Cerita Eksibisionis Di Kantor : Rapat Bugil Di Kantor Edan

Sumber : Blog Fiksi Fantasy judul asli "Kantor Edan"

Setelah terjadi skandal yang menggemparkan, dan masuk koran pula, salah seorang petinggi PT. Ka Ling Kho Lang bunuh diri, perusahaan itu diomongin banyak orang. Jadi, pas hari ini janda mendiang petinggi itu mendatangiku, aku sempat ragu juga.

"Hah? Saya diminta memimpin perusahaan PT. Ka Ling Kho Lang? Itu tuh perusahaan Tionghoa?"

"Ya jelas Jawa-lah, Mas," kata si janda. Terus saja dia merayu-rayu. Cantik juga tuh janda muda. Umurnya, aku taksir paling 35-an gitu deh. Tapi... tampilannya kayak artis banget. Ramping kayak peragawati. Orang pasti ngg
ak nyana kalo dia udah punya anak dua.

Dari semula menolak keras, akhirnya aku pun luluh.
"Bu, saya belum pasti terima ya. Tapi cobalah, saya tanya dulu: kenapa saya diminta ke sana?"

"Itu ada di catatan terakhir Bapak."

"Bapaknya siapa?"

"Suami saya... mendiang yang kemarin diberitakan meninggal di koran itu."

Waduh! Aku terkesiap. Lalu si ibu menjelaskan, bahwa di catatan terakhirnya, yang sengaja disiapkan untuk keluarganya yang ditinggal, almarhum berpesan, "Perusahaan ini cuma bisa baik, kalo diserahin penyehatannya sama John Ma'ruf!"
“Kenapa dia bisa pesan gitu, ya?”

"Karena... mungkin, Bapak terkesan sama kiprah kamu waktu jadi sekertaris RW periode yang lalu. Waktu masih mahasiswa itu," kata si Ibu.

"Waduh? Saya itu terkenal, ya?"

"Ya. Setidaknya, Bapak kenal sampeyan."

Hmm, tapi masalahnya, 'Bapak' yang oleh si ibu itu diagung-agungkan pesan terakhirnya... dia itu meninggalnya bunuh diri!
Hmm, masak aku tunduk pada amanah dari orang bunuh diri sih? Hatiku mulai ragu.

Eh, lagi ragu gitu, calonku datang. "Hai, Mas."

"Oh, hai, Deasy. Jilbab merahnya baru, ya?" tanyaku.

"Enggaklah. Ini kan hadiah kamu waktu ulang tahun yang lalu."

"Masak? Kok kelihatan makin cantik sih kamu pake itu?" aku memujinya.

"Emang aslinya cantik, Mas..." Si Ibu nimbrung.

"Eh, ada tamu...
Turut berduka cita atas musibah kemarin ya, Bu." Deasy tersenyum.

"Makasih, Mbak Deasy."

"Ada yang bisa dibantu, Bu?"
Deasy malah ikut diskusi.

Lalu si Ibu menceritakan lagi urusannya. Yang ajaibnya, Deasy malah antusias seratus persen!

"Wah, Mas! Kalau gini situasinya, kamu memang harus bantu, Mas!" katanya kemudian.

Waduh, aku jadi puyeng nih.
Di satu sisi, ya, aku emang butuh kerja. Setelah phk kemarin, kalau tidak segera kerja, aku ini mantab! Makan tabungan. Dalam dua-tiga bulan, tentu uangku akan habis. Cuma... di sisi lain, kalau aku kerja di tempat yang pimpinannya barusan bunuh diri... gimana ya?

"Ssst. Kamu jangan percaya ama tahayul dong, Mas!" desak Deasy.

"Tapi,"

"Eh, udah-udah. Gini aja, Mas." si Ibu memotong. "Kamu pikirkan dululah tawaran ini. Maaf agak mendadak. Dalam seminggu ini, kalau setuju, silakan telepon saya. Kalo enggak, ya uwis. Nggak apa-apa..." kata si Ibu.

"Terima aja, Mas!" Deasy menyela.

"Ssst. nanti dulu." Aku menggeram gemas.

"Ya udah, Mas. Saya pamit dulu ya," si Ibu berpamitan.

"Ya, ya, Bu." Deasy menjawab.

"Iya, Bu. Silakan," aku menimpali.

"By the way, nama saya Agustin.” kata si ibu sebelum pergi.

Setelah si Ibu Agustin pergi, Deasy duduk dempet ke sisiku.

"Itu bukan tawaran yang ideal, Deasy.
Kamu tahu..."

"Ssst, Mas.
Deasy mau bilang satu, hal."

"Hah? Apa tuh?"
"Mas, Deasy sayang ama kamu", katanya dengan mengerling.

"Oh, no. Jangan gitu dong, Deasy. Oh, no. Kamu tuh curang, ya... mentang-mentang cantik, terus kamu manfaatkan kecantikan kamu itu untuk mengatasi kelemahanku." Aku emang gitu tuh. Kalo Deasy udah menggunakan pesona senyum mautnya, aku nyerah pasrah deh. Dia minta apa juga, gak mungkin bisa aku tolak.

"Ya udah. Kalo gitu terima tawaran kerja itu, ya?"

"Okelah."

"Okelahnya jangan lesu gitu dong!"

"Habis gimana?"

"Kerjaan itu banyak manfaatnya, Mas. Pertama: gajinya lumayan. Direktur, gitu loh. Keduanya: sesuai dengan keahlian kamu. Ketiganya: itu kesempatan untuk menyebarkan kebaikan. Nah, keempatnya: saya kan ingin cepat nikah, Mas. Sementara, ayah saya bilang: saya baru boleh nikah ama kamu, kalau kamu udah dapat kerjaan yang layak.... Jadi, kalo kamu nggak kerja-kerja juga, Ayah malah nyuruh saya putus ama kamu. Nggak enak, kan?"

"Hah? Kok jadi ngancam putus?"

"Bukan ngancam, idih!"

"Ya, ya. Ya udahlah.
Setuju, aku akan kerja di PT itu!" begitu aku bilang.
Besoknya, aku segera kontak si Ibu istri mendiang owner perusahaan. Eh, dia langsung nyuruh orang nganterin gajiku. Gaji pertama. Nilainya enam juta lebih.
Wow! Untuk sejenak aku girang menerima amplop tebal itu. Tapi, si pembawa amplop pas pamitan berpesan, "Pak, kalau saya jadi sampeyan, saya nggak mau kerja di PT itu. Sekertaris almarhum itu aja, bukan sekertaris biasa, lho. Tapi all-in gitu deh..." katanya.

Hah? Aku jadi gamang lagi...
Tapi udah telanjur.
***
Hari pertama, adalah hari yang aneh. Aku diperkenalkan pada semua orang oleh Bu Agustin, janda mendiang owner perusahaan. Sekarang, Bu Agustin adalah owner, merangkap komisaris. Sementara, aku adalah direktur. Dia satu-satunya komisaris. Dan aku satu-satunya direktur. Kalau aku berhalangan, maka komisaris yang menggantikan. Jadi, dengan kata lain, komisaris itu adalah komisaris utama, merangkap wakil direktur!

Setelah perkenalan singkat gak jelas itu, Bu Agustin pun pulang. Kenapa aku bilang gak jelas, karena sepanjang perkenalan, para pegawai bukannya memperhatikan dengan seksama, malah pada cekikikan sambil melirik-lirik padaku.

Terus, terakhirnya, saat Bu Agustin menutup dengan kalimat, "Apakah penjelasan saya sudah jelas?"

Para karyawan yang rata-rata perempuan itu, malah serentak menjawab. "Jelas, Bu.
Jelas banget, direktur kita yang sekarang ganteng!" Lalu mereka ngakak bersama.

Pulang hari pertama, Deasy main ke tempatku. Waktu aku ceritakan keanehan di hari pertama, dia nyengir saja. "Mas, kamu tahu nggak sih, kenapa kamu direkrut?" tanyanya.

"Hah? Bu Agustin bilang, itu karena pesan mendiang suaminya."

"Nah, kamu tahu nggak kenapa mendiang suaminya nyuruh istrinya merekrut kamu?"

"Katanya, karena reputasiku pas jadi sekertaris RW, pas masih mahasiswa dulu."
"Reputasi yang mana coba menurut kamu?"

"Hah? Reputasi yang mana? Ta'uk."

"Itu... reputasi waktu kamu berhasil mengusir Mbak Gillian itu!"

"Waduh? Itu tuh reputasi baik atau jelek?" aku teringat pengalaman buruk itu.

"Baik, Mas. Itu tuh baik. Waktu itu, semua warga tahu, Mbak Gillian itu cewek nggak bener. Dia nikah siri ama pejabat miring, jadi istri bawah tangan, tapi kerjaannya menyantap brondong! Iya, kan?"

"Hmm..."

"Warga pada gak berani bertindak, takut ama suaminya. Terus kamu muncul jadi pahlawan. Hebatnya lagi, kamu mengusir dia dari RW sini secara elegan, secara semua orang akhirnya tersenyum lega. Termasuk Mbak Gillian-nya sendiri!"

"Yah, modalnya cuma niat baik aja, kok."

"Dan keteguhan hati. Dan sepertinya.. itulah yang dibutuhkan di PT yang sekarang kamu pimpin!" kata Deasy sok bijak.

Waduh, tapi penjelasan itu malah bikin aku nggak bisa tidur. Abis gimana? Setelah tahu gimana kecentilannya para karyawati tadi, dan pesan si pembawa gaji, juga cerita Deasy. Hmm, aku udah bisa nerka nih, di perusahaan itu pasti ada kebobrokan kelas berat. Waduh. Gak main-main nih urusannya. Bismillah.

***
"Deasy, aku sayang ama kamu."

"Hah? Kok ujuk-ujuk. Arahnya kemana, nih?"

"Sekarang kan aku udah dapat kerjaan lagi. Aku ingin melamar kamu jadi istriku. Boleh?" aku berlutut.

"Enggak, Mas."

"Hah?"

"Ssst. Jangan sekarang, Mas. Mood ayah saya lagi gak bagus."

"Kok jadi ayah kamu dijadiin alesan, kamunya gimana?"

"Saya ini gimana Ayah!"

"Hah? Jadi... kamu nggak sayang ama aku?"

Kami bertatapan. Lalu Deasy tersipu.
"Saya cinta ama kamu, tapi... maaf ya, ini agak sedikit matre. Ayah bilang, saya jangan mengiyakan ajakan nikah dari kamu, kalau kamu belum kerja, atau kerjanya baru sebulan dua bulan."

"Hah? Sehabis phk itu, maksud kamu? Sebelumnya kan aku udah kerja hampir tiga tahun, Deasy."

"Maaf, Mas. Ini semacam sayembara kecil. Boleh, kan?"

"Ya, ya, boleh aja. Ayah kamu bijak, aku tahu. Beliau berpikir panjang," aku memujinya dengan tersenyum sebisa-bisa.
"Makasih ya, Mas. Kamu pengertian."

"Tapi beneran loh, aku sayang ama kamu. Dan jadinya, biar lamaran ditolak... nih, dari gaji pertamaku, aku belikan token kecil buat kamu," aku mengangsurkan sebentuk perhiasan.
Kalung.

"Oh, Mas.., kamu tuh..." Deasy terpekik.

"Kenapa? Nggak suka? Terlalu kecil, ya?"

"Bukan, Mas. Justru sebaliknya... ini luar biasa.
Kebaikan hati kamu itu luar biasa. Selama ini, mau memperistri saya... serasa kamu tuh dipersulit terus, eh, bukannya marah atau apa, kamu baru gajian sekali aja, udah ngasih saya kado seindah ini. Makasiiih, banget..."

"Aku sayang ama kamu, Deasy."

"Makasih, Mas. Deasy juga cinta ama Mas. Beneran deh, kelak kalau insya Allah kita jadi nikah... beneran deh, saya janji mau jadi istri yang setia..."

"Ssst. Jangan suka janji-janji yang belum tentu."

"Eh, tapi beneran..."

"Ssst. Nggak usahlah sampai segitunya."

Kami bertatapan. Hening sejenak. Lalu Deasy mengangguk. "Iyalah, iya. Calon suamiku, sayang." katanya dengan tersenyum, bikin duniaku jadi semakin indah.
***
Tiga hari pertama, aku tidak bertemu Anti, dia diminta membereskan berkas di rumah Bu Agustin.
Namun hari ini, hari keempat, barulah aku ketemu dia. Aku jadi ingat pesan supir Bu Agustin yang dulu membawakan gaji. Sekertaris bernama Anti ini katanya 'all-in'. Hmm... Pas dia menghadap, wah... dengkulku asli gemetar. Gimana enggak? Dia pake blus putih yang menerawang jelas banget. Branya berwarna kacang ijo, bahkan aku sampai tahu detil sulaman gambar bunga di bagian depannya. Waduh, ngelamar Deasy bolak-balik di-pending, kalo terus sehari-hari ditemani sekertaris kayak gini bisa nggak kuku, nih!

Setelah ngobrol, makin gemeter lagi.

"Ssst.
Ini Bu Agustin nggak tahu ya, Pak. Tapi, saya langsung terus terang aja deh ama dikau," katanya sambil cengar-cengir.

"Terus terang apa, Anti?"

"Yah... selama ini, kalo si Bapak almarhum dinas luar kota, diam-diam saya suka ikut loh. Jadi temen bobo-nya. Hihihi... supir udah cerita belum?" katanya enteng.

Hah? Tak urung aku terlonjak. Walau supir udah cerita, nggak nyangka juga Anti bakal se-blak-blakan ini. Kalo istri muda yang dulu bikin gara-gara di RW, yah... umurnya udah tiga puluh sekian. Jadi, sebagai perempuan kesepian di umur segitu, aku masih bisalah memaklumi kalau dia doyan brondong. Tapi Anti ini... dia paling umurnya 25 juga belum nyampe. Aku udah lihat kok berkas personalianya. Waduh, nggak bisa dibiarkan nih ada orang kelakuannya kayak begini. Aku ini direktur. Kalau bukan aku yang turun tangan, siapa lagi?

"Saya pikir, hari ini mesti ada pengarahan dari saya untuk semua karyawan ya." kataku hati-hati.

"Karyawati, Pak. Karyawan kan pada ngelayap semua jam segini," kata Anti.

"Ya udah. Semua karyawati tolonglah dikumpulkan di ruang rapat."

"Lima belas menit lagi ya, Pak."

"Iya," aku pun menyiapkan konsep arahan.
Sementara, Anti pamit memberitahu yang lain.

Lima belas menit kemudian, saat aku masuk ke ruang rapat, mereka berjejer menyambut, dan beneran bikin aku melotot abis. Dari kelima belas karyawati, semuanya cantik-cantik. Yang rada tua cuma dua, Icha dan Ina, itu pun umurnya paling baru 34 tahun. Dan masalahnya, saat berdiri jejer itu, semuanya saja, dalam keadaan tanpa bra. Blazernya dilepas, dan tanpa bra! Waduh! Gile bener.

Saat mereka duduk, aku tahu satu hal lagi! Selain tanpa bra, mereka juga tanpa panty asuhan! Cleguk. Astagfirullah. Udah tiap malem ngimpi-ngimpi ingin segera nikah ama Deasy, eh sekarang... godaannya sampai kayak begini. Ironisnya, hari itu, sebetulnya aku ingin memberi pengarahan bahwa perusahaan yang aku pimpin ini, semua karyawannya harus mengedepankan budi baik, kebaikan, dan kebajikan.
Dan kemuliaan akhlak!
Di luar dugaan, walau pengarahanku semuanya normatif, ternyata di sini norma-norma diinjak-injak. Para pegawai protes. Yang pertama protes sekertarisku sendiri, Anti. "Gak salah tuh, Pak, ceramahnya tadi? Itu sih konsumsi di mesjid, Pak. Kalo di sini gak bisa," katanya.

"Selama saya direkturnya: harus bisa!" aku ngotot.

Dia diem sejenak, "Yah, Bapak. Kesambet, ya? Ke hotel dulu yuk, Pak. Entar kalo udah saya kasih kempit enak, mungkin Bapak bakalan ngerti," begitu dia bilang.

Kurang ajar tuh anak. Tapi, belum lagi dia aku nasehati, dua karyawati menghadap, mewakili yang lain-lainnya. Untuk protes juga. Yang menghadap adalah dua yang paling senior: Icha dan Ina. Keduanya matanya berkaca-kaca.

"Pak, kami punya anak suami," kata mereka terbata.

"Oh, iya. Terus gimana?"

"Selama ini, selama dipimpin almarhum... kami kerja di sini makan ati, Pak. Pengawuran demi pengawuran, makin ke sini makin menjadi. Mau keluar, butuh duit... mau tetep kerja, nurani tercabik-cabik," Ina bicara.

"Bertahun-tahun saya memimpikan kerja di perusahaan yang dipimpin oleh orang yang mengajak kebaikan," kata Icha menimpali.
"Dan hari ini saya terharu bener. Doa saya terkabul, saat saya mendengar pengarahan Bapak tadi," katanya.

"Oh. Yang saya sampaikan tadi itu biasa aja, kan?"
"Tidak, Pak. Biasanya nggak begitu."

Lalu mereka ceritakan tradisi penuh tahayul yang menjijikkan. Seperti salah satunya yang tercermin dalam rapat tadi. Yaitu, kalau direktur mau memberi pengarahan, sedang pegawai yang ada semua karyawati, maka demi mengusahakan keberuntungan, para karyawati harus mendengarkan pengarahan dalam keadaan tanpa underwear dan menerawangkan segenap rahasianya!

Naudzubillah. Ini serasa sulit dipercaya, tapi beneran terjadi.
Lalu, setelah pengarahan selesai, mereka akan memakai underwearnya lagi, dalam keadaan bersilangan, tuker-tukeran dengan yang lain. Ini bener-bener aliran kepercayaan yang... yah, nggak cuma sesat, tapi lucu juga. Bisa kebayang, kan? Anti yang semlohai begitu, kalau panty-nya dituker sama Ina yang mungil, error dua-duanya. Yang Anti pake dijamin pasti melintir-lintir, merecet ctar. Sedangkan yang dipake Ina, bisa-bisa merosot-sot-sot!
Dan hari itu aku beneran melihat lelucon nggak masuk akal itu. Pantesan, pas aku bilang mau pengarahan, yang riang gembira cuma Anti si centil saja. Sedang yang lainnya masem semua.

Satu lagi, katanya, setelah pengarahan, direktur lama akan memegangi satu per satu, dengan penuh sayang, jimat perusahaan; yang tak lain adalah milik pribadi para karyawati, yang atas dan yang bawah! Dan mereka keheranan karena tadi aku tidak melakukannya.

Mak! Ngeliat aja udah aneh, ini malah megang!

Mereka pikir, karena aku menjabat atas rekomendasi direktur almarhum, aku  akan mempraktekkan aliran sesat yang sama.
Astagfirullah. Astagfirullah. Hari gini ternyata masih aja ada aliran sesat.
"Tidak Ina, Icha. Saya tidak akan ngarang hal nggak jelas kayak begitu. Saya ini orang beragama yang sederhana. Agama Islam. Dan segala sesuatunya di sini, budi pekertinya, sebisa-bisa mesti islami," aku menegaskan pada mereka berdua, mengulang apa yang aku sebutkan di pengarahan.

Icha dan Ina kontan tergugu-gugu. Heran juga. Soal yang biasa, karena selama ini sudah berkubang dalam kesesatan, serasa jadi mengharukan. Subhanallah.

Uniknya lagi, walau hati kecilnya mensyukuri perubahan ini, Icha dan Ina memprotes prinsipku. "Tapi, Pak. Kalau prinsip Bapak begitu, perusahaan kita bangkrut dalam beberapa bulan!" kata mereka.

"Kenapa bisa begitu?"

"Lah iyalah, Pak. Perusahaan kita ini kan dapet uangnya dari ngerjain yang nyerempet-nyerempet, Pak. Kalo Bapak larang hal itu, ya udah, apa lagi yang tersisa?"

"Kita jadi event organizer yang baik, dong!"

"Mana ada yang percaya ama kita, kalau kita ganti haluan mendadak begitu?"

"Saya percaya! Dan orang-orang yang seperti saya, mereka percaya!"

"Waduh! Bapak belum tahu ya susahnya mencari uang..."

Mereka gusar. Tapi aku jalan terus. Sejak itu, secara amat tegas, aku coba tegakkan kebaikan. Deasy sempat gusar, karena bolak-balik dia bertanya detil tentang pekerjaanku, aku tidak pernah menjawabnya. Oh, masya Allah. Gimana aku bisa ceritain detil yang begituan sama Deasy?

Dalam sekejap, general managerku, dua orang... mengundurkan diri.
"Abis gimana, Pak. Baru diubah gitu aja, saya udah tahu kok, bahwa bonus tahunan bakalannya tinggal kenangan. Itupun kalo gaji teratur masih syukur."

Omongannya nyinyir banget, walau begitu, saat terakhirnya aku beri amplop tanda asih, mereka melongo. "Waduh? Bapak udah mau bangkrut masih ngasih pesangon?" kata mereka heran.

"Saya suka berbuat baik." sahutku. Aku tersenyum, dan kenyinyiran mereka lantas hilang begitu saja.

Posisi dua GM yang lowong, lantas aku serahkan kepada Icha dan Ina, dan langsung jadi bahan gunjingan semua orang. "Yah, kalo posisi GM-nya diserahin ama yang tuwir, beneran cepet bangkrut deh kita..."

Jumat ini, saat pengarahan, semua orang merasa aneh. Bukan aneh karena apa, tapi ini bagi mereka adalah untuk pertama kalinya sejak kapan tauk, mereka hadir pengarahan dengan pakaian dan underwear lengkap. Posisi duduknya masih banyak yang abrakadabra, tapi yah... lumayanlah dari yang anarki kemarin.

Jumatnya lagi, saya mengundang Ustadzah Jejen untuk ceramah, dan itu bagi semua amat mencengangkan. Tempat yang biasanya penuh pengawuran, sekarang berbalik 180 derajat! Ups, tapi membolak-balik hati bukanlah keahlianku. Enggak. Aku nggak bisa.

Baru aja lima belas menit Ustadzah pergi, pas aku balik lagi ke ruang rapat karena hapeku ketinggalan, aku mendapati Anti lagi goyang agogo sama Jono, salah seorang karyawan!
Disana kusaksikan adegan panas live show yang dimainkan oleh mereka berdua di sofa yang terdapat di ruang rapat. Aku sebenarnya malu menyaksikan adegan yang layak sensor itu, tapi perasaan malu dan bersalahku terkalahkan oleh rasa penasaran dan keinginan yang besar untuk menyaksikan tubuh montok Anti yang sedang meliuk-liuk indah.
Maka dengan mengendap-endap aku pun mengambil posisi. Seluruh pakaian Anti sudah terlepas dan tergelatak di bawah sofa, menampakkan tubuh rampingnya yang sintal menggoda. Terus terang, aku jadi sedikit ngaceng juga. Sementara Jono cuma melepas celananya saja, ia menyandar di sofa sambil memangku Anti yang jongkok membelakanginya. Kedua tangan Jono memeluk dari belakang dengan telapak tangannya meremas dan memilin-milin puting susu Anti.
Sambil terus menggoyang, kepala Anti terdongak ke belakang dengan mata terpejam. ”Euhh… euhh…” rintihan terus menerus keluar dari mulut manisnya, terkadang pelan dan terkadang tanpa disadarinya keluar cukup keras. Sementara pantatnya yang semok terus bergerak dengan cepat ke atas dan ke bawah, diselingi dengan gerakan ke depan dan ke belakang. Tanpa henti Anti terus mengocok batang penis Jono di dalam liang vaginanya.
Kulihat mata Jono terbeliak-beliak menahan nikmat yang diberikan oleh Anti. Mulutnya menyeringai dan kadang juga meringis dengan erangan pelan. ”Ohh… terus... teruss...” begitu Jono berkata.
Kedua orang itu sedang diliputi nafsu sehingga mereka tak sadar sedang kuintip. Sungguh, meski tidak rela, adegan ini benar-benar menyajikan pemandangan yang sangat membangkitkan birahi. Betapa mengairahkannya tubuh Anti yang putih halus, dengan buah dada yang sangat besar tapi sekal, juga pinggang ramping dan paha yang sangat mulus sekali.
Baru kali ini aku dapat melihatnya dalam keadaan telanjang, biasanya cuma perabotnya yang sedikit terbuka disana-sini. Bikin risih sekaligus juga penasaran. Namun sekarang, semuanya terbuka lebar, bahkan bisa kulihat dengan jelas bagaimana vagina Anti yang sempit terkempot-kempot menerima dorongan dan gesekan penis Jono dalam posisi duduk. Gerakan pantatnya sudah tidak teratur lagi, goyangan pinggulnya semakin menggila dan mulutnya sudah mulai meracau tak jelas
”Ouh… yah… ouh… emhh... ohh…” Kepala Anti semakin terdongak dengan mulut ternganga menahan deraan nikmat yang datang melanda tubuh sintalnya. Napasnya ngos-ngosan, sementara keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya.
Gerakan Jono juga sama, malah kini terlihat semakin cepat dan keras. pinggulnya terus menghentak bokong Anti ke atas dan ke bawah. ”Ohs... ehs… ehh…” dengusan Jono membuat tubuh Anti terlonjak-lonjak menerima sensasi nikmat yang teramat sangat, sambil kedua tangan Jono meremasi buah dada Anti yang semakin membulat indah.
”Ouh… auw… auw…” racau Anti semakin nyaring. Akhirnya sekertarisku itu  mulai meracau merengek seperti mau nangis, ”Ayo… aku nggak tahan pingin disemprot sama pejuhmu!!” katanya dengan mata terpejam.
Jono segera berdiri dan membalikkan badan mereka, dia meminta Anti untuk menungging sementara ia berdiri tanpa mencopot batang penisnya. Kulihat Jono kembali mendorong pantatnya dengan keras dan cepat ke pantat Anti, sambil tangannya memegangi kedua sisi pinggul Anti yang seksi dan sangat menggairahkan.
”Ouh… ouh… ohh…” mereka pun melenguh secara bersamaan.
Tumbukan antara selangkangan Jono dan pantat Anti yang telah basah berkeringat menimbulkan suara yang khas, plok… plok… plok… dengan ditimpali oleh suara erangan dan lenguhan nikmat dari mereka berdua.
Gerakan Jono mulai cepat tak teratur dengan disertai kejang-kejang kecil. Demikian pula pinggul Anti yang bergerak-gerak liar sehingga bunyi benturan alat kelamin mereka semakin terdengar jelas.
”Ayo, Jon… ayo semprot… semprot memekku!!” ceracau Anti dengan suara tak terkendali
Dan akhirnya, secara bersamaan mereka menjerit dan melenguh keras… ”Aaakhhh…” jerit Anti. ”Ooohh…” dengus nafas Jono yang dilanjutkan dengan menghisap leher bagian belakang Anti.
Tubuh mereka menjadi kaku untuk beberapa saat, kulihat terjadi kontraksi pada pantat Jono dengan berkedut-kedut ringan beberapa kali. Mereka benar-benar baru saja mengalami fase orgasme yang sangat hebat dan sensasional. Pandangan mereka seolah gelap lalu keduanya terhempas telungkup ke atas sofa. Mereka terdiam selama beberapa menit, tidak bergerak sama sekali, seperti berusaha menikmati sisa-sisa orgasme hebat yang masih melanda.
”Makasih, Mbak… mbak Anti benar-benar hebat,” kata Jono sambil mengecup bibir tipis Anti.
”Makasih juga, Jon. Aku juga sangat puas.” balas Anti sambil tersenyum lembut.
OK, permainan selesai. Dengan hati-hati aku berjinjit meninggal tempat itu, membiarkan hapeku tetap tertinggal disana. "Ya, Allah. Ujian apa ini?" batinku dalam hati.
Di rumah, sampai pagi aku nggak bisa terpejam. Di internet aku tahu segala pengawuran yang tak terkendali. Tapi, di depan mukaku sendiri... Sehabis ceramah seperti itu, sekertaris yang mestinya paling mendukungku, kelakuannya malah kayak begitu. Ini sungguh mengguncang batin. Udah gitu, Deasy ngajak berantem lagi, karena aku sama sekali melarang dia datang ke perusahaan.

"Mas pasti menyembunyikan hal buruk di sana, iya kan?" tuduhnya.

"Ya. Ada sejumlah hal buruk yang kamu lebih baik tidak tahu."

"Ya udah, Mas.
Jangan main-main lagi ke tempat saya deh, kalo sukanya masih rahasia-rahasiaan gitu," katanya memutuskan.

Jam lima pagi, karena nggak bisa tidur, aku sudah kembali ke kantor. Pagi itu juga, aku siapkan surat pemecatan untuk Anti dan mitra agogonya. Aku
kasih amplop juga, tapi jumlahnya tidak seberapa.

"Ya udah, Pak.
Saya keluar." kata Anti.

"Saya juga." timpal Jono.

Begitu saja mereka pergi.
Tanpa sedih, tanpa apa. Aku jadi ingat celotehan Anti pas waktu itu; Direktur lama, katanya langganan dapet kempitan enak dari dia. Ah, kalau melihat bagian belakangnya, terus terang, sebagai lelaki biasa, aku juga pingin banget. Apalagi setelah nonton yang kemarin. Tapi, ah, ujungnya aku bisa berumur pendek kayak direktur almarhum itu deh. Hiiii... amit-amit!

Aku jadi ingat nasehat Ustadzah Jejen yang masih saudara jauh, "Mas, kamu tuh lupain aja segala kenikmatan sesaat ama perempuan. Lu tahu ya, kelak di akhirat, kalo kamu jadi orang baik, yang lebih sip dari semua yang di dunia kamu lihat, insya Allah banyak. Bidadari yang suci. Semuanya buat kamu..." katanya.

Hmm, serasa itu jadi penghiburan. Hmm, tapi di sisi lain, sayang juga tawaran enak dari Anti nggak aku santap. Yah, kapan lagi ngerasain sarjana lulusan luar negeri yang semolek itu?

Ups. Kok jadi ngaco!

Ya, ya.
Otakku kadang masih ngaco gini. Pantesan, Deasy marah-marah melulu. Bulan ini beneran penuh krisis. Dan puncaknya di akhir bulan... tiba-tiba Bu Agustin ngamuk luar biasa hebat.

"Kamu apain sih perusahaan saya? Masak tiga minggu terakhir ini nggak ada income sama sekali, kecuali satu yang dari Jejen itu.
Eh, beneran Jejen itu Ustadzah? Waduh.. pembawa sial itu kayaknya!"

Habis dia pulang, Icha dan Ina, dua GM saya melaporkan posisi keuangan. "Pak, kalau situasinya gini terus, dalam dua bulan, paling pol empat bulan.. kita bangkrut!"
Nah, lho...

***
Bulan ini, tidak beda dari bulan lalu. Order yang biasanya banyak, berubah, cuma jadi dua! Satu dari Ustadzah Jejen, satu lagi dari salah satu BUMN yang selama ini dibina Bu Jejen juga. Namun Bu Agustin nggak marah lagi. Bukannya dia happy, tapi sekarang statusnya setengah gila! Aku baru seperempat!

"Kita bisa tahan tiga bulan lagi saja, Pak. Masih tekor!" kata Icha.

"Empat bulan nggak bisa?" tawarku.

"Ya, maksimum empat bulanlah," kata Ina.

Sebulan kemudian, ternyata membaik. Bu Jejen yang berperan. Ibaratnya, dia mensubsidi, dan sekaligus marketer juga, membantu memasarkan jasa event organizer kami, dengan konsep kebaikan, yang seratus delapan puluh derajat bedanya dari jaman jahiliyah.

"Bulan ini, order ada tiga.
Dan cash-flow kita mulai positif," kata Icha dan Ina.
Walau order sedikit, tapi dua yang dari BUMN itu nilainya wow punya. Ada cash, aku segera memanggil manajer personalia, orang eksternal, head hunter langganan, untuk merekrutkan buatku sekertaris pengganti Anti yang kemarin dulu aku pecat itu. Kalau enggak, bentar lagi aku bisa jungkir balik.

Senin ini cerah. Konsultan personalia itu melaporkan tugasnya, "Kandidat sekertaris sudah ada, Pak," katanya via telepon.
"Ya udah, bagus."

"Pak, boleh calon sekertaris barunya saya suruh bergiliran wawancara ke ruangan Bapak, sekarang?" kata Mbak Zaza, konsultan itu.

"Oh, iya, Mbak, silakan," jawabku formal.

Sama doi, jawabannya mesti formal.
Kalo enggak, bisa dia giring diskusi nyerempet kemana-mana. Denger-denger, biar bagiannya di perekrutan personalia, tapi Mbak Zaza itu orangnya rada semiring Anti gitu deh. Ups, sorry. Kok jadi ngomongin orang.

Selang lima menit, dia sudah di depan pintu.
"Saya tunggu di luar ya. Calonnya bergiliran masuk sini. Dimulai dari yang nomer satu," katanya.

"Oh iya. Silakan, Mbak."

Habis dia menghilang, aku meneguk segelas air. Hmm, melihat manajer personalia sesensual Mbak Zaza, bawaannya haus mendadak. Hehehe… mana apel sama Deasy ditolak-tolak mulu lagi.

Lalu pintu terbuka lagi, kandidat pertama masuk. "Selamat siang, Pak. Saya Yeni..." kata gadis itu.

”Uhuk, uhuk, uhuk!” aku kontan tersedak.
Gimana enggak? Calon yang pertama datang ini, blusnya sedemikian merecet hingga branya mengintip, dan tali branya juga kemana-mana. Putih warnanya.

Ini aku mau menata ulang, malah mengulang balik ke jaman jahiliyah nih kalau aku rekrut Yeni. Untuk jadi penari ular sih mungkin dia cocok, atau jadi model tabloid kuning, tapi kalau untuk jadi sekertarisku, Deasy bisa nyanyi seriosa!!

Aku ajak ngobrol dia sebentar lalu aku suruh keluar, dan muncul yang kedua.
"Selamat siang, Pak. Saya Tami..." kata yang kedua begitu masuk.

Prak! Aku ngejatohin bolpoinku. Semalem aku ngimpi apa, ya? Yang kedua, nggak beda jauh dari yang pertama. Cantiknya mirip Deasy. Sama-sama putih, tapi tipe-nya rada ke Tionghoa
blasteran, sedangkan Deasy rada blasteran Arab. Maak... Tami ini daerah atasnya rapet, beda ama yang pertama, tapi rok spannya kelewat provokatif, sehingga pas dia duduk, renda-renda jambonnya melambai-lambai. Kalo dari belakang, buritannya juga menampakkan bagian brutu yang seperti dua lekuk gundukan kecil menggemaskan.

Apa jaman sekarang lulusan akademi sekertaris kayak gini semuanya ya? Dua orang ini pada sekolah dimana, sih? Sekolah pengiritan baju kayaknya.
Setelah dia aku suruh keluar, yang ketiga masuk. "Saya Sinta, Pak," kata yang ketiga dengan ekspresi wajah lebih mupeng dari Anti biasanya waktu dia masih pede-pedenya jadi sekertaris centil.
Alamak! Yang ketiga ini, waduh... Atasnya kemeja ala Jokowi yang kasual, tapi rapet. Masalahnya, bawahnya juga celana hitam yang rapet juga, tapi... yang bawah itu jelas bener kagak berlapis legit, alias dipastikan doi kagak pake celokan ladem. Ini anak mau ngelamar pekerjaan sekertaris atau mau ngelamar kerja jadi penari erotis sih? Heran aku...

Setelah Sinta, yang keempat, lalu masuk. "Pak, saya Rika, mau disuruh apa aja siap!" katanya.

Baru aku agak lega. Walau ketat, si Rika ini bawahnya jelas memakai kunci ganda. Nggak seperti Sinta tadi. Semula, aku kirain yang ini aman. Lalu dia meminta ijin duduk. Aku ijinkan. Sopan pulak orangnya. Hampir aja dia langsung aku terima. Tapi enaknya ditanya-tanyain dulu lah.

"Di sini rada panas ya, Pak?" katanya sambil duduk dan membuka blazer.

"Hah?" aku melongo. Pas blazernya dibuka... wow, dari bagian depannya menerawang sepasang kismis segede kurma.
Harga bra emangnya sekarang semahal-mahalnya berapa, sih? batinku makin terganggu. Kalo calon-calon sekertaris kayak begini, mendingan nggak deh...

Ah, tapi cobalah calon kelima.
Siapa tahu yang empat tadi cuma figuran, calon beneran adalah yang terakhir. Bisa aja kan, yang kelima ini keponakannya Mbak Zaza atau apa, jadi mesti diamankan jalannya dengan ditandingkan dengan para figuran saja. Ya, ya. Aku mesti ngerti jugalah cara kerjanya head-hunter. Pasti kayak gitu.
"Saya Ummi, Pak," kata yang kelima ini.

Dari malu-malunya, sepertinya dia sopan, nih. Luwes, lembut. Dan sopannya tidak dibuat-buat. Tapi beneran, ada kemiripan dengan Mbak Zaza, konsultan personalia.

"Kamu masih bersaudara sama Mbak Zaza, ya?"

"Iya, Pak. Saya keponakannya," katanya tersipu.

Tuh, kan bener! Ya udahlah. Keponakan Mbak Zaza nggak apalah, daripada yang empat tadi. Lagi pula, dengan keponakannya kerja di tempat ini, Mbak Zaza tentu nggak akan sering keganjenan ke ruanganku, kan?

"Oke, Ummi, silakan duduk," aku pun mempersilakan dia duduk di sofa di depanku.

Dengan tersenyum, Ummi itu pun duduk. Clek! Tapi begitu duduk, aku kontan terlonjak melihatnya! Yang kelima ini, waduh... malah lebih parah dari yang tadi. Atas bawah tanpa lapisan berganda, dan pas duduk... kakinya menyilang, Sharon Stone abis!

"Pak, Mbak Deasy nyariin tuh di lantai bawah!" kata Mbak Zaza tiba-tiba.

Alamak! Lagi ada lima kandidat sekertaris cilukba begini, pas Deasy datang lagi. Gimana ini? Bul, bul, bul. Ubun-ubunku serasa berasep deh tuh. Segera aku temui dia di lantai satu dengan hati kebat-kebit.
Kalau Deasy maksa naik ke ruang kerjaku gimana? Alasan apa untuk menolaknya? Susah.

Eh, tapi pas aku muncul, Deasy ternyata tidak seperti yang aku duga. Aku merindukan dia tersenyum, tapi... yang aku dapati, dia bermuka masam, dan pas aku menyapanya, dia tidak omong apa-apa, kecuali... plak!
Dia menamparku. Lalu pergi. Hei, aku salah apa?!

Pas aku periksa hape, ada message dari dia: "Mas, kalau mau ngajak putus beneran, terus terang ajalah. Jangan embargo komunikasi kayak gini!" begitu dia menulis.

Mak! Saking terhipnotis sekertaris cilukba, berapa kali Deasy menelepon, aku cuekin aja rupanya. Gawat nih. Ah, tapi nanti dululah soal Deasy. Sekarang soal sekertaris dulu. Setelah kelima kandidat sekertaris aku suruh pulang, aku mikir. Mbak Zaza konsultan personalia tuh lagi kumat gilanya atau apa, sih? Langsung aja dia aku panggil. Pas aku komplein, dia malah celingukan, serasa nggak bersalah sedikit pun.

"Oh, Bapak ingin sekertaris yang baru?"

"Ya iyalah!"

"Hihihi. Saya salah denger, Boss. Sorry. Saya kira Bapak minta sekertaris yang SARU!"

Bujubuneng... capek deh aku. Untung Deasy calon bini gue kagak tahu, kalau tahu... putusnya beneran bisa selamanya nih.

Ajaibnya, walau dalam mencarikan cewek cantik, Mbak Zaza itu amat piawai, kalau diminta yang lempeng dan nggak nyerempet saru, ternyata dia angkat tangan.
Can you believe it? Head hunter macam apa dia? Aku jadi curiga.

Maka aku tanya Ina dan Icha... ternyata, dulunya Mbak Zaza emang spesialis yang begitu. Nyariin sekertaris, sekertaris yang saru. Cariin marketing, marketing saru. Bagian layanan pelanggan, yang super saru. Bahkan akuntan pun, akuntan saru!

Ah, kayaknya aku emang mesti cari via Bu Jejen nih. Udahlah dulu soal sekertaris. Sekarang mending ngurusin Deasy.
"Deasy, sayangku. Aku kangen berat nih. Please, tolong. Aku ingin jelasin ke kamu semuanya hari ini tentang pekerjaanku, boleh ya?" aku kirim sms.

"Untuk apa? Untuk perbaikan hubungan, atau mau putusnya dipermanenkan?"

"Oh, Deasy, tolonglah. Aku nggak kuat kalau mesti kehilangan kamu."

"Beberapa bulan ini saya patah hati, Mas."

"Aku jungkir balik, Deasy. Ngurus pekerjaan... ternyata di sini memang jahiliyah. Tapi yah, aku jalani aja sebagai amanah. Kan dulu kamu juga yang kasih rekomendasi,"

Begitu aku sms gitu, nada tulisan Deasy langsung berubah, melembut. Aku  tahu, Deasy orang yang sportif. Dulu dia yang rekomendasikan, sekarang aku jungkir balik, dia sportif dan mau memaklumi akhirnya.
Tapi dongkol tetap dongkol mestinya.

Hari ini, saat dia tidak ada, aku datang ke rumah orang tuanya. Aku belikan oleh-oleh buat ayah-ibunya. Dan besoknya, dia langsung protes keras. "Kamu tuh bokis, ya! Gagal ngerayu aku, ngerayunya lewat Ayah-Ibu!
Rrrggghh!!!"

Aku buru-buru meneleponnya. "Deasy, please, please, jangan diputusin... Halo! halo?"

"Iya, ih. Halo. Mau ngomong apa?"

"Hehehe.. kirain udah putus. Deasy, aku kangen ama kamu."

"Lantas?"
"Will you marry me?"

"Hah? Uhuk, uhuk, uhuk!" kontan dia tersedak, dan telepon pun diputuskan. Namun selang sebentar dia sms. "Mas tuh kayaknya sengaja ya bikin saya keselek?"

"Enggak, Sayang. Aku beneran ingin menikahi kamu. Please, terimalah lamaranku. Aku sayang ama kamu beneran."

Lama, Deasy tidak membalas. Satu jam aku tunggu, sepi sunyi. Malam, baru dia membalas.

"Mas, saya ingin numpahin dulu segala unek-unek. Baru setelah itu kita bicara soal pernikahan atau yang lain."

"Aku sayang ama kamu, Deasy. Setujulah untuk menikah denganku, setelah itu baru kita bicara soal unek-unek atau apapun!"

"Kok maksa?"

"Karena aku sayang ama kamu."

"Tapi kan saya masih gemes ama kamu, Mas."

"Gemes juga kamu tetep cantik, kok. Aku suka kecantikan kamu."

Cuman aku bolak balik pujian cantik, ungkapan cinta dan sayang, dan ajakan menikah.
Pada akhirnya, Deasy pun menyerah pasrah. "Ya udah deh, Mas. Suka-suka kamu. Kalau kamu serius mau nikahin aku, lamar gih ke Ayah! Saya mau kok diperistri ama pemaksa ganteng kayak kamu. Hahaha..."

Oh, yes! Alhamdulillah. Aku bahkan belum jadi menjelaskan tentang pekerjaan!

Pas kami sekeluarga melamar, ayah Deasy merangkulku dengan sepenuh hati, sampai-sampai bapakku yang tidak pernah aku lihat menitikkan air mata seumur hidup pun, matanya berkaca-kaca melihat hal itu.

"Saya udah salah pake ngasih sayembara segala sama kamu, Mas.
Ternyata... kamu memang luar biasa. Perusahaan jahiliyah sesat, dalam beberapa bulan bisa kamu ubah jadi perusahaan yang berbudi pekerti luhur!" kata ayah Deasy.

"Yang membalik-balikkan hati itu bukan saya, Pak. Itu dari sononya..." aku merendah.

"Jadi gimana ini, apakah lamaran kami untuk meminang Deasy yang cantik dan baik hati diterima oleh Bapak-Ibu sekeluarga?" ayah saya memastikan.

"Diterima sepenuhnya," ayah Deasy menjawab tegas.

"Iya. Diterima. Saya menerima dengan amat bahagia," ibunya Deasy bahkan ikut menimpali dengan setengah bercanda.

"Deasy juga bahagia bangeet! Alhamdulillah. Iya, ya.
Diterima," Deasy pun ikut menegaskan dengan malu-maluin. Semua tertawa gembira.

Urusan pernikahan lancar, urusan kantor lain lagi.
Sekarang, budi pekerti udah lempeng, tapi orderan rada seret. Gimana ini?

"Kehantem gini, mestinya sapu bersih aja, Pak." Icha, GM-ku mengusulkan.

"Tapi itu susah," Ina mendebatnya.
"Kalau beneran sapu bersih, kita mulai dari nol banget. Tapi, kalau disisain, siapa yang bisa disisain? Semua kita kan udah penuh bercak noda nih. Hihihi... dulu udah biasa jas-jus semua!" Ina mengenang jaman jahiliyahnya.

Akhirnya, jalan tengahnya... Setelah dirundingkan dengan Bu Agustin segala, disepakati, akan dipinjami uang stand-by oleh Bu Agustin. Siapa yang mau keluar boleh, tapi diharapkan, siapa yang mau kerja dengan pola baru yang lebih lempeng, untuk tidak keluar, untuk mencegah kehilangan kompetensi.

"Pak, tapi kami ini, kalo ikut pola baru lempeng apa bisa? Kita semua ini kotor loh!" Icha, Ina, dan beberapa yang lain curhat.
"Jas-jus udah ngacak nggak keitung ama berapa lelaki." kata para ibu-ibu itu dengan sendu.

"Ssst. Sudahlah. Kita semua ini manusia biasa. Kita semua ini banyak dosa. Perbanyaklah istighfar.
Tentu ampunan dari-Nya sesuai dengan janji-Nya, meliputi langit dan bumi."
Dan dengan semangat itu, akhirnya sepuluh orang anggota tetap tinggal, termasuk Icha, Ina, dan supir Bu Agustin yang setia itu. Kecuali si supir, yang tinggal semuanya perempuan. Yang lain... memilih keluar dengan pesangon.
***

Hari ini aku akad nikah, semua pegawai hadir menyaksikan. Mereka yang dulu terbiasa tanpa underwear dan dicemal-cemil oleh boss-nya sendiri, hari ini semua berkebaya rapih jali. Icha dan Ina bahkan berjilbab rapet.
Ah, bahagia rasanya. Apalagi saat malamnya, Deasy sudah menyambutku di kamar dengan senyum manisnya. Ia sudah mengganti baju pengantin dengan kaos biasa, kelihatan sekali kalau dia nggak pake bra, sehingga bentuk toketnya yang imut tercetak samar di balik baju longgarnya. Jilbabnya yang lebar sudah ia lepas, menampakkan sebentuk rambut yang panjang sepunggung. Duh, sungguh sangat cantik sekali.
Penisku kontan melonjak bangun disuguhi pemandangan yang merangsang seperti itu. Deasy duduk di ranjang dan aku segera menyusul duduk di sebelahnya. ”Kamu cantik sekali, Sayang!” aku mulai memujinya.
Deasy tersenyum malu, ”Gombal ah.”
“Eh, beneran loh.” kupandangi dia, berdasar dari apa yang pernah kubaca; perempuan kalo ada kumisnya, biasanya nafsunya besar. Apa Deasy juga seperti itu ya, karena kulihat ada sedikit bulu halus di atas bibirnya. Ah, mudah-mudahan saja.
”Mas suka?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk. ”Kalau nggak, kenapa aku mesti nikahin kamu,”
”Terangsang sama tubuhku?” waduh, to the point sekali dia.
Tapi, langsung saja kusambar umpannya itu. ”Ya iya lah, aku kan lelaki normal, siapa yang nahan deket-deket cewek cantik dan seksi kaya kamu gini?”
Deasy tersenyum manis sekali. Segera aku mencium tengkuknya. ”Geli, Mas,” Deasy menggelinjang.
”Tubuhmu wangi, jadi merangsang banget deh.” kucium sekali lagi tengkuknya.
"Mass, geli... daripada nyiumin tengkuk, mending juga cium bibir Deasy aja." katanya sambil menoleh ke arahku.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, segera bibir mungilnya kusambar dan kulumat dengan penuh nafsu. Deasy mengimbangi ciumanku dengan tak kalah ganas, malah dia menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku, yang segera kubelit dengan lidahku dan kukulum sepuasnya. Sementara itu tanganku mulai memerah toketnya, pentilnya yang mulai mengeras terasa mengganjal di telapak tanganku.
"Mas, remes langsung aja… Deasy pengen diemut deh pentilnya." Ah, istriku ini... kenapa jadi mupeng gini. Tapi asyiklah, aku jadi nggak perlu sungkan lagi.
Segera bajunya kulepas, Deasy mengangkat tangannya ke atas untuk mempermudah usahaku. Toket bulatnya tampak menonjol indah dengan pentilnya yang juga imut berwarna pink. Segera kurebahkan ia di ranjang dan kuciumi bahunya. Dan akhirnya, pentilnya mulai kujilat-jilat serta kuemut-emut ringan. Begitu banyak kumasukkan bulatan payudara Deasy ke dalam mulutku dan kusedot-sedot dengan ganas, hingga ia jadi menggelinjang geli karenanya.
"Mas, ganas amat si ngemutnya... tapi enak, terus... Deasy suka!" ia mulai merintih penuh kenikmatan.
Aku meraba-raba perutnya, terus membuka kancing celananya dan ritsluitingnya. Lalu merogoh ke dalam selangkangannya. Agak susah juga karena celananya ternyata ketat, namun bisa kuraba jembutnya yang rupanya bener, lumayan lebat.
"Sayang, jembut kamu lebat ya?" tanyaku menggoda.
Deasy mengangguk malu. "Celanaku dilepas sekalian aja, Mas."
Segera celana pendeknya kulepas, juga celana dalamnya. Kini Deasy sudah sepenuhnya telanjang di depanku. Tubuhnya sungguh sangat menggairahkan sekali. Meski tidak semolek Anti atau Mbak Zaza, namun cukup bisa merangsang gairahku. Dan aku sudah puas dengan itu, karena inilah yang halal buatku.
Yang pertama kulihat adalah jembut Deasy yang lumayan lebat itu. Di balik kerimbunan jembutnya nampak memeknya yang berwarna pink, sepertinya masih rapet banget. Pelan aku merabanya dengan jari, terasa hangat dan lembut sekali. Deasy agak sedikit bergidik saat jariku terus bergerak ke atas, ke arah tonjolan klitorisnya. Kugesekpelan benda mungil kemerahan itu dengan ujung jariku.
"Mas, yang cepet geseknya... ohh, nikmat banget! Bikin Deasy jadi pengen,"
"Pengen apaan, Say?" tanyaku menggoda sambil terus menggerakkan tangan.
"Pengen dimasukin sama punya Mas,” sahutnya malu-malu.
Namun aku tidak memperdulikan rengekannya, malah aku mulai menjilati klitoris itu hingga membuat Deasy menggelinjang semakin hebat. Gila bener! Walau masih perawan, tapi liarnya sama kaya wanita yang sudah berpengalaman. Nggak rugi aku memilihnya sebagai istri, sepertinya aku akan puas malam ini.
Ketika klitorisnya kuemut-emut, Deasy semakin menggila erangannya. Aku lalu memasukkan jari tengahku ke dalam memeknya, terasa sekali cengkeraman memek itu yang masih utuh dan sempurna. Sengaja aku tidak ingin menusuk terlalu dalam karena tidak ingin perawannya pecah. Itu adalah tugas kontolku nanti.
Jariku menyusuri bagian dalam sebelah atas liang memeknya, sampai ketemu daging yang agak menonjol, terus kugaruk-garukkan jariku disitu. Ini membuat Deasy semakin berteriak tak terkendali, dia menggeliat ke kanan dan ke kiri sambil menjerit-jerit, "Mas jahat ih... jangan siksa Deasy kaya gini dong, nggak tahan lagi nih!" katanya sambil mengacak-ngacak rambutku yang sedang menyusup di selangkangannya. Dia juga menarik-narik bahuku supaya segera menancapkan kontolku ke liang memeknya.
Karena kasihan, dan juga sama-sama tak tahan, segera aku bangun dan melepas semua pakaian yang masih menempel di badanku. Deasy terbelalak melihat kontolku yang sudah maksimal kerasnya. "Mas, gede banget itunya! Panjang lagi!"
Deasy duduk dan segera meremes kontolku dengan begitu gemasnya, "Ih, udah keras banget... segera masukin ya, Deasy udah pengen ngerasain kontol gede kaya gini."
Tanpa perlu kusuruh, Deasy segera menjilati kepala kontolku, dan tak lama kemudian mulai dimasukkan ke dalam mulutnya. Terasa hangat sekali emutannya. "Mas, gede amat, cuma muat kepalanya aja di mulut Deasy," dia meneruskan emutannya. Batangku dikocok-kocoknya pelan.
Aku diam saja menikmati emutan dan kocokannya. Kepala penisku kembali dijilat-jilat sebentar kemudian dimasukkan lagi ke dalam mulutnya. Deasy mengenyotnya pelan-pelan, kepalanya terlihat mengangguk-angguk memasukkan kontolku keluar masuk di dalam mulutnya. Aku hanya bisa mengimbangi dengan menggenjotkan kontolku pelan.
"Ahh, enak, Say... baru diisep mulut atas aja udah nikmat ya, apalagi kalo yang ngisep mulut bawah?" erangku keenakan. Tanganku terus saja mengelus-elus memeknya yang sudah basah karena nafsu Deasy pun juga sudah sangat memuncak.
"Mas, mulut Deasy udah pegel... segera masukin ya?" Deasy mencabut kontolku dari mulutnya dan aku segera menelungkup di atas badannya. Kontol kuarahkan ke lubang memeknya yang basah, kutekan kepalanya hingga menemukan lubang yang tepat. Terasa hangat dan nikmat meski belum masuk seluruhnya, hanya ujungnya saja.
Kutekan sekali lagi, terasa sekali memek Deasy yang meregang menerima batang kontolku yang besar, membuatnya melenguh pelan, “Arhh… sakit!”
Aku berhenti sejenak. Saat Deasy mulai terlihat sedikit tenang, aku memulai lagi. Terasa ada tembok besar yang menghalangi, namun aku tidak pantang menyerah. Terus kudorong dengan sepenuh hati hingga... ”ARGHHHH...!!!” Deasy menjerit kencang saat lapisan itu tertembus. Segera kubungkam mulutnya dengan bibirku. Kami bernafas terengah-engah bersama.
”Sakit, Mas.” Deasy merintih, ada sedikit air mata di sudut matanya, yang segera kuusap dengan telapak tanganku.
”Tahan ya, udah tanggung kalau berhenti sekarang.” kataku menyemangati. Ia mengangguk.
Aku mulai menggenjotkan batang kontolku pelan, keluar masuk di liang memeknya yang kini sudah tidak perawan lagi. Tambah ama tambah cepat sehingga akhirnya seluruh kontolku yang panjang ambles di memeknya.
"Uhh... punya Mas bikin memek Deasy sesak," rengeknya saat sudah mulai bisa menikmati.
Di atas, enjotan kontolku menjadi semakin cepat dan keras, membuat Deasy semakin sering melenguh penuh kenikmatan, apalagi kalo aku menggenjotkan kontolku masuk dengan keras, sampe mentok rasanya. Nggak lama dienjot, Deasy sudah merasa mau nyampe, "Mas, lebih cepet ngenjotnya dong,” ia merengek.
"Cepat banget, Sayang? Aku aja belum apa-apa." jawabku sambil mempercepat lagi enjotan kontolku.
Akhirnya Deasy menjerit keenakan, "Mas, ohh…" ia menggelepar-gelepar penuh kenikmatan. Aku masih terus saja mengenjotkan kontolku keluar masuk dengan cepat dan keras, lebih cepat dari yang tadi, hingga gesekannya makin terasa nikmat. Jari-jariku mengelus pantat Deasy yang bulat padat.
"Ahh... nikmat banget, Sayang. Empotan memek kamu kerasa banget," erangku sambil terus saja mengenjotkan pinggul. Sambil menggoyang, aku juga agak menelungkupkan punggungnya hingga tanganku bisa menjangkau dan meremas-remas toket Deasy yang membusung indah. Kemudian tanganku menjalar lagi ke klitorisnya, kukilik-kilik benda mungil itu hingga membuat Deasy merintih kegelian.
"S-sudah, Mas... jangan digoda lagi, tubuh Deasy udah lemes banget.” ia menyerah.
Aku yang juga udah mau ngecret, segera memegangi pinggulnya dan mempercepat enjotan kontolku. Tak lama kemudian, aku menusukkan kontolku dalem-dalem di liang memeknya dan pejuku pun muncrat. "Aah… nikmat banget, Sayang!"
Terkejang-kejang, aku agak menelungkup di atas tubuh montok Deasy. Karena lemas, kami hanya bisa bertindihan di ranjang dengan alat kelamin masih bertaut erat.
"Mas, nikmat deh, meski awalnya tadi sakit banget." kata Deasy. Aku tak menjawab, pelan-pelan kontolku mengecil dan akhirnya terlepas dengan sendirinya. Aku lalu berbaring di sebelahnya. Kupeluk dia dan kuusap-usap rambutnya yang panjang.
"Mas, Deasy mau ke kamar mandi, lengket badan rasanya." Ia pun bangkit dari ranjang dan menuju ke kamar mandi yang berasa di dalam kamar.
Selesai membersihkan diri, Deasy keluar dari kamar mandi dengan telanjang bulat, dia kaget melihat kontolku yang kembali berdiri dengan begitu kerasnya. "Mas hebat banget sih, dah keluar masih aja ngaceng kaya gitu." komentarnya.
Aku tersenyum saja mendengarnya dan segera mengajak Deasy berbaring di sebelahku. Aku kembali mencium bibirnya. Sementara kontolku dielus-elusnya. Kami siap untuk memulai ronde yang kedua.
Begitulah, aku begitu bahagia bisa menikah dengan Deasy. Hari-hari kami lalui penuh berkah; sakinah, mawaddah, warahmah. Pekerjaanku juga semakin lancar, perushaan semakin berkibar. Lalu, setahun kemudian, saat Deasy melahirkan anak kami yang pertama, Bu Agustin pun mendapat hidayah. Orang yang dulunya bersama suaminya termasuk penganut aliran kepercayaan nggak jelas, bersamaan dengan kelahiran anakku, dia mengikrarkan syahadat.

Hidup memang jadi begitu indah kalau kita menjalaninya dengan lurus dan sungguh-sungguh.
Share on Google Plus

About Tina Novianti

Tentang Tina Novianti

0 komentar:

Posting Komentar