SINOPSIS
Di tengah kegamangan hati Tia untuk menerima atau menolak
perubahan pada dirinya, satu kesalahpahaman mendorongnya melewati suatu
batas…
Story codes
M/F, M+/F, reluc, humil, anal, DP
DISCLAIMER
*
Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas
dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa,
harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya
adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah
fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah
kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita
ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku
dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum
tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan,
pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan
dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak
untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak
memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan
cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
CREDITS
Terima kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia.
Bab ini buat seseorang yg mematahkan hati penulis…
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Slutty Wife Tia 4 Ternoda Prasangka
-Ninja Gaijin-
-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia
bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP
Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah
penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan
binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah
sembari mengantarkan Bram yang mabuk dan bertemu Tia yang sedang
berpenampilan demikian. Mang Enjup yang memiliki ilmu gendam dan niat
busuk sekalian mengubah kondisi mental Tia. Sesudahnya, kepribadian Tia
Tia mulai berubah menjadi perempuan penggoda… tapi apakah itu yang
benar-benar diinginkan Tia?
*****
“Mas Bram sayang…”
“Ya?”
Adegan
romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di
kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun
enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala
Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya
tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya
tercinta.
“Aku lagi bingung…” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas…”
“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.
“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya… Menurut Mas aku berubah nggak?”
Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya… selain ya… selain yang tadi itu?”
Tia terdiam.
Bram belum tahu.
Bram
belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang
sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil
mengintip threesome Citra-Widy-Pak Bernardus di salon Citra.
Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya.
Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu.
Apa
itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah
secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?
“Udah
waktunya siap-siap nih yang… mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak
selimut. Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi
bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi
persetubuhan yang mesra antara keduanya.
“Ahh… Mas Bramm…. Ah…
jangan godain kayak gini mas… assh…” Tia merintih nikmat ketika Bram
mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia,
sambil menciumi payudara Tia yang montok.
“Kamu juga yang
ngegodain aku duluan… mmh mmh…” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia
dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang… hmmMmm…
berubah. Kamu jadi lebih jago nggoda.”
Begitukah?
Sulit
bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke
selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada
benarnya… bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur
dan kedua pengamen?
Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap
kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang
penis yang sudah siap tempur. Ketika Bram menariknya mendekat, Tia
bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”
“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.
Entah
kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya
yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa
gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang
lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram.
Dirasakannya
batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek
dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih
di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari
lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa
orang laki-laki yang bukan suaminya.
Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia. Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku.
Sayang,
Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya
sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan
bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya.
Sayang, Tia belum tahu itu.
*****
Hari
itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan
sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang
dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan,
hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif
tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung
terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia
menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak
harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk
menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat. Kantor pusat perusahaan
tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh.
Tia
tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan
hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih,
dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan
cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi,
hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal,
lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram.
Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan
saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah
berniat mau menahan diri. Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi
tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya.
Tia
sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia
sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek
malah sudah jadi kebiasaan. Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu.
Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu.
Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.
Sepanjang
hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah: Bram di kantornya
sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup,
sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan
untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer.
Namun
ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru
bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja
yang memperhatikannya. Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru
sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia
sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak
tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.
Menjelang siang…
Tia
keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan
hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan
kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer
produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada
penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan
audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia
meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum.
HP Tia berbunyi. Citra.
“Hei, Ti! Lagi di mana?”
“Di kantor, Kak.”
“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah… aku jalan sendiri aja deh.”
“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”
“Oke dehhh… ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”
Tia
tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja. Bram duduk di
belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di
seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai
dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat,
mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir
menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia
sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya
ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan
dia bakal berkesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.
Satu
orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup.
Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung
mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di
sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima
telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia
menyapanya.
“Makan siang dulu?” ajak Tia.
“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.
Sementara
itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai
menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang
dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.
*****
Pekerjaan Bram
dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa
gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT
dan pengelolaan, Tia mengalami sedikit gangguan.
Di bagian IT,
Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai
bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah
menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya
selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa
karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana
masih bersikap manis kepada Tia… dan hampir saja Tia menanggapinya
dengan cara yang tak pantas. Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke
meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke
adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan
buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka
merah karena malu.
Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan
dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan
yang tadi mengepel di pojok. Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas
si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana…
*****
Sore…
“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.
“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”
“Oh,
boleh juga tuh…” ujar Bram. Tapi kemudian dari seberang ruangan
terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”
“Oke…”
Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup. Tia
mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam?
Bram
dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang
hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar
dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum
lebar.
“Eee… aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya.
“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.
“Bram,”
Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini
temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan
beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”
Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.
“Ya,” jawab Bram pendek.
“Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.
“Emm… aku ada janji sama Kak Citra, Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.
Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup.
Sesudah
mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat
Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati
kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.
“Heungh!” Seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.
*****
“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”
“Gak
apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup,
lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin
pergaulan,” kata Tia.
“Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia. Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.
*****
Sore. Satu pusat perbelanjaan besar di kota…
“Kak Citra!”
“Heii!”
Masih
mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan
sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti
karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra
terlihat seperti… biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada
beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra
selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop
hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian
seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk
tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang
paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata
berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss
pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai
saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias
telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase,
kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah
setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak
teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh
ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai
menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma
terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan
bapak itu.
“Kak…” bisik Tia.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra
dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba
beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda
yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang
sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra. Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya
yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si
laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.
Setelah
mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa
membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu
mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu
yang lain…
…iri.
Melihat Citra mampu menarik perhatian
banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia
bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya
itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala
Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda.
Citra dan
Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat
pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia; sengaja atau tidak,
Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya
itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun
pendek merah dengan belahan amat rendah. Tia yang dulu akan menampik
saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat
gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan
cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Tia
disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata
Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung,
“kalau kamu, ngisinya lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya
Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan,
dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan
gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga
potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan.
Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi
belanjaannya. “Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” Tia tersipu
malu mendengar komentar Citra.
Ya, ini semua buat Bram…
…ya, kan?
Mereka
berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu,
seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung
menawarkan produknya.
“Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm… boleh lihat?”
“Silakan,
silakan.” Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di
sana. Tia memuji make-up si SPG; si SPG balik memuji Tia.
“Ah,
Mbak ini juga cantik kok. Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai nggak
cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak,
sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Tia
menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter
itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan sejumlah
produk yang akan dia cobakan.
“Saya Haula, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Tia.”
Pertama-tama
Haula dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang
sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke
belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Haula. Haula
melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan
mata ketika Haula mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak
matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan
pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir
Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Haula. Tia kaget juga dipuji
seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian terakhir yang disentuh tangan
ahli Haula adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Haula,
yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis
alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga
yang dia lakukan ke bibir Tia.
“Mbak Haula, ini apa nggak
terlalu…” Tia mau memprotes, tapi Haula bekerja tanpa mengindahkannya
dan Tia terpaksa tutup mulut. Citra memandangi cara kerja Haula sambil
melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat
muridnya mengerjakan soal dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata
Haula sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna
ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner. Tia melihat kuas
kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan
bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya.
Haula rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa
kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.
Hasil
akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit
mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai
eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum
daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Haula.
Haula
memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,
“Mbak Haula hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa
makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah
membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik
itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Haula. Tia berjalan dengan
penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras
dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja.
Puas berbelanja,
kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari
sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang
tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat
sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.
“Mas
Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia
suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab
Tia.
“Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.
“Yah,
tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai
malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia
nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Tia berbunyi.
SMS. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa
sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah
mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Tia menjerit kaget. Cairan
dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung
bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang
tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan.
Tia melihat
ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan
pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar
mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu
jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti
aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra. Tia kemudian masuk ke
salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar
dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang
putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm…
buka aja blazernya Ti, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.
Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas
belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda
tanpa lengan dan rok mini hitam. Citra tersenyum melihat adik iparnya
yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi
ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus
tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Haula si
SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda.
Dan efeknya memang
terlihat. Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi
sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga
Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga…
tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk
lebih genit sudah buyar.
Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
*****
Di suatu karaoke…
Hingar-bingar
musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok
dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang
bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang
ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon.
Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan
berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon.
Di sofa dalam
ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD
kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi
yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain
mereka, ada juga dua orang perempuan pemandu karaoke; kedua cewek itu
duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD.
Mang Enjup melihat Bram habis mengirim SMS.
“Sudah
pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup. “Mang juga, kalo punya istri
geulis seperti Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.”
“Ya…
kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram. Tiga orang
anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau
diajak ke karaoke.
Bram tidak tahu, SMS-nya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia…
*****
“Aduh,
Bu… maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak
kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali
minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap. Citra dan Tia keluar
dari taksi.
“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.
“Kita cari taksi lagi,” kata Citra. Tia mengangguk. Jalan ke rumah masih jauh…
…tapi,
taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya
gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana,
lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua orang perempuan.
“Ti,
ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra. “Ayo Kak,”
jawab Tia. Tia juga sadar dengan lingkungan di sana. Keduanya pun
berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai,
meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya.
Tak
seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak
terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya; di jalan itu ada
beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya
ada satu-dua yang masih buka.
Setelah sekitar lima menit
menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat… dari ujung jalan terdengar
langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah
datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung… bukan,
laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci.
Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi. Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas! Ada razia!!”
“Razia…?” keduanya bertanya-tanya.
Belum
sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil
penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh.
“Hei,
ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat. Mobil itu langsung
berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung
mendekati Citra dan Tia.
Di kota tempat Citra dan Tia tinggal,
Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang
pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan
aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Sebenarnya
peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat
perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam
itu peraturan tersebut memakan korban lagi.
“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat. “Lepasin! Mau apa sih kalian?”
“Jangan
ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra.
Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka
digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit
aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si
banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang
ditelikung.
Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan!
******
Citra
dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk
aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang
memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.
“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan. “Mau rokok nggak?”
“Citra,” Citra menjabat tangan Mince. “Kita ini…”
“Kena
razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok. Citra menerima rokok dan
korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri.
Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya
itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia
berusaha tenang dan tidak ikut panik.
“Gimana ini… gimana ini Kak… kita mau diapain Kak…” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.
“Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra. “Coba kamu kontak Bram.”
Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram.
Sayang,
pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya
suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab
panggilan minta tolong dari istrinya itu.
“Mas Bram ga bisa dikontak Kak…” keluh Tia, matanya berkaca-kaca.
“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf…
*****
Truk
aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat.
Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak
mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun. Ketika Tia turun, ada
yang iseng mencolek pantatnya.
“Auw!” jerit Tia kaget.
Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya. “Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya.
Merah
padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani
menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera
digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat
yang menangkap mereka. Citra terlihat tersenyum sinis; dia sudah punya
rencana.
Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.
“KTP
mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta
bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”.
“Julfan,”
Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu minta KTP, bisa
saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?”
Julfan
agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang
apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di
belakangnya.
Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”
Tia
melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh
percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu. “Kamu tenang aja, biar
Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.
Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup…
*****
Citra
mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di
dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang
aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang
barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang
laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya.
Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa.
“Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”
Citra
meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram
sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan
segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.
“Anak buah
lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di
pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang
juga, Gde.”
Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.
“Sini,”
Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang
bergerombol dekat pintu. Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak
mendekat. Setelah keduanya bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gde
baru menanggapi Citra.
“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas.
Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir
kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan.
“Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”
“Rese’ lu,” hardik Citra. “Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”
Gde
tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di
dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau
kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua
ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman,
tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”
Citra
muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu. Dia
langsung memperjelas urusan. “Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum
lu. Sebut aja berapa yang lu minta.”
“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu.
“Mau
lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel. “Lu mau gue kasih tambah
jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue
sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full
service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh!
Yang penting lu lepasin gue sekarang.”
Gde nyengir, lalu membalas
tawaran Citra dengan tawaran baru. “Gimana kalo gue minta sekarang, di
sini? Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main
ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu
tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?”
“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masa’ di sini? Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.”
Gde cuma nyengir. “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses. Gue sih gak rugi.”
Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.
“Oke,
oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde. “Tapi kalau lu mau
nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”
Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.
“Gimana?”
Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab. “Oke. Suruh anak buah lu keluar.”
Gde tertawa. “Buat apa?”
“Dasar
aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar
sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang
tau rasa.”
Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde.
“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah.
Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.
“Lu
nggak ngerti keadaan lu, ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra.
“Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau
gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau
gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran,
sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu.
Mau gitu? Hm?”
“Engh…” Citra takluk. Rencananya tawar-menawar
dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di
salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.
“Gue masih baik, Cit.
Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal
lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?”
Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak.
“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”
“Terserah apa mau lu…” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.
“Bagus.
Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak
sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok ke jam
dinding. “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”
Saat itu jam 9
malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai
menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit
putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam. Tak lama kemudian…
“Unghh…” desahan pertama Citra pun terdengar. Di sekeliling Citra,
Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak
menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana
karena paham apa maksud komandan mereka. Citra yang sudah berpengalaman
boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang
menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika
lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya.
Namun dia tak punya pilihan. Pelan-pelan sentuhan Gde jadi makin
berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan
mengelus-elus kewanitaan Citra. Citra mendesah lagi, berkali-kali,
menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa
di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan
masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit.
“Buka
baju,” perintah Gde. Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka
tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra
tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan
tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka. Gde nyengir melihat
puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja,
pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia
sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon
plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek
dengan layanan tubuhnya.
Gde mengambil kursinya, lalu duduk di
situ dan membuka resleting celana. “Duduk di pangkuan gue, sini,”
suruhnya. Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut
sekali dan tidak juga kencang berotot; Citra merasa seperti berada di
atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde,
membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan
kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra. “Ayo
goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan
pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan
mulai membesar. Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra
mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina
Citra, dan menyodok ke atas.
Citra menjerit kecil. Entah itu
karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan
Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon
melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya.
“Uh! UH! Ahnn!”
Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat
yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya
sukarela.
“Balik badan,” perintah Gde. Citra berhenti bergerak,
berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di
pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali
bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar
dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala
burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun
hingga senjata Gde tertelan sampai pangkal. Kemudian dia akan
naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali. Kini tidak hanya Citra
yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung
dan mengeluh keenakan.
Gde kembali mencubit-cubit puting Citra
yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara
desahan dan gerungan.
“Uh! UHH! Ah!”
Citra menggila di
pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang
mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde
menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra.
“HUUHHHH!!”
Citra
ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat
dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga
penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.
“Sekarang lu bersihin
kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di
lantai depan kursi. Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan
putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh,
dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra
menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa
Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah
melepaskan celananya.
“Turun lagi,” perintah Gde. Turun lagi?
Itu berarti… Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan
menjilati bagian luar lubang pantat Gde. Untung Gde tidak lama-lama
menyuruhnya melakukan itu.
“Oke. Hey, Jul,” Gde memerintah anak
buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.” Jul mengambil matras
busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di
tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata
adalah “Tiduran di sana.”
Citra berbaring telentang di atas kasur
itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya. “Hey, apa-apaan
nih?” tanyanya ketika mereka mendekat.
“Sekarang kamu layani
mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa. “Sampai semuanya puas!”
Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya.
Julfan—yang mendapat giliran pertama—tahu-tahu saja sudah buka celana
dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.
“Giliran
gue!” katanya. Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi
sekujur tubuh Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi
Citra. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerimanya dengan
mudah. Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat
yang lain memaksa mencium bibirnya. Empat orang sekaligus menikmati
tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang
memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya.
Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan
sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga. Selama
beberapa menit digumuli, Citra hanya bisa merintih dan mengeluh.
Tak
lama kemudian, Julfan melenguh panjang dan memuncratkan benihnya di
dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik oleh kawannya agar segera
keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi kesempatan beristirahat
kepada Citra, yang lain langsung menggantikan.
Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat…
*****
Hampir
satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari
ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia
menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince
si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di
dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.
“Bang…” akhirnya Tia
memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu. “Boleh
nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”
*****
Yang
dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai,
yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk
menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika
Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di
tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut. Berulang kali, dengan berbagai
variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi
vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di
depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga
orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa
muka. Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan
mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit
selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah
sadar ketika lubang pantatnya dirojok orang keempat; dia sudah tak bisa
merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu.
Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra.
“Ah! Kak…” Tia langsung menutup mulut dan terpaku,
Pintu
terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan
tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara
yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu.
“Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia. “Mau nggantiin kakakmu nggak?”
“Apa… ada apa ini… kenapa… Kenapa Kakak…”
Tia
bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang
kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra,
tapi Gde menghalanginya.
“Tolong Pak… sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak… tolong…” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.
Gde
mencoba memanfaatkan keadaan. “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia.
Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu
tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.”
“Tolong
Pak… bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan… pelacur…
Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak…” kata Tia di sela-sela
isak tangisnya. “Tolong Pak… kasihani kakak saya…”
“Ya, ya, ya,
semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde. “Emangnya saya
percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot
gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.”
“Bukan Pak… tolong percaya saya… saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila… mohon lepasin kami Pak…”
“HUNGH!”
Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang
sedang menggagahi pantat Citra; dia baru saja mencurahkan benihnya ke
dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung
kontribusi tiga orang. Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus
Citra, Citra langsung ambruk; sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan
di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah…
Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.
“KAKAAK!”
jerit Tia. Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde
menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan
seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh
ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga…
“JANGAAAN!”
jerit Tia. “Jangan… jangan lagi… kasihan kakak… tolong… jangan sentuh
kakak saya lagi… sama saya saja… biar saya saja…”
Gde memegangi
Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar
pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu: ketika perempuan ini
sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja.
“Stop!”
kata Gde. “Mundur kamu.” Orang yang baru saja mau menyodomi
Citra—ternyata Julfan lagi—menengok ke komandannya, lalu mengurungkan
niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas
Tia; Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas
matras dalam keadaan berantakan.
“KAK CITRAAA…” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.
“Ti…” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.
Gde
dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Gde berjongkok dan memegang
bahu Tia. Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah
Gde.
“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”
“Jangan
Pak. Tolong bebasin kakak saya juga…” kata Tia sambil terisak, memeluk
Citra yang pingsan. Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia
membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu.
“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”
“Tolong pak… tolong bebasin kakak saya juga Pak… kasihan kakak saya… Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas…”
Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya.
“Beneran?”
“Iya Pak… Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya…”
“Kalau gitu…” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”
“Ah…”
Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan. Gde melihat keraguan
itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia.
“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”
Tia
terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu
dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani
kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi
akibatnya Citra akan kena masalah.
“Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia.
“…” Tia tak mengatakan apa-apa. Hanya anggukan yang menyatakan persetujuan. Anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.
“Bagus,” ujar Gde. “Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?”
Tiga
orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat
Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi
perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak
salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka,
perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus
tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya
kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang
menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy,
jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya. Tia
dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya
dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya,
dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik
seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang
agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan
perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya,
sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan
lewat sentuhan dan elusan. Orang ketiga di sekeliling Tia langsung
meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini
Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya.
Tia
berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang
mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan
fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan
untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu
bisa sampai merem melek disepongnya. Bahkan kata-kata mereka yang
melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan
“Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak
membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan
pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan
kata-kata mesum seperti itu.
CROTT! “Aih!” Tia kaget ketika
satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba
ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat
matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa
lengan Tia. “Gue juga nih…!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya,
tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk
muncrat tepat di depan muka Tia. Tia memejamkan mata agar tidak
kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan
sisanya berleleran ke bawah. Sesudahnya, orang ketiga juga mau
menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia
dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang
dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Haula. Warna merah
dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si
aparat.
Gde sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati
tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya
sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para
pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang
ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan
itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk.
Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran
mani tiga orang di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak
merusak rias wajah Tia. Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu;
wajah Gde yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.”
Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gde mendorongnya lagi.
“Buka
baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan
kancing blus Tia. Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh
dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia
menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu. Semua
kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang
tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah
badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia
membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia
melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi
kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket
kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo
adiknya montok seksi gini. Eh… nanggung nih. Itu celana dibuka juga
dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang
masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia
sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak
buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya
sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra
digarap berulangkali. Tia telentang, telanjang, tanpa daya… Dia
memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di
hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang
penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat
itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari
atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde. Tia tak
bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan
tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia.
Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk
rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde
melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia
selagi Tia menahan jijik. Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka
kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai
menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu
di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha
meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu
berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya
kewanitaannya tertusuk penis Gde. Gde melihat wajah Tia yang tak rela,
dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan
seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia
selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan
wajah karena jijik.
Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah
basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi
rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan
dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia. Tia tak kuasa menahan
erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya.
Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.
“Oh!
Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara
menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus
bersikap tak rela. Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela,
ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus
mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang
mau tidur dengan laki-laki mana saja?
“Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.
“Auhh… huhh… ahh…” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh…
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH…
IYA PAKHH!! LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Tia.
Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran
nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang
dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman
penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde
yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia… dan laki-laki bertubuh
gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak.
Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah
menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli
Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu.
Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa
henti.
Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang
tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur
tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa
menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok
manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang
berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra
hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi… dan
Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra
melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan
sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali
kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di
selangkangan Citra.
Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.”
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH… OH!”
Gde
menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang
kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk
kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat
ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling
memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika
lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang. “AAKKK…..
NGHHAAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya
terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara
terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari
Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh
beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk
menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata
biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup
tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon
bayinya di dalam rahim Tia.
“Huehh… enak kan itu? Gue paling
suka ngecrot dalam memek…” kata Gde lemah. Tubuh besarnya menindih Tia
yang terkapar. “Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…”
Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat.
Gde
langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi.
Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde.
Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang
tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari
tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok.
Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia.
Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan
dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama
kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan
efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia,
memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah
menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah
beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan
mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh
penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan
posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi
rongga mulutnya. Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia,
barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk
sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar.
Sementara
itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan.
Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia
mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi. Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada
tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde. Tia mau menjerit
protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi,
mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya. Satu
orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera
memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia
mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia,
lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur
untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat
itu juga keluar adalah jeritan, “Auuw…Auhh! Pe…lan-pelann!!” Baru
kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang
memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi
pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.
Kini
ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya,
seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga
orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang
mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur. Citra tahu
dia sendiri sudah gagal melindungi Tia… tadi dia sudah menawarkan diri
untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya,
tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka
sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak
diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di
ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?”
kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masa’ empat ronde
udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh…” protes
Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada
dua lagi anak buahnya menggumuli Citra. Tanpa belas kasihan mereka
menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra
mainan seks mereka.
Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa
dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya.
Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di
mulutnya.
“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Tia
menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran
pembuangan Tia dengan benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang
sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim
Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang
yang sedang menikmati mulut Tia; dia segera pindah ke vagina Tia, dan
menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama
menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan
bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia
kenal.
Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang,
cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip
lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat
meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan
dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke
lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki
anus Tia; Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya
mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak
seharusnya. Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia
rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang
begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan
mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali
ini menodai rambut Tia.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu!
Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde
selagi menggenjot lubang dubur Tia. Sampai habis suara Tia karena
berkali-kali menjerit selagi anusnya diterobos gempuran demi gempuran
dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, Tia
kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur-aduk tak
mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani
menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa
yang sedang diperbuat terhadapnya.
Sekali lagi Gde meninggalkan
bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa
sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi
lelaki…
*****
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di
sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi
sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan
kantor aparat itu. Bukan sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda
yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya
ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat.
“Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei
gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike
kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh…” kata
Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan
ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu
langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan
tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci…
*****
Jam 11 malam.
Gde
dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi
senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra
terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah
tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau
kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir
dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai
mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah
Gde. Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek.
Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu
keluar.
Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari
alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui
bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra.
Gde dan anak
buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si
komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka
kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra
dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke
kantor kecuali Julfan.
Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di
sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak
sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan
syok.
Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa
terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternoda. Dia pun merasa bersalah
kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia
tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi…
Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham
menganggap dia pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela
menyerahkan kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi
menyelamatkan Citra…
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Tia?
Sudah,
akui saja, Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi
demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan…
bukan… aku bukan seperti itu… aku Tia, istri Mas Bram… bukan perempuan
seperti itu…” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya
sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal, Tia sayang? Kamu senang kan
waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit
tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang
sekaligus kan tadi?
“Bukan… tidak…”
Kamu wanita murahan, Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!
Tia
ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang
berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri?
Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah
sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya. Mobil Gde sudah
berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra
ke dalam rumah. Bram belum pulang…
Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.
“Kalau
saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam
ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak tau apa
jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman
kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
*****
Citra
tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk
lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan
mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur
yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah.
Jam 1 malam.
Terdengar
suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak
dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan
masuklah Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman…”
“MAS BRAM…!!”
Tia
langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada
Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak mampu
menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?”
Tia
memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut
untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di
dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu
mengungkapkannya kepada Bram.
Saat itu Bram tak menyadarinya… tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.
*****
Home
Cerita Eksibisionis
Penulis Lain
Tia
Cerita Eksibisionis Tia : Slutty Wife Tia 4 : Ternoda Prasangka
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar