Pengalaman Karina “Kakek Tukang Sol Sepatu”
Sekali lagi saya BecakEmak, Tukang Becak yang doyang emak-emak. Mencoba
membagi hasil coret-coretan saya yang mudah-mudahan berkenan dan bisa
dapat tangepan positif.
**Cerita ini hanya karangan fiktif dan hanya untuk kenikmatan membaca
cerita panas semata. Apabila ada Foto dan Gambar dalam coretan ini, itu
hanya untuk pendukung dan tidak ada maksud untuk merusak nama baik yang
bersangkutan**
Pengalaman Karina “Kakek Tukang Sol Sepatu”
Tokoh utama: Karina(Ririn)
Usia: 32 tahun
Ukuran Payudara: 34B
Tinggi badan:168 cm
Berat badan : 52 Kg
Satus : Menikah
Pekerjaan : Seketaris Direktur
Perkenalkan namaku Karina atau biasa
disapa Ririn, aku adalah seorang wanita karier yang cukup bisa dibilang
sukses dan sedang berada di puncak karier-ku. Selain berprofesi sebagai
wanita karier, dirumah aku juga merupakan seorang istri dan Ibu dari
putra semata wayangku.
Sejak kecil aku memang dibesarkan dari keluarga yang cukup memahami
agama, walaupun dulu kehidupan masa kecilku tergolong serba pas-pasan,
namun kedua orang tua-ku selalu membekali-ku dengan nilai agama. Itulah
alasannya aku sudah dibiasakan memakai hijab sejak kecil.
Walaupun memakai hijab dan taat beragama, tidak menjadikan-ku wanita
yang kaku dan kuper. Di usiaku yang sudah kepala tiga aku tidak mau
kalah dengan anak remaja jaman sekarang, aku memang cukup mengikuti
tren fasion dan senang berpenampilan menarik .
Sebagai istri, aku sangat menyayangi dan menghormati suamiku, tidak ada
dibenak-ku sama sekali niat untuk menghianatinya. Namun semenjak
kejadian di Bali beberapa minggu yang lalu semua itu seakan-akan runtuh.
Aku yang sangat mengagumi sosok Bos-ku yaitu Pak Simon, hampir setiap
saat aku selalu mendampingi Pak Simon. Sampai saat kami melakukan
perjalanan dinas yang kesekian kalinya, yaitu di Bali. Di sanalah beliau
mengungkapkan perasaannya kepadaku, aku yang begitu menguminya tanpa
sadar menyambut perasaan beliau. Saat itulah pertama kalinya dalam
hidupku aku menghianati suamiku. Walaupun aku dan Pak Simon sepakat
tidak lagi mengungkit-ungkit kehilafan kami saat itu, namun aku sama
sekali tidak bisa membohongi hatiku.
Kejadian itu telah membelikan tanda luka dihatiku, dan rasa bersalah
yang menyesakan dada, seakan-akan terus menghampiri apabila aku melihat
wajah suamiku yang selalu mendampingiku hingga kini.
Mungkin dengan memberi perhatian lebih kepada suamiku akan mengobati
rasa bersalahku. Itu lah alasan aku hari ini pulang kerja lebih awal,
serta tidak lupa membeli beberapa kilo ayam dan bumbu dapur. Karena hari
ini aku ingin memasak opor ayam kesukaan suamiku.
Tinggal beberapa rumah lagi, aku sampai dirumah. Kubayangkan wajah
suamiku ketika pulang dengan lapar nanti. Membuatku tanpa sadar
menghayal dan tidak fokus menyetir. Dan tiba-tiba aku tersadar kalau di
depan mobilku saat ini sedang berjalan seorang kakek-kakek dengan
pikulan yang berada tepat dihadapan mobilku.
“Ckiiiiiittttttt” Ku injak rem mobilku sekuat tenaga. Jantungku pun
berdebar cepat, untung saja aku berhasil menghentikan mobilku sebelum
menabraknya.
Dengan cepat aku reflek turun dari mobil dan menghampiri kakek tersebut. “Kek..Kakek tidak apa-apa?” Tanya-ku panik
“Ti…tidak apa-apa kok neng…. Saya tidak kena sama sekali..” Jawab-nya
sambil tersenyum menampakan giginya yang mulai ompong. Di ujung
pikulannya terlihat beberapa sol sepatu dan sepatu tua, yang tersusun
rapih diatas sebuah kotak kayu hitam yang sudah terlihat lapuk. Aku pun
dapat menebak kalau dia adalah tukang sol yang sering lewat di sekitar
komplek
“Benar Kek.. Kakek tidak apa-apa? Maaf saya melamun tadi..”
“I..Ya… Neng… Saya tidak apa-apa…” Jawab-nya lagi, sambil membasuh keringat diwajahnya dengan lengan kemaja lusuhnya.
Tentu saja penampilanya membuatku merasa Iba, Di umurnya yang tidak lagi
muda dia masih mampu berjalan jauh untuk menawarkan jasa perbaikan sol
sepatu.
Kuberanikan diri menghampirinya lebih dekat dan mengambil beberapa
lembar uang seratus ribu dari dompet-ku. “ Sekali lagi maaf yah kek…
Ini sekedar untuk rasa bersalah saya” Ujar-ku sopan sambil menyodorkan
uang tersebut.
Kakek itu pun kembali tersenyum, “kok saya dikasih duit neng?, memang
eneng mau benerin sol sepatu?” Tanyanya santai dengan logat sedikit
kampungan.
Akupun terheran dengan pertanyaan kakek tersebut.. “Bu…bukan begitu..
tadikan karena keteledoran saya, hampir saja mobil saya menabrak
kakek..”
“Ohh… Saya kan tidak apa-apa neng.. jadi maaf saya gak bisa nerima duit
dari eneng.. tua-tua gini saya masih sanggup nyari duit halal kok… dan
saya bukan pengemis…”
Jawaban kakek tersebut membuatku kembali terdiam memandangi wajahnya
yang penuh dengan kerutan. Keringat yang menetes di keningnya kembali ia
usap dengan lengan kemejanya. Walau sudah lewat tengah hari namun
panasnya mata hari saat itu cukup terik, membuat udara ibu kota siang
itu memang cukup panas. Aku pun yang begitu kasian melihatnya menjadi
bingung harus bagaimana karena kakek tersebut tidak ingin menerima uang
pemberiaanku.
“ee…..A…Anu neng…” Ucapnya Ragu.
“Iya…Kek… Ada apa?” Tanyaku lembut.
“A..Apa neng tinggal deket sini?”
“Iya kek… itu rumah saya” Jawab-ku menunjuk rumah yang berjarak dua rumah dari kami.
“A..anu… kalau boleh saya minta air putih… “ Ujarnya ragu sambil menunjukan botol air mineral bekas yang kosong.
“Oh… Silahkan Kek… air dingin ada kok… Jalan saja duluan saya parkir mobil saya dulu..”
Yah paling tidak aku bisa membantunya walau hanya air mineral. Dengan
cepat aku kembali menaiki mobil dan memarkirkannya di garasi mobil.
Terlihat Mpok Inah, asisten rumah tanggaku langsung sigap membuka dan
menutupkan pintu gerbang menyambutku.
“Pulang cepet Bu..?” Tanya-nya sambil membantu membawakan tas kerjaku.
“Iya Mpok… itu sekalian belanjaan dimobil di bawa.. nanti mau masak opor..”
“Iya Bu…”
“Eh… sekalian tolong ambilin air dingin di kulkas bawa sini..” Ujar-ku sambil kembali berjalan ke pintu gerbang.
“Dibawa keluar Bu?”
“Iyah… sekalian gelasnya jangan lupa…”
“I..iya Bu..” Jawabnya dengan wajah heran.
Aku pun membuka pintu kecil di samping gerbang, dan mencari keberadaan
tukang sol tua tadi. “Eh… Sini pak masuk saja dulu… sebentar yah sedang
diambilkan..”
Dengan ragu Kakek tersebut, memasuki gerbang rumahku. Dan duduk di
pinggiran teras. “kenapa duduk di situ pak… itu loh ada bangku..”
“Disini aja neng… enak yah neng rumahnya adem bannyak pohon…” Ujarnya
sambil celingukan melihat ke arah halaman rumahku yang ditanami beberapa
pohon buah.
Dan tak lama Mpak Inah pun datang, “Bu ini minumnya….” Ujarnya memelan
sambil menatap heran kearah kakek yang sedang duduk di teras.
“Taruh di meja saja Mpok.. makasih yah… Si Noval belum pulang?”
“Belum Bu, paling lagi ada ekskul di sekolah..”
“oh..”
“Eh… Bu.. Itu siapa?” Bisik Mpok Inah heran
“Tadi saya melamun dan hampir nabrak kakek itu, jadi saya tawarin minum dirumah..”
“OOOhhhhh….. saya tinggal nyetrika lagi yah Bu?”
“Iya Mpok, eh kemeja bapak biar saya saja yang nyetrika yah Mpok..”
“Iya Bu..” Memang semenjak kejadian dengan Pak Simon membuatku ingin
lebih merawat dan meperhatikan suamiku. Sehingga kini segala keperluan
suamiku aku lakukan sendiri.
“Pak Ini air dinginya, diminum dulu..” Tawar-ku yang akhirnya harus menaruh air dingin dan gelas di sampingnya.
“I…Iya neng…”
“Jangan Iya-iya saja dong kek, atau mau minum sirup nanti saya buatkan” Ucapku sambil ikut duduk bersimpuh di teras.
Sambil Kakek itu menikmati air dingin, kami pun mulai
berbincang-bincang. Sambil sesekali memijat kakinya yang kurus, Kakek
itu pun mulai bercerita tentang keluh kesah menjadi tukang sol di jaman
sekarang. Membuat-ku pun tersadar kalau memang jasa tukang sol sudah
jarang sekali dibutuhkan, banyaknya sepatu berharga miring membuat peran
tukang sol seakan dipinggirkan tertelan jaman.
Cukup lama kami berbincang-bincang, ternyata kakek tersebut cukup ramah dan terus bercerita mengenai pengalaman
hidupnya mengadu nasip di Ibu kota. Membuatku semakin mengiba, bukan
karena kemalangan nasip kakek tersebut, tapi perjuangannya untuk
bertahan hidup lah yang membuatku mulai kagum padanya.
“BRRRRRRRRRSSSSSSSSS” hujan pun tiba tiba turun dengan lebatnya, membuat
kami terpaksa bangkit agar tidak kena tampiasan air hujan.
“Perasaan tadi panas…. “ ujarku melihat halaman rumahku mulai basah digenangi air hujan.
“Iya neng, yasudah saya pamit saja kalau begitu… “ Ujar kakek tersebut sambil kembali memikul peralatan solnya.
“Tapi hujar deras kek, masuk aja dulu ke dalam..”
“Tidak usah neng.. “
“Hujan kek, kayanya akan lama redanya, kakek mau kemana?”
“Saya mau langsung pulang saja neng, kan udah gak bisa muter lagi”
Jawabnya dengan senyum. Sebuah senyum yang ikhlas, seolah-olah tidak
menyalahkan tuhan yang memberikan berkah ujan untuk umatnya. Walau tentu
saja itu membuat si Kakek tidak dapat melanjutkan berkeliling mencari
nafkah.
“Kalau begitu saya antar pakai mobil yah?” Ujarku yang tak tega membiarkannya hujan-hujanan.
“Tidak usah neng, rumah saya dekat… gak jauh dari komplek sini..”
“Tapi hujannya deras, sudah kakek tunggu disini sebentar…. Jangan kemana-mana…” Aku pun bergegas mengambil kunci mobilku.
“Ngapain repot-repot sih neng…?”
“Sudah, tidak repot sama sekali kok kek… ayo masuk ke mobil..”
Aku pun membantu kakek tersebut menaruh barang-barangnya ke korsi
belakang, dan kami pun meluncur menembus hujan yang semakin deras.
Dijalan kakek tersebut kembali bercerita tentang anaknya yang bekerja
sebagai di petani di kampung. Setelah di mobil aku baru menyadari kalau
ternyata si kakek cukup bau. Bau keringat si kakek barcampur bau
matahari begitu menyengat di mobilku yang berAC, bahkan pengharum
mobilku tidak banyak menolong. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal
tersebut, karena semakin lama hidungku mulai terbiasa, seiring obrolan
kami yang berlanjut.
Di jalan ia kembali bercerita tentang kedua anaknya yang bekerja sebagai
buruh tani di kampung, dan kerinduannya akan cucu-cucunya yang sudah
mulai sekolah. Aku pun hanya bisa mendengarkan dengan perasaan miris.
Apalagi matanya sedikit berkaca-kaca saat bercerita tentang almarhum
istrinya yang meninggal karena tidak mampu berobat.
Tak lama kami pun tiba di suatu perkampungan padat. Karena jalan yang
sempit aku pun terpaksa memarkirkan mobilku di pinggir jalan, dan
mengantar kakek tersebut dengan payung yang selalu tersedia di mobil.
Namun payung tersebut tidak terlalu besar, membuat tubuh kami saling
berhimpitan karena aku bersih keras ingin memayungi kakek tersebut
sampai ke rumahnya. walau pun aku sadar dalam keadaan ini membuat
payudaraku menempel di pundak kakek tersebut, bahkan beberapa kali
tangan kakek tersebut menyentuh payudaraku, saat ia mencoba membetulkan
posisi pikulannya. Mungkin tidak sengaja fikirku tidak terlalu
mempermasalahkan.
Akhirnya kami pun sampai di sepetak rumah kontakan yang terlihat kumuh.
Dengan sopan kakek tersebut pun mempersilahkanku untuk mampir. Aku yang
penasaran dengan isi dalam-nya pun ikut masuk ke dalam.
Dengan hati yang kembali miris aku berdiri ditengah-tengah ruangan yang
hampir kosong, karena hanya diisi dengan sebua tempat tidur reot
berkasur kapuk tanpa seprei dan sebuah lemari kayu usang. Sepertinya
listrik juga sedang mati, karena lampu enggan menyala saat kakek
tersebut berusaha menekan-nekan stopkontak di dinding.
“Mati lampu?” Tanyaku sambil menggigil kedinginan karena pakaianku telah
basah kuyup. Derasnya hujan membuat payung kecil yang kami pakai
seperti tidak berfungsi.
“Iya neng, disini kalau hujan sering mati lampu.. dingin yah neng? Maaf
bukannya saya mau ngusir, tapi sebaiknya eneng langsung pulang saja dari
pada masuk angin.. atau mau mandi dulu… saya masih simpan kok baju
bekas istri saya.. tapi baju rombeng neng..”
Tentu saja aku tidak ingin mandi di sini, karena dapat aku tebak kalau
kamar mandi di sini juga pasti jorok. “Sa… saya pi…pinjam baju nenek
sa…saja pak..” Jawab-ku dengan bibir yang bergetar kedinginan.
Kakek tersebut pun langsung sigap membongkar isi lemarinya. Entah
mengapa aku masih tidak tega meninggalkan kakek tersebut sendirian
dirumah begitu saja. Toh hujan masih deras, jadi tidak ada salahnya
menemani kakek tersebut mengobrol lebih banyak fikirku.
“Tapi maaf tidak ada kerudung neng..” Ujarnya sambil menyodorkan sebuah daster batik lusuh yang dilipat rapih.
“Tidak…a..apa…a..apa…kek..” Jawab-ku semakin kedinginan karena angin yang menerobos masuk dari celah atap asbes.
Setelah kakek tersebut menunggu diluar, aku pun langsung melepaskan
kerudung dan pakaian-ku, ternyata sangat tidak nyaman bila harus
melepaskan pakaian di tempat yang sangat asing bagiku. Aku sedikit kesal
saat mengetahui kalau pakaian dalam-ku juga basah. “Masa harus dilepas
juga” Batinku, sambil meraba pakaian dalam-ku yang basah seluruhnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengenakan pakaian dalam basahku,
walaupun dingin, itu lebih baik daripada harus menahan rasa risih di
depan kakek. Dengan cepat ku raih handuk tadi, “Hfffff” aku pun sedikit
mengerutkan wajahku saat mencium bau handuk tersebut. Dapat ku tebak ini
adalah bau badan si kakek, karena aku telah terpaksa menghirupnya
sepanjang jalan saat di mobil tadi.
Aku yang tidak punya pilihan lain, terpakasa mengeringkan tubuhku dengan
handuk bau tersebut, sambil berusaha menahan nafas sekuatnya. Setelah
selesai, aku pun mengambil daster batik yang tadi diberikan si kakek.
Aku pun sedikit miris melihat kondisi daster yang sudah sangat usang,
dengan bahan yang sudah menipis dan warna yang memudar.
Namun aku tidak punya pilihan lain, karena angin dari celah asbes terus
berhembus membekukan tubuhku yang setengah telanjang. Dengan cepat aku
kenakan daster tersebut, bau lembab khas pakaian yang lama tersimpan di
lemari langsung tercium ketika aku mengenakan pakaian tersebut. Rupanya
daster tersebut tidak pas dibadanku yang tinggi langsing, walaupun
berukuran besar namun daster tersebut sedikit pendek untuku dan hanya
sebatas beberapa senti dari lututku. Aku sebenarnya sedikit ragu dan
ingin menggantinya kembali dengan bajuku yang basaha namun saat aku
intip jendela dan melihat kakek tadi meringkuk sambil mengelus pundaknya
kedinginan. Aku langsung bergegas membukakan pintu untuknya
“Kek… cepat masuk…” Panggilku
“eh… i..iya neng…” Jawab kakek tersebut langsung masuk kedalam .
Sempat aku melihat berubahan ekspresi wajah si kakek saat menatap
wajah-ku sebelum kemudian ia memalingkan pandangannya. Mungkin dia
sedikit pangling melihat ku yang tanpa kerudung dengan rambut panjangku
yang ku biarkan tergerai.
Setelah masuk ke dalam si kakek langsung sigap menyalakan lilin yang
sudah tigal setengah, sementara aku terduduk miris di ranjang reot
membayangkan kehidupan kakek sehari-hari di sepetak ruangan yang kosong
ini. Tidak ada TV, Radio, apalagi gadged yang saat ini sudah menjadi
kebutuhan primer masarakan Ibu kota. Hanya ada foto buram anak-anak
kecil di dinding, yang mungkin adalah foto cucu atau anak si kakek.
Tubuh kurus berbalut kemeja basah tersebut kini sibuk merapihkan
beberapa alat sol sepatu yang ia letakan di laci lemari. Sedari tadi si
kakek hanya berdiam diri dan seperti enggan menolehkan wajahku yang kini
duduk di belakangnya.
“Kek… ?” Panggilku
“Iya neng, masih kedinginan? Maaf disini tida ada air panas, jadi saya
tidak bisa nyediain apa-apa” Jawabnya tanpa menoleh kepadaku. Membuatku
sedikit bingung, “Apa ada yang salah yah?” Batinku melihat kakek yang
seolah tidak memperdulikan keberadaanku, dan terus sibuk dengan
peralatan solnya.
Berselang beberapa menit kemudian si kakek kembali berucap, “ Maaf neng…
bukan saya kurang sopan.. saya cuman tidak enak karena sekarang eneng
gak pakai kerudung.. saya tidak ingin melihat apa yang hanya boleh
dilihat suami eneng” Ujar si kakek tanpa berani menatap ke arahku.
Ucapa tersebut tentu saja sangan mengena untuk-ku. Ternyata selain
pekerja keras si kakek juga merupakan orang yang sangat menghargai
kehormatan wanita. Membuatku sedikit merasa sesak, menyadari selain
suamiku aku juga pernah melepaskan kerudungku di depan Pak Simon,
atasanku.
Akhirya aku berniat untuk pulang, karena merasa keberadaanku hanya
mengganggu waktu istirahat si Kakek. Sampai tiba-tiba aku melihat air
mulai merambat masuk dari celah pintu yang tertutup. “ Pak Banjir..”
Teriak-ku panik karena air yang masuk semakin banyak.
“Wah iya neng.. “ Ujar si Kakek langsung sigap menaruh kotak solnya di atas kasur.
“Kek.. jangan dibawah.. sini naik keranjang” Perintahku saat air dengan cepat menggenangi seisi kamruangan.
“Sudah tidak apa-apa… saya sudah biasa… paling sebentar lagi surut..”
Ujar si Kakek lagi-lagi tanpa menoleh kepadaku. Walau air banjir sudah
meninggi hingga merendam setengah betisnya.
“Terus gimana nih kek…?” Tanya-ku semakin panik.
“Mau gimana lagi neng… nanti juga surut sendiri..” Ucap si kakek sambil
mengintip air yang memenuhi jalan, dari jendela kaca nako.
“Sini di atas kek.. atau aku juga turun” Ancamku agar si kakek mau mendengarkanku.
Akhirnya setelah berkali-kali aku bujuk, kakek tersebut pun menurut.
Tubuh renta berbalut pakaian basah tersebut pun kini terpaksa
berdesak-desakan duduk di atas ranjang dengan ku dan dua buah kotak sol.
Dalam posisi ini membuat paha dan pundak kami kami saling menempel,
sehingga aku dapat merasakan dinginya kemeja dan celana si kakek yang
basah. Kelip cahaya lilin seolah menambah suasana haru di ruangan kamar
gelap yang kini tergenang air banjir.
Aku pun terpaku menatap wajah si Kakek yang dihiasi pancaran cahaya
lilin yang terus bergerak di tiup angin. Dengan wajah penuh kerutan dan
tulang pipi yang meonjol karena kurus, tatapan si kakek seolah
menerawang jauh meratapi nasipnya di usianya yang sudah senja.
“Kek si sini sering banjir kaya gini?” Tanya-ku mencoba kembali membuka obrolan sambil menahan air mataku.
“Yah… begini lah neng kalau musim hujan.. malah biasanya sampe segitu..”
Ujar si kakek lirih, sambil menunjuk dinding yang di hiasi garis
kecoklatan bekas banjir.
“Kek…kok kakek bisa…” Ucapku yang tidak bisa lagi membendung air mataku.
Mungkin karena mendengar isakan tangisku, akhirnya si kakek menoleh ke
arahku dan mengusap air di pipiku dengan jarinya yang renta. “Loh…kok
nangis neng?... Orang secantik eneng gak pantes nangis..”
“Maafin saya kek… hiks …hiks.. saya cuman gak kebayang kalau saya di posisi kakek..hiks…hikss..”
“Saya gak pernah menyesal akan hidup saya kok neng… kan kalo gak gini
saya belum tentu bisa ketemu eneng cantik…” Ucapnya sambil tersenyum
tanpa beban.
“Kek…hiks….hiks… saya boleh meluk kakek?”
Kakek tersebut pun mengangkuk sambil tersenyum menatapku. Dengan
perlahan aku melingkarkan tanganku tangan ku memeluk tubuh si kakek,
sambil menangis. Ku dekap tubuh renta itu erat-erat, sudah tidak ku
perdulikan lagi payudaraku yang menekan dada si kakek.
Perlahan-lahan aku merasakan sesuatu mengelus pundak-ku, dapat ku tebak
itu adalah tangan si kakek, usapan tersebut cukup terasa nyaman dan
menenangkan. Setelah tangisku mereda aku perlahan melepaskan pelukanku
dan aku pandangi wajah si kakek yang terlihat canggung.
“Dipeluk eneng enak juga yah…. Hee …anget…. “ Ujarnya malu-malu.
“Kakek pasti kedinginan… kalau kakek mau… kakek boleh peluk saya kok..”
Entah kenapa ucapan tersebut keluae begitu saja dari mulutku.
“Yang bener neng…?.. neng gak risih di peluk tua bangka kaya saya..”
“Saya sangat kagum atas perjuangan hidup kakek, dan lagi kakek juga
terus menolak uang pemberian saya… kalau peluk saya bisa meringankan
beban hidup kakek, saya tidak keberatan kok”
“Maaf yah neng.. Boleh saya?” Ucapnya sambil mendekat ke arahku dengan perlahan.
“Bener neng gak apa-apa?” Tanya-nya lagi masih tidak yakin.
Aku pun mengangguk sambil memberikan senyuman yang semanis mungkin, agar
si kakek percaya. Perlahan tapi pasti si kakek semakin mendekat ke
tubuhku.. Aku pun sedikit kaget saat si kakek ternyata bukan memeluku,
tetapi malah bersandar di tubuhku.
Sengaja atau tidak kepala si kakek tapat bersandar diatas payudaraku.
Walau dibatasi daster dan Bh yang aku kenakan, aku masih cukup merasa
risih dengan adanya kepala orang asing yang kini bersandar di
payudaraku.
Tanpa berani merubah posisi, aku tatap wajah keriput si kakek di atas
payudaraku. Matanya terpejam dan wajahnya terlihat begitu damai, membuat
rasa risihku perlahan-lahan hilang. Bahkan kini aku memberanikan diri
untuk mengusap perlahan rambut putih si kakek. “pasti si kakek lagi
membayangkan bersandar di dada istrinya” ujarku dalam hati.
Sesekali si kakek menggerakan wajahnya, membatku sedikit geli di payudaraku. “Empuk yah kek?” Tanyaku
Mendengar pertanyaanku, si kakek kembali membuka mata dan segera
mengangkat kepalanya, namun segera kucegah. “Saya tidak keberatan kok
kek.. pasti kakek lagi kangen sama istrinya yah?”
“A…anu… neng.. ma…maaf..” ujarnya panik dan terus berusaha untuk bangkit.
Entah sadar atau tidak, aku kembali menarik wajah si kakek untuk
bersandar di payudaraku.. “Empukan punya eneng…..” Jawab-nya ragu.
Aku pun merasa wajah si kakek sedikit lebih kuat menekan payudaraku. “Masa sih kek… empukan punyaku?”
“Iya sumpah neng.. punya eneng empuk banget anget lagi..” Ucapnya sambil
kembali memejamkan mata dan terlihat begitu menikmati bersandar di
payudara-ku.
“Ah..bisa aja..” Entah mengapa aku merasa senang payudaraku di puji si kakek.
“Neng… neng pake Bh basah yah?” Tanya si kakek, yang kini berani mengusap payudaraku.
“Dingin yah kek?, mau saya lepas dulu?”
“Bu..bukan begitu neng… sa..saya takut eneng masuk angin pake daleman
basah gini..” Ucapnya sambil terus meraba bh ku dari luar daster tipis
yang aku kenakan.
“Saya buka dulu deh kek… kakek bangun dulu tapi”
“A..anu neng..”
“Kenapa kek?”
“A..anu… apa saya masih boleh senderan seperti ini?”
“Boleh…kok… tapi bangun dulu yah kek.. saya buka dulu Bhnya..”
Tanpa mengucpkan sepatah katapun si kakek pun bangkit, memberiku
kesempatan untuk membuka BH yang saat ini sedang kulepaskan di balik
daster. Tidaklah sulit bagiku membuka BH tanpa melepas daster yang aku
kenakan.
“Sini neng… saya bantu gantungin..”
Sedikit risih juga saat melihat si kakek meraih BH miliku dari tanganku
dan membantu menggantungkannya di paku dinding. Sedikit malu rasanya
melihat BH biru miliku kini tergantung di tembok.
“Neng…? Panggil si kakek.
Aku pun mengerti maksudnya. “Sini kek… senderan di nenen aku lagi….
Pasti lebih empuk dan anget deh kan Bhnya sudah di lepas” Ucapku tanpa
sadar telah terbawa dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas
diucapkan olehku yang terkenal alim.
“Ta..tapi neng… yang ini basah juga gak…? Sekalian aja di lepas dari
pada masuk angin” ucap si kakek sambil menunjuk ke arah selangkanganku.
Ku tatap wajah keriput kakek di hadapanku. Entah karena dinginnya hujan,
atau suasana gelap rungan yang hanya di sinari oleh lilin yang terkesan
romantis. Sebenarnya aku sadar kalau aku sudah melewati batas, tapi
sesuatu di dalam diriku seperti tidak mengizinkan kesadaranku mengambil
alih.
Kucoba pura-pura meraba celana dalamku di depan si kakek “ Basah juga kek”
“Dibuka juga aja kalau begitu neng… atau boleh saya bantu bukain?”
Tanpa menjawab aku menyandarkan tubuhku di dindingdan memberi isyarat
tanda setuju. Dengan ragu dan sambil terus menatapku takut, tangan
sikakek mulai masuk kedalam celah dasterku, aku dapat merasakan tangan
dingin tersebut kini telah berhasil meraih pinggiran celana dalamku.
Perlahan-lahan aku mulai merasakan celana dalamku mulai ditarik tangan
tersebut. Aku lihat kini pandangan si kakek mulai tertuju pada dasterku
yang tersingkap. Dapat ku tebak pasti saat ini si kakek dengan jelas
dapat melihat celana dalam biruku, yang terus bergerak turun.Ku angkat
sedikit pinggulku untuk memudahkan si kakek. Dapat ku rasakan kini
hampir setengah vaginaku sudah terpampang bebas di hadapan si kakek.
“Kek… maaf.. je…jembut saya banyak..” Ucapku sekedar mengurangi rasa malu
Tanpa memperdulikan rasa maluku, si kakek erus meloloskan celana
dalamku. Hembusan dingin angin kini mulai terasa menyibak bibir
kemaluanku. Menandakan kini celana dalamku sudah tidak menutupi
kemaluanku lagi dan terpampang bebas di hadapan si kakek.
“Saya gantung lagi yah neng…” Ucapnya sambil kembali menggantungkan celana dalamku.
“Kek… baju kakek kan juga basah, sekalian saja dibuka..nanti kakek juga masuk angin loh”
“Emang gak apa-apa neng? Eneng gak risih?”
“Tidak apa-apa kok kek”
“sebentar yah neng..” dengan cepat ia membuka kemeja yang ia kenakan.
Terlihatlah tubuh si kakek yang hanya tinggal tulang berlapis kulit.
“Celananya juga buka neng?”
“Ka..kalau basah buka aja kek.. “
Tanpa mengunggu lagi kakek tersebut mulai membuka celananya, walau
terlihat sedikit kesulitan karena dilakukan diatas ranjang yang sempit.
Sudah hampir setengah celana si kakek tersebut telepas . Dan ternyata si
kakek tidak mengenakan celana dalam, membuat penisnya yang hitam dan
setengah mengeras kini berguncang-guncang saat ia mencoba meloloskan
celana yang menyangkut di kakinya.
Sebenarnya aku sedikit jijik melihat penis si kakek yang hitam dengan
biji zakar yang terlihat kendor, namun disisi lain aku juga penasaran.
“Kek… pake sarung nih… burungnya tuh kemana-mana” Ucapku sambil
menyodorkan sarung yang tergantung di dinding tidak jauh dari posisiku.
“Eh.. makasih neng..maaf y neng” UJar si kakek, seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, dan kini sibuk memakai sarung untuk menutupi bagian
bawah tubuhnya.
Sementara aku hanya bisa terpaku membayangkan bentuk penis si kakek, yang baru saja terpampang di depanku.
“neng… saya masih boleh senderan ke eneng?” Tanya-nya hati-hati
“Boleh kek… sini… “ Ujarku sambil menepuk payudaraku yang hanya di
tutupi daster tipis. Mungkin kalau tidak tersamarkan dnegan motif batik,
tonjolon putingku sudah terlihat jelas.
Tanpa diminta lagi, si kakek langsung menghampiri tubuhku yang setengah
berbaring sambil bersandar di tembok. Membuat tubuh ku seolah-olah
ditindih oleh tubuh kakek yang hanya mengenakan sarung.
“Enak yah kek?”
“Iya neng… ternyata selain empuk punya neng alus” Ucapnya sambil mengusapkan wajahnya di payudaraku.
Entah sengaja atau tidak, kini bibir si kakek tepat berada di putingku,
membuat mulut kakek terus menggelitik putingku ketika ia berbicara.
Apalagi si kakek kini terus mengoceh tentang sesuatu yang sudah tidak
bisa lagi ku tanggapi dengan fokus, karena rasa geli di putingku.
Apalagi putign adalah salah satu titik rangsangku yang paling sensitif.
Kini ku rasakan tangan si kakek mulai membelai perutku, dan terus naik
hingga menyentuh payudaraku. Dan akhirnya tangan kasar tersebut berhasil
mendapatkan putingku yang satunya.
“Awwhh…kek… jangan di situ… jangan digigit… awhhhh” Jeritku ketika
sesekali bibir si kakek memilin putingku yang masih dilapisi daster.
Sementara sesuatu yang keras mulai menyundul-nyundul pahaku, yang dapat
ku tebak itu adalah penis si kakek.
“Neng… boleh saya remes?”
“Boleh, tapi dari luar aja yah kek…” Ucapku yang masih berharap perzinahan ini tidak semakin parah.
Dengan sekuat tenaga tangan kasar si kakek mulai meremas-remas
payudarahku seperti dodol, sungguh terasa nyeri bahkan aku aku merasakan
payudaraku seperti ingin pecah di remas tangan kasar si kakek. Namun
bukan menghindar aku malah mendesah-desah menikmati sensasi yang selama
ini belum pernah aku rasakan.
Perlahan-lahan aku dapat merasakan si kakek mulai menggeser pinggulnya,
membuat penisnya yang kini sedang degang kini menekan-nekan vaginaku
dan hanya di batasi oleh sebuah sarung yang ia kenakan.
“kek…Kakek mau?” tanyaku dengan nafas memburu.
“Boleh neng?”
“Tapi dengan satu syarat… kakek terima uang pemberianku.”
“Eneng yakin?”
Aku pun mengangguk sambil tersenyu, Ku kecup kening si kakek yang penuh
dengan kerutan dan kerinat. “Kali ini saja kek, kakek boleh mengganggap
kalau saya adalah nenek, istri kakek”
“terima kasih neng… eneng baik banget”Ujar si kakek sambil memeluk-ku erat.
“Iya kek, anggap saja ini ungkapan rasa kagum saya kepada kakek, tolong bangun dulu kek.. saya buka dulu dasternya”
Si kakek pun duduk membiarkanku membuka daster di depannya, “ini tubuh
saya kek.. tubuh yang senang tiasa saya rawat, saat ini milik kakek”
Ucapku dengan tubuh yang sudah tidak ditutupi sehelai benang pun.
“A..anu neng.. kalau boleh saya ingin neng pake jilbab… neng kelihatan
lebih cantik, itu juga kalau neng gak keberatan” Ucapnya ragu.
“Tolong ambilkan jilbab saya kek maaf…” pintaku sambil menunjuk kearah tumpukan pakaian basahku.
Dengan jantung berdebar kembali ku kenakan jilbab yang selama ini
menjadi penutup auratku, aku belum pernah sama sekali bertelanjang
dengan masih mengenakan jilbab, bahkan di depan suamiku.
“Neng cantik banget, boleh saya cium eneng”
Belum sempat aku menjawab, bibir tebal si kakek langsung melumat bibirku
dengan ganas, permainan lidahnya membuatku berkali kali terpaksa
menelan air liur si kakek. Kedua payudaraku pun juga ikut menjadi korban
keganasan remasan tangan kasar si kakek.
Belum hilang rasa nyeri di payudaraku, kini giliran putingku yang
dihisap secara bergantian oleh si kakek. Sementara aku hanya bisa
memejamkan mataku menikmati cumbuan ganas si kakek.
Sampai suatu yang keras mulai terasa menyundul bibir kemaluanku, dan
terus memaksa masuk. “Kek, tu…tunggu… aku belum basah….awwwww” belum
sempat aku menyelesaikan kalimatku, penis besar tersebut sudah menghujam
ke dalam lubang vaginaku.
Aku hanya bisa meringis saat penis si kakek bergesekan dengan dinding
vagina-ku yang belum terlalu basah. Namun lama kelamaan aku cukup
menikmatinya, walau si kakek tidak terlalu lihai memainkan penisnya di
vaginaku, namun melihat tubuh hitam dan renta si kakek yang kini
menggenjot tubuhku menimbulkan sensasi tersendiri, apalagi kini aku
mengenakan jilbabku, sunggu membayangkannya membuat hasratku kian
memuncak.
Namun di saat aku mulai menikmati persetubuhan beda usia ini, tiba-tiba
tubuh si kakek mengejang diikuti cairan hangat yang membanjiri dinding
vaginaku. Seketika tubuh renta tersebut pun ambruk menindihku, dengan
nafas yang masih tersengal-sengal.
Walau sedikit kesal karena belum sempat mengalami orgasme, aku cukup
bisa memaklumi kondisi fisik si kakek yang sudah tidak muda lagi.
“Sudah kek?”
“Iya neng..”
“Enak yah kek?” ucapku sambil mengusap keringat di dahinya.
“Maafin saya yah neng?”
“Iya kek.. anggap saja kita sama-sama terbawa suasana..”
“Terima kasih yah neng… eneng jangan takut saya janji tidak akan cerita ke siapa-siapa” Ucapnya sambil berusaha bangkit.
Sementara air banjir ternyata sudah surut, dan hujan pun mulai mereda.
“Saya pamit yah kek… mumpung reda..” Pamitku sambil menggenggam kedua
tangan si kakek. Tidak tega rasannya harus meninggalkan beliau sendiri
di kamar gelap ini.
“Saya benar-benar minta maaf neng” Ucapnya sambil merunduk, tanpa berani menatapku.
Kembali ku peluk si kakek kedalam bekapan tubuhku yang masih telanjang
bulat, sekedar sebagai pelukan perpisahan. Segera kembali ku kenakan
pakaian keja ku yang basah, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Aku pun pamit dari tempat tinggal si kakek, dan tidak lupa meninggalkan
beberapa lembar uang untuk si kakek, walau ia terus saja menolak uang
pemberianku akhirnya si kakek mau menerima uang pemberianku.
Tanpa sadar hari sudah menjelang malam, aku yang baru teringat dengan
niat ku untuk memasakan opor untuk suamiku, langsung bergegas
mengendarai mobilku untuk pulang. Walau sedikit terbesit rasa penyesalan
karena kembali menghianati suamiku, aku cukup senang bisa membantu si
kakek tukang sol sepatu.
-TAMAT-
Home
Cerita Eksibisionis
Karina
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Karina : Pengalaman Karina "Kakek Tukang Sol Sepatu"
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar