang mungkin gagasan-gagasan
berkilaunya saya comot dan pasang tanpa izin di sini.
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Slutty Wife Tia 3 Satu Hari di Rumah Tia
-Ninja Gaijin-
-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia
bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP
Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah
penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan
binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah
sembari mengantarkan Bram yang mabuk dan bertemu Tia yang sedang
berpenampilan demikian. Mang Enjup yang memiliki ilmu gendam dan niat
busuk sekalian mengubah kondisi mental Tia…
Bagaimana kehidupan Tia selanjutnya?
1. PAGI
Tia
Suatu
pagi di rumah Bram dan Tia. Beberapa hari sesudah kunjungan Mang Enjup
ke rumah… yang tidak diingat oleh Bram maupun Tia. Padahal kita tahu
apa saja yang dialami oleh Tia malam itu.
Pagi itu sekitar jam 8,
Bram sudah berangkat ke kantor, sedangkan Tia baru saja selesai mandi
pagi dan berganti pakaian setelah tadi mengurusi Bram. Tia mulai
merasakan ada yang ganjil pada dirinya. Entah kenapa, tadi waktu mandi
dia jadi lebih lama dan intens mengelus-elus tubuhnya sendiri.
Sesudah
mandi, Tia mengenakan daster panjang longgar nyaman yang biasa dia
pakai sehari-hari. Kalau berencana seharian di rumah seperti pada hari
itu, biasanya Tia betah seharian mengenakan daster. Tapi entah kenapa,
pagi itu daster itu dirasanya kurang nyaman.
Dibukanya lagi
lemari bajunya, dan diambilnya satu daster lain. Daster setali berwarna
biru, jauh lebih pendek (hanya sampai setengah paha), berbahan tipis.
Tia melepas daster panjangnya dan ganti memakai daster biru pendek itu.
Kalau daster panjang yang tadi menutupi bahu dan lengan atas Tia, yang
ini cuma menyisakan seutas tali kain yang menyampir di tiap bahu,
sehingga pundak Tia yang cantik itu terbuka. Tidak tahu kenapa, dia
merasa lebih nyaman dengan daster babydoll yang seksi itu.
Lalu
ketika dia duduk di depan cermin di kamar tidurnya, dia merasakan ada
yang kurang. Wajahnya… terasa terlalu polos. Jadi, biarpun tidak
berencana ke mana-mana hari itu, Tia pun mulai merias wajah. Awalnya
dia hanya berbedak tipis. Lalu diulaskannya lipstik pink, tipis saja,
di bibirnya. Entah kenapa, dia tergoda untuk menebalkan lipstiknya.
Beberapa saat kemudian, bibirnya yang indah itu jadi makin menarik
perhatian karena berwarna pink cerah dan dibuat kemilau karena lip gloss
bening.
Digerainya rambutnya yang sudah kering. Tia mendesah
ketika rambutnya mengelus pundaknya sendiri. Ditatapnya dirinya lagi di
cermin; dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah aku sudah cantik?
Apakah aku bisa menggoda para lelaki hari ini?
Tia
tertegun. Terlintas pemikiran tadi di kepalanya. Dia tak tahu dari
mana datangnya. Tapi seolah ada perintah dalam kepalanya yang menyuruh
dia berpenampilan secantik-cantiknya, supaya bisa menarik perhatian
laki-laki.
Dan dia tak kuasa melawannya.
Entah kenapa.
*****
Biarpun
orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Tia terbiasa bergaul dengan
orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Tia sering aktif dalam
kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan kaum miskin. Tia
memang punya kepedulian sosial yang besar, dan patut diacungi jempol
karena konsisten mempraktekkannya dalam kehidupan nyata.
Salah
satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Tia berbelanja. Sementara
nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah berbelanja di pasar atau di
tukang sayur dan memilih belanja di pasar swalayan, Tia lebih suka
belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang sayur. Dan hari itu pun,
seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Tia mampir ke rumah Tia.
Tia membuka garasi membiarkan gerobak tukang sayur masuk.
Tukang
sayur langganan Tia adalah seorang laki-laki berumur 40-an tahun,
namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan ibu-ibu pelanggannya
dengan nama “Pak Kumis” karena, ya karena apa lagi, kumisnya. Kumisnya
boleh diadu dengan kumis diktator Timur Tengah yang sudah mati digantung
ataupun kumis suami seorang artis dangdut yang terkenal karena goyangan
khasnya. Wajah bulatnya yang berkulit hitam biasa tertutup caping.
Ketika datang ke rumah Tia pagi itu, Pak Kumis mengenakan kaos partai
bekas kampanye bertahun-tahun lalu yang belel dan agak kekecilan
sehingga perutnya yang membuncit tampak menonjol, juga celana panjang
usang dan sandal jepit. Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar
amat untungnya, tapi Pak Kumis tidak mempermasalahkan jalan hidupnya,
yang penting ada kerjaan biar bisa makan. Apalagi kalau dia mengingat
bahwa masih banyak ibu-ibu yang menunggu kehadirannya tiap pagi.
Pak
Kumis harus mengakui, salah satu langganannya tampil agak beda hari
ini. Ya, Bu Tia memang masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini,
dengan baju lebih pendek dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik.
Tapi sebagai tukang sayur profesional yang berpengalaman, Pak Kumis
tetap melayani Tia dengan baik seperti biasa.
Tia memilih-milih
tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum terpikir mau masak apa untuk
Bram nanti malam. Ah, ikan saja. Dengan sop sayuran. Cuci mulutnya
pepaya segar. Dimintanya Pak Kumis memilih dua ekor ikan yang kemudian
dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya.
Tia memperhatikan
lengan Pak Kumis yang bergerak-gerak ketika pemiliknya menyiapkan ikan.
Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap, maklum karena
waktu muda pemiliknya tiap hari berolahraga mencangkul sawah di kampung,
dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong gerobak yang
lumayan berat berkeliling kota. Sepintas Tia membayangkan bagaimana
rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu…
“Semuanya empat puluh
empat ribu, Bu Tia,” suara Pak Kumis membuyarkan lamunan Tia. Pak Kumis
menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Tia, ikan dan sayuran
dan pepaya, dengan sopan. Tia menerimanya lalu membuka dompet. Ada
beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya; tidak ada uang kecil.
“Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Tia sambil menyodorkan selembar Rp100.000.
“Tunggu
sebentar ya Bu,” Pak Kumis kemudian membuka tas pinggang kumal yang
melingkari perutnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang kucel,
lalu dihitungnya.
“Wah, nggak ada kembaliannya, Bu. Saya tinggal dulu ya? Mau tukar duit.”
Pak
Kumis pergi meninggalkan garasi rumah Tia dan gerobak sayurnya di sana
sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Tia bisa menyita
gerobak tersebut. Nah, rumah Tia terletak agak jauh dari warung, toko,
pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa menukar uang
untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Kumis akan pergi agak lama.
Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Tia memutuskan untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu. Tapi…
Setelah
ada di dalam rumah, Tia terpikir mengenai salah satu barang yang baru
dibelinya dari Pak Kumis. Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di
kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari
barang itu.
Dapat!
Tia memegangi sebuah terong yang tadi
dibelinya. Ungu, panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal. Padahal
yang mau dimasak Tia ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli
terong?
Bukan, Tia bukan mau memasak terong itu. Entah kenapa,
sayuran yang bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu. Atau lebih
tepatnya, menyerupai fantasinya tentang sesuatu.
Tia menggenggam
terong itu penuh rasa sayang, sambil mengamat-amatinya. Pelan-pelan
disingkapnya sedikit daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya
terlihat, terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis. Lalu…
meskipun tak mengerti benar mengapa dia melakukannya Tia kemudian
mengeluskan ujung terong yang dipegangnya ke bagian depan celana
dalamnya.
Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras
itu terhadap vagina di balik celana dalam membuat Tia merinding.
Tambah merinding dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai
sayuran, melainkan kejantanan penjualnya. Betul, Tia sedang
membayangkan tukang sayur langganannya yang berkulit hitam dan berlengan
kekar itu. Dalam bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang
keras dan kumisnya yang ganas, senjata pusaka Pak Kumis mestilah gelap
dan mantap seperti terong yang dipegangnya.
Berulangkali Tia
menggosok-gosok celana dalamnya dengan terong itu, kadang sampai
menekannya agar ujungnya sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara
belahan kewanitaannya. Tia mulai mendesah selagi nafsunya
terbangkitkan. Dia jadi tidak puas dengan hanya menggoda kemaluannya
sendiri dari balik kain, dan menggeser sedikit celana dalamnya sehingga
terong yang beruntung itu mengelus-elus kedua bibir luar vagina Tia.
Setelah kewanitaannya mulai basah, Tia pun tak ragu lagi untuk memberi
kesempatan kepada si terong untuk mempenetrasi manusia. Ujung terong
itu diterima dengan hangat dan becek oleh vagina Tia. Yang dibayangkan
Tia tentunya bukan bercinta dengan terong, melainkan Pak Kumis tukang
sayur langganannya itu. Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan
tangan Tia keluar masuk. Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja
bibir Tia membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya.
“Ah… ammm… Pak Ku… mis… engg…”
GEDUBRAK!
Tiba-tiba
pintu depan rumah Tia terbuka mendadak dan terjatuhlah tukang sayur
yang bersangkutan ke lantai di samping kursi yang diduduki Tia.
Tia dan Pak Kumis sama-sama terkejut.
*****
Jadi
begini ceritanya: Pak Kumis sudah berhasil menukar uang 100 ribu yang
diberikan Tia, dan dia kembali ke rumah Tia membawa kembalian. Waktu
dia kembali, dilihatnya Tia sudah tidak ada di garasi, dan pintu depan
rumah Tia setengah terbuka. Menganggap Tia sudah di dalam, Pak Kumis
mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu untuk menyerahkan kembalian
kepada Tia. Tapi dia tanpa sengaja malah mengintip Tia yang sedang
menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan sejenak dia tak berani
beranjak dari posisinya di depan pintu yang terbuka sedikit itu. Ketika
Tia menyebut namanya tadi, saking kagetnya, Pak Kumis sampai
terpeleset, mendorong pintu sampai terjeblak, dan jatuh ke dalam rumah.
“Adudududuh…” Pak Kumis meringis karena mencium lantai marmer.
“Ahhnnnh…” Tia meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya.
Dua-duanya
sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan anehnya
situasi. Pak Kumis buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi kalah
cepat dengan Tia yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa
membiarkan Pak Kumis keluar dari rumah ataupun terong keluar dari
kemaluannya.
“Eh, Bu Tia…? mmMmmMM??”
Tia mendorong Pak
Kumis ke tembok di belakang pintu, sambil menutup mulut Pak Kumis…
dengan bibirnya. Saking kagetnya akan kegesitan gerakan Tia, Pak Kumis
hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda langganannya itu
memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Tia merangsek ke dalam rongga
mulutnya. Dengan buas Tia memberi french kiss kepada si tukang sayur,
tanpa memedulikan gesekan kumis tebal Pak Kumis yang kasar ke kulit
sekitar bibirnya. Satu tangan Tia kembali memain-mainkan terong di
kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan perut Pak Kumis, turun
terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke bagian depan celana Pak
Kumis.
Pak Kumis bukanlah orang yang suka main perempuan, dia
cukup setia dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar
mengurus anak, tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan
seksi yang dengan ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya,
tukang sayur itu tak berdaya. Dia tak kuasa melawan ketika Tia menarik
turun resleting celananya dan langsung mengocok penisnya. Selesai
menciumi habis bibir Pak Kumis, Tia langsung berjongkok di hadapan Pak
Kumis, mengamati terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke
vaginanya, lalu barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di
depannya. Tanpa memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan
setengah hati dari Pak Kumis, Tia menggesekkan pipinya ke batang hitam
tegap itu, mengendus baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya.
“Aduh…
Bu Tia… jangan Bu Tia…” keluh Pak Kumis, yang konak sekaligus ketakutan
karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya itu. Tapi dia
tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Tia. Dia hanya bengong sambil
melihat burungnya yang sudah tegang dimain-mainkan Tia. Tia makin
berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Kumis ke mulutnya.
Bibir atas Tia menjepit daging kemaluan Pak Kumis sementara bibir
bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia. Pak Kumis merasa
bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Tia menyentuh urat-urat di
barangnya. Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau kuatir selagi
membiarkan anunya diisap Tia. Sementara yang mengisap tidak peduli;
yang Tia pikirkan hanyalah betapa besarnya kejantanan Pak Kumis, dan
betapa kerasnya terong yang menjolok kewanitaannya. Ada yang bilang
perempuan lebih mampu melakukan multitasking, mengerjakan beberapa tugas
sekaligus, daripada laki-laki. Setidaknya Tia memang seperti itu,
karena dia menyodok vaginanya sendiri makin cepat dan dalam dengan
terong betulan sambil memperhebat godaannya terhadap ‘terong’ Pak Kumis.
Sementara Pak Kumis yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak bisa
berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak oleh
kenikmatan badani yang diberikan mulut Tia.
Tubuh Tia ikut
menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak. Terong di
kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Tia
menjerit keenakan dalam klimaks. Mendengar suara kenikmatan Tia yang
begitu menggoda, Pak Kumis merasa tak kuat lagi menahan. Muncratlah
burungnya tepat di depan Tia, sehingga wajah cantik Tia ternoda cairan
kelelakian si tukang sayur. Tia terduduk lemah, merasakan hangatnya
benih terlarang Pak Kumis menerpa hidung dan pipinya.
Pak Kumis
yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan segera menutup
celananya, lalu mencoba beranjak selagi Tia terduduk lemas akibat
orgasme. Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi ketika dia
membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Tia, dia merasakan
celananya ditarik. Pak Kumis menoleh dan melihat wajah Tia yang
belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar. Lapar akan laki-laki.
“Aduh,
Bu Tia… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Kumis dengan wajah
memelas. Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan kumis
se-sangar itu. Saat itu juga Tia berdiri pelan-pelan, lalu mendekatkan
mukanya ke muka Pak Kumis yang ketakutan, lalu berbisik:
“Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.”
Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Kumis jadi tenang lagi. Tia berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja.
“Jangan
nggak balik lagi ya Pak Kumis… saya tetap mau langganan belanja sama
Pak Kumis, ya? Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang seperti ini…”
“…Iya
…iya …” Pak Kumis mengiyakan dengan lirih. Setelah itu, Tia melepaskan
tangannya, dan Pak Kumis bergegas pergi. Dengan terburu-buru Pak Kumis
mendorong gerobak sayurnya keluar. Karena masih panik, gerobaknya
sampai menabrak pagar rumah Tia sewaktu mau keluar.
*****
Setelah
Pak Kumis pergi, Tia baru merasakan betapa tak wajarnya tindakannya
tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya orgasme.
Kenapa
dia sampai begitu? Berfantasi mengenai tukang sayur sampai-sampai
‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya sendiri, dan
memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Kumis yang sejenak terjebak
dalam rumahnya?
Tia bingung sendiri.
*****
2. SIANG
Setelah
pagi yang tak terduga itu, Tia akhirnya bisa menenangkan diri lagi.
Dia kembali ke rutinitasnya, membaca laporan dan berkas-berkas yang
berkaitan dengan usaha keluarganya, melakukan beberapa perhitungan,
sambil menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Dia tak mengganti
baju daster pendek biru-nya. Dia juga sudah mencuci muka—dan memulas
kembali mukanya dengan make-up sehingga dia kembali tampak secantik
penampilannya tadi pagi.
Tia makan siang sendirian, hanya nasi
dengan lauk seadanya. Dia juga membelah pepaya yang tadi pagi dibelinya
dari Pak Kumis. Pepaya itu terlalu besar. Kalau hanya dimakan berdua
dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat. Ah, kalau begitu separonya
nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Tia.
Sepinya siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan nyanyian asal-asalan dari depan pintu.
“Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku
aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku
yang tak laku-laku”
Terdengar
suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru pecah,
peralihan dari suara anak-anak ke dewasa. Tia yang sedang duduk di
depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi
piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak
ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan. Di
luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3
SMP atau 1 SMA. Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak
stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk
mengiringi nyanyian. Tia kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang
dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu.
Tia lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan
dapur, dan berjalan keluar.
Setelah keluar, Tia bisa melihat
lebih jelas kedua pengamen itu, keduanya tampak seperti biasanya anak
jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit gelap terbakar matahari. Keduanya
mengenakan jeans belel dan kaos hitam bertuliskan nama-nama band
beraliran keras. Gaya rambut keduanya sama-sama tak biasa: yang
bertepuk tangan rambutnya dibuat spike, mencuat di sana-sini seperti
duren atau landak, sementara kawannya yang main gitar membotaki pelipis
kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk walaupun rambutnya yang tersisa di
tengah tidak diberdirikan, mungkin karena kurang modal. Terlihat
tindikan menghiasi tempat-tempat di muka mereka.
“Makasih tante…”
kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar uang seribuan dari
tangan Tia. Yang memberi dan yang menerima sama-sama tersenyum, Tia
tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua pengamen itu tersenyum
bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik bidadari pada siang yang
panas itu. Biasanya mereka ketemu pembantu, nenek-nenek, atau anjing
penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah ketika dia mengingat
sesuatu.
“Lho… ini Kak Tia kan?”
Tia kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya. Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan…
“Janu?”
Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu.
“Iya Kak, saya Janu, yang dulu di rumah singgah!“
“Ooo, Janu! Iya iya, inget. Yang waktu dulu itu ya. Kamu udah lebih jangkung, ya?”
“Hehehe, iya dong kak, kan udah gede sekarang.”
Kegiatan
bakti sosial Tia waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru bagi
anak-anak terlantar di suatu rumah singgah. Salah seorang anak yang
sempat dia ajar adalah Janu, yang sekarang kebetulan ngamen di depan
rumahnya. Janu dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya kehidupan
di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada Tia.
“Eh,
Janu, ayo masuk dulu! Kak Tia pengen ngobrol sama kamu sebentar, ya.
Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?” Tia menawarkan.
“Gimana,
Fi?” Janu menengok, bertanya ke temannya yang berambut landak.
Temannya mengangguk. Tia membukakan pintu garasi lalu mempersilakan
keduanya masuk. Janu dan kawannya yang dia panggil Fi itu masuk, lalu
duduk di teras.
“Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Tia.
“Jangan
repot-repot Kak Tia, kita di luar aja,” tampik Janu sopan. Fi langsung
menyindir kawannya, “Ceileh, sopan amat lu Jan, kalo ngadepin cewek
cantik aja langsung sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan
kepala landak Fi ditoyor Janu. “Kirik, diem lu, dia kakak gue yang
ngajarin gue dulu, masa’ gue ga sopan ama dia?” balas Janu. Tia tertawa
kecil melihat tingkah kedua pengamen itu.
“Janu dan… siapa tadi, Fi? Tunggu di sini dulu ya. Biar Kak Tia ambil airnya dulu.”
Tia
masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang makan.
Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas dilihatnya
pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi. Dia putuskan untuk berbagi
cemilan juga dengan kedua bocah tadi. Maka diiriskannya dua potong
besar pepaya untuk Janu dan Fi.
Janu dan Fi yang meneruskan adu
cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Tia muncul lagi.
Keduanya terpesona dengan sosok Tia yang tampak begitu cantik di mata
mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol air sejuk dan
sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari kahyangan membawa
berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti mereka berdua.
Sungguh bersyukur Janu dan Fi siang itu, bisa duduk sambil mendinginkan
tenggorokan mereka yang kering dengan minum air dingin dan makan pepaya
ditemani seorang wanita jelita.
Sambil menemani kedua pengamen
itu, Tia ngobrol lebih lanjut dengan Janu tentang keadaan di rumah
singgah. Tia berhenti mengajar di sana waktu mulai membuat skripsi, dan
tidak pernah ke sana lagi setelah lulus dan menikah. Menurut Janu,
kegiatan belajar di sana terus berlanjut, tapi Janu sendiri yang sudah
tambah besar mulai jarang ikut, dan dia menyambung hidup dengan ngamen
bersama kawan-kawannya sesama anak jalanan, termasuk Fi. Tia menasihati
agar Janu jangan melupakan sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan.
Fi tidak banyak bicara karena baru kenal dengan Tia, tapi Tia
memperhatikan bahwa mata teman Janu itu tak lepas-lepas mengamatinya.
Tak
lama kemudian suguhan air es dan pepaya pun habis. Untuk pertama kali,
Fi berbicara dengan Tia. “Kak, makasih ya. Kalau boleh, biar kita
cuci-in piring dan gelas bekas kita.”
Setelah berpikir sebentar Tia setuju. “Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.”
Fi
dan Janu membawa piring dan gelas mengikuti Tia yang masuk ke rumah
lewat pintu samping. Di balik pintu samping itu ada koridor pendek
sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Tia. Tia menunjukkan
wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun mencuci alat
makan yang tadi mereka pakai. Setelah selesai, keduanya berbalik untuk
keluar rumah. Tia berjalan mendahului mereka ke arah pintu, bermaksud
membukakan pintu samping. Fi berada tepat di belakang Tia.
Ketika Tia hendak membuka pintu, dengan iseng Fi mencolek pantat Tia.
“Aww!?”
Tia
memekik dan langsung menangkap tangan Fi yang belum jauh dari
pantatnya. Janu yang berada di belakang Fi menyadari apa yang baru
dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Fi dari belakang.
“WOY!”
teriak Janu langsung ke kuping Fi. “Lu jangan berani kurang ajar sama
kakak gue ya, kirik! Aduh, maaf banget Kak Tia, si kirik ini emang
brengsek, biasa nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya,
makanya tangannya jail. Ayo lu minta maaf sama kakak gue! Sekarang!”
Bukannya insyaf, Fi malah menghardik balik. “Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!”
“Sudah,
sudah!” seru Tia. Kedua pengamen itu memandangi muka Tia dan anehnya
Tia terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu sebagaimana
biasanya perempuan kalau habis dilecehkan.
“Janu, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Tia kalem.
“Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak! Emang pantas dihajar dia Kak!” Janu masih panas.
Tangan
Tia yang satu lagi meraih tangan Janu yang mencengkeram leher kaos Fi,
lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman Janu lepas.
“Makasih ya Janu, kamu mau ngebelain Kakak. Nggak apa-apa kok. Fi nggak salah.”
Genggaman lembut Tia membuat amarah Janu mereda. Padahal tadi dia sudah siap menonjok Fi.
“Fi,” kata Tia, “Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?”
“I… iya…” kata Fi pelan.
“Kenapa, Fi?”
“Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Fi dengan jujur.
“Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Janu mendamprat Fi.
“Janu,
udah dong, jangan marah sama Fi…” Dan tanpa disangka-sangka Janu,
tangan Tia melepas genggaman di tangan Janu, membelai lembut pipi Janu,
lalu kembali menggenggam tangan Janu.
Tia kembali ke Fi. “Emangnya tadi kamu lihatin apa, Fi?”
“…Uh…”
“Ya?” Tia tersenyum ke arah Fi yang sekarang tersipu. Fi bingung apakah harus menjawab atau tidak.
“…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Tia cantik sih…”
Tia menarik tangan Fi yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Fi.
“Fi bohong ya sama Kakak…” kata Tia dengan nada nakal. “Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Tia gigit lebih keras ni…”
Fi tidak yakin gigitan Tia bakal serius, tapi dia kemudian merasakan tekanan gigi Tia, dan dia memutuskan untuk segera menjawab.
“Iyaiyaiya Fi ngaku… Tadi Fi ngelihatin… toket Kakak.”
“Hmm…” gumam Tia. “Terus?”
“…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Fi tadi…”
Janu
berusaha menarik tangannya dari genggaman Tia, mau menghajar Fi, tapi
Tia tidak melepasnya. Bukan cuma itu—setelah melepas jari telunjuk Fi
dari gigitan, giliran tangan Janu yang Tia tarik ke dekat mukanya. Janu
tertegun melihat Kak Tia yang selalu dikaguminya itu menjilat dan
mengulum telunjuk dan jari tengahnya.
Kedua pengamen muda itu
kini dalam posisi berhadapan dengan Tia di koridor sempit yang
menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan
kiri Tia menggenggam tangan kanan Fi yang tadi digigit, dan tangan kanan
Tia menggenggam tangan kanan Janu yang barusan dikulum. Jantung
keduanya berdebar-debar akibat tindakan Tia yang berani itu.
“Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Fi?” tanya Tia.
“Ehm…” Fi tak berani menjawab karena malu.
“Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Tia lagi.
“…” Fi tambah tidak bersuara.
“Hayooo…” sindir Tia.
“Kak…” Malah Janu yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa.
Saat
itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Tia menarik
tangan Fi sampai menyentuh payudaranya. Daster birunya tidak memberi
perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Tia itu, dan
sejak tadi memang Fi sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit mulus nan
sekal yang mengintip di balik kain tipis. Fi menatap muka Tia dengan
tak percaya, dan Tia membalas tatapan Fi dengan anggukan setuju. Dengan
malu-malu Fi mengembangkan jemarinya dan mulai menjamah kelembutan buah
dada Tia.
“Fi!” teriak Janu tak setuju. Dia mau protes lagi,
tapi keburu merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya
dibawa ke payudara Tia yang satunya. Janu merasa bulu kuduknya berdiri
ketika jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Tia.
“Kak…
Tia…” Janu hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa melarang
tangannya mengikuti tangan Fi mencengkeram sepasang payudara Tia.
Rasanya tak percaya dia melihat Kak Tia yang begitu baik dan pintar dan
cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang. Lebih dari itu:
Tia malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas payudaranya. Namun
sebagai remaja di tengah masa puber Janu tak bisa melawan gelora nafsu
yang dipicu Kak Tia idolanya.
“Emmm…” Tia menggumam karena
remasan tangan kedua pengamen muda itu mulai membangkitkan gairahnya.
Dia kemudian menjauhkan tangan Janu dan Fi dari payudaranya, dan
mendekat ke keduanya.
“Janu, Fi… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Tia dengan bibir tersenyum manis.
Janu tidak berani menjawab. Fi berani. “Kenyal… empuk…”
“Pengen lihat?” pancing Tia. Fi mengangguk.
Tia
melepas tangan Fi, dan segera memelorotkan kedua tali bahu dasternya.
Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum terbebaskan
dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati. Tadi
keduanya tidak berani bertindak. Tia tertawa kecil melihat mereka
berdua salah tingkah.
“Kak… Kak Tia…” Dari tadi Janu tidak bisa
berkata yang lain. Tia tersenyum ke arah Janu, lalu merangkul kepala
Janu, dan mendekatkan muka Janu ke dadanya. Fi menelan ludah karena
iri, sementara Janu tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat
ketika pipinya bersandar di bantalan empuk payudara Tia. Saat itu Janu
bersyukur, dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan
bertemu Tia, tidak hanya karena Tia cantik dan baik dan mengajarinya
banyak hal, tapi juga karena Tia telah memberinya kebahagiaan seperti
itu. Tia mendekap dan mengelus-elus kepala Janu seolah-olah Janu itu
bayi yang sedang digendongnya. Sentuhan paku logam yang menyelip di
alis Janu membuat Tia geli.
“Fi mau juga?” tanya Tia kepada Fi
yang sudah menanti, dan tanpa menunggu ditarik, Fi langsung mendekatkan
mukanya ke payudara Tia yang satunya. Seperti yang tadi disebut Janu,
Fi memang besar di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia
bukan orang yang polos dalam hal menyentuh wanita. Kalau Janu cuma
bersender, Fi malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya
menyentil-nyentil puting Tia. Tia terpekik lagi akibat ulah nakal Fi,
tapi dia membiarkan Fi melakukan itu.
Sambil merangkul Fi, Tia
meraih muka Janu. Tia berbisik, “Janu kamu pernah ciuman nggak?” yang
dijawab Janu dengan gelengan kepala. Dan serta-merta Tia memberikan
pengalaman ciuman pertama untuk anak jalanan yang pernah diajarnya itu.
Tidak tanggung-tanggung, ciuman pertama Janu bukan sekadar kecupan
singkat dari Tia, melainkan french kiss penuh nafsu. Janu kaget, dia
tak menyangka Kak Tia-nya bisa bersikap seperti ini. Selama ini Janu
mengagumi Tia seolah seorang dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang
serta kecantikan sederhana yang anggun, namun imej itu dikacaukan
tindakan Tia. Namun itu tidak membuat rasa kagum Janu terhadap Tia
pudar. Hanya saja dia tidak mudah mengerti mengapa Tia jadi seperti
ini. Ataukah dia saja yang tak pernah tahu sifat Tia yang sebenarnya?
Sementara
lidah Tia bertemu dengan lidah Janu di dalam rongga mulut Janu, lidah
Fi terus beraksi di seputar puting kiri Tia. Fi tidak hanya menjilat
dan menyentil, tapi juga menggigit dan mengulum puting Tia. Fi makin
berani ketika dia merasa tangan Tia di belakang kepalanya justru menekan
kepalanya mendekat, pertanda Tia suka dengan perbuatannya.
Tia
mulai melakukan gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi
menggenggam tangan Janu dan Fi, tapi mulai menyelip di balik kaos Janu
untuk mengelus perut dan dada Janu, dan merangkul Fi. Bukan tubuh atas
mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Tia
sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu. Tidak
heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi
digoda Tia. Tia tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru
menangkap mereka berdua berbuat kenakalan.
“Hihihi… kok kalian
konak sih…?” goda Tia, pura-pura tidak tahu penyebabnya. Janu membuang
muka, masih malu, sementara Fi balas nyengir. Dasar Fi sudah
berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka resleting celana dan
mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Tia tanpa ragu. Sementara
Janu tetap terpaku, bingung antara ingin ikut-ikutan berani seperti Fi
atau tetap bersikap menghormati Tia. Tia menyadari kebingungan Janu.
“Janu… tenang aja ya? Kamu ikutin Kakak aja.”
Di
sisi lain, tangan Fi menggenggam tangan Tia yang sekarang mulai
membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun, membuat Tia
mengocok anunya. Tia menoleh dan tersenyum ke arah Fi, membiarkan saja
si rambut landak menyalahgunakan tangannya. Perhatian Tia kembali ke
Janu. Sambil tetap mengocok Fi, Tia mengecup lembut bibir Janu, lalu
pelan-pelan berlutut. Begitu mukanya sudah sejajar dengan selangkangan
Janu, seperti seorang pelacur profesional Tia menggigit resleting celana
Janu dan menurunkannya, kemudian menjilati jendulan hangat yang masih
terbungkus celana dalam.
“Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta
Janu. Tia melirik ke atas, melihat wajah Janu yang khawatir, dan dengan
cueknya dia malah membuka kancing dan memelorotkan celana Janu
sekaligus dalamannya. Tia membelai-belai dan memijit-mijit penis Janu.
Janu tak bisa menahan desah keenakan keluar dari mulutnya ketika
sentuhan jemari Tia memanjakan kemaluannya. Apapun yang mau diperbuat
Tia, Janu sudah tak ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati.
Pandangan Janu terpaku kepada wajah, tangan, dan payudara Tia yang
menggoda, menyihirnya sehingga terperangkap dalam hasrat.
Tia
melepas pegangannya terhadap penis Janu dan Fi, lalu menarik
selangkangan Janu makin dekat dengan tubuhnya. Tia lalu mengangkat
tubuhnya sehingga selangkangan Janu sejajar dengan dadanya. Sekali lagi
diajaknya tangan Janu menjamah buah dadanya. Di depan muka langsung,
Tia memandangi batang Janu yang berdiri tegak. Ketika Tia mencium
kepala penis Janu, Janu menahan nafas. Tia melanjutkan dengan memberi
gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu. Sementara itu
salah satu lengan Tia meraih ke belakang tubuh Janu, menggenggam dan
mendorong pantat Janu supaya tubuh Janu makin merapat.
Kemudian
si nyonya muda memutuskan memberi kenikmatan bentuk lain kepada Janu.
Memang payudaranya berukuran hanya sedikit di atas rata-rata, tidak
besar sekali, tapi cukup untuk melakukan yang ingin dia lakukan. Kedua
tangan Tia menggenggam kedua payudaranya sendiri, lalu menjepitkan
keduanya ke penis Janu. Kelembutan kedua gundukan itu membuat Janu
serasa terbang. Dia mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan
menggesek-gesekkan batangnya maju-mundur menembus jepitan belahan dada
Tia.
Fi tidak mau ketinggalan, dia berlutut di belakang Tia dan
merangkul pinggang Tia. Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Tia.
Anak itu jelas-jelas tidak polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan.
Dia menjulurkan jemarinya ke dalam vagina Tia dan mendapati bagian
dalamnya sudah becek. Sambil nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di
bibir vagina Tia, tapi—
“Eit, maaf ya Fi… boleh pegang, gak boleh
dimasukin,” kata Tia sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis
Fi. Fi dilarang mempenetrasi. Tapi Tia lantas menggesek-gesekkan
belahan memeknya mengelus batang Fi.
Tia menyadari bahwa
posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua pengamen muda itu
berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Janu duduk. Janu duduk di
lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak menantang. Tia menjauh lagi
dari Fi untuk berlutut dan kemudian berposisi merangkak di depan Janu,
kedua buah dadanya menggantung, tangannya kembali mengocok batang Janu.
Tia menempatkan kejantanan Janu di antara kedua buah dadanya, lalu
menurunkan tubuh depannya sehingga batang Janu kembali terjepit dalam
kenikmatan. Gerak maju-mundur tubuh Tia membuat kedua buah dadanya
melumat penis Janu, menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat
kelamin yang belum pernah merasakan lawan jenis itu.
Sementara
itu Tia sepertinya maklum Fi akan bertindak sendiri, dan melihat Tia
kini berposisi nungging di depannya, mana bisa Fi diam saja? Tapi Fi
tetap menuruti permintaan Tia tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia
memilih memuaskan diri dengan menyibak bagian belakang daster Tia
sehingga menyingkapkan pantat bahenol perempuan yang diidolakan Janu
itu, mencengkeram kedua belah pantat Tia, dan menggesek-gesekkan
batangnya di lembah antara keduanya.
Janu tak kuasa menahan
sensasi lembut yang membekap kemaluannya. Setelah hampir satu menit
digeluti kedua tetek Tia, jebol juga pertahanan Janu. Dia memejamkan
mata dan meringis ketika tak bisa lagi menahan maninya muncrat ke dada
dan leher Kak Tia yang begitu dikaguminya. Mungkin karena jarang
dikeluarkan, ejakulasi Janu cukup banyak, terciprat menodai tubuh Tia.
Fi
bertahan lebih lama, apalagi dia dilarang memasuki vagina atau anus Tia
yang sudah menantang di depannya. Cukup lama dia menggesek-gesekkan
batangnya di belahan pantat dan bibir memek Tia, menikmati kehangatan
dan kelembutan tubuh bagian bawah Tia. Sekali-sekali dikemplangnya
pantat Tia. Tak lama kemudian, Tia merasakan seciprat-dua ciprat cairan
kental menimpa punggung bawahnya. Fi keluar juga akhirnya.
Untuk
beberapa lama mereka bertiga tetap terdiam, Janu terduduk, Tia
meringkuk dan kepalanya menyandar di perut Janu, Fi juga terduduk lelah
di belakang Tia. Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak
adalah Janu, buru-buru dia bangkit dan membantu Tia bangun. Janu
langsung menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan
tangan seolah ingin membantu Tia membetulkan pakaiannya yang tersingkap,
tapi kemudian ragu dan menarik lagi tangannya. Janu melihat ke kanan
dan kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan
menyodorkannya ke Tia sambil menunduk.
“Ka… Kak Tia… maaf… maafin
Janu Kak… maafin Janu…” Suara Janu tercekat, seperti mau menangis,
agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Tia menerima
tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Janu dan Fi yang menodai
tubuhnya. Dihampirinya Janu dan diciumnya kening Janu.
“Kamu gak
salah Janu… ga usah minta maaf. Mestinya Kakak yang minta maaf soalnya
udah ngegodain kamu,” kata Tia lembut sambil mengelus rambut Janu.
Janu mengangguk dengan agak takut. Sementara di sisi lain, Fi
senyum-senyum sendiri.
Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu
pamit dan meninggalkan rumah Tia dengan perasaan campur aduk. Sebelum
mereka pergi, Tia sekali lagi meminta maaf kepada Janu dan mengatakan
Janu boleh mampir ke rumahnya kapan saja.
Tinggallah Tia sendiri.
Satu sisi dirinya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani
itu. Sisi lain dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen
itu. Dia memang belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia
sangat menikmati menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai
kedua remaja tanggung itu. Dia senang bisa membuat keduanya lepas
kendali dan jatuh dalam pelukan birahi.
Tia sedang berubah…
*****
3. SORE
“Hmmmm…”
Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya. Sore itu Tia
berada di salon Citra. Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang
mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan,
akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten
Citra, Widy.
“Enak kan tangannya Widy? Aku aja suka kok. Saban
hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra
yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku.
Widyane—biasa
dipanggil Widy—adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati
Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Widy lebih muda daripada
Citra dan Tia, mungkin baru berumur sekitar 20, bertubuh pendek tapi
berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Tia bisa melihat betapa celana
pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan
melingkupi bokong dan payudaranya yang semok. Rias wajahnya tidak kalah
meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow
berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian
di-highlight pirang.
“Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya?
Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo…”
komentar Widy dengan logat medok.
“Iya lah, kan gue yg permak,”
ujar Citra bangga. “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti
imej. Gimana Ti? Mempan gak saranku?”
Tia tidak menjawab, namun
bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum. Tapi dia sendiri merasa
makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra.
Kepribadian pelacur. Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada
Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki.
Memancing birahi mereka dan menguasai mereka.
Seperti lonte-lontenya Bram.
Seperti… Citra?
Sambil
menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia
terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang, waktu itu Citra
menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya
bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik
perhatian Bram. Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang
penampilannya dia tiru.
Citra juga seperti itu.
Sejak
dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman
kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah
sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai
akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra.
Lamunan Tia
terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang
laki-laki setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar
dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana
bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena
minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.
“Halo halo,” sapanya sok akrab.
“Eh Pak Bernardus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.
“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Bernardus.
“Iya deh… Om Bernard,” balas Citra dengan centil.
“Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”
“Emang siapa yang ngabarin?... Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya.
Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”
“Iya
Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan. Ketika
berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas
dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus
memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon.
“Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.
*****
Ketika
Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan
salon. Pasti mobil Pak Bernardus yang tadi, pikirnya. Tia ingat
sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru
pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat
mobil itu.
Jadi waktu itu, dia yang datang…
*****
Dua
puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan
di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra.
*****
“Gimana kabar bisnisnya, Om?”
Pak
Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur
dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya
berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang
sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard.
“Apa
ndak ada pernyataan lain tho Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di
sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak.
Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”
“Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”
Serta-merta
Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya
bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang
sejahtera. Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya
bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok
dan menowel-nowel dasar tetek Widy dengan hidungnya.
“Widy… asu
tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket brutal…
heeheehee…” Bernard kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia
menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy.
Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran.
Tangan
Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji
Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si
pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk
menengok ke arah Citra. Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya
untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini
hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris
tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam
oleh maskara.
“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak
Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard
memberi saran tanpa diminta. Jawaban Citra adalah senyum disertai
tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman
keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku…
“Becanda,
becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar…”
Bernard langsung berhenti membanyol… atau tidak. “Tapi kalo sampeyan mau
operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.”
Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Bernard yang terlanjur tegak itu!
*****
Tia
mendapati pintu salon Tia tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya
tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi
ke mana Citra, Widy, dan Pak Bernardus? Tadinya Tia kira,
paling-paling Pak Bernardus datang untuk cukur rambut atau semacamnya.
Mercy hitamnya juga masih ada di depan.
Tia melihat sekeliling,
memperhatikan ruangan salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar.
Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat
tidur di ruang belakang untuk luluran. Tahun lalu, sesudah ditinggal
suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia meminta
tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang
dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga
peduli. Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa
tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di
sebelah rumah Tia dan Bram.
Didengarnya suara-suara dari arah
ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan
berpintu tirai. Tia mendekat…
*****
Agaknya candaan
Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini
sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, bersama-sama Widy.
Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka penuh nafsu menyervis
kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra.
“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”
Citra menjawab, “Adik iparku tuh.”
“Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga, ya?”
Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”
“Heeheehee, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…”
“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard.
“Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…”
*****
Tia
mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra.
Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap
mendapati pemandangan di baliknya.
Laki-laki perlente tadi—Pak
Bernardus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah
dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Bernardus, dan…
Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Bernardus, menyepong senjata Pak
Bernardus.
Ternyata… Kak Citra…?
Tia terus menonton tanpa
terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy tertawa-tawa
kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Pak Bernardus
dengan tangan, bibir, dan lidah. Pak Bernardus sesekali mengeluarkan
komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh
titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Pak Bernardus mulai
dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya.
Sekali-sekali Pak Bernardus berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena
posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya
Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak Bernardus.
Pelan-pelan, tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri.
*****
“Cit,
Wid… Om pengen nih…” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan
fisik kedua penggoda yang mencumbunya. “Siapa nih yang mau… apa
dua-duanya mau?”
“Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om…”
“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”
“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.”
“Ayo
dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu
banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar
merkosa anak orang…”
Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.
“Oke
deh Om… tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun
dulu,” atur Citra. Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya
tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra.
Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard.
Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra.
“Om
mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,” perintah
Citra. Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra
yang bebas jembut.
*****
Tia terus menonton, dan dalam
hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang
kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi. Kalau tadi pagi
alat bantunya terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang
sedang ada di tangannya—dompet yang tadi ketinggalan. Tia
menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat
Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak Bernardus.
Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam,
memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita,
rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan
Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah
karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala
Pak Bernardus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan
bernafsu.
“Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau.
Tidak
hanya Citra. Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar.
Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Bernardus. Malah dia
membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh
kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus
menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan.
Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan
ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan
dipaksa makan memek…
“Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari
Citra yang takluk, jurus-jurus silat lidah Pak Bernardus membuat si
pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak
tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia
sampai memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka
Pak Bernardus.
*****
Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah.
“Haduh…
ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian
Bernard. Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian,
Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk
sono ya Cit?”
Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard,
rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak
ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu,
menciumnya, lalu bangun dari ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci
meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom.
Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan
kondom itu ke burung Bernard. Dengan memakai mulutnya, tentu saja.
Bernard
tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang
dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud
bersetubuh dengan posisi perempuan di atas. Sambil memasukkan penis
Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.”
“Om
aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi…” pinta Widy. Bernard
oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua
pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan
dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai
bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard. Sambil tertawa-tawa
kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah
pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum
mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir
yang hangat kepada Widy.
Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis
Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan
berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia
bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari
kenikmatan pribadi dari Widy. Sambil menindih Bernard di bawah, kedua
pekerja salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy
yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah
iri dengan kelebihan Widy itu. Dari bawah, tangan Bernard juga ikut
main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak tertawa menanggapi
serbuan cabul dari bawah dan depan.
*****
Semua itu terus
diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak
kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak
senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk mengangkang dengan daster
tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus
dirangsang sendiri. Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan
ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka
bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra.
Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga
oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya,
merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya. Citra memang cukup
terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra
tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia
selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari
tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan
gairahnya.
“…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya
berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang
lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya. Tentu saja
tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya
dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya
hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.
“MmMMmmMMm!”
*****
Pada
saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia
ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada
di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy
klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan,
sepasang payudaranya menimpa perut Bernard.
Citra tersenyum puas.
Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan
menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok
pemilik salon sudah nyaman. Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki
hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik
kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau
ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya
memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa
kagum mereka terhadap dirinya. Citra bukan orang yang bisa betah dengan
satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan
suaminya yang kabur. Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani
kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat.
Pengamatan
Citra cukup jeli. Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip
kegiatannya dengan Widy dan Bernard. Dia melihat kelebatan tubuh orang
yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Tia, dan
dia bisa mengira sedang apa Tia di sana.
Beberapa hari lalu,
ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra
sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup
tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja
terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia
jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan
kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan
adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak.
Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi.
*****
Tia
pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan
terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung
bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih
lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya
masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Pak Bernardus? Mengapa
dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya
yang selama ini dilakukan Citra?
Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian.
SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram.
“Yang, aku sudah di jalan, ya.”
*****
Home
Cerita Eksibisionis
Penulis Lain
Tia
Cerita Eksibisionis Tia : Slutty Wife Tia 3 : Satu Hari di Rumah Tia
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar