SLUTTY-LICIOUS
4th Scandal
H ari ini, Tante Indy tumben-tumbennya memintaku menemaninya shopping.
Ga tanggung-tanggung sih, ke salah satu shopping center ternama di
Jakarta Barat--Central Park. Aku yang memang jarang main ke wilayah
Jakarta, begitu takjub saat baru memasuki area Central Park, yang berada
di dalam kawasan bisnis Podomoro Group. Konsepnya mewah, tapi juga
mengesankan bersahabat dengan lingkungan; terlihat dari adanya eco park
di sisi bangunan utama mall. Tribecca Park, kata Tante Indy.
"Nanti kita ketemu teman Tante dulu ya, Lin," katanya, sebelum turun dari mobil, setelah kami berhasil parkir.
"Ketemu dimana, Tante?"
"Tribecca Park." Tante Indy, memandangiku lekat-lekat, dari gesturnya
tampak dia sedang memikirkan sesuatu. "You need to dress up well, Olin.
Oh okay, kita ganti baju dulu ya."
Loh, memangnya ada apa dengan pakaianku? Ini cuma kaus agak ketat dan ripped jeans, dan nike high dunk. What's wrong with that?
"Temen Tante ini orang penting, Olin. Street wear doesn't seem to fit well," katanya lagi, seakan bisa membaca pikiranku.
Kami pun berjalan menuju pintu akses ke lobi utama. Setelah menaiki
eskalator, aku diajak Tante menuju salah satu booth pakaian bermerk di
Ground Floor. Ke Hush Puppies, and damn! Aku yakin pasti mahal sekali
disini. Aku harap aku tak harus membayar sendiri nanti.
"Kamu pilih satu stel dulu, kita ga ada waktu. Kalo bisa pilih yang agak
terbuka gitu. Nanti aja kita shoppingnya, setelah ketemu temen Tante
ini."
Aku hanya mengangguk kecil, lalu mulai mencari-cari pakaian untuk
dicoba. Berbelanja dengan diburu waktu itu ga enak, serius. Aku jadi
kurang konsentrasi memilih pakaian-pakaian yang kusuka. Maklum deh,
cewek. Lihat barang ini bagus, eh seketika berubah pikiran ketika lihat
barang lain. Begitu terus, dan pada akhirnya kami akan frustasi sendiri
meladeni hasrat serakah kami.
Akhirnya, kupilih satu sack dress berwarna cerah motif bunga dan splash,
yang langsung kucoba di ruang ganti. Baru saja kubuka kausku, tiba-tiba
Tante Indy yang sebelumnya sedang sibuk melihat-lihat dress, kini ikut
masuk ke ruang ganti. Dia mengamati badanku sekilas, lalu kembali
menatap layar ponselnya--seperti kebiasaannya sedari tadi memasuki mall
ini.
"Tante kok ikut?"
Tante Indy hanya mengernyit sambil menatapku. "Kenapa? Mau liat aja kok, cocok atau engga sama kamu. Masa ga boleh?"
"Boleh kok, Tante. Boleeeeeh~"
Sebenarnya hal yang lumrah jika dua perempuan berada di satu ruang ganti
yang sama. Masalahnya adalah, Tante Indy adalah salah satu orang yang
sudah menjamah tubuhku--meski cuma sekali. Tapi tetap saja, sekeras
apapun aku berusaha bersikap biasa, tapi perasaan risih itu tak bisa
hilang. Akhirnya, reflek aku membelakangi Tante Indy ketika ingin
membuka jeansku. Dan karena celana ini begitu ketat di kaki, hingga
membuatku harus menungging untuk pelan-pelan melepasnya. Tapi uuhhh...
bahkan untuk meloloskannya dari pahaku saja susahnya minta ampun. Aku
sampai mesti menggoyang-goyangkan pinggulku demi meloloskan celana ini.
Sepertinya aku mesti mengurangi ngemil dan banyak olahraga.
Dan... "Hyaaaaaa--!"
Pantatku diremas-remas! Tuh kan, tuh kan, ini yang aku takutkan dari
tadi; Tante Indy kembali nakal terhadap badanku. "Tante, kok
tangannya..."
"Sshhh, jangan berisik ah. Abisnya kamu nakal Lin, godain Tante pake nungging gitu. Sengaja ya?"
Aku yang semakin risih, bermaksud meminta Tante Indy agar menghentikan
aksinya. Tapi karena rasa tak enak, aku masih menahan diri. Ah, kok
Tante Indy malah semakin gemas meremas pantatku? Kalau begini terus...
"Lin, montok banget sih pantat kamu. Bulet padet gini, pasti banyak yang
suka ya?" kata Tante Indy, sambil terus meremasi kedua bongkah pantatku
secara bersamaan.
"Tante, udah... katanya ga ada waktu?"
"Ups." Tante Indy akhirnya menghentikan kegiatan nakalnya, dan sukses
membuat kemaluanku basah akibat dirangsang begitu. Sepertinya, aku mulai
ga normal; buktinya bisa dirangsang oleh laki-laki dan perempuan.
Buru-buru kucoba sack dressnya, dan ternyata pas! Meski terlalu terbuka
di bagian dada sehingga memamerkan belahan dadaku, tapi secara
keseluruhan aku suka. Memang lumayan pendek di paha sih, tak menutupi
bahkan setengah dari pahaku, tapi biarkan sajalah. Sesekali ga ada
salahnya pamer badan sendiri.
"Olin, Tante mau ngomong serius," katanya, tiba-tiba. Aku yang sedang melepas sack dressnya, hanya bisa menyimak.
"Kamu kira-kira lagi butuh uang, ga? Atau ada yang mau dibeli, mungkin?"
"Nngg... seinget aku sih, ga ada Tante. Semuanya cukup kok," balasku.
Entah kenapa, intuisiku bilang ada yang tak beres dari semua ini.
"Hmm, oke. Kalau begitu," Tante Indy kemudian merogoh tas Channel-nya,
dan mengeluarkan dildo bergerigi dari dalam sana. Eh-eh, itu buat
apaaaaa?! "Gini Lin, Tante mau nawarin kamu sesuatu. Kamu mau uang jajan
tambahan, ga? Kalau mau, kamu harus ikutin game yang Tante buat. Setiap
kamu berhasil nyelesein satu game, sejumlah uang akan ditransfer ke
rekening pribadi kamu. Menarik kan?"
"Terus itu... dildonya, buat apa?"
"Kamu jawab dulu, setuju ikut atau engga?"
Aku membuat gestur berpikir. Ujung-ujungnya pasti ga beres, percaya deh. "Kalau aku ga setuju?"
"Inget rekaman yang dikamar waktu itu? Nanti Tante sebar loh~"
Seketika, aku jatuh terduduk, lemas. Hanya berbalut pakaian dalam, aku
duduk di sudut ruang ganti, memandangi Tanteku ini dengan pandangan
putus asa. Ini apa lagi sih? Hidupku kok jadi ekstrim begini semenjak
tinggal dirumah Om Bondan?
"Kalau aku setuju?" tanyaku, hati-hati.
"Ya kamu ikut main. Enak tau, dapet uang lagi. Kapan lagi coba? Mau ya, mau kan?"
Aduh Tante, gini ya. Kalau untuk urusan uang, bukan masalah buatku.
Tante tahu, suami Tante rutin mentransfer uang untukku, segala
kebutuhanku terpenuhi, dan apapun yang aku mau disanggupi; dengan
pertukaran aku mesti melayani nafsu birahinya. Tanpa Tante menawariku
uang tambahan, aku sudah punya segalanya. Jadi buat apa aku ikut?
Tapi tentu saja, aku tak bisa bilang semua celotehan batinku kepadanya.
Dan kalau dipikir-pikir, ga ada ruginya aku ikut. Kalau berhasil dapat
uang, dan lumayan buat tambah-tambahan. Well, to be honest, kemaluanku
basah karena membayangkan hal-hal apa saja yang bisa terjadi padaku.
Duh, aku mesum.
"Gimana, kamu ikut atau engga?" tanya Tante Indy lagi, memastikan.
Aku mengangguk kecil, malu-malu. Kepalang basah, diving saja sekalian~
"Good. Nah, ini trial pertama kamu. Tante kasih dua pilihan, kamu ga
pakai celana dalam dan bra, cuma pakai sack dressnya; or you can put
this dildo into your pussy, dan bersikap seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. Kamu pikir baik-baik ya, Tante mau bayar dulu."
Ah, aku makin lemas dibuatnya. Sepeninggal Tante Indy yang sedang
membayar sack dressku, aku menatap dalam-dalam dildo yang tergeletak.
Kutimbang-timbang plus-minus dari masing-masing opsi. Jika aku tak pakai
dalaman, pasti akan risih sekali selama menemani Tante Indy nanti.
Apalagi gaunnya pendek, jadi ga mustahil kemaluanku bisa terlihat
melalui ujung sack dress yang melambai. Am i fetish? I am not, no, no,
no, for sure.
Maka, aku meloloskan celana dalamku sampai lutut. Lalu kuambil dildonya,
dan karena kemaluanku sudah basah daritadi, maka aku hanya
menggesek-gesek pelan ujung dildo di bibir kemaluanku. Dalam sekali
tekan, perlahan kepala dildo mulai menguak dinding kemaluanku, lalu
batangnya, teruuusshhh... sampai, aaahhh... masuk semua! Permukaan
batang dildo yang bergerigi semakin menambah nikmat sensasi yang
kurasakan, dan hal ini membuatku terangsang hebat! Shit, aku mau
masturbasi disini, sekarang juga!
Tepat ketika jemari-jemariku menyentuh pangkal dildo, saat itu juga
Tante Indy muncul dari balik tirai. Dia melihatku dengan pandangan
nakal, lalu tersenyum kecil. "Yuk, pakai bajunya. Kita ga ada waktu,"
katanya singkat.
A-ap, apa? Tante... jangan biarkan aku kentang! Yah, yaaaaah?
Dan meski aku memohon pada Tante Indy lewat sorot mataku yang memelas,
tapi itu tak mengubah keputusan Tante untuk memberiku waktu. Sebelum dia
menutup tirainya lagi, Tante Indy melihat kearah selangkanganku, dan
tersenyum nakal.
Aku tidak melihat ada harapan dari senyumnya.
===
INI JAUH LEBIH RISIH DARI SEKEDAR TAK MEMAKAI PAKAIAN DALAM, SERIUS. Aku
harus berjalan rapat-rapat agar dildonya bisa dicengkram dinding
kemaluanku dan tidak merosot jatuh. Kalau dildonya jatuh, otomatis akan
tertahan oleh celana dalamku. Tapi sack dress yang pendek ini akan
membuat orang-orang dengan cepat menyadari ada seorang gadis yang
terlampau mesum, sedang mencoba merangsang dirinya sendiri dengan
menyematkan dildo di kemaluannya. Dan kalau ketahuan, aku ga bisa
membayangkan akan jadi apa aku nanti.
Tapi berjalan dengan langkah yang rapat-rapat, dengan dildo bergerigi di
kemaluanku, memberi sensasi kenikmatan tersendiri. Kemaluanku terasa
diganjal, dan geriginya membuatku menggelinjang geli tiap kali
bagian-bagian itu bergesekan dengan kemaluanku. Aaaaahhhh, aku harus
tahan. A-ku ha-rus ta-han!
"Kamu masih sanggup?" tanya Tante Indy, tepat setelah memasuki area taman.
Aku cuma bisa mengangguk sambil menggigit bibir. Kenikmatan demi
kenikmatan yang saling menderaku ini terlalu sulit kutahan. Aku sendiri
tak tahu sampai kapan bisa menahan diri dari sensasi mencapai klimaks
yang meletup-letup ini. Rasanya nikmat, benar-benar nikmat, serius!
Tapi... uuhhh... kalian tahu rasanya bisa saja mencapai orgasme tapi
malah memilih untuk menahannya sekuat tenaga? ASTAGA, INI MENYIKSA!
Tante Indy membawaku ke sebuah kedai kopi yang ada di tengah-tengah
Tribecca Park. Didalam, Tante Indy membawaku menuju sebuah meja dimana
ada dua orang sedang duduk disana; laki-laki dan perempuan. Ah,
sepertinya mereka berpacaran. Yang laki-laki terlihat necis, dengan gaya
macam eksekutif muda; sementara yang perempuan berparas cantik,
menyiratkan wajah gadis blasteran. Tapi dandanannya itu loh, membuatnya
kelihatan lebih tua dari yang seharusnya.
"Hai, udah lama ya?" tanya Tante Indy kepada mereka, sebelum akhirnya Tante Indy dan si gadis bercipika-cipiki.
"Eh iya, kenalin. Ini Olin, keponakan Mami yang tadi Mami bilang di BBM mau ngajak orang itu loh," lanjutnya.
Tante mengenalkanku pada keduanya. Si pria, namanya Vito, pengusaha muda
yang memegang beberapa restoran kuliner ternama di Jakarta. Sementara
si wanita, namanya Nadine, seorang model yang sedang merintis karir dan
punya koneksi dengan para perancang busana ternama. Wow, kaum jetset,
the have, whatever. Tante Indy menjelaskan bahwa mereka akan segera
menikah, dan bertemu Tanteku untuk keperluan bisnis.
"Jadi gimana Mi, sukses sama bisnis perhiasannya?" tanya Nadine.
Tante Indy cuma bersiul riang, sambil angkat bahu. "Relatif sih. Yang
kacau harga emas, naik turun ga jelas. Eh kalian pesen berlian dong,
Vit, buat pacar elo tuh. Masa mau nikah hadiahnya cuma liburan ke
Maldives aja sih?" jawabnya.
"Iya eh, kamu kasih aku hadiah dong! Aku kan udah kasih kamu hadiah
sebelum kita nikah, masa aku aja?" kali ini, Nadine bicara ke Vito.
Dibilang begitu, si pria hanya bisa garuk-garuk kepala. Lalu matanya
sesekali melirikku, tepat ke buah dadaku, dan kembali menatap Nadine.
"Yaudah, kamu mau apa emangnya, yang?"
"Aku mau liontin berlian, yah? Yah?"
"Kalo liontin kira-kira model apa yang cocok buat Nadine, Mi?" tanya Vito seraya menyeruput segelas esspresso.
"Banyak model yang menarik, tenang aja. Tapi masalah harga bervariatif lho."
"Harga ga masalah, Mi. Kita percaya Mami kok, kan selama ini Mami selalu kasih kita barang bagus," jawab si esmud ini.
"Baik kalau begitu, nanti Mami kirim e-katalognya, tapi... ups,"
ternyata Tante Indy menjatuhkan sendok kecil yang tadinya digunakan
untuk menyantap sepotong tiramisu yang dipesannya. "Sebentar," katanya,
lalu merunduk untuk mengambil sendok yang ada di bawah meja.
Kukira dia benar-benar mau mengambil sendoknya, tapi ternyata tangannya
dengan cepat menjalar ke balik dressku. Kemudian dengan terampil, Tante
Indy menyibak celana dalamku, lalu sedikit menarik pangkal dildonya. Aku
agak terperanjat karena ulahnya, tapi ternyata bukan apa-apa karena
yang selanjutnya malah membuatku menggila. Entah bagaimana caranya,
Tante Indy membuat dildo yang bersemayam di dalam kemaluanku bergetar
hebat. Karena tiba-tiba, membuatku sekilas lepas kontrol dan menjerit
kecil. Untungnya, aku cepat menutup mulut sambil memejamkan mata
sehingga tak menarik perhatian orang lain. Tapi Nadine dan Vito
sepertinya sadar dengan perubahan sikapku, membuat mereka bertanya.
"Eh, Olin kenapa?" tanya Nadine, ramah.
Aku berusaha menggeleng, tapi getaran dildo di kemaluanku membuatku tak
bisa bersikap wajar. Akhirnya aku memilih untuk merapatkan bibirku dan
menggenggam lengan Tante Indy, yang kini kembali ke posisinya semula.
Pun dengan sendok yang dia ambil tadi, hanya diletakkan di atas meja.
Oh, dia memang sengaja melakukannya...
Aku terus diam sambil menahan gejolak birahi yang melandaku akibat
dirangsang terus menerus oleh dildo ini. Sesekali, lenguhan-lenguhan
birahi keluar tanpa sengaja, dan aku hanya berharap tak ada yang
mendengarnya. Tapi sepertinya begitu; terlihat dari ekspresi ketiganya
yang lanjut mengobrol tanpa mempedulikanku.
"Olin sakit?" begitu tanya Tante Indy ketika kupandangi wajahnya.
Sialan, bangsaaaaattt, Tante-tante ini menggodaku! Aku harus tahan, aku
harus.... aduh, gatel... aku tak bisa menahan ini lebih lama! A-atau,
aku bisa saja ke kamar mandi... ya, sebentar saja... cuma... se...
ben... ta...rrrhhh....
"Ta-tante... hngghh... O...Olin... ma-mau ke toilet, dulu... yyyaaaaahhh~"
"Loh kenapa Lin? Kamu kok gemetaran gitu?" tanya Tante, yang tentu saja
pura-pura! Perek sialan ini bisa-bisanya bertingkah tak tahu apa-apa,
padahal semua ini ulahnya! Ah, aku... aku... ga tahan, ga tahan
banget...
"T-Tanteeee.... Olinnnhh... ke toilett... mmfffhh... dulu ya, please?"
"Kamu ke toilet mau ngapain, sih?" balas Tanteku.
Fuck! Mau ngentot! Sama suami lo! Ya kalo orang ke toilet mau apa sih?
Pertanyaan idiot macam apa ini?! "O-Olin mau buang... air... kecil...
Tante..."
"Oh, gitu. Tapi kalo Tante bilang ga boleh, gimana?"
Astaga, astaga, ini hampir... hampir... aahh... aahh... aku hampir ga
kuaaaat! "Tante, plis! Plis banget! Olin gakuat Tante, Olin--"
Tapi Tante Indy menunjukkan ponselnya padaku, sembari
menggoyang-goyangkan benda itu; menyiratkan makna ganda dibaliknya, yang
kutafsirkan jika: berani membantah, videonya tersebar.
"Kenapa ga boleh, Mi? Kasian loh," timpal Nadine sambil memandangiku.
Tidak, tak ada pandangan kasihan di matanya, yang kutangkap adalah
pandangan harap-harapnya akan sesuatu.
"Ga sopan, Nadine, di tengah urusan bisnis begini malah ga menyimak.
Mami mau didik dia supaya jadi orang yang profesional. Dalam bisnis, ga
ada kecuali, bahkan untuk urusan buang air kecil; itu yang harus dia
pelajari," balas Tante Indy.
Akhirnya, mereka bertiga kembali larut dalam pembicaraan yang tak lagi
kumengerti, DAN TAK MAU KUMENGERTI. Aku hanya peduli pada dildo yang
menggeliat-geliat nakal di kemaluanku, mengaduk bagian sensitif itu
bahkan berkali-kali menggesek dinding kemaluanku tanpa ampun. Namun
sekuat apapun kutahan rasa nikmat ini, tetap tak bisa kubendung lebih
lama lagi. Rasanya... rasanya... seperti ada yang mau meledak di bagian
bawah sana. Semakin nikmat... makin nikmat... makin....
Ouuuuuhhhhh.... aku merunduk hingga menempelkan tubuhku di meja, sambil
kedua tanganku menekan-nekan bagian atas kemaluanku sendiri karena tak
sanggup menahan lagi kenikmatan yang diberikan dildo ini pada
kemaluanku. Meski aku menggigit kuat-kuat bibirku sendiri,
lenguhan-lenguhan binal masih lolos keluar. Sikapku menarik perhatian
ketiga orang yang satu meja denganku ini, dan untungnya, karena aku
duduk di pojok dekat kaca, maka aku tidak begitu menarik perhatian
pengunjung lain.
Yahh... iyaaahh... iyaaaahhh, sedikit lagi, hampir... hampir... gatel
banget, gatel banget, uuhh.. aku mau teriak saja rasanya! AKU...
A-AKU... KLIMAAAAAAKKKKSSSSS......!
Tubuhku mengejang hebat, terlalu hebat sampai tak bisa kukontrol lagi.
Aku berguncang-guncang, seiring cairan squirt-ku yang menyembur deras
dan terasa merembesi celana dalamku. Terlalu deras, sampai mengalir
diantara sela-sela paha, lancar melewati betis dan kakiku.
Ketika orgasme mereda, aku melemas, dan serasa tulang-tulangku lolos
dari persendiannya. Aku kemudian mencoba mengatur nafas yang memburu,
dan setelah beberapa saat bisa menguasai diriku lagi, baru kusadari
beberapa pasang mata yang menatap penuh arti padaku. Tante Indy, Nadine,
dan Vito; mengulas senyum sinis.
"Kamu pengen dientot ga Lin?" tanya Tante Indy tiba-tiba, setengah berbisik padaku.
Aku mengangguk pasrah. Kepalaku serasa kosong, tapi kemaluanku terus
berteriak minta dipuaskan. Aku ingin lagi, ingin lebih dari ini. "Mau
Tante, Olin mau," jawabku, lemas.
"Good," balas Tante. "Vito, Nadine, 'pesanan' yang kalian minta sudah
bersedia. Bisa kita mulai?" kali ini Tante bertanya ke mereka berdua.
Hey, setidaknya, tolong hentikan dildo yang masih terus bergerak-gerak ini. Please?
===
Setelah beristirahat sejenak sehabis orgasme dahsyat yang melandaku, aku
dibawa ke sebuah kamar di Hotel Pullman yang berada di gedung yang sama
dengan Central Park. Vito sengaja memesan kamar VIP dengan ranjang king
size, dan beberapa botol minuman black label. Aku yang masih lemas,
langsung menjatuhkan diri di ranjang. Hal ini mengundang tawa dari
ketiga orang yang juga ada di ruangan ini. Ah, sabodo teuing, aku capek
dan ini salah mereka, pokoknya.
Kemudian, Tante Indy duduk disampingku, mengusap-usap rambutku, lembut. "Lin, siap ke game berikutnya?" tanya Tante.
Aku tak menjawab. Terserah, aku begitu capek sehingga tak lagi peduli
dengan apa yang akan mereka lakukan padaku. Ah, paling-paling
ujung-ujungnya urusan selangkangan. Bukannya aku ga mau, tapi... penis
orang lain di kemaluanku? Bisa ga sih, aku dipuaskan tapi jangan
disetubuhi?
Sepertinya mustahil.
"Jadi gini Lin, Vito ini kan mau nikah sama Nadine. Dan sebelum mereka
menikah, mereka mau ngelakuin satu hal yang jadi obsesi mereka selama
ini. Biar lebih jelasnya, giliran Nadine yang jelasin ya."
Nadine mendekatiku, lalu duduk di sisiku yang lain. Sementara Vito kini
sedang bersiap mandi, Nadine menjelaskan keinginannya dan berharap aku
bisa membantunya. Jadi, Nadine punya obsesi kalau dia mau lihat pacarnya
make love sama cewek lain, di depan dia. Tiap kali membayangkan itu,
Nadine selalu terangsang hebat. Dan kali ini, tepat sebelum pernikahan
mereka, keduanya mau merealisasikan obsesinya.
"Soal uang, kamu mau minta berapa kami sanggup kok. Yang penting, tolong
layanin pacar aku ya? Mau kan, Olin?" tanya Nadine, hati-hati.
Ah, nafsu. Faktor satu itu selalu bisa mengenyahkan akal sehat manusia,
bahkan perasaan mereka. Nafsu yang membuat manusia serupa binatang,
mengulik adrenalin dan sensasi. Freud benar, bahwa manusia selalu
berpotensi mengandalkan nafsunya sebagai acuan dalam berkehidupan
sosial. Rendah, memang. Tapi nafsu jugalah yang membantu manusia
berkembang biak, dan mencegah bumi ini berada dalam kekosongan. Miris.
"Aku mau, tapi... jangan dimasukin, ya?" pintaku.
"Duh, Lin. Gini aja, nanti Vito pake kondom aja, jadi kan yang main sama kamu tuh karet. Bener kan?" Tante Indy memberi solusi.
Kalau dipikir, iya juga sih. Ah bodo deh, daripada tak ada sama sekali. Main sama karet, ga apa-apa deh.
Bersamaan dengan itu, Vito keluar dari kamar mandi--cuma berbalut
handuk. Badannya yang lumayan kekar, dengan bahu yang lebar dan berotot,
cukup menarik perhatianku. Wow, padahal tadi ga begitu kelihatan loh.
Dan meski perutnya tak kotak-kotak, tapi ramping dan rata. Lumayanlah,
dari segi postur badan. Kita lihat bagaimana dia di ranjang~
Aku yang masih lemas, hanya bisa pasrah ketika pria ini mendekatiku. Dia
lalu memandangi tubuhku dari dekat, kemudian berdecak kagum
berkali-kali. "Seksi banget ini cewek, Mi," katanya pada Tante Indy.
Dan saat Vito mulai menggerayangiku, aku yang merasa kurang nyaman malah memintanya berhenti. "Langsung gitu?" tanyaku.
"Eh, emang maunya gimana?"
Nah, suasana langsung berubah canggung. Seakan nafsu menguap ke udara,
digantikan oleh suasana kaku yang menyeruak tiba-tiba. Khusus untukku,
aku berusaha bilang bahwa agak canggung memulainya, dan nafsuku tak
semenggebu tadi. Pasangan ini kebingungan mendengarnya, tapi tidak
dengan Tante Indy. Tante malah membuka lebar pahaku, memamerkan
selangkangan yang masih tertutup celana dalam yang sudah becek.
Lalu Tante dengan sengaja mengaktifkan lagi mode getar pada dildo yang
masih menancap, membuatku menggelinjang geli bercampur nikmat. Pinggulku
menyentak-nyentak ke atas, karena tiap kali dildo bergetar
mengaduk-aduk kemaluanku, gerigi-geriginya menggesek bagian-bagian
tersensitif dari dinding kemaluanku. Rasa gatal kembali menjalar,
membuat nafsuku melonjak naik.
"Aaahh... aahhh... Ta-Tante nakal... k-kok... dinyalain... lagii...
mmpphh... dil... dildonyaaahhh," desahku kini, tanpa bisa dikontrol
lagi.
Melihatku yang kini kembali dilanda birahi, Vito langsung sigap
berbaring disampingku. Dia langsung meloloskan tali dress aku, dan juga
sekaligus tali bra. Payudaraku kini terekspos bebas, ikut
berguncang-guncang seiring hentakan pinggulku yang semakin sering. Vito
langsung melahap puting kiriku, menghisap-hisapnya kuat-kuat sambil
tangan kirinya meremasi payudara kananku. Rangsangan di kemaluan,
ditambah kedua payudara ini, membuatku makin menggila. Aku mendesah
seenaknya, tak peduli lagi akan suasana sekitar. Jadi, kalian mau lihat
bisa seberapa binal aku? Well, be prepared, motherfuckers.
Entah karena terlalu menikmati dirangsang, membuatku baru menyadari
bahwa sack dress yang kukenakan sudah terlempar ke lantai. Pun dengan
bra yang menyusul setelah Vito membukanya. Aku kini bertelanjang dada,
dengan menyisakan celana dalam becek yang sepertinya akan segera
menyusul bra dan dress milikku. Vito kini menarik celana dalamku, lalu
meloloskannya hingga terlepas sepenuhnya; membuat dildo yang tertanam di
kemaluanku kini bisa bergerak bebas. Aku kini telanjang bulat,
menggelinjang bagai cacing kepanasan, dan berada di puncak birahi.
"Uuhhhh... main tete mulu sih... suka emangnyaaahh?" godaku pada Vito.
Yang ditanya, malah asik menggarap kedua buah dadaku secara bergantian.
Aku bahkan membiarkannya menandai kedua payudaraku dengan bekas-bekas
merah yang kentara. Hihi, buah dada semangka ini memang jadi daya tarik
tersendiri untuk menjerat para pria, sepertinya.
Kulirik Nadine, yang tengah duduk di sofa bersama dengan Tante Indy.
Keduanya tampak asik menonton live show kami, sambil sesekali mengobrol.
Iseng, kutanya dia, "Eehh iya, Nadine... ini ga apa-apa?"
Nadine hanya tersenyum, dan sesekali mengambil foto kami dengan
ponselnya. Bisa kulihat dari gerak-gerik tubuhnya yang gelisah, bahwa
dia juga sudah terangsang~
Aku kini mulai bisa terbiasa dengan kocokan dildo di kemaluanku, meski
kenikmatan yang ditimbulkannya masih sering mengantarkanku pada
orgasme-orgasme kecil. Namun itu tak menyurutkan birahiku, malah
membuatku semakin terbakar karenanya. Orgasme-orgasme kecil ini malah
membantuku untuk lebih rileks, dan merasa nyaman. Maka, kubiarkan saja
dan memasrahkan diri, sementara tubuhku digarap oleh Vito dengan
liarnya.
Puas menandai payudaraku, Vito kini membuka handuk yang mengait
pinggangnya, lalu berlutut diatasku. Aku diapit oleh kedua lututnya, dan
Vito kini mulai memposisikan penisnya yang lumayan panjang itu ke
belahan payudaraku. Digeseknya perlahan, maju-mundur, sambil kedua
tangannya meremas kedua payudaraku lalu membuat bongkahan daging itu
jadi menjepit penisnya. Ouh, titfuck? Allow me, your bitch, to serve you
right.
"Sini... sini... biar aku aja," kataku, lalu menggantikan tangan Vito
dengan tanganku untuk mengapit penisnya. "Entotin toket Olin yaaa...
mmmhhh... mau kan?" tambahku, seraya memasang wajah paling binal
padanya.
Vito, kini memegangi kepalaku. Dia menarik kepalaku agar menunduk
menghampiri ujung penisnya. "Olin, lidahnya dong, jilatin kepalanya,"
perintahnya. Berbeda dengan Om Bondan atau mantanku, atau siapapun yang
pernah menikmati tubuhku ini yang selalu berusaha memuaskanku terlebih
dulu sebelum mereka memuaskan dirinya, pria satu ini begitu mendominasi.
Perintahnya seakan-akan aku ini adalah pelacurnya atau budak pemuas
nafsu dia. Pffft, ikuti saja permainannya Lin.
Aku menjulurkan lidah, berusaha menjilati ujung penisnya tiap kali dia
menyodok penisnya ke arahku. Sesekali kena, kadang tidak; tapi kutebus
ketidakmampuanku dengan menjepit erat batang penisnya sementara aku
sendiri juga meremasi payudaraku. Kumainkan putingnya sesukaku,
membuatku mendesah-desah binal dan semakin menambah semangat Vito
menggenjot payudaraku.
"Hhhaaahh... hhhaahh... enak ga toket aku? Ayooo... puasin aja...
eemmm... hihi, susaaah jilatinnyaa... maafhh yaaahh.. aeemm, kenaaa~"
"Iya, gitu. Pinter nih cewek. Teruss... enak banget sih toketnya, kenyal
gini. Yang, toketnya enak yang... makasih ya kadonya sayang, Mami..."
Entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme, tapi yang jelas aku masih
belum puas. Makanya, aku berusaha memprovokasi pria ini agar semakin
bersemangat memuaskanku. Tapi tiba-tiba, sodokannya semakin gencar dan
keras, seiring dengan lenguhannya yang menjadi-jadi. Rambutku juga
dijambak-jambak, dan meski aku meringis kesakitan, tapi dia tetap
memaksaku menjilati ujung penisnya.
"Buka mulutnya... buka... dikit lagi, aahh aahh... Olin, aku mau sampe... aku keluar Lin, hhhaaaaaahhh!"
Aw! Spermanya bermuncratan ke wajah dan bibirku. Hihi. Beberapa masuk ke
dalam mulutku, sementara sisanya berlumuran di wajah ini. Uuuh, wajah
orientalku disembur sperma.
"Mmmhhh," desahku seraya menutup mata. Aku takut jika spermanya kena ke
mataku, dan itu akan membuat mataku iritasi. Tak tahu kondisi terkini
dan masih menutup mata, membuatku hanya berkonsentrasi pada kocokan
dildo di kemaluanku ini yang mulai mengantarkanku lagi pada puncak
kenikmatan.
Ditengah birahiku, aku merasa ada yang sedang menjilati wajahku; mulai
dari pipi, hidung, kening, bibir, bahkan seluruh wajahku disapu
lidahnya.
"Olin, buka mulutnya dong~"
Dan aku menurut, tapi kini kuberanikan diri membuka mata. Oh, ternyata
Nadine, yang dengan binalnya sedang menjilati sperma pacarnya sendiri di
wajahku dan kini tengah menjulurkan lidahnya berusaha menggapai sperma
yang sedang kumainkan dengan lidahku. Lidah kami jadi saling membelit,
berebut sperma dan uh-oh, dia menyedot kuat-kuat bibirku, sehingga
spermanya kini berpindah ke mulutnya. Curang!
"Enaaaak yaaang!" seru Nadine. Dia yang masih memakai pakaian lengkap,
beringsut menjauhiku lalu mendekati pacarnya yang tengah duduk di tepi
ranjang. Lalu Nadine turun dari ranjang, berjongkok di depan
selangkangan Vito, kemudian mengulum penisnya.
Ah, mumpung mereka sibuk, ini kesempatan aku bermain dengan dildo ini. Nanggung taaauuuuk!
"Aahhh... aahhh... keluar... masuk... keluar... masuk... fuck, fuck... ooohhh haaahh... aahh...."
Terus kumaju-mundurkan dildo ini dengan satu tangan, sementara tanganku
yang lain meremasi payudaraku. Kulakukan apapun untuk merangsang tubuhku
sendiri, malah kadang sesekali jemari-jemariku menggesek-gesek klitoris
dan membuat semua rangsangan ini mencapai puncak kenikmatannya.
"Iyaaahh... iyaaahh... dikit lagi... sedikit, aahh ahahh... bangsaaaatt,
enaaaaakkk... uuhh yaaahh... iyaaahh aahh ahh ahh ahh ahh ouuhh ahh
uuhh nnggghhh... keluar... keluarrr... mmmhhh--AAAAAHHHHH~~~~!"
Pinggulku menyentak-nyentak dengan hebatnya, mengiringi orgasme kesekian
yang kali ini terasa lebih nikmat dari sebelum-sebelumnya. Kubenamkan
dildo ini dalam-dalam, bersamaan dengan cairan squirt yang menyembur
deras, menyemprot ke depan. Di puncak kenikmatanku, bahkan tubuhku
meliuk indah bagai busur; gemetar hebat dan kaku.
Ah... enak.
Segera kucabut dildonya dari kemaluanku, dan aku kembali menghempas
ranjang. Nafasku memburu, membuatku kesulitan mengaturnya. Bahkan belum
sempat aku beristirahat, Vito menarik pinggangku hingga ke tepi ranjang.
Lalu pria ini mengangkangkan pahaku lebar-lebar dan melipat kakiku lalu
kedua tangannya menekan pahaku agar aku terus mengangkang lebar. Hal
ini membuat kemaluanku yang basah mengkilap terkuak lebar. Kupaksakan
diriku sendiri untuk melongok ke depan sana, dan dapat kulihat penis
Vito sudah kembali tegak; kini sedang digesek-gesekkan di bibir
kemaluanku. Eh-eh, dia ga pake kondom! Yah... yah!
"Eh-itu, Vito... pake dulu kondomn... hnggg--"
Terlambat. Vito menekan masuk penisnya perlahan-lahan, dan kini
kurasakan setengah penisnya sudah berada di kemaluanku, dan terus
menyodok masuk. Aku mendongak kaget karena ada benda tumpul kembali
memasuki kemaluanku. Dan akhirnya, penis Vito masuk sepenuhnya. Penis
ketiga setelah mantanku dan Om Bondan...
"Hnggg... pelannhh... pelaaannnn.... Olin masihhh... capeeekkk~"
Tapi Vito tak menggubrisku. Dia langsung memompa tubuhku dengan
kecepatan tinggi, dan ini membuat kemaluanku yang masih sensitif karena
efek orgasme sebelumnya, kembali dirangsang lagi. Astagaaaaa, aku hampir
orgasme lagi!
"Yang, mekinya enak nih! Duh, bisa ga tahan aku kalo lama-lama genjot gini!" ceracau Vito sambil menengok ke Nadine.
"Tapi kamu jangan keluarin di dalem ya sayang, nanti Olin hamil."
Vito menghajar kemaluanku dalam beberapa kali sodokan kuat, membuatku
meronta nikmat dan berteriak-teriak liar. "Haaaahh... emang kalo hamil
kenapa yang?" tanya dia.
"Jangan dong sayang, kamu bolehnya hamilin aku aja," balas Nadine. Dia
lalu menanggalkan seluruh pakaiannya, kemudian bergabung denganku
berbaring di ranjang. Tubuh Nadine memang kalah seksi dibandingkan
denganku, malah terkesan kurus dan ramping; dengan payudara kecil dan
puting mungil. Dia kini sesekali menggerayangi payudaraku, sambil terus
menyaksikanku disodok terus-terusan oleh pacarnya.
"Aku mau dientotin juga yaaang, ga tahan," katanya pada Vito. "Boleh ga? Boleh ya?"
Tapi Vito masih asik menggenjotku, dan malah sodokannya makin liar
membuatku semakin menggila jadinya. Sesekali kulirik Tante Indy, oh
ternyata wanita itu sedang merekam kami dengan ponsel miliknya. Ah, alat
bukti ancaman selanjutnya...
Satu sodokan keras dan dalam dari Vito membuatku tersentak dan langsung
menjerit keras. Oh-oh, AKU KLIMAKS! Tapi ketika tubuhku yang bergetar
hebat tanda sedang mengalami orgasme dahsyat yang kesekian ini, Vito
malah mencabut kasar penisnya; membuatku semakin gila dan meracau
sendiri tanpa henti. Setelah badai orgasme mereda, kulihat Vito kini
sedang menggenjot Nadine dengan ganasnya. Ah, stamina pria ini
benar-benar hebat.
"Ahhh... ahhh... yang, yang! Ampun, ampun, ampuuuuunnn, aaaaahhhh~~~!"
begitu teriak Nadine, wow lantang sekali. Hanya dengan beberapa kali
sentakan kasar Vito mampu mengantarkan Nadine pada orgasme, dan orgasme
gadis ini lucu juga; tubuhnya bergetar-getar hebat seperti cacing
kepanasan. Aku yang tadi dikerjai olehnya, kini tersenyum lebar. Saatnya
balas dendam!
"Vit, bikin dia di posisi WOT deh," kataku pada Vito. Lalu Vito mencabut
penisnya, kemudian rebahan di ranjang sementara dia memaksa Nadine yang
masih lemas untuk menaiki tubuhnya. Perlahan, Nadine berjongkok di atas
penis Vito, lalu pelan-pelan mulai menelan penis pria itu di
kemaluannya. Aku yang iseng, menergap Nadine dari belakang, lalu kedua
tanganku langsung menggerayangi tubuhnya. Kumainkan putingnya, kadang
meremas payudaranya, sambil sebelah tangan sibuk menggesek klitorisnya
dengan cepat.
"Auuhh, aahh... geli... gel...li... mmpphhh..."
Kujilati bagian belakang telinga Nadine, lalu berbisik, "Goyang, ayo cepet. Jangan berenti ya~"
Dibantu sodokan penis Vito yang menghentak-hentak, Nadine mulai
menggoyangkan pinggulnya. Mulanya pelan, lalu makin cepat... makin
cepat... Nadine terus menggoyang penis Vito tanpa jeda, seiring makin
intensnya kukerjai semua bagian sensitif di tubuhnya. Pengalaman dengan
Tante Indy dan Dinda membuatku cukup lihai merangsang sesama wanita.
Lebih banyak bermain dengan puting, lalu ditambah gesek-gesek klitoris
dengan jari, sambil sesekali dijepit-jepit atau dipuntir. Hasilnya?
She's screaming out loud, baby.
"Uuhhh... aahhh... aaahh... nyampeee... aku sampe... yanghh... ahahh
aahh ahhh... aahh aahh... nngghh iih... hmmfff... iyaahh iyaahh,
yanghh... aku nyampe yanggg... aku... aku... nyampeeeee.....!"
Tubuh Nadine bergetar hebat tanda tengah menikmati orgasme keduanya yang
kuyakin nikmat sekali. Aku langsung memegangi pinggangnya, lalu
menggoyang-goyangkan pinggang Nadine sehingga gadis ini tak bisa
berhenti bergoyang. Tentu saja, dia langsung berteriak-teriak minta
ampun karena tak kuat menahan letupan-letupan kenikmatan yang
susul-menyusul, tapi bukan Olin namanya kalau langsung menurut. Aku tak
peduli pada kondisi Nadine yang capek sehabis menikmati orgasmenya,
kugoyangkan pinggang Nadine untuk mengimbangi tusukan Vito.
"Lin, Olin... ampun... Vit, aahh yang, udah stop... stop! Astaga, astaga, aku... aku... aahh aaahh~~~~"
Oh-oh, wow! WOW! Nadine multi-orgasmeeee! Tubuhnya kembali
bergetar-getar diatas tubuh Vito. Nadine mencakar-cakar dada Vito,
gelagapan bagai orang yang sedang mengamuk, bahkan sampai squirt!
Ahahahaha, sepertinya aku puas melihatnya terkapar begitu.
Puas dengan Nadine yang sekarang merebah pasrah dengan nafas memburu,
Vito kini memandangiku dengan tatapan buas--seakan ingin menerkamku dan
menjadikanku betinanya yang bisa dipakai sepuasnya. Haaaah, profesional
sajalah, dibayar ini.
"Olin, di profil kamu disebut-sebut kamu suka banget posisi WOT, ya?"
tanya Vito sambil mengocok-ngocok penisnya. "Aku punya tantangan buat
kamu. Rekor kamu terlama di posisi WOT berapa?"
Aku berpikir sejenak. Waktu sama Om Bondan itu paling lama lima menit
sih, sama dildonya Tante Indy itu sepuluh menitan. "Sepuluh menit,
kenapa?"
"Do me double than your record, Olin. And I'll triple your payment. How?"
Aku mengerling nakal. Sepertinya aku akan belanja banyak nanti, hihi.
Kuhampiri tubuh telentang Vito, kunaiki ranjang lalu aku berlutut
diantara penisnya. Aku pelan-pelan menurunkan pantatku, seiring
kutempatkan penisnya tepat di lubang kemaluanku. Pelan... pelan...
penisnya mulai memasuki kemaluanku lagi. Setengah batang... uuuhh...
yeesss! Masuk sepenuhnya!
"Goyang Lin, ayo."
Dengan kedua tangan bertumpu di dada Vito, aku menggoyang penisnya
dengan gerakan maju-mundur dan memutar. Ahhh, penisnya terasa menyodok
sampai ke mulut rahimku; membuatku semakin gila menggoyang batang nikmat
ini. Seiring goyanganku yang makin liar, buah dadaku ikut
berguncang-guncang dengan gencarnya. Hal ini membuat Vito meremas-remas
kedua payudaraku tanpa ampun, begitu gemas. Ahhh... lagi, lagi, lagi.
"Uuuhh... enak banget sih ngentot yaaa~ aahh... Nadine... kontol cowok
kamu enn...naaak! Ka-kamu ga cemburu... liat... cowok kamu... nngghh...
aku entotin gi... gini... mmmhhh... hah?"
Bukannya marah, Nadine malah mengulas senyum nakal padaku. Dia mulai
memainkan lagi kemaluannya dengan jari, sementara terus melihatku
menggoyang penis pacarnya. Lalu yang tak kuduga-duga, Tante Indy
menggerayangi tubuhku dari belakang. Aku dan Vito yang berada di tepi
ranjang, dan Tante Indy yang berdiri tapi tangannya aktif bergerilya di
payudara dan klitorisku. Aku yang dirangsang kian hebat, semakin
mendekati puncak kenikmatanku; berusaha menggapainya dengan bergoyang
makin liar. Desahan dan erangan binal tak henti-hentinya keluar dari
bibir mesumku ini. Ah, sebodo amat.
"Olin, Olin mau... mau... aahh... uungghhh.... nyampe... nyampeee... Olin pipis, pipis, aah aaah aahh aaaahhhnnnn~
Home
Cerita Eksibisionis
Cerita Eksibisionis Olin
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Olin : Sluttylicious 4 | Scandal Part 1
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar