lanjutan dari cerita sebelumnya...
Aku benar-benar panik. Kak Alyapun ikut panik ketika harus membersihkan
pejuku yang belepotan di wajahnya. Namun setelah itu dia terlihat lebih
tenang meski aku tetap bisa melihat ketegangan di wajahnya, seolah-olah
aku bisa mendengar degup jantung kakakku yang memburu.
“Kak, di rambutnya masih ada peju tuh!”
“Duh, mana mana? Kamu sih dek pejunya banyak banget…”
Kesal banget aku dengan gaya kak Alya yang sok santai ini. Padahal
orang-orang bermotor itu sudah parkir dan mematikan kendaraan mereka.
Itu berarti mereka bisa kapan saja masuk ke dalam mini market!
“Duh, Kak! Gimana niihh…?”
“Ya gimana dong… Kakak juga gak tau nih, tapi kayaknya mereka bukan
kriminal kok… paling cuma mau beli minum kayak kita, ga bakal ngerampok…
mas kasirnya aja nyantai tuh dek”
“Bukan itu masalahnya kak!” Sanggahku pada kak Alya sambil melihat kondisinya yang saat ini.
“Duh, iya yah dek… kakak gak pake baju, gimana dong?” Ujarnya berlagak seperti baru tersadar kalau dia sedang bugil total.
“Kakak sih pake dibuang segala mantelnya” ujarku yang dibalasnya dengan memeletkan lidah. Sungguh bikin aku gemas!
Sambil terus berusaha memposisikan diri dan kak Alya agar tidak
mencurigakan dari luar, aku terus memperhatikan orang-orang yang baru
saja datang itu. Empat motor diparkirkan di depan, sedang yang
bergoncengan ada dua orang, total jumlah mereka ada enam orang. Enam
orang yang mungkin akan segera masuk dan memenuhi mini market ini. Aku
hanya berharap mereka takkan mengetahui keberadaanku dan kakakku di
sini. Entah apa jadinya kalau mereka melihat gadis secantik kakakku
bertelanjang di mini market.
Sebenarnya perawakan mereka biasa saja, tapi dandanan mereka yang lusuh
dengan jaket kotor dan celana jeans sobek-sobek membuatku jadi tidak
nyaman untuk berada di sini, apalagi bersama kakakku yang sedang tak
berpakaian sedikitpun. Usia mereka sepertinya sedikit di atas kak Alya,
namun ada satu diantara mereka yang badannya agak sangar berbadan gempal
walaupun lebih pendek dari yang lainnya, sepertinya dia yang dianggap
seperti bosnya, aku menebak itu karena suaranya yang cukup keras tiap
kali ia berbicara.
Mereka mulai masuk ke dalam. Aku semakin panik. Namun aku berusaha
tampak wajar dan diam di sini bersama kakakku. Kulihat mereka langsung
menuju ke showcase minuman yang letaknya di tepi satu sisi ruangan dan
mulai memilih-milih. Aku agak lega ketika mereka mulai berhenti di sana,
tapi kekhawatiranku segera menyergap kembali ketika salah satu dari
mereka mulai menyusuri beberapa showcase minuman yang searah menuju
tempat kami berdiri. Karena apabila mereka mencari makanan ringan, di
tempat kami berdirilah daerah makan ringan berada. Hanya saja di rak
sisi kami bersembunyi adalah makanan ringan seperti kue-kue kering dan
roti, sedang makanan ringan seperti kacang-kacangan, coklat, dan
sejenisnya berada di rak depan kami tempat sebelumnya penjaga kasir yang
mengobrol dengan kak Alya. Aku berharap mereka bukan mencari kue-kue
kering untuk teman merokok dan minum-minum, melainkan kacang.
Aku lega dugaanku benar, karena salah seorang yang mendekat kearah kami
berhenti persis di rak bagian depan kami. Sehingga aku dan kak Alya
kembali berhadap-hadapan dengan orang lain yang kuharap tak mengetahui
kalau kakakku ini sedang bugil, jika tidak habislah kak Alya.
Namun memang tidak perlu waktu lama untuk si orang itu sadar kalau ada
cewek cantik di depan matanya. Untungnya hanya sebatas leher dan kepala
kak Alya saja yang terlihat olehnya.
“Wuih, ada cewek cakep, bening euy… cari apa neng malem-malem?” orang
itu menyapa kak Alya sambil menggoda. Sedang kak Alya kulihat membalas
dengan senyum manis. Senyuman yang pastinya membuat pria itu makin
pengen berani ngegodain kakakku.
“Cari apa neng?” tanya orang itu lagi.
“Cari minuman bang”
“Lho cari minum kok di situ, sini nih di rak sini minuman mah… di
kulkas…” kata si abang itu sambil menunjuk kulkas yang dimaksud.
“Ooh, di sini juga ada kok bang, hi hi…”
“Ah, minuman apa di situ? Susu kaleng ya?”
“Hi hi, susu? Emang ada yah dek di sini susu?” tanya kak Alya sambil
tersenyum genit melirik kearahku. Aku malah jadi melirik ke buah
dadanya. Duh!
“Susu kak?” tanyaku bingung.
“Ape? Susu kakak? Merek apaan tuh?” tanya pria itu juga bingung tapi tampak bersemangat.
“Hihi.. kok susu kakak sih dek?” ujar kak Alya. Padahal aku sama sekali
tidak bermaksud bicara tentang susu kakakku. Saking paniknya aku malah
tak bisa bicara apa-apa sambil melihat mereka berdua.
“Bukan kemasan kaleng dong? Wuih, kemasan apaan yah neng?”
“Umm... kemasan apa yah? Kemasan alami kali yah bang, hihi…” Jantungku
serasa mau pecah! Udah dalam posisi telanjang menegangkan begini masih
nekat meladeni omongan orang itu. Terang saja orang itu semakin ingin
mendekat ke arah kami. Diapun perlahan-lahan mendekat sambil cengengesan
menyusuri raknya menuju tempat kami berdiri, tapi langkahnya tertahan
karena dipanggil oleh temannya.
“Uuugh.. kakaaak..” bisikku gemas melihat tingkah kak Alya.
Makin kesini aku mulai meragukan keseharian kakakku yang dikenal sopan,
baik dan terhormat. Entah kenapa malam ini kak Alya mulai terlihat
seperti tidak biasanya, lebih berani, bahkan terlalu berani dari
biasanya. Inikah yang sesungguhnya dari kakakku, atau ada sesuatu yang
membuatnya seperti ini??
Beberapa orang teman lainnya yang melihat si pemuda itu ngobrol dengan
kakakku malah jadi ikut mendekat. Langkahnya terdengar pelan karena
mereka sembari ngobrol dan lihat-lihat makanan sepanjang yang mereka
lalui. Kak Alya menarik napas panjang dan menghelanya sambil terus
pura-pura melihat makanan-makanan kecil yang dipajang. Ketegangan nampak
dari wajahnya, tak jelas apakah ia ketakutan atau justru menikmatinya.
Aku sendiri semakin panik. Sebesar apapun rasa penasaranku ketika
melihat kakak kandungku yang cantik ini menjadi tontonan cowok-cowok
jelek tak jelas seperti mereka, aku tetap saja tak rela bila benar-benar
terjadi.
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu. Ah, kenapa tidak dari tadi aku
sadar? Padahal dari awal masuk tadi udah ngeliat. Aku teralihkan ketika
awal masuk tadi karena kak Alya yang menyerobot masuk mendahuluiku.
Mini market ini menjual kaos basket!
Aku melihat kaos basket dipajang rak display terdekat dengan meja kasir.
Segera dengan gerak secepat kilat aku mengambilnya, tentu dengan
berusaha tidak terlihat sekumpulan geng anak motor itu, dan kembali
untuk menyerahkannya kepada kak Alya. Kakakku tanpa pikir panjang
menerima kaos itu dari tanganku serta secepat kilat memakainya sambil
merunduk. Ternyata kakak ketakutan juga. Dasar!
Kaos basket itu hanya mampu menutupi sekitar 5 cm di bawah pantat kak
Alya. Sangat mepet, dan jelas mengekspos kaki jenjang dan paha putih
mulus kak Alya kemana-mana. Belum lagi belahan leher kaos yang rendah,
membuat belahan dada kakakku yang putih bening jadi terekspos. Bahkan
puting susu kak Alya yang mengacung keras tampak tercetak, walau tidak
terlalu jelas karna kaosnya hitam, tapi jika sedikit memperhatikan saja
maka memang tidak bisa disembunyikan tonjolan puting itu.
Ketika para pemuda itu datang, kak Alya sudah mengenakan kaos itu.
Waktunya sangat tepat sekali. Jantungku hampir copot rasanya.
“Suit-Suiiiiit! Bening broo!”
“Wuih! Pemandangan apa ini?”
“Waduuh, gak dingin emangnya neng malam-malam pake beginian doang?”
“Gue kira cuman di lampu merah sono noh nemuin cewek-cewek begituan, ternyata di sini ada juga.. gileee..”
Mereka terus melempar godaan pada kakakku yang menurutku lebih cenderung
melecehkan itu. Kak Alya sendiri berusaha tetap tersenyum untuk
menyembunyikan kegugupannya. Sedangkan aku setengah mati cemas
menghadapi situasi ini. Harus cepat-cepat minggat sebelum terjadi
hal-hal yang tidak kami inginkan. Dan sepertinya kakakku juga sudah
merasakan hal yang sama dengan langsung menggandeng tanganku dan
mengajakku pergi dari tempat itu, “Misi yah bang.. mau pulang dulu..”
ucap kakakku sambil tetap menggandengku mengambil minuman kaleng
asal-asalan dan bergegas menuju kasir. Kakak mulai panik nih…
“Lho kok buru2 neng?”
“Eh, susunya tadi mana neng?” seloroh mereka sambil masih mengikuti kami
yang sedang menuju ke meja kasir. Apa mereka nggak ngerti kalo kami
nggak mau diikuti? Kak Alya juga sih, dari kondisinya saja sudah jelas
sangat mengundang orang-orang seperti mereka, mana tengah malam lagi.
Mas mas kasir juga yang tadinya terkantuk-kantuk jadi terbelalak melek
melihat penampilan kakakku. Masalah muncul ketika hendak membayar,
minuman yang dibeli kak Alya harganya sih tidak lebih dari sepuluh ribu,
tapi kaos basketnya yang sudah dikenakan itu harganya lebih dari lima
puluh ribu, dan aku tidak membawa uang sebanyak itu. Keringat dinginku
mulai bercucuran. Alamat gawat!
Tapi pada saat mas penjaga itu menghitung barang belanjaan kami, dia
hanya menghitung kaleng minuman yang kak Alya ambil saja. Padahal barang
yang kami ambil ada dua, yang satu lagi adalah kaos yang kuambil tadi.
Sambil si mas penjaga menyiapkan kantong plastik untuk membungkus kaleng
minuman, sesekali pandangannya mengintip kakakku. Kini aku berharap
bahwa si mas mas penjaga itu memang sedang iseng melihat keseksian
kakakku yang sedang mengenakan kaos seadanya itu, bukan karena curiga
apakah kaos itu adalah item yang dijual di mini market ini.
Tanpa sadar aku menelan ludah berkali-kali berharap semua ini akan cepat
selesai, apalagi di belakang kami dan di parkiran luar mini market ini
masih ada beberapa pemuda geng bermotor yang kelihatannya belum tentu
kami bisa lolos semudah itu, mengingat kini sudah malam dan kak Alya
hanya mengenakan kaos yang hanya seadanya menutupi bagian vital dari
tubuh kakakku.
“Udah minumnya aja? Pulsanya nggak mbak? Ini wafernya sedang promo, beli
2 gratis 1…” Tanya si mas kasir sesuai prosedur memang harus menawarkan
barang lain pada tiap pembeli.
“Oh ngga usah mas, minumannya aja kok..” jawab kakakku sambil melempar
senyum kepada mas itu, aku yakin kakakku juga sedang menutupi tindakan
nyolong kaos ini, dan tiba-tiba kak Alya menoleh kearahku, “adeek, besok
diganti yah... kakak ngga mau dikira klepto, hihi..”
“I-iya kak..” Duh kakakku ini, bisa-bisanya bicara bicara seperti itu di
depan mas penjaga kasir, untung dia tidak memperhatikan kami. Padahal
setengah mati aku ambilkan kaos untuk menutupi tubuhnya. Pulang nanti
aku takkan memberi ampun pada kakakku ini. Kalau perlu akan aku ikat
seharian supaya tidak keluar rumah.
“Enam ribu lima ratus mbak..”
“Oh, i-iya.. ini..” sambil menyerahkan lembaran lima puluh ribuan aku
mulai berdiri tak nyaman ingin segera menggandeng kakakku keluar dari
sini.
“Ini kembaliannya mas.. terimakasih, silakan berbelanja kembali mas..”
ketika ingin menjawab ucapan dari mas itu tiba-tiba kak Alya sudah
menggandengku pergi menuju pintu kaca keluar dari toko ini. Aku yang
seharusnya panik mendadak malah terasa sangat nyaman sekali ketika
digandeng olehnya. Entah kenapa aku malah menikmati kebersamaan ini
bersama kakakku walau di tengah situasi yang pelik seperti ini. Aku
mulai berpikir, apapun kulalui asalkan selalu bersama dengannya.
Sampai di parkiran depan toko itu kami berdua berpapasan dengan
orang-orang yang tengah nongkrong sambil ngobrol-ngobrol dengan suara
yang keras. Beberapa sambil merokok dan yang lainnya sambil minum.
Melihat cara mereka memandang pada kakakku aku sungguh merasa tak nyaman
dibuatnya.
“Wuih, malam-malam liat ginian?”
“Anjrit brooo.. apaan tuuh, bening poll.. hahaha!”
“Busyeeet, gak dingin tuh neng bawahannya? Sini deh abang pangku biar anget, hahaha!”
Cibiran-cibiran mereka mulai terdengar panas di tellingaku, apalagi
ucapan-uacapan mereka mulai melecehkan kakakku. Aku tak boleh berbuat
konyol karena aku mengkhawatirkan keselamatan kakakku juga. Apalagi
kakakku juga terus menggandengku erat walau masih mencoba untuk
tersenyum di hadapan mereka.
Siapa juga yang gak bakaln menggoda kakakku di malam seperti ini,
kakinya yang putih terpampang bebas dari paha hingga ke ujung kakinya.
Belum lagi pundak hingga keujung lengan, aku saja yang digandengnya dan
langsung bergesekan kulit saja sudah cukup bikin otongku agak mulai tak
menentu nasibnya.
“Misi yah abang-abang semua.. hihi..”
“Waaah.. manis nian senyumnya kakak ini.. hahaha.. kenalan dulu donk,
buru-buru amat?” seloroh salah satu pemuda yang bicara sambil duduk di
atas motornya dengan dandanan yang tak kalah kumalnya dari temannya yang
masih di dalam toko itu.
Sambil tak mempedulikan mereka, aku dan kak Alya meninggalkan mereka
walau mereka tetap memanggil-manggil tak jelas apa maunya itu. Semakin
jauh kami meninggalkan mereka entah kenapa aku bukannya semakin aman
tapi malah panik. Bagaimana kalau mereka menyusul kami? Apalagi potongan
mereka adalah orang yang bakal nekat melakukan apa saja? Duh,
benar-benar akan terjadi kriminalisasi nih, bukan seperti yang kak Alya
perkirakan sebelumnya.
“Iih dek, serem-serem yah orangnya?”
“Iya nih kak, mana jantung mau copot lagi.. gara-gara kakak sih..”
“Hihihi, beneran jantungnya yang mau copot? Atau yang lainnya yang mau
copot?” ujar kak Alya dengan nada manjanya sambil mengerling kearahku,
aku dibuatnya gemas melihat tingkahnya itu. Tapi bukan kak Alya namanya
kalau bukan terus langsung menggodaku dengan mengatakan..
“Tapi kalau mereka godain kakak terus ikut nyusul sampai kerumah gimana yah dek?”
“Iya, terus kakak diperkosa di dalam rumah sama mereka... kakak mau?”
“Kok adek bayanginnya kayak gitu sih? Jangan-jangan adek pengen lihat
yah? Hihihi..” jawabnya balik tanya sambil menatap lekat wajahku, kak
Alya tahu betul fantasiku tentang dirinya yang biasa kujadikan bahan
colian setiap harinya.
“Ah kakak apaan sih?”
“Terus mereka pada nginep di rumah dek, bolak-balik gantian masuk ke kamar kakak, hihihi”
“Kak Alya!”
“Yeee, muka adek merah tuuh... adek ngebayangin kakak digituin sama preman-preman kayak mereka juga yah?”
“Udah donk kak, pulang yuk!” perasaanku seperti tidak enak sambil agak
menarik kak Alya pulang sebelum hal yang kutakutkan nanti terjadi, yaitu
para geng yang mungkin saja akan menyusul kami.
“Apa perlu kakak minta antar pulang mereka nih? Hihi..”
“Kak!”
“Apaan sih dek? Kakak becanda tau..”
“Bukan itu kak.. mereka pada mau nyusul kita tuh!” aku masih menoleh
kebelakang yang akhirnya pandanganku diikuti oleh kak Alya, aku melihat
mereka mulai menghidupkan motornya masing-masing sambil menunjuk-nunjuk
kearah kami. Ternyata benar mereka hendak menyusul kami berdua. Aku rasa
mereka masih penasaran dengan kakakku. Kulihat di depan sudah dekat
dengan tikungan tempat kami berbelok tadi saat hendak menuju mini
market.
Aku dan kak Alya mempercepat langkah kami untuk segera berbelok dan
berharap bisa segera menghindar dari geng motor itu. Sesampainya di
jalan belokan ini aku bingung lagi hendak kemana karena jalan yang akan
kami susuri sampai ke belokan masuk ke gang perumahan kami nanti masih
cukup panjang, tak mungkin kalau harus berlari apalagi mereka menyusul
menggunakan motor. Bahkan di sepanjang jalan ini hanya satu orang saja
yang kulihat sedang berdiri dekat gerobaknya dengan lampu petromak nya
yang terang menyala dari tempat kami berdiri. Ya, dia adalah si tukang
penjual nasi goreng yang tadi.
“Adek! Sini ikut kakak!” kata kak Alya sambil menarik lenganku. Aku tak
tahu apa rencananya, tapi aku coba saja mengikuti karena aku sendiri
sudah kehabisan ide.
Kak Alya setengah menyeretku menggandeng sepanjang jalan menuju abang
nasi goreng itu. Sebenarnya aku masih agak sebal dengan si abang penjual
nasgor itu, tapi dibandingkan dengan preman geng motor tadi, aku
seperti tak punya pilihan. Sesampainya di dekat abang nasgor itu kak
Alya memanggilnya.
“Eh abang ketemu lagi”
“Wah, si eneng yang putih bening, hehehe... kayaknya berjodoh kita yah?
Mau kemana-kemana juga ketemu lagi..” sahutnya cengengesan sambil
memandang kakakku dari ujung kepala sampai kaki berharap kakak
memperlihatkan tubuh polosnya seperti tadi walau hanya bagian
belakangnya saja.
“Bajunya kok ganti neng?” tanya abang tukang nasi goreng itu heran karena tadi kak Alya memakai mantel, bukan kaos basket ini.
“Hihihi ceritanya panjang bang. Gini bang, sebenarnya Alya mau minta tolong sama abang, boleh yah?”
“Hah? ehm.. minta tolong apa yah neng?”
“Itu bang, tadi Alya diikutin sama preman-preman motor dari mini market...”
“Ooh, si neng takut yah diikutin sama mereka?”
“Ummm... engga juga sih... Cuma lagi males aja ngeladenin mereka semua,
hihi.. tolong yah abang..” pinta kak Alya dengan nada centilnya yang
membuat si abang mendadak seperti seorang pahlawan yang sedang
dibutuhkan pertolongannya dari seorang gadis cantik.
“Kak..” bisikku pelan di telinga kakakku.
“Apa sih dek?”
“Yang bener nih kak minta bantuan nih orang?”
“Kita punya pilihan apa donk dek? Mau yah kakak disusul mereka?” ujar
kak Alya. Aku yang tak punya pilihan seperti menaruh harapan pada
penjual nasi goreng itu walau aku masih tak suka padanya. Jangan-jangan
dia menolong kakakku karena ada maunya.
“Si eneng yang cantik tenang aja deh, abang bakal lindungin si neng sama
adeknya yah.. gini deh, neng sama adek ngumpet aja di balik semak-semak
tanaman itu yah.. tunggu aman baru keluar..” si penjual nasgor itu
memberi instruksi agar kami mengikuti perintahnya dan segera bersembunyi
di balik semak-semak yang dia maksud. Cukup lebar, tapi harus
berjongkok dengan sangat rendah bila kepala kami tidak ingin terlihat
oleh mereka.
Sambil bersembunyi bersama kakakku, aku mengintip dengan penuh
ketegangan dari sela-sela tanaman yang tidak terlalu tinggi ini, apalagi
mereka memang berhenti di dekat abang nasi goreng itu sambil
celingukan.
Aku dengar mereka mulai ngobrol-ngobrol.
“Yang bener nih bang gak ada cewek lewat sini?”
“Beneran mas, gak ada yang lewat sini... apalagi cewek, malam-malam, apa
mas gak salah lihat?” jawab si abang dan bertanya balik berusaha
meyakinkan mereka.
“Ah, salah lihat bagaimana... tadi baru keluar dari toko langsung belok kesini kok..”
“Wah, malam-malam ada cewek jalan-jalan, mas udah cek kakinya belum? Jangan-jangan gak napak deh..”
“Hei, bang! Jangan macam-macam ya! Tukang nasi goreng aja belagu amat..
jangan-jangan lo ngumpetin mereka yah?” hardik orang yang badannya
kelihatan besar itu. Keadaan mulai memanas hanya demi memperebutkan
kakakku.
“Waduh mas, sabar donk... lagian ngapain saya pake ngumpetin mereka, ada
juga harusnya mas-mas ini yang pada ngumpet, hehe..” aku melihat si
abang nasi goreng ini berani banget ngadepin mereka. Bahkan kak Alya pun
sampai terpesona melihatnya, bukannya terpesona padaku saat aku
mengambilkan kaos buat dia, huh!
“Hah?! Maksud lo apa? Lo mau gue beri nih?!””
“Ya ampun mas-mas ini, saya ngga takut sih.. lha wong tinggal teriak aja
orang sekampung pada keluar semua.. apalagi mas mirip sekawanan
pembegal motor, gak takut dibakar yah? Atau mau jadi nasi goreng?
Hehe..” aku baru ingat belakangan marak kawanan pembegal motor, dan
warga juga sudah mulai berani karena jengah dengan tindakan sadis
mereka, hanya saja geng yang ini tidak seperti kawanan pembegal motor,
tapi tetap saja membuat mereka panik karena kulihat mereka mulai saling
berbisik-bisik tak jelas.
“Yuk cabut! Udah malem bro!” ajak yang paling besar pada teman yang lainnya sambil terus menatap kesal pada penjual itu.
“Ati-ati ya mas, jangan bergerombol pulangnya, hehe..” ledek si abang
nasi goreng itu yang berhasil mengusirnya demi melindungi kakakku. Lega
aku ketika melihat mereka sudah berlalu di tikungan, dan benar mereka
ternyata berpencar, sepertinya takut apabila kena razia atau disangka
kawanan pembegal motor.
“Udah kabur semua tuh kak?”
“Abang itu yang ngusir yah dek?”
“Kayaknya sih iya kak..”
“Keren yah dek, hihi..” Duh, kak Alya malah terpesona begitu, tapi
apapun itu aku hanya ingin cepat pulang membawa kakakku yang setengah
bugil ini sebelum keadaan berlanjut kearah yang tidak kami inginkan.
Begitu keadaan sudah aman, aku melongokkan kepalaku dan berdiri dari
tempatku sembunyi yang diikuti kakakku. Hanya saja kak Alya malah
langsung menghampiri abang penjual nasi goreng itu dengan gaya centil
seperti anak kecil yang baru saja dilindungi orang dewasa yang lebih tua
darinya.
“Makasih yah bang, udah nolongin barusan..” kak Alya menyampaikan
terimakasih dengan tersenyum manis sekali pada si penjual nasi goreng
itu. Dengan mengenakan pakaian kaos seadanya seperti itu gak mungkin si
abang gak bakal berpikir ngeres.
“Oh.. i-iya neng, gak masalah kalau itu sih.. masih kalah mereka semua
sama abang mah, hehe..” si penjual mulai cari muka di depan kakakku yang
cantik.
“Kalah apa yah bang? Kalah kuat yah? Hihihi..”
“Eh, anu neng.. i-iya, kalah kuat sama abang, hehe..”
“Ooh, jadi abang kuat? Bagus deh... jadi tenang Alyanya, hihi..”
“Iya donk neng... tua-tua begini abang masih kuat lho neng, hehehe...”
obrolan si abang penjual mulai melantur ke hal yang mesum, dikiranya aku
anak kecil apa yang tidak tahu!
“Masa sih bang?” tanya balik kak Alya yang menurutku malah justru
memperdalam suasana yang mulai tak nyaman di telingaku ini. Kurang
kerjaan banget sih kakakku ini, bikin aku gemes pengen nyeret pulang
aja, tapi seolah aku tak enak karena dia baru saja menyelamatkan
kakakku, jadi aku coba untuk bersabar dulu sebentar. Lagi pula abang ini
hanya ngobrol-ngobrol nakal saja dengan kakakku, asal tidak melecehkan
saja.
“Oh iya dong neng, sampai malam aja abang masih kuat dorong-dorong
gerobak, hehehe.. apalagi dorong-dorong yang lainnya neng..” dengan
wajah cengengesan si abang mulai coba-coba ngomong gak jelas.
“Hihihi.. dorong-dorong apaan sih bang?”
“Yang bening-bening juga boleh dah didorong-dorong.. hehe..”
“Yeee si abang.. gerobak beningnya nyusruk loh kalo didorong terus, hihi..”
“Yaaah si neng... kan ada abang yang pegangin gerobaknya, biar nyusruk tapi kan gak kemana-mana gitu, hehehe...”
“Hihihi... udah ah, abang gangguin Alya terus, lihat deh adek Alya ampe
cemberut gitu. Abang ini ngomong apaan yah dek? hihihi” sambil masih
terus bercanda dengan penjual itu kak Alya cekikikan ngeledekin aku juga
yang terlihat tak suka obrolan mereka. Aku sangsi kalau kak Alya
benar-benar gak tahu apa yang dimaksud sama si abang penjual itu.
“Kak! Pulang yuk!”
“Oiya, udah malam nih.. Tapi gak enak sama si abang ini, masa udah
nolongin kita tinggal gitu aja? Kita beli nasi goreng dua aja yah dek..
itung-itung bantuin si abang jualan”
“Ya udah deh, masaknya rada cepetan yah bang!” aku meminta dengan nada
ketus karena sedari tadi hanya dijadikan seperti obat nyamuk saja.
“Sip deh neng, dua porsi yah.. makan di sini kan?” untuk kesekian
kalinya aku jadi obat nyamuk dan hanya kakakku saja yang didengar.
“Ummm.. engga deh bang, dibungkus aja, Alya ngga mungkin habis kalau makan di sini..”
“Hehehe... neng Alya mah mana bisa habis walau seharian juga... hehehe..”
“Adeeek, si abang ngomongnya mulai deh tuh, emang kakak makanan kali yah bisa dihabisin.. Hihihi..”
Semakin kesini aku justru berpikir seperti lolos dari mulut harimau
malah nyemplung ke mulut buaya. Yup, si abang ini bener-bener buaya.
Dari tadi cari kesempatan terus untuk memuaskan hasratnya ngomong mesum
ke kakakku, seolah masih belum puas melihat belakang tubuh kakakku yang
bugil tadi sebelum masuk ke mini market barusan, entah apa niatan si
abang menahan-nahan kakakku.
Sambil masih memasak pesanan kami, aku memotong obrolan mesum si abang,
“Jadi dua bungkus berapa bang?” dengan ketus aku agak menghardik.
“Ooh, jadi dua puluh dua ribu mas..” kata si abang sambil masih memasak
mencoba curi-curi pandang melihat tubuh kakakku yang dia tahu hanya
dibalut kaos basket yang longgar itu saja. Karena ingin cepat pulang dan
pergi dari sini, aku buru-buru ingin menyerahkan uang pada penjual itu
dan merogoh saku celanaku. Tapi mana uang tadi!? Uang kembalian tadi
tidak ada di kantong celanaku!
Aku baru tersadar saat tadi hendak menerima kembalian tadi kak Alya
langsung menggandengku tanpa aku sempat mengambil dari tangan si mas
penjaga kasir. Aduh! Untuk kedua kalinya kami kekurangan uang, hanya
saja yang sebelumnya kami berhasil lolos, tapi sepertinya tidak untuk
kali ini. Kakak juga sih pakai beli nasi goreng segala.
“Kak! Bentar deh..” bisikku pelan pada kakak supaya mendekatiku.
“Ada apa dek?”
“Uangnya gak ada nih kak..”
“Nah lho dek, kok bisa? Kan tadi ada kembaliannya dari mini market?” tanya kak Alya yang ikut bingung.
“Kakak sih tadi pake nyeret Aldi langsung pergi, jadi lupa ambil kembaliannya..”
“Masa sih dek? Hihihi... maaf yah, abis kakak udah tegang banget tadi..”
“Terus apa aku ambil lagi aja yah ke mini market tadi kak?” ujarku pada
kakak sambil bersiap hendak kembali ke mini market tadi yang jaraknya
lumayan agak dekat itu.
“Ummm.. apa ngga ambil di rumah aja dek?”
“Lho kok malah di rumah kak?” aku tambah bingung mendengar kak Alya dan penasaran dengan penjelasannya.
“Coba deh dek, kalo si mas penjaga kasir akhirnya sadar kaos ini barang
yang dijual di sana, gimana hayo? Kalau uangnya kurang adek tetep harus
ambil uang di rumah kan?” jelas kak Alya padaku. Tapi aku malah bingung
lagi, apa aku ajak sekalian kakakku pulang untuk ambil uang di rumah?
“Kakak ikut aja deh!”
“Yeee adek, masa abangnya lagi masak ditinggal sih? Gak enak lho udah nolongin kita tadi..”
“Ah kakak, ditinggal bentar juga ga pa-pa kan?”
“Ya udah, kakak tanya yah dek..” kata kak Alya sambil menoleh ke abang meninggalkan acara bisik-berbisik kami barusan.
“Abaang... Alya uangnya kurang nih, ditinggal dulu yah mau ambil di rumah?”
“Ya udah gapapa, tapi anu neng, alamatnya si neng dimana yah? Maksudnya biar abang antar gitu nasi gorengnya, hehe..”
“Aduuh, pake pengen tahu rumah Alya segala, gak jadi deh, hihihi... biar
adek aja yang ambil uangnya... yah dek..” tiba-tiba kak Alya merubah
pikirannya yang awalnya hendak pulang bareng malah jadi pengen tinggal
di sana nemenin si abang mesum itu.
“Kak Alya!” bisikku lagi sambil menatap heran kenapa malah merubah keputusan mendadak.
“Duh dek, dengerin deh, kebayang gak sih dek kalo si abang jadi tau
rumah kita... adek pengen dia mampir terus nungguin kakak tiap malem?
Iya?” jawab kak Alya balik bertanya menunggu keputusanku yang sepertinya
jadi buah simalakama buatku. Tak ada jalan lain kecuali pergi secepat
kilat agar dapat kembali menyusul kakakku.
“Tapi kakak jangan yang aneh-aneh lagi yah?”
“Duuh, kakak kapok deh tegang kayak tadi dek, kakak kira aman lho..”
“Uuugh, kakak sih nakal...”
“Tapi kalo adek yang kelamaan, jangan salahin kakak kalo kumat lagi yah? Hihihi..”
“Aaah kak Alyaa!”
“Makanya, gih cepetan ambil uangnya yah..”
Saat aku hendak mengambil langkah seribu, mungkin sepuluh ribu demi
kakakku tidak macam-macam lagi, tiba-tiba kak Alya mendekatkan mulutnya
ke telingaku sambil berbisik..
“Adeeek, gara-gara eksib semalaman, bawah kakak jadi banjir nih deek,
cepet bawa kakak pulang yah.. hihihi...” kak Alya mengutarakan sambil
menggigit bibir bawahnya dan mengatupkan kedua pahanya rapat-rapat
hingga saling bergesek-gesek seolah ingin memperlihatkan betul bahwa kak
Alya lagi horni banget. Mendadak otongku mencuat keras mempersempit
celanaku.
“Aduh kakaaak... aku jadi pengen nih kaak..”
“Makanya cepetan... si adek gak mau keduluan kaaan?” dengan menatapku
genit aku tak mengerti maksud kak Alya. Adek itu akukah atau adek
kecilku yang meronta-ronta di balik celanaku? Aku memang harus
cepat-cepat menuntaskan malam ini.
Sambil meninggalkan kak Alya dan si abang itu aku masih sempat melihat
mereka mulai ngobrol-ngobrol lagi. Mudah-mudahan tidak terjadi hal yang
tidak aku inginkan, seperti melihat kakakku kembali berbugil ria dan
membuatku panik semalaman.
Sesampainya di rumah aku langsung mengambil uang dua puluh dua ribu dari
dompetku sambil melempar minuman kaleng ke sembarang tempat yang kak
Alya beli tadi di mini market. Sungguh kebetulan bahwa minuman itu
adalah susu kedelai kalengan, mengingat guarauan mesum geng motor tadi
tentang susu kakakku.
Dengan gerakan yang cepat aku langsung keluar kamar dan ingin segera
keluar rumah menyusul kakakku, tapi belum sampai keluar pintu rumah hp
ku berbunyi, kak Alya!
“Adeek, buruan doonk.
Si abang pengen liat punggung kakak lagi nih.
Gimana nih dek?”
Terperanjat aku melihat pesan dari kakakku. Aku pun membalasnya dengan
hati panas karena tak rela kakakku dicabuli seorang tukang nasi goreng
yang udah berumur itu. Tiba-tiba terbayang tangannya yang dekil dan
berminyak karena menggoreng itu hendak menggerayangi tubuh kakakku yang
putih bersih.
“Duh kakak pergi aja deh dari sana!”
Hal yang kutakutkan sepertinya bakal terjadi Setelah dengan tegang menunggu beberapa saat, pesan dari kakak masuk lagi.
“Dek, ayo buruan.
Si abang udah kelar bikin nasi gorengnya tuuh.
Dia ngeliatin kakak terus nih..”
Belum sempat aku membalas pesan brikutnya sudah masuk satu pesan lagi,
seolah seperti tak mengijinkaku untuk berpikir logis lagi harus
bagaimana akunya.
“Adeeek.
Abangnya item banget iih..”
Seperti orang bodoh yang tersadar dari hipnotis aku langsung beranjak
pergi keluar dari rumah dan menutup gerbang. Kenapa aku malah terdiam
membaca pesan dari kakakku? Tak bisa kupungkiri kalau aku malah
membayangkan yang tidak-tidak lagi tentang kakakku yang mana seharusnya
aku melindungi kakakku. Aku benar-benar tak tertolong menghadapi
khayalan mesum tentang kakak kandungku sendiri. Bahkan di saat genting
seperti ini. Tapi tetap saja aku panik karena tak ingin hal buruk
menimpa kakakku.
Seperti orang kesetanan di tengah malam, aku berlari kembali menuju
tempat kak Alya dan penjual nasi goreng tadi. Sambil sesekali aku
mengintip hapeku kalau-kalau ada pesan masuk lagi dari kakakku. Entah
perkembangan berita apa yang kunantikan, aku sendiri jadi rancu. Apalagi
sepanjang perjalanan menuju kesana tidak ada pesan masuk lagi. Saat ini
aku hanya berharap kak Alya masih ada di sana.
Sesampainya di sana aku melihat lampu petromak gerobak abang itu, tapi
begitu mendekat aku tak melihat seorang pun di sana. Jantungku yang
sudah berdegup kencang karena berlari tadi kini semakin kencang karena
cemas tak mendapati kakakku di sini. Sambil melempar pandangan ke segala
arah dengan panik aku bersiap berteriak memanggil kakakku, hingga aku
mendengar suara air seperti seseorang sedang mencuci. Suara itu
datangnya dari semak tempat ember dan piring-piring kotor milik abang
penjual nasi goreng tadi. Kulihat si abang sedang berjongkok di balik
semak itu sambil mencuci piring, kuketahui itu karena suara kecipak air
saat membasuh piringnya.
“Bang! Kakak saya mana?!” hardikku yang sudah malas berbaik-baik dengan
orang itu karena aku lebih mengkhawatirkan keadaan kakakku yang tak ada
di tempat ini.
“Oh anu den.. tadi kakaknya langsung pergi tuh.. gak tau deh kemana.. pulang kali yah?”
“Hah? Pulang? Serius bang?!” tanyaku panik, dan berpikir jangan-jangan kak Alya niat mau eksib dan gangguin aku lagi.
“Iya den, tadi ada di sini.. itu nasi goreng juga belum dibawa den,
karena kelamaan saya tinggal nyuci dulu... maaf yah den, lagi nanggung
nih cuci-cucinya..”
Pikiranku berkecamuk tak karuan. Badan jadi terasa lemas. Pikiran buruk
berkecamuk di kepalaku, bertubi-tubi mengantri untuk membuatku cemas.
Pergi kemana kakakku ini?
Tanpa menunggu lagi karena percuma bila hanya berdiam di sini, aku
menaruh uang di gerobak dan mengambil bungkusan nasi goreng tadi. Entah
siapa yang mau makan aku tak tahu. Aku hanya ingin mengetahui kemana
sekarang kakakku berada.
“Tadi lewat mana bang kakak pergi?”
“Lewat sana kayaknya deh..” tunjuk si abang sambil masih mencuci
piringnya. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke arah yang ditunjuk
si abang.
Sambil terus menyusuri jalan dengan panik, akhirnya aku sampai di dekat
rumahku lagi. Dan seperti tak ada tanda-tanda kalau kak Alya sudah
pulang, aku membuka pagar rumah dan membiarkannya terbuka sambil masih
terduduk lemas di kursi teras rumahku. Hari semakin larut tapi kak Alya
belum kelihatan juga. Yang bisa kupikirkan hanyalah kakak saat ini
sedang berada di luar rumah dengan hanya mengenakan kaos saja.
Malam-malam berkeliaran perempuan cantik dan seksi, pasti akan
mengundang kriminalitas. Aku membayangkan kakakku dipergoki orang-orang
jalanan, lalu diculik, dan untuk menelusuri khayalan berikutnya malah
antara membuatku tegang panik dan tegang tak jelas. Duh, kakak cepet
pulang doonk... tega amat sih ngerjain adik sendiri sampai seperti ini..
Tak berapa lama ketika aku masih duduk di luar aku mendengar langkah
seseorang mendekat kerumahku. Tiba-tiba muncul seseorang dari balik
pagar yang masih terbuka seperti hendak mengagetkanku.
“Adeek! Nungguin kakak yah?”
“Kakak! Kakak jahat godain aku terus!”
“Hihihi.. adek khawatir yah? Maafin kakak deh..”
“Ngga ah.. aku gak mau maafin!” sambil merajuk aku pergi meninggalkan
kakakku yang tertawa cekikikan menggodaku. Padahal melihat kakakku yang
hanya berkaos longgar dan mempertontonkan auratnya dari lengan, atas
dada, hingga paha dan kakinya yang putih itu saja sudah hampir
melunakkan rasa kesalku padanya. Terutama ketika kak Alya tersenyum
seperti anak manja yang takut dimarahi olehku.
Sambil terus menuju kedalam rumah aku duduk di ruang tengah sambil
melipat kedua tanganku di depan dadaku. Seperti ingin menunjukkan
padanya bahwa aku tak suka diperlakukan seperti ini. Walau sebenarnya
aku setengah mati ingin memeluk kakakku. Apalagi kami sudah berada di
rumah lagi, dan hanya berdua tanpa ada siapa-siapa. Otongku seperti
berusaha menenangkan hatiku yang sedang panas dengan mengacung-acung
membujukku untuk memeluk kak Alya.
“Adeeek... jangan marah lagi doonk..” ujar kak Alya duduk di sebelahku.
“...” aku hanya diam saja tak membalas kak Alya.
“Deek.. kakak sedih tau kalo adek marah.. hihi.. udahan donk deek..”
“Kakak tuh nyebelin...”
“Adek khawatir yah sama kakak?” ujarnya sambil melihatku dengan manja,
aku benar-benar diuji untuk tetap merajuk atau menyerah di hadapannya.
“I-iya kak.. adek khawatir banget kalo terjadi apa-apa sama kakak...”
“Ya ampuun... adek baik banget deh sama kakak, maafin kakak yah...”
“Kakak nakal, sukanya godain aku terus... rasanya pengen iket kakak biar di rumah aja...”
“Iiih, kok kakak pake diiket segala sih dek?”
“Biar kakak gak godain aku lagi..”
“Ummm... bukannya adek suka yah kalo kakak godain kayak gitu? Hihihi...”
sambil bicara agak mendesah kak Alya menatap genit padaku dengan masih
mengenakan kaos itu, paha putihnya terpampang di depanku dengan indah,
seolah aku dapat melihat bulu halus yang tumbuh dipermukaan kulit
beningnya itu. Jebol sudah pertahananku..
“Aahhh, kakaaak..”
“Aaahh, adeek.. hihihi..” kak Alya menggodaku dengan mengikuti nada bicaraku.
“Aku iket nih kalo kakak nakal terus ke aku ya..” ancamku pura-pura sambil mulai ubah posisi duduk sambil menghadap kakakku.
“Adeeek, kalo kakak diiket jadi gak bisa kemana-mana doonk.. adek mau yah kak Alya jadi penjaga rumah?”
“Iya kak, kayak anjing betina, hehehe..”
“Huuu... enak aja ngeledek kakak”
“Kak, kakak tadi pergi kemana sih?”
“Ummm... kemana yaaah..”
“Aaah, kakak mulai deeh, serius nih kak. Kakak tadi eksib lagi yah?”
“Engga.. kakak engga kemana-mana kok dek...” jawabnya enteng sambil
pegang-pegang kaosnya sendiri. kulihat dengan seksama pada kaos itu
seperti ada basah-basah pada bagian kerah dan potongan bagian bawahnya.
Padahal di luar engga hujan, basah dari mana?
“Kak! Serius doonk..”
“Iiih, adek beneran pengen tau nih?”
“Iya!”
“Tapii.. adek gak boleh marah yaa..” katanya sambil bersiap menceritakan
sesuatu. Ngga seperti biasanya dia akan bilang “jangan marah”, tapi
kini malah aku yang “tidak boleh marah”, aku khawatir apa yang akan
diceritakan akan membuat telingaku menjadi panas dan meradang. Tapi
karena aku selalu penasaran dengan apa yang ia lalui, dan biasanya
selalu membuatku panas dingin, aku seperti siap mendengarnya. Ia pun
lanjut mulai bercerita.
“Ummm.. adek tadi datang sambil lari-larian yah?”
“Hah?!”
“Terus tanya-tanya kakak ada di mana, lalu si abang bilang kakak udah pulang kan?”
“K-kok.. kakak tau? Kakak memangnya di sana?” tanyaku mulai gelagapan,
bagimana kak Alya bisa tahu semua detil ketika aku menyusulnya kesana?
“Sebenarnya kakak masih ada di situ kok dek..”
“Loh, tapi aku gak melihat kakak tadi?” aku mulai bingung, kalau kak
Alya ada di sana, dimana dia berada? Apakah dia sengaja bersembunyi dan
mengintipku? Tapi ngapain? Aku jadi teringat saat kak Alya mengirim
pesan singkat tadi.
“Jadi waktu adek pergi tadi si abang mulai godain kakak..”
“Duh, orang gak tahu diri tuh, udah dibeli dagangannya, masih aja kurang ajar!”
“Iya tuh dek, masa pantat kakak dicolek-colek... mana adek tau sendiri,
kakak kan gak pake daleman apa-apa.. geli tau dek, tangannya kasar
banget..”
Seperti kaget dan terpaku dengan nafas tercekat aku terhipnotis
mendengar cerita kak Alya, seolah aku seperti ingin tahu lanjutannya
walau setengah tak rela kakak kandungku yang cantik ini diperlakukan tak
senonoh oleh pedagang sialan itu. Tanpa menunggu reaksiku kak Alya
terus melanjutkan ceritanya.
“Makanya kakak tadi sms adek...”
“Uugh kakak.. supaya adek cepat jemput kakak pulang tadi yah?”
“Ummm... iya juga sih...” sambil menjelaskan matanya agak beralih dariku
sebentar, aku tak mengerti maksud kak Alya dengan jawaban yang seperti
tak yakin itu. Aku malah makin penasaran dengan semua ini, misteri apa
yang sedang kak Alya simpan dariku.
“Kurang ajar tuh abangnya grepe-grepe kakak!” sambil bersungut aku
melirik kearah tubuh kakakku yang masih berkaos itu dengan paha
terumbar. Kok malah aku jadi kepingin ikut grepe-grepe kakakku sendiri
yah? Ugh, kacau sudah pikiranku.
“Tau ngga sih dek, si abang tadi minta tolong sama kakak untuk bantuin
dia, karena kakak pikir udah bantuin kita, apa salahnya balas budi
dikit..”
“Emang dia minta tolong apaan sih kak?” tanyaku seperti malas, tapi penasaran yang malah membuatku tersiksa.
“Minta tolong cuciin piring kotor dia..”
“Hah?”
“Makanya tadi kakak tau kalo adek datang nyariin kakak..”
“Jadi?! Waktu aku datang kakak ada di balik..”
“Iya dek.. mana kakak lagi nyuci kejorok badannya ampe nungging deh kakak..”
“Uuugh, kakaaak! Jadi tadi kak Alya... sama abang itu...”
“Abisnya si abang main dorong-dorong aja tuh dek... oiya dek, gak
ngeluarin burungnya? Hihihi..” bisa-bisanya setelah diperlakukan tak
senonoh oleh si abang itu malah menyuruhku untuk coli, walau aku cemburu
dan sebal, tetap saja aku mengeluarkan penisku, aku tak tahan
membayangkan kakakku tengah didorong-dorong oleh orang seperti itu.
“Uugh.. kakak nakal banget siih, mau-mauan sama dia..”
“Apaan sih adek, kakak dipaksa tau... lagian adek kelamaan datangnya..”
“Kalo aku tadi cepat datang, emang kakak mau langsung pulang?”
“Ummm.. ngga tau juga dek, hihi.. emang adek gak mau liat kakak
didorong-dorong dari belakang sama abang itu yah?” aku kaget mendengar
penuturannya. Benar-benar nakal kakakku ini. Aku malah jadi ikut
membayangkan seperti apa adegan yang mereka lakukan yang gilanya lagi
dilakukan saat aku masih ada di sana.
“Tuh kan! Kakak nakal, kakak perempuan binal!” ledekku habis-habisan ke
kakakku yang nakal itu, aku lebih tak terima karena bukannya melakukan
denganku tapi malah dengan orang-orang tak jelas seperti tukang nasi
goreng itu. Aku benar-benar iri!
“Iiih adeek, kok kakak dibilang binal siih? Huu huu..” jawabnya seperti
pura-pura menangis, tapi tubuhnya malah makin condong dan menempel pada
tubuhku, bahkan aku mendengar nafas mulai berat. Masih melanjutkan
godaannya kakak pun cerita lagi..
“Si abangnya tuh yang nakal, udah tau sempit, masih maksa masuk terus...
kakak yang lagi nyuci piring ampe basah-basahan begini deh..”
Terjawab sudah kenapa pakaiannya basah, ternyata kak Alya disuruh cuci
piring sambil didorong dari belakang. Mendengar kak Alya yang sempit
dipaksa masuk oleh si abang mambuat kocokanku semakin kuat, aku hanya
bisa membayangkan seperti apa ekspresi kakak saat si abang memaksa masuk
di tengah kakak sedang mencuci piringnya. Kakakku benar-benar jadi
mainan buat orang sialan itu malam ini.
“Uuughh.. kakaaak..”
“Mana gede banget lagi tuh ‘itemnya’ si abang, perut kakak kayak penuh dek, hihihi..”
“Kakak jahaat! Tadi aku panggil juga diem aja... kakak sengaja yah?”
hardikku merana tak tahan melawan siksaan kakakku. Kakak yang
sehari-hari berhijab dan dikenal sopan pada tetangga-tetangga
benar-benar dientot dan digenjot tukang nasi goreng.
“Itu dia deek...”
“Kenapa kaak?”
“Sebelum adek dateng, waktu si abang ngentotin kakak dari belakang..
katanya kakak berisik banget dek, kakak jejeritan aja sekalian biar dia
kelabakan, hihihi.. lucu tau dek liat dia panik..”
“Terus waktu aku datang kenapa kakak diem aja sih kak?”
“Ummm... mulut kakak disumpel pake celana dalam dia dek, kurang ajar gak sih tuh abang...”
Mendengar cerita kakakku aku semakin panas dan kocokanku makin kuat,
antara rasa cemburu mendengar perlakuannya pada kakakku yang
semena-mena, dan rasa ingin melihat kakakku yang cantik dan tak ternoda
itu dikotori oleh orang-orang seperti mereka.
“Uugh kakaak.. aku gak tahan kaak, kakak perempuan nakal! Suka dientotin
sama orang-orang jelek! Kakak binal!” hinaku pada kakakku yang justru
membuatku semakin mempercepat kocokanku sambil melihat wajah kakakku
yang cantik dan putih bersih tanpa noda itu.
“Uuugh.. adek nakal yaah, ngeledekin kakak teruss.. terus dek
ngocoknya.. suka yah? Ayoh dek..” pancing kakakku sambil wajahnya mulai
memerah dan nafasnya terdengar makin berat, bahkan suaranya mulai
mendesah-desah membuatku membayangkan ekspresi inikah ketika kakak
digagahi abang itu? Benar-benar membuat kepala atas dan bawahku mulai
berkunang-kunang.
“Tau ngga sih dek waktu adek pergi ninggalin kakak sama si abang itu berduaan lagi?”
“Ughh.. kenapa kak?”
“Selesai kakak dientotin di balik semak-semak, waktu mau pulang kakak
masih dientotin lagi di samping gerobak...dua kali loh kakak disemprot
dalam rahim, mana ampe terpipis-pipis lagi nih kakak.. gila tuh abang...
huh..”
“Aaaarrgghh! Kakaak nakaal!”
CROOOT! CRROOTT! CRROOTT!
Pejuku muncrat berhamburan dengan derasnya keatas dan mengenai dagu kak
Alya yang terkaget-kaget melihat semprotan peju kentalku yang hangat
menempel pada dagunya. Sebagian mengotori lenganku sendiri dan pahaku.
Entah dari mana datangnya kekuatan semburan ini, tapi yang pasti aku tak
tahan setiap mendengar cerita apa yang dialami kakakku. Bahkan lebih
dahsyat ketimbang aku coli sendirian.
“Adeeek.. deres banget pejunyaa.. nakal nih adek. Suka yah kalo kakak beneran dientot orang asing? Hihihi..”
“Hah?! Maksud kakak?”
“Apaan sih dek.. Udah ah, kakak mandi dulu yah... kotor nih diajakin maenan sama si abang di atas rumput... abang gelo tuh..”
“Ah kakaaak! Tungguuu! Kakak beneran ngga sih tadi itu?”
“Apaan sih deek, hihi.. dag adeek..”
“Ah kakaak!”
*******
Sumber : Forum Semprot
Home
Alya
Cerita Eksibisionis
Penulis Lain
Cerita Eksibisionis Kakak Beradik : Petualangan Kakakku, Kak Alya 9
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar